Reason

Sepulang Lia dari rumah sakit siang tadi, Clara langsung kembali ke pelukan ibunya. Mengenai pijatan? Sudahlah, aku juga tak sampai hati memintanya melakukan itu. Sebagai gantinya, Andra yang melakukan pijatan di pahaku tadi. Tentu saja, pijatan yang tidak akan sanggup dihentikannya hanya sampai di paha, tapi berlanjut ke bagian-bagian lain yang membuat kami akhirnya berkeringat dan berpelukan rapat di balik bed cover tanpa pakaian saat ini.

Andra mengecup kepalaku dengan mesra, sementara kepala ini bersandar di dadanya. Telingaku masih bisa mendengar bagaimana derap-derap debar keterlaluan yang tadi berpacu, perlahan menjadi stabil.

"Ini menyenangkan," bisiknya.

"Karena kamu berhasil melampiaskan hasrat yang tertunda semalam?" Aku menebak sembari menyungging senyum.

Andra terkekeh. Salah satu tangannya mengelus kepalaku lembut. "Itu salah satunya."

"Mesum!"

"Tapi suka, 'kan?" Dia menggoda. Kudaratkan cubitan gemas di perutnya, membuatnya mengaduh pura-pura. Tentu saja dia hanya berpura-pura kesakitan, karena sesungguhnya bidang-bidang di perutnya terlalu keras untuk dapat kucubit.

"Ada alasan lain." Dia mengeratkan pelukan. "Melihat kamu masih berada di sisiku selama lima bulan belakangan pernikahan kita, itu lebih menyenangkan."

Aku terdiam, bingung untuk menanggapi. 

"Apa kamu ingin kita pisah?" Aku berkata dengan hati-hati.

"Enggak, enggak gitu!" Andra tiba-tiba terdengar panik.

Kuangkat kepala sehingga mata kami bersirobok. Dengan wajah yang sengaja ditekuk dan sedikit menarik diri, aku berkata, "Kenapa ada kata masih? Itu kayak yang kamu enggak yakin, kalau kita bakal nikah selamanya."

Mata suamiku itu mengerjap, kemudian menggeleng cepat.

"Aku enggak akan ngizinin kamu pergi!" Dekapan yang sempat merenggang, mengerat lagi. "Enggak akan!" Dia menegaskan.

Aku menghela napas panjang, lalu kembali melekatkan kepala di dadanya.

"Kita enggak usah ngebahas ini lagi," ujarnya dengan nada cemas. 

Sejujurnya aku merasa ada yang tidak beres, ada sesuatu yang disembunyikan. Sejak mengetahui kalau Andra dilepas jabatannya karena bercerai dari Lia, aku tahu dan yakin, kalau Andra tidak seterbuka itu padaku. Entah apa alasannya. 

"Apa ada yang enggak beres?" tanyaku.

"Enggak ada," jawabnya cepat. Jawaban bohong karena derap debarnya mencepat. Meski tidak lama, karena beberapa saat kemudian kembali menjadi stabil.

Kuhela napas dengan keras. Sengaja, supaya Andra bisa mendengar dengkusan tidak percayaku. Supaya dia tahu kalau aku gelisah. Setelahnya, kusingkap bed cover, melepas pelukan dan bangkit berdiri.

"Mau ke mana?" tanyanya buru-buru, ketika aku menyambar kaus yang tercecer di lantai dan mengenakannya dengan cepat. Aku hanya menoleh sekilas ke arahnya, lalu menyambar celana pendek dan mengenakannya dengan sangat cepat. "Mau ke mana?" tanyanya lagi karena aku tidak menjawab. 

Andra terlihat bangkit, meraih celana training yang tercecer dan mengenakannya dengan terburu-buru.

Aku hanya menggeleng, kemudian menundukkan kepala.

"Aku cuma mikir, apa sebenarnya kamu benar-benar menginginkanku?" Jariku bermain-main, saling mengait dengan gelisah. "Atau ...." Aku menengadah. "Atau hanya sebuah pembuktian?"

"Pembuktian?" Andra melangkah mendekat.

