Those Who Know Nothing
Verlita's speaking:
Sekali-kali mau coret-coretnya di awal bab. Hehehe.
Btw, sebelum baca, tolong di-vote dong. Supaya aku semangat! Makasi, yes!
Sepertinya, aku bakal menuntaskan cerita ini dalam waktu dekat. Karena ngerasa udah kepanjangan. Udah lama aku enggak nulis sepanjang ini. Ampun deh! Tapi, aku lumayan senang dengan apresiasi kalian pada Andra Vini. Meski, ya meski kisah mereka enggak semanis kelihatannya.
Maaf kalau ternyata, cerita yang berawal bikin kalian mesem-mesem, malah menjadi membuat kalian berdebar penuh prasangka. Ini bukan thriller, Gaes. Meski kalian diajak menebak-nebak. Emang, si Ver ini suka kebiasaan.
Well, kalau ada uneg-uneg mengenai kisah ini, sampaikan aja. Jangan ditahan-tahan.
Aku mungkin enggak akan mengubah alur, tapi aku senang membaca tentang perasaan kamu, tanggapan kamu tentang Double Date a.k.a Sebelah Rumah Mantan.
Thank you so very much!
❤
.
.
.
Ketika aku masuk ke pekarangan rumah kami, terlihat Andra sudah berdiri di ambang pintu teras. Matanya menyipit mengikuti langkahku.
"Aku lihat Lia datang, dan aku terlalu malas untuk datang ke sana. Si pembohong!" semburnya begitu aku berhenti selangkah di depannya. "Tapi kalau dia menyerangmu, atau mengatakan sesuatu yang buruk ke kamu, aku akan datangi dia sekarang untuk kasih peringatan."
Kutekuk wajah, memberengut menatap Andra dengan raut disedih-sedihkan.
Benar saja, wajah suamiku itu langsung terlihat panik, kemudian menegang. "Dia omong sesuatu? Dia bilang hal enggak enak ke kamu?"
Masih kutatap Andra dengan rengut. Ketika dia hendak beranjak, segera kucegah dia, kudekap dengan erat.
"Enggak usah halang-halangi aku, Vin!" Andra terdengar sewot, tidak terima karena kujegal langkahnya.
"Bagaimana kalau aku bilang, aku udah kasih dia peringatan lebih duluan?" kataku, di dadanya yang terdengar menderu.
Andra meraih kedua lenganku, mendorongku mundur sedikit dan menatap dengan menyelidik.
"Kamu bilang apa ke dia?" tanyanya.
"Aku cuma bilang, kalau seorang pembohong harus memberikan alasan yang baik agar bisa dimaafkan ...."
"Terus?"
"Terus, dia nangis."
Andra menghela napas panjang dan lelah. Dilepasnya kedua lenganku dan menengadah menatap langit. Dia tidak terlihat sebagaimana Andra yang biasanya, keningnya lebih banyak berkerut beberapa hari belakangan. Lingkar matanya juga terlihat menghitam, tanda bahwa dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Sebenarnya kalau saja aku mau berkaca, aku yakin ... kalau aku pun terlihat sama, sebagaimana penampakan Andra saat ini.
"Aku mau banget nyamperin Mama Papa sekarang ...."
"Jangan. Ini udah malam banget," cegahku.
Andra menghela napas lagi. "Kamu tau enggak, Vin, apa kata mereka saat itu. Saat mereka menyodorkan Lia ke aku?"
Kuteguk liur, berdeham karena rasa kering yang tetiba terasa di tenggorokan. Sementara aliran darah terasa mengalir lebih cepat. Menunggu Andra mengatakan kalimat lanjutan, entah mengapa terasa begitu lama.
"Mereka bilang begini, 'Sudah saatnya kamu bangkit, Andra. Lia akan memaafkanmu. Andai kamu ingat, dia gadis kecil yang menangis saat itu.'"
Andra mengalihkan padangan dari langit ke arahku, kemudian tersenyum kecut.
