Sixth Sense
"Kenapa enggak diangkat?"
Suara Keevan membuatku segera mengangkat kepala dari layar ponsel.
"Kok enggak diangkat?" tanyanya lagi ketika tatapan kami bersinggungan.
"Aku enggak kenal nomornya," sahutku bersamaan dengan dering yang terhenti.
Kutatap lagi layar ponsel dengan kecewa. Entah kekecewaan karena apa.
Keevan menghela napas, kemudian duduk di kursi kosong yang tadi diduduki ibu panti. Begitu dia duduk, aku segera bangkit berdiri.
"Kok berdiri?" tanyanya.
"Enggak apa-apa ...." Sialnya, entah mengapa ingatanku masih bekerja dengan baik. Masih merekam kalau Keevan, bukan seseorang yang disukai oleh Andra.
Ini melelahkan.
Keevan berdecak, dia sedikit membungkukkan badan dan menahan kedua tangan di kaki. Sementara itu, kedua matanya menatapku dengan iba.
"Ada masalah ya? Sama suami kamu?" tebaknya dengan jitu.
Kutelan liur, mencoba menahan ucapan.
"Mau cerita?"
Ini benar-benar sebuah tawaran yang menarik. Teman bercerita di saat hati gundah. Setidaknya, pasti akan ada kelegaan walau hanya sedikit. Bisa jadi galauku akan berkurang, dan pikiranku yang sejak tadi terasa penuh, akan terkikis sedikit demi sedikit.
"Hm?" Keevan tersenyum. "Kamu paling tau, kalau aku pendengar dan penghibur yang baik."
Tetapi yang berbicara di depanku ini Keevan. Andra, tidak suka dengan Keevan.
Sial! Andra lagi!
"Sebaiknya aku masuk dan bertemu Ibu." Kucangklong tas di pundak.
"Kamu menginap di sini? Enggak pulang?" Keevan bertanya dengan kerut-kerut di kening.
Kupandang Keevan dengan ragu. Kemudian, mengangkat kedua bahu tanda tidak yakin.
"Kamu masih mau di sini?" tanyaku sebelum melangkah.
"Enggak. Aku mau pulang." Keevan bangkit berdiri dan meraih tas yang sejak tadi berada di ujung kakinya.
"Aku enggak liat ada mobil kamu tadi di halaman," kataku.
"Supirku udah mau nyampe ...." Dia nyengir.
Aku mengangguk-angguk. Dia beruntung, keluarga yang mengadopsinya benar-benar sangat menyayanginya. Dan mereka kaya. Luar biasa.
Akhirnya kulangkahkan kaki, berbelok ke arah pintu utama gedung, sementara Keevan berusaha menyamai langkah.
Belum juga sampai di pintu utama, kakiku sontak berhenti. Saat melihat seseorang yang berdiri bersandar di mobilku. Tubuhnya seketika menegak, ketika sepertinya juga menyadari keberadaanku.
"Supir kamu?" bisik Keevan bertanya.
"Suami aku!" seruku tertahan, sementara mata tidak lepas dari Andra.
"Ah!" Keevan terdengar terkejut. "Aku benar-benar butuh kaca mata kayaknya," ucapnya pelan, seolah-olah menyesal dengan ucapannya.
Bagaimana Andra bisa berada di sini? Bagaimana bisa dia mengetahui keberadaanku?
Kepala Andra terlihat bergerak, tatapannya kini tertuju pada sosok yang berada di sebelahku. Otomatis mataku terpejam, akan ada masalah baru sepertinya.
Setelah beberapa saat, seraya menghela napas aku membuka mata. Terkejut, karena Andra sudah berada di depanku. Sepertinya dia membungkukkan tubuh, karena wajah yang sejajar denganku.
"Pulang?" tanyanya lebih kepada mengajak.
Mataku mengerjap, kemudian menggelengkkan kepala.
"Kenapa enggak pulang?" tanyanya lagi.
"Dia enggak mau pulang, biarin aja. Supaya tenangan dikit. Dari tadi tegang melulu ...."
Andra nampak tak terusik dengan ucapan Keevan, dia tetap pada posisinya, menatapku dengan senyum.