"Aku enggak tau, Ndra!" Aku jadi kesal sendiri, bingung mengarahkan pembicaraan. "Bisa aja sebenarnya kamu cintanya sama Lia, tapi kesal karena diatur-atur. Terus kamu ceraiin dia, nikah sama aku meski enggak ada yang benar-benar setuju."

Andra berhenti dua langkah di hadapanku. Matanya menatapku dengan teduh, sementara senyum menyungging dengan tulus.

"Kita masih membahas kata masih, ya?" tanyanya.

"Enggak!" Aku menampik, karena memang tidak mau lagi membahas masalah masih atau tidak kami bersama. Ada yang lebih penting dari itu, lebih perlu penjelasan. "Aku lagi ngebahas masalah alasan. Alasan kenapa kamu menikahiku, membelaku mati-matian di depan keluarga kamu. Aku lagi ngebahas masalah alasan kenapa kamu cerai dari Lia. Rela dilepas dari jabatan, ditendang dari ahli waris."

Raut wajah Andra sama sekali tidak berubah. Sepertinya dia memang sengaja membiarkanku berbicara. 

"Bahkan sampai sekarang aku masih terkejut, mengingat saat kamu tiba-tiba ngelamar aku." Suaraku mengecil, menunduk lagi, mengaitkan jemari lagi.

"Kamu iyain juga lamarannya." Sialan Andra. "Iya, Andra. Aku mau nikah sama kamu ...." Suara yang dibuat-buat itu membuatku mengumpat dalam hati. Berengsek. Malu-maluin.

Tanganku mengepal otomatis, menahan rasa malu yang tiba-tiba merasuk. Waktu dilamar Andra dulu, aku memang langsung mengiyakan. Tidak pernah ada seseorang yang menginginkanku sekian lama, sampai akhirnya dia muncul. Tidak ada alasan untuk menolak lamarannya.

"Ngeselin!" Kubalik tubuh, berjalan mengentak-entak ke arah pintu sampai lenganku ditarik, membuat langkah ini berhenti seketika.

"Aku nikahin kamu karena aku cinta sama kamu. Aku ngebela kamu di depan keluarga, karena kamu enggak salah apa-apa. Aku cerai dari Lia, karena kami enggak cocok lagi. Kemudian masalah dicopot dari perusahaan ...." Andra terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan, "Apa kamu masih merasa kekurangan? Apa aku harus memaksa agar jabatan itu kembali, supaya kebutuhan-kebutuhanmu bisa terpenuhi semuanya?"

Serasa ada yang menikam tepat di jantung. Jawaban yang sanggup membuatku mati kutu. Aku tidak bisa melihat bagaimana mimik Andra saat mengucapkannya, karena aku masih berdiri memunggunginya. Namun, aku bisa merasa kalau dia berusaha dengan sungguh-sungguh.

"Aku percaya." Kutepis lengannya, kemudian berjalan menarik kenop pintu dan berjalan ke luar kamar. 

Usaha yang luar biasa, tapi aku merasa kalau masih ada yang disembunyikan. Aku melangkah ke arah ruang kerja, masuk dan dengan sengaja mengunci pintu. Bersandar pada daunnya sambil menatap lurus dengan pandangan yang buram karena mata yang berkaca-kaca.

Rasanya tidak menyenangkan saat merasa ada yang disembunyikan oleh pasangan. Perasaan tidak diinginkan itu, entah kenapa muncul lagi. Apa Andra benar mencintaiku? Benar menginginkanku?

Pintu ruang kerja diketuk pelan dari luar, membuatku memejamkan mata dengan gelisah. Samar terdengar suara Andra dari balik pintu.

"Apa kamu marah? Apa aku melakukan kesalahan?"

"Aku merasa sebagai seorang Cinderella saat kamu melamarku. Diangkat dari kubangan dan diberikan istana yang mewah. Merasa diinginkan dan dicintai." Aku menghela napas. "Enggak ada alasan untukku menolak lamaran kamu, Ndra. Tapi entah kenapa, aku merasa sakit hati ketika tau kamu menyembunyikan sesuatu ....."