"Sejak dulu, aku berusaha menghapusmu dari ingatan karena rasa bersalah. Tapi, aku enggak bisa. Biar pun Aku lupa wajah si gadis kecil, suara tangisnya selalu aja bergema. Rasanya hampir mati setiap kali suara itu terdengar. Bagaimana bisa aku kabur, setelah ibunya menyelamatkanku?" Pandangan itu telihat perih. Sama, aku pun merasa nyeri. "Mereka memanfaatkan rasa bersalahku, bukan?"
Kuhela napas dengan kencang sehingga aku bisa merasa katup-katup di dada membuka. Merasa kasihan pada Andra yang terlihat putus asa, juga pada sendiri.
"Lia itu, siapa sebenarnya?" tanyaku dengan suara pelan.
"Aku pun penasaran. Kenapa harus dia yang datang. Dan alasan aku kehilangan posisi di perusahaan karena menceraikan Lia, itu juga mulai menggangguku sekarang." Andra mendengkus.
"Dulu, apa itu enggak mengganggumu?"
"Enggak sama sekali! Tapi, karena sekarang aku tau yang sebenarnya, aku jadi benar-benar penasaran ...." Andra melipat kedua tangan di dada. Namun, sejurus kemudian kedua tangannya lunglai lagi di sisi tubuh.
"Kenapa?" tanyaku khawatir ketika melihatnya tiba-tiba terlihat lunglai.
Tanpa mengatakan apa pun, kedua lutut Andra jatuh ke lantai. Terkejut, aku menundukkan kepala. Apa yang terjadi kali ini?
"Maaf ...," katanya dengan getir, kepala itu segera tertunduk menatap lantai. "Karena telah menjadi pengecut selama ini."
Dadaku berdegup kencang, ini bukan pertama kalinya Andra meminta maaf. Namun, kali ini, entah mengapa aku merasa kalau tidak seharusnya Andra melontarkan kata itu lagi.
"Setelah ini aku bersumpah. Bahkan seekor semut pun enggak akan bisa nyakitin kamu. Seumur hidup. Janji."
Cepat aku turut berlutut, memeluk Andra dengan erat. Aku rasa, tidak ada alasan untukku membencinya lagi sekarang. Dia tidak bersalah. Kami sama-sama korban. Dia melarikan diri, dan dipaksa sembuh dengan sebuah kebohongan. Sementara aku? Argh! Kecelakaan itu bahkan mengubah seluruh hidupku secara drastis.
"Janji, Vin ...," ulangnya lagi, dengan suara yang tercekat di kerongkongan.
Malam ini kami tidak kembali ke apartemen, tapi memutuskan untuk menginap di rumah yang sudah dipasang plang for sale, di pagarnya. Rumah kami, yang mungkin akan segera menjadi milik orang lain jika ada yang tertarik nanti.
Kami duduk di atas ranjang yang selalu menjadi tempat favorit untuk berbagi kisah, rasa, juga kesah. Hasrat? Tentu saja. Itu sudah selesai tadi. Sepertinya, berkeringat bersama Andra selalu menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan segala gelisah, resah, dan masalah.
Andra seperti biasa bertelanjang dada. Sementara aku selalu merasa nyaman bersandar di dada yang bidang. Menghirup aroma tubuhnya yang khas. Candu.
"Jadi, apa yang terjadi padamu setelah kejadian itu?" Andra bertanya, sementara tangan kirinya membelai rambutku dengan sayang.
"Aku cuma ingat kalau Ayah mengabaikanku setelah hari itu. Dia pergi, nitipin aku ke bibi. Tapi di hari yang sama, dengan alasan ekonomi ... akhirnya aku juga disingkirkan." Kupejamkan mata. Ternyata, rasanya masih sama seperti dulu. Tidak berubah. Lukanya masih menganga. "Lucu, 'kan?" Lanjutku lagi seraya tertawa pelan. Tawa yang terdengar menyedihkan, bahkan di telingaku sendiri.
Belaian di kepalaku terhenti, berganti dengan dekapan yang erat.
"Maafin aku ...." Lagi. Untuk kesekian kalinya kudengar kata yang sama.
