Sorry
Ini Sabtu pagi. Jadi kuputuskan berkebun untuk menata tanaman bunga di halaman depan. Andra sendiri sudah sibuk dengan tukang reparasi yang akan memperbaiki water heater.
Pekarangan rumah kami memang ditumbuhi dengan berbagai macam tanaman bunga. Dari mulai melati, iris, mawar, kembang sepatu, hingga pentunia yang baru saja selesai kutanam setelah pentunia sebelumnya gugur.
"Tante tau enggak, pentunia cuma bisa berbunga sekali? Abis itu harus Tante ganti."
Aku yang baru saja meletakkan pot berisi pentunia di atas rerumputan, terlonjak terkejut. Cepat aku menoleh ke belakang, terlihat Clara sedang berdiri bersidekap. Kapan anak itu berada di sini? Masuk lewat mana?
Kulempar pandangan ke arah pagar, dan menyadari bahwa pintunya sedikit terbuka. Sepertinya Andra lupa menutup pintu setelah mempersilakan tukang reparasi masuk tadi.
Menghela napas, kulepas sarung tangan yang belepotan dengan tanah dan pupuk, kemudian kugenggam dengan satu tangan.
"Tau enggak, Tante?" Clara yang hari mengenakan bando putih, sewarna dengan dress yang dikenakannya, bertanya lagi karena aku belum menjawab.
"Iya, Tante tau," sahutku sambil tersenyum.
"Kayak hati, Tante ...." Dipetiknya satu bunga anggrek, kemudian dipermainkan di jemari. Maunya kumarahi, tapi ... ya sudahlah.
"Kenapa dengan hati?" Kujauhkan punya anggrek yang tergantung dekat Clara, takut dipetik lagi. Anggrek salah satu bunga kesayanganku. Anggrek yang warnanya ungu.
"Hati itu, kalau udah berbunga sekali terus gugur, susah buat berbunga lagi." Disematnya bunga di telinga. "Berat, Tante ... kalau masalah hati."
Mataku memejam sejenak, menghela napas demi menahan gejolak yang mau meledak di dada. Apa yang anak tujuh tahun ketahui masalah cinta? Dia terlalu cepat menjadi dewasa.
Setelah merasa bisa mengendalikan diri, kubuka mata dan Clara sudah tidak ada lagi di hadapanku. Kutoleh kepala ke arah pagar, dia tidak di sana. Di halaman rumahnya juga tidak ada.
"Papa!"
Ok, dari suara yang lantang terdengar, artinya anak itu ada di dalam rumah. Cepat kulempar sarung tangan asal ke rerumputan, kemudian bergegas masuk.
Sampai di dalam, terlihat Clara berdiri sambil bersidekap di hadapan Andra yang terlihat sedang mengulurkan lembar rupiah ke arah tukang reparasi. Sepertinya tugas si bapak itu sudah selesai.
"Makasih ya, Pak," ujar Andra yang disahuti dengan sopan oleh si bapak tukang reparasi. Setelahnya bapak itu berjalan keluar, berpapasan denganku. Tersenyum sekilas lalu pergi.
"Udah beres, Vin, water heater-nya." Andra memberikan laporannya padaku.
"I'm talking to you, Papa." Clara memberengut.
"Oiya. Kenapa, Sayang?" Cepat diusapnya lembut kepala anak gadis kecilnya. "Mau ngomong apa?"
"Om Andika kata Mama, mau lamar Mama. Dan aku enggak mau."
Aku yang tadinya mau masuk ke kamar, urung. Bergeming di tempatku berdiri untuk menyimak. Jadi, namanya Andika. Lia mau dilamar Andika. Ini pasti berkenaan dengan telepon-teleponan Andra dan Clara semalam.
"Kenapa? Kalau Om Andika baik, sayang sama Mama, sama Clara. Ya enggak apa-apa dong, Sayang." Andra berlutut, menyejajarkan matanya dengan wajah Clara.
"Papa enggak ngerti! Clara enggak mau kehilangan lagi!" Lalu, gadis kecil itu menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Hatiku berdegup kencang. Mendengar kata kehilangan yang terlalu banyak maknanya bagiku.
"Kamu enggak akan kehilangan siapa pun, Clara. Percaya sama Papa. Sama kayak Tante Vini, Om Andika pasti juga bakal sayang sama kamu."
Andra ... kenapa harus aku yang kamu jadikan contoh? Yang ada, Clara bakal semakin menjadi. Pasti! Karena kami memang tidak pernah sedekat itu.
Benar saja dugaanku. Clara segera menoleh ke arahku dengan wajah sengit, kemudian menoleh lagi menatap ayahnya.
"This is final, Papa. Aku enggak akan setuju Mama dengan Om Andika!" Gadis kecil itu segera membalik tubuh, membuat mata kami saling menatap. Dia menatapku dengan marah, sementara aku menatap dengan serba salah.
"Clara ...." Andra mendesah sambil menarik lengan putri kesayangannya, yang saat itu juga ditepis oleh si empunya lengan.
"Masalah Tante Vini ... Papa enggak pernah tanya pendapatku sejak awal. Aku benci!" Lalu, ditariknya bunga yang sejak tadi tersemat di telinga. Dicampakkannya ke lantai, kemudian berlari meninggalkan rumah secepat kilat. Tanpa pamit padaku atau ayahnya. Tetapi raut wajah yang kulihat sekilas adalah, raut wajah penuh luka.
