Normal Vs Abnormal

Andra sudah tertidur pulas di sofa kamar rumah sakit. Seperti biasa, dia meletakkanku di kelas VIP agar bisa leluasa. Leluasa untuk segalanya. Sebenarnya dokter sudah mengizinkan untuk pulang, tapi Andra memaksa aku tetap di sini agar bisa beristirahat. Namun, melihat siapa yang terlelap terlebih dahulu, sepertinya dia yang membutuhkan istirahat.

Aku sendiri duduk di ranjang, bersandar pada headboard sambil memeriksa ponsel.  Membuka pesan dari Bian yang--dari kata-katanya--khawatir akan keadaanku.

Setelah membalas pesan Bian, tanganku bergerak dan menemukan juga pesan Keevan di sana. Kusentuh layar, membaca pesan, dan segera menutup mulut dengan telapak tangan. Jangan sampai tawaku meledak dan membangunkan Andra.

Kamu pingsan, Vin? Aduh, kok bisa? Mau aku bawakan makanan? Atau buah apa yang kamu suka?

Lalu lima belas menit setelah pesan pertama, ada pesan masuk lagi. Mungkin karena tidak ada balasan.

Kamu parah banget, Vin? Sampai enggak bisa balas pesan? Di rumah sakit mana? Aku mau jenguk.

Jeda lima belas menit berikutnya lagi, dia mengirim pesan kembali.

Vini, aku khawatir. I'm your boss! Answer me!

Setelah itu ada jawaban yang sudah pasti bukan aku yang mengetik.

I'm her husband. So what?

Aku mengatup kedua bibir melihat jawaban yang tertulis, menahan agar tawa tidak lepas. Sudah pasti itu Andra, dia menjawab dengan menggemaskan. Sepertinya pesan ini yang membuatnya kesal tadi.

Ups! Sorry. Aku hanya ingin tau kabar Vini, karena kata Bian, dia pingsan. Apa Vini baik-baik saja?

Not your business!

I'm her boss.

I'm her hubby.

Aku harus tau keadaan karyawanku.

Diam! Atau Vini akan segera submit
surat pengunduran dirinya.

Suami egois!

Boss gatel!

Sudah. Berhenti sampai di situ. Lucu sekali. Pria-pria dewasa yang kekanakan.

Kuletakkan ponsel di atas kasur, kemudian duduk mendekap kedua lutut yang terlipat lekat di dada. Menoleh menatap Andra dan bersyukur. Bersyukur karena selalu ada dia di sisiku.

Dulu aku masih sangat kecil, ketika Bibi membawaku ke panti. Kecelakaan tabrak lari yang dialami Ibu di depan mata, membuatku tertekan. Ada darah, sepeda anak-anak, dan keramaian yang membuatku merasa mual.

Seharusnya, Ibu tidak perlu mencoba membantu bocah laki-laki yang terjatuh di tengah jalan. Kalau dia diam saja dan tidak sok berjiwa sosial, mungkin mobil sialan itu tidak menyambar dan merengut nyawanya.

Sial. Memikirkannya saja, aku sudah menjadi mual.

Segera kupejamkan mata dan merapatkan mulut ke lutut. Jangan muntah. Jangan sampai aku muntah.

"Kamu baik-baik aja, Sayang?" Tiba-tiba suara Andra terdengar begitu dekat, bersamaan dengan usapan di kepala. "Mau dipeluk?" tanyanya lagi.

Belum juga kujawab, tubuhku sudah amblas dalam dekapan.

"Aku cuma sedikit mual," ucapku dengan wajah yang rapat di dadanya.

"Hmm, apa kamu melakukan konsultasi dengan psikiater atau psikolog? Aku enggak mau kamu kayak gini terus." Andra terdengar cemas.

"Enggak usah. Lagian enggak setiap hari seperti ini," tolakku.

"Kamu yakin?"

"Seratus persen."

Andra merenggangkan pelukan, dan meraih kedua lenganku. Dia sedikit mundur agar bisa melihat wajah ini. Otomatis kurekahkan senyum, mencoba menunjukkan kalau aku sudah baik-baik saja.

"Kamu tau, 'kan, kalau aku bakal lakuin apa aja buat kamu?"

Aku mengangguk.

"Good." Andra balas tersenyum, tangannya bergerak mengacak rambutku, kemudian turun lagi di lengan.

"Kapan kita pulang?' tanyaku. Aku tidak kerasan di rumah sakit, tentu saja. Siapa yang mau berlama-lama di tempat ini?

"Besok." Andra melepas lenganku, kemudian memaksaku berbaring. "Sekarang istirahat dulu."

Aku merengut. "Maunya sambil dipeluk," pintaku manja.

Andra menghela napas, merengut, tapi detik kemudian tersenyum. Akhirnya dia naik ke atas ranjang, berbaring, dan menarikku masuk ke pelukan, sebelum menarik selimut untuk menutupi tubuh kami berdua.

"Uhm, bisa enggak ya request king size buat ranjang rumah sakit?" celetuknya sambil mengeratkan dekapan. "Aku kayak mau jatuh."

"Itu seninya." Aku tertawa singkat. "Makanya kita harus tidur dengan rapat dan saling berpelukan. Supaya enggak jatuh."

Andra tiba-tiba menarik wajahku ke dadanya, gestur tubuhnya berubah protektif.

"Aku enggak bakal biarin kamu jatuh, Vin. Never."

❤❤❤

Siang ini, ketika mobil Andra memasuki halaman rumah, aku bisa melihat Clara berlarian dari teras rumahnya menuju rumah kami. Ketika akhirnya kami turun dari mobil, Clara langsung mendekap pinggang ayahnya.

"Ada apa, Clara?" Andra bertanya dengan cemas. Dilepasnya dekapan dan berlutut di hadapan puteri-nya. Aku segera melangkah ke sisi mereka, memperhatikan