"Bukan salahmu juga sebenarnya," kataku. "Meski aku selalu membenci bocah yang melarikan diri setelah ditolong oleh Mama, sekarang aku baru kepikiran. Kalau waktu itu kamu enggak melarikan diri, apa yang bisa kamu lakukan? Berteriak?" Aku menengadah, mencari wajah Andra di atas kepalaku untuk sekadar melempar senyum. "Bahkan orang-orang dewasa yang berkerumun saat itu pun, enggak ada yang menolong. Heh! Miris emang."
Andra menatap dengan binar sedih. Sebuah kecupan segera mendarat di kening.
"Istriku sayang ...," lirihnya setelah melepas kecupan. "Kamu udah banyak menderita ...."
Kembali kucari kenyamanan di dada telajang Andra. Menghirup aroma tubuhnya sembari mereka-reka kemungkinan, kapan semua bakal terkuak, dan penderitaanku benar-benar sirna? Aku ingin bahagia tanpa koma, tanpa jeda, tanpa tapi.
"By the way," ujarku tiba-tiba karena teringat akan satu hal.
"Apa?"
"Apa kita bakal benar-benar menjual rumah ini?" Aku penasaran, masih berharap agar Andra mengurungkan niat menjual rumah.
"Tadi udah ada yang nge-WA aku. Kayaknya, bakal segera terjual. Doakan aja, aku benar-benar mau pergi dari rumah ini. Kita tidak boleh tinggal di sebelah rumah seseorang yang memiliki potensi untuk menyakiti kamu."
"Nyakitin aku?" Keningmu mengernyit.
"Iya. Nyakitin kamu di sini ...." Andra meletakkan telunjuk di dadaku. "Terus di sini." Telunjuknya berpindah ke pelipisku.
Aku menengadah dan menemukan sebelah mata yang berkedip genit ke arahku, kemudian tersenyum. Merasa lucu, sekaligus berterima kasih unuk perhatian juga pengertiannya.
❤❤❤
Pagi ini aku terbangun dengan terkejut. Pasalnya, aku bermimpi buruk. Mimpi tentang Ibu, tentang darah, tentang tangis yang masih terdengar lantang. Terengah karena mimpi yang sungguh terasa nyata, aku menoleh ke sisi ranjang bagian Anda. Tetapi, dia tidak ada!
Aku menoleh pada jam di dinding, sudah pukul 9 pagi. Aku benar-benar kesiangan!
Nyaris bangkit dari ranjang, ponsel di nakas segera mengalihkan perhatian. Cepat aku duduk, meraih benda pipih yang masih berteriak nyaring. Nama Keevan yang terpampang pada layar, membuatku mendengkus lelah. Sepertinya, aku tahu apa yang bakal menjadi topik pembicaraannya.
"Ya, Keevan?" sahutku setelah merapatkan ponsel ke telinga.
"Ini udah hari ketiga kalau aku enggak salah hitung. Apa kamu masih enggak akan ke kantor?"
Benar, 'kan? Pertanyaan kenapa aku tidak juga menjejakkan kaki ke kantor.
"Aku resign," sahutku cepat.
"Resign? Ngundurin diri?" Keevan terdengar mengulang ucapanku dengan tidak yakin.
"Iya."
"Tapi kenapa, Vin?"
"Karena aku butuh istirahat. Aku lelah." Kenyataannya, aku memang sangat lelah belakangan ini. Lelah hati, pikiran, juga fisik.
"Aku yakin, pasti suamimu, yang mendesak kamu untuk mengundurkan diri, 'kan?"
Meski mulutku pada akhirnya menjawab bahwa bukan Andra yang memaksa. Sebenarnya hatiku sadar, kalau Andra adalah alasan terbesarku mengundurkan diri.
Suamiku itu sudah berbesar hati menjual rumah agar bisa berjauhan dengan mantan istrinya. Maka aku harus merelakan pekerjaan, agar Andra tidak melulu cemburu dan gelisah hanya karena seorang Keevan.
"Apa yang harus aku lakukan agar kamu enggak jadi mengundurkan diri? Should I double your salary?"
"No need, Keev. Enggak perlu. Aku benar-benar harus mengundurkan diri, juga membenahi pikiran."
"Bagaimana dengan hati?"