"Clara!" Andra berteriak memanggil meski tidak mengejar, tapi anak itu sudah pergi.
Cepat aku melangkah ke teras untuk mengintip ke rumah sebelah. Clara baru saja membanting pintu rumahnya dengan keras. Menyisakan bingar yang terdengar samar dari tempatku berdiri.
"Dia pulang," ucapku pelan dan berat. Berbalik dan menatap Andra yang terlihat sedang mengusap wajahnya berkali-kali dengan gelisah.
"Apa menurut kamu aku harus bicara dengan Lia?" Andra bertanya padaku. Jelas dia sedang kebingungan, sama denganku yang sama bingungnya. Aku hanya bisa menganga menanggapi pertanyaannya, lalu mendesah, menganga lagi, kemudian mendesah dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kututup wajah dengan kedua telapak tangan, demi menahan air mata tetap tertampung pada pelupuk.
***
Ketika Andra sedang sibuk dengan barbel sambil menonton televisi sore ini, yang kulakukan adalah duduk di bangku taman dengan segelas teh, sambil sesekali melirik ke arah rumah Lia. Sesungguhnya, kejadian pagi tadi begitu membekas di hati.
Clara bilang, dia tidak mau lagi kehilangan. Dan aku pun benci kehilangan. Tatapan mata marahnya padaku benar-benar menampar. Aku rasa, dia berpikir kalau aku telah membuatnya kehilangan satu hal yang penting. Andra, ayahnya. Dan dengan pikiran yang sama dia juga berpikir kalau akan segera kehilangan satu hal penting lainnya. Lia, ibunya.
Lihatlah, bagaimana perpisahan membuat seorang gadis kecil sebegitu terlukanya. Lihatlah bagaimana aku ternyata telah menyakiti perasaannya selama ini. Aku tidak pernah menyadari itu, karena selalu berpikir dia begitu mengganggu. Mengganggu, tanpa mau tahu alasan dibalik sikapnya yang tidak bersahabat.
Kusesap teh di gelas, melirik ke halaman rumah sebelah, berharap Clara muncul di sana. Sebenarnya aku belum tahu tentang apa yang kulakukan pada Clara. Hubungan kami tidak pernah baik sejak awal pertemuan. Bahkan di pesta pernikahanku dan Andra, ketika ia berperan sebagai pembawa cincin, kami tidak bersapa satu sama lain. Dingin. Itu sikap yang ditunjukkannya hari itu.
Ditambah lagi kejadian di malam pertamaku dan Andra. Ketika dia menggedor dan berteriak dengan lantang, membuat semua kejadian malam itu menjadi teramat nanggung.
Coba, bagaimana kami bisa menjadi dekat jika dari pihak lawan sudah membuat jarak tegas terlebih dahulu?
Namun, kata kehilangan membuatku sadar. Sadar bahwa Clara, tidak perlu kehilangan lagi.
Syukurlah penantianku di teras tidak sia-sia, karena tidak lama kemudian gadis kecil itu terlihat membuka pintu dan keluar dengan sepatu roda yang membalut kedua kaki. Syukurnya lagi, dia menoleh ke arahku. Segera kutarik senyum termanis yang kupunya, berharap dia balik melempar tersenyum, tapi ternyata kusalah.
Clara justru segera membuang pandangannya ke arah lain. Anak itu mulai meluncur menuju pagar rumahnya.
Sepertinya ini bakal berat. Maka, aku bangkit dan memanggil sebelum dia lolos dari pagar rumah.
"Clara!" panggilku, mendekatinya yang masih belum mencapai pagar.
Gadis itu berhenti sejenak, menoleh padaku dengan kening berkerut. Namun, sama seperti tadi, dia kembali mengabaikan.
Mau tidak mau langkahku menjadi cepat dah tergopoh.
"Clara! Tante Vini mau ngomong!" ucapku lantang.
Namun, kali ini dia sama sekali tidak menggubris. Pagar rumah otomatisnya mulai terbuka, bersamaan dengan aku yang merasa, jika aku tidak bisa membuatnya mendengarku sekarang, maka hubungan kami akan menjadi semakin buruk.
"Clara!" panggilku lagi. "Tante Vin mau minta maaf!"
Setelah mengucapkan itu, sama seperti Clara yang langsung menghentikan sepatu rodanya, mulutku juga langsung bungkam.
Barusan aku bilang apa? Minta maaf?
"Tante Vin, bilang apa?" Clara menatapku dengan mata menyipit.
Kuhela napas panjang dan dalam. Kadang, orang dewasa juga harus mengalah, bukan? Ini bukan masalah umur siapa yang lebih banyak. Ini masalah, bahwa kami harus menyelesaikan perang dingin selama ini.
"Tadi, Tante bilang apa?" Clara mengulang ucapan.
Ini tentang aku, yang dipikirnya sebagai orang yang membuatnya kehilangan dan terluka. Ketika kamu telah menyakiti hati seseorang, maka yang harus kamu lakukan adalah ....
"Tante minta maaf ...."
Gambar: Pinterest
Kim Gyuri as Clara
Btw, minta vote dan shares-nya boleh, Kakak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top