"Aku enggak nyembunyiin apa pun!"

"Bahkan alasan mengapa kamu tidak mendapatkan jabatan di perusahaan aja, aku dapat dari Lia. Artinya kamu enggak jujur." Aku benar-benar kecewa.

"Karena aku pikir, itu enggak penting untuk dibahas."

Lagi, aku menghela napas.

"Aku enggak mau ngeribetin kamu dengan masalah tetek bengek politik di keluarga kami. Kamu enggak perlu tau semua itu."

"Karena aku enggak penting?" Aku sungguh-sungguh kecewa.

"Karena tugas kamu, adalah untuk bahagia. Bukan untuk ngurusin hal-hal enggak penting kayak gitu." Andra kembali mengetuk pintu. "Buka, Vin. Aku enggak mau marahan sama kamu."

Aku juga tidak suka bertengkar dengannya. Ini bukan bertengkar, aku hanya perlu tahu kebenarannya. Namun, sepertinya ini bukan cara yang baik untuk membuat Andra membongkar satu demi satu kebenaran yang disembunyikannya.

Tidak ingin drama ini berlarut-larut, aku membuka kunci dan menarik kenopnya hingga pintu itu terbuka. Andra terlihat mematung di sana, menatapku dengan wajah memelas. Aku melangkah mendekatinya pelan, sebelum membenamkan wajah di dadanya yang bidang. Lengan-lengan kekar Andra dengan cepat merangkumku.

"Kamu cuma perlu tau, kalau aku sangat mencintaimu, Vin. Jangan ragukan yang satu itu. Ya?" Dia berbisik. 

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk di dadanya. 

***

Aku nyaris meraih hair dryer ketika Andra merebutnya terlebih dahulu. Dari cermin rias, terlihat kalau Andra berpakaian rapi, kemeja abu-abu dengan celana panjang putih. Tangan-tangannya sudah bergerak di rambutku, sementara hair dryer mulai menderu. Matanya sesekali melirikku lewat cermin.

"Mau pergi?" tanyaku, "rapi amat."

"Mau nganterin kamu," sahutnya. "Entar bos kamu yang centil itu, sok deket lagi sama kamu."

Tawaku berderai, membuat kepalaku terangguk-angguk.

"Jangan gerak-gerak, susah ini ngeringinnya!" Andra menahan kepalaku dengan salah satu telapak tangan.

"Kamu cemburu sama orang yang enggak tepat. Dia itu duda, enggak menarik di mataku." aku berkilah.

"Aku duda, dan kamu tertarik." Andra menatapku melalui cermin, salah satu alisnya terangkat.

Cepat kubungkam mulut dengan telapak tangan. Sempat lupa kalau Andra berstatus duda saat aku menikahinya.

"Kalau kamu---"

"Pa, anterin aku ke sekolah." Suara Clara yang tiba-tiba terdengar membuat kami menoleh ke arah pintu. 

Gadis kecil itu terlihat berdiri di ambang pintu kamar dengan seragam sekolah lengkap. Tas selempang bergambar karakter kartun Shimmer and Shine, terlihat menyilang di bahunya. Wajahnya terlihat merengut, berkerut, sementara bibirnya mengerucut.

Segera kuambil alih hair dryer yang sudah mati dari tangan Andra, sebelum suamiku itu melangkah mendekati putri semata wayangnya.

"Mama masih sakit?"" Andra bertanya seraya berjongkok di hadapan Clara, sehingga pandangan mereka menjadi sejajar.

Clara menggeleng. "Aku cuma sebel ...."

"Sebel?" Andra terlihat penasaran, sementara aku merasa tertarik mendengar kelanjutannya.

"Om Andika keluar dari kamar Mama pas aku mau sarapan pagi ini." Clara berbicara dengan suara serak, seolah-olah dia akan menangis.

Sontak, kutahan napas. Andika menginap semalam di rumah Lia? Clara pasti---

"Aku enggak mau punya dede bayi, Pa! Enggak mau!"

See ....
Dasar Clara!

Ini outfit-nya Akang Andra pagi ini. 😁







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top