"Aku akan menerima apa pun hukumannya, tapi enggak kayak gini caranya, Vin." Andra meraih salah satu telapak tanganku. "Kita ke apartemen. Ada tiga kamar di sana. Aku bisa tidur di kamar tamu."
"Ck!" Keevan berdecak, terdengar tidak senang. Sementara aku diam saja, menatap Andra yang kelewat tenang, menelisik debar karena tatapannya.
Ketika dia menarik tanganku ke arah mobil, kakiku bergerak dengan patuh. Tidak ada omongan apa pun lagi dari Keevan.
Andra meminta kunci mobil, dan menempatkanku di kursi penumpang. Sementara itu, dia merajai kursi pengemudi.
Aku menatap ke arah Keevan ketika mobilku bergerak meninggalkan halaman panti. Keevan masih berdiri di tempatnya, wajahnya terlihat gundah bukan main. Kutatap sampai dia tidak terlihat lagi dari pandangan.
Kualihkan pandangan ke arah jalan di hadapan, sama sekali enggan menatap Andra apalagi bertanya. Meski, aku penasaran bagaimana bisa dia mengetahui keberadaanku secepat itu.
"Aku punya indera keenam, kalau-kalau kamu penasaran ...."
Sontak aku membelalakkan mata, menoleh ke arah Andra dengan terkejut.
"Shi---"
"Nah, baru deh mau noleh ke aku." Sekilas Andra menoleh, mengulum senyum ke arahku yang masih membelalak, sebelum kembali berkonsentrasi pada jalan di depannya.
Sepertinya, aku dibohongi. Indera keenam my ass! Berdecak, aku kembali melempar pandangan ke jalan.
"Kamu curhat sama bos kamu itu?" Andra bertanya dengan pelan.
"Pake indera keenam kamulah!" sindirku.
"Enggak perlu pake indera keenam. Hatiku bilang kamu enggak akan curhat ke cowok lain. Entah gimana kebenarannya ...."
"Sok yakin." Aku menggerutu.
"Yakinlah ... karena aku tau kamu."
Segera kubungkam mulut. Herannya, beban justru terasa sedikit lebih lega. Boleh jadi aku masih mencoba menapik rasa pada Andra, bisa jadi sakit hatiku masih bertubi-tubi, bahkan belum terselesaikan sama sekali. Namun, hati tidak bisa berbohong. Dan aku benci itu.
Kutundukkan kepala, mempermainkan jemari seraya menahan panas yang kembali membuat ujung-ujung mata berkedut. Perasaan ini, sungguh menyebalkan.
❤❤❤
Aku berdiri di balik pintu apartemen dengan kikuk. Sementara Andra sudah menarik koper kami masuk ke dalam kamar. Kamar yang berbeda. Koperku masuk ke kamar utama, sementara kopernya masuk ke second room.
Kuhela napas dalam-dalam, mencoba meraba hati khawatir aku salah melangkah.
"Masih berdiri di situ?"
Segera aku menoleh ke arah suara. Andra baru saja keluar dari kamar kedua, menatapku dari pintu sana.
"Kita enggak akan sekamar, jangan khawatir. Sama sepertimu, aku pun butuh merenung." Dia berjalan menghampiri. "Cuma aku enggak akan bisa berpikir jernih, kalau enggak ngeliat kamu di sekitar. Rasa bersalahku jadi berlipat-lipat." Andra berhenti dua langkah di hadapan. Matanya menatapku memelas.
Aku bisa melihat ada penyesalan di sana, kesakitan juga terlihat dengan sangat jelas. Aku rasa, kami terluka dengan cara yang berbeda.
Kepalaku segera menunduk, perasaan enggan untuk menatapnya kembali timbul dengan jemawa. Berbanding terbalik dengan hati yang minta disentuh.
"Pengen banget meluk kamu, Vin. Pengen banget disayang sama kamu di saat kayak gini ...."
Sama. Aku juga sangat ingin ditenangkan saat ini, kemudian dibisiki kalau semua yang pernah terjadi 22 tahun lalu hanya sebuah mimpi. Ingin diyakinkan, kalau Andra tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
"Aku mau tidur," ujarku, kemudian berjalan melewati Andra tanpa menatapnya sama sekali menuju kamar utama.