"Ck!" Aku berdecak. Entah apa maksudnya? Apa yang mesti kulakukan dengan hatiku? "Hatiku---"
"Bukan hati kamu," Keevan memotong ucapan. "Tapi hati-nya aku."
Lagi aku berdecak. Tidak habis pikir kalau seorang Keevan akan bisa sampai mengatakan hal sebagaimana barusan. Tingkahnya sekarang sekarang sungguh bertolak belakang dengan sikapnya dulu. Seingatku, dia tidak pernah sebanyak bicara ini dulu.
"Aku bakal ke kantor besok, untuk pengajuan surat pengunduran diri yang resmi." Lalu, kuputus sambungan telepon tanpa menunggu ucapan balik dari boss-ku itu. Aku rasa, aku tidak perlu menanggapi masalah hatinya. Bukan urusanku.
Belum juga kukembalikan ponsel pada nakas, bel dari pintu depan terdengar.
Cepat aku bangkit. Masih sambil memegang ponsel, aku melangkah ke pintu depan. Belum juga tiba ke tujuan, ponsel kembali berdering.
Langkahku terhenti demi melihat siapa yang menelepon. Ibu mertuaku. Nama yang sanggup membuatku berdebar dengan tak keruan.
Spontan mulutku bergerak memanggil Andra. Namun, suamiku tidak muncul. Ke mana dia sebenarnya?
"Ndra! Mama kamu nelepon!" panggilku lagi, merasa enggan mengangkat telepon itu sendirian.
Tetapi, Andra tak juga muncul. Ke mana dia? Apa dia keluar tanpa memberitahuku? Ada urusan penting mendadak?
Kutatap ponsel yang tidak juga berhenti berdering. Sementara, bel yang tadi sempat berhenti bernyanyi, kembali melantun. Bunyi keduanya bersahutan, seakan minta didahulukan untuk di sapa.
Akhirnya aku memutuskan melangkah kembali memuju pintu. Membiarkan ponsel yang deringnya berhenti tak lama kemudian, membuat napas ini terhela lega.
Namun, ketika tangan meraih kenop pintu, ponselku berdering lagi. Nama Andra yang tertera di layar, membuatku merasa tenang, perasaan tegang tadi lenyap seketika.
Kuusap layar dengan ibu jari tangan kanan untuk menjawab panggilan. Di waktu bersamaan, tangan kananku menarik kenop pintu untuk membuka.
"Jangan buka pintu untuk siapa pun, Vini!" Suara peringatan Andra begitu sangat terlambat, karena pintu sudah terbuka lebar, menampakkan wajah Lia di luar sana.
"Mereka hanya memintaku mengatakan 'iya'. Katanya, mereka membutuhkanku agar anak mereka kembali ceria. Aku enggak bersalah, Vini ...." Lia berbicara dengan kecepatan cahaya. Membuatku butuh mencerna beberapa saat, sebelum yakin dengan apa yang kudengar.
"Lia yang datang." Aku menyahut Andra.
"Lia?"
"Hu'um. Aku rasa enggak masalah membuka pintu buat dia. Kamu jangan khawatir ...." Aku segera membingkai senyum untuk Lia yang berdiri dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya terlihat benar-benar lelah, sekeliling matanya terlihat hitam dan bengkak.
"Aku enggak tau apa-apa, Vin." Lia berkata lagi dengan gemetar.
"Kamu yakin? Enggak ada siapa pun yang bersama Lia? Mama-ku misalnya?"
"Enggak ad---"
Ucapanku terhenti karena sosok yang tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Lia. Ibu mertuaku tersenyum dengan cara yang membuatku ingin muntah.
"Aku ke rumah Mama Papa pagi ini, dan enggak menemukan mereka. Aku rasa mereka sedang menuju ke rumah kita karena aku menemukan berkas-berkas tentang kejadian itu di sini. Astaga, Vini, kamu enggak boleh bikin mereka masuk rumah tanpa aku. Enggak boleh. Ingat itu!"
"Boleh kami masuk?" Ayah mertuaku, tiba-tiba terlihat berada di sebelah ibu mertuaku. Matanya memandang, seakan hendak memangsa.
Sepertinya, peringatan Andra ... terlambat.
BERSAMBUNG.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top