Begitu menutup pintu dan kukunci, tubuh ini segera luruh ke lantai, dan isak kembali pecah. Bersamaan dengan jam yang berdentang.
Sial, sejak kapan Andra memasang jam berdentang di apartemen ini? Dentangnya, hanya menambah sayat-sayat di hati.
"Aku kesel denger jam-nya!" teriakku di sela isak. "Kesel!"
Tidak lama, dentangnya terhenti. Kulirik jam tangan, pukul 12 malam. Bahkan jam tadi belum berdentang sebanyak 12 kali, entah apa yang Andra lakukan pada benda itu. Masa bodolah, setidaknya aku bisa menangis dengan lebih puas, tanpa perlu diiringi dentang yang memilukan.
❤❤❤
Sesungguhnya aku sama sekali tidak bisa tertidur. Bayangan Ibu yang tergeletak di aspal berkelebat lebih sering dari biasanya. Ditambah pesan dari ibu panti dan Keevan yang bergantian menanyakan keadaanku. Pesan ibu panti kubalas, pesan Keevan kuabaikan.
Aku bangkit dari baring dan duduk di ranjang, menatap sekeliling kamar yang lampunya redup. Sepertinya aku tidak akan terlelap malam ini. Kuputuskan untuk bangun dan berjalan keluar kamar.
Tentu saja kegelapan yang menyambut saat pintu kamar kubuka. Kususuri dinding demi menemukan saklar dan menyalakan lampu. Begitu lampu menyala, mataku langsung menangkap jam berbentuk bulat yang tergeletak di sisi sofa. Jam itu tidak lagi bergerak jarumnya, sementara beberapa buah baterai teronggok di sampingnya.
Aku tersenyum, pasti ini ulah Andra.
Aku menoleh ke arah kamar di mana Andra tertidur. Pintunya tertutup dengan rapat. Senyum karena ulahnya pada jam, sirna seketika. Bukankah aku harus membencinya?
Melangkahkan kaki ke dapur, kakiku berhenti di depan kamar itu. Menoleh dan bertanya-tanya bagaimana kabar Andra di dalam sana.
Penasaran, kurapatkan telinga ke daun pintu. Ketika sayup-sayup terdengar isak tertahan dari dalam sana.
Andra menangis?
Lalu terdengar suara yang terdengar menuduh.
"Kalian yakin itu Lia?"
Sepertinya Andra sedang berbicara dengan seseorang di dalam sana.
"Kalian menjebakku, kan? Itu Vini, bukan Lia!"
Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Ada namaku disebut, nama Lia juga disebut. Aku yakin Andra sedang membicarakan kejadian itu, kejadian ibuku.
"Kalian membuatku hancur bertahun-tahun. Kalian membuat hubunganku dan Vini----"
Kugigit bibir bawah ketika mendengar suara benda terbanting yang disertai dengan makian dari Andra, "Sialan!"
Ketika terdengar langkah tergesa menghampiri pintu, sontak aku merasa panik. Andra akan menemukanku dan mengetahui kalau aku mencuri dengar.
Cepat kulangkahkan kaki mundur, tapi terlambat. Andra lebih dulu membuka pintu, membuat langkahku terhenti. Kami bersirobok, membuatku serba salah.
Namun, mata Andra yang basah membuatku merasa iba dengan seketika. Suamiku, sepertinya sedang dalam pergumulan hebat.
"Kenapa---"
Cepat kupeluk Andra sebelum ucapannya berlanjut.
"Aku pun punya indera keenam," gumamku di dadanya. "Ada yang bisikin tadi, kalau kamu sedang butuh pelukan ...."
Untuk beberapa saat Andra tidak bereaksi apa pun. Namun, kemudian kedua tangannya terasa turut merangkum tubuhku. Erat.
"Kenapa kisah kita, gini amat ya, Vin?" erangnya.
Di dadanya, telingaku bisa mendengar, kalau degup hatinya, sedang bertalu-talu tanpa jeda.
Verlita's speaking:
Huff! Kamu masih mau Andra dan Vini bersama, atau pisah aja, Gaes?
Btw, ayolah jangan jadi silent reader. Aku seneng banget kalau kalian mau vote dan komen sebanyak-banyaknya.
Thanks, ya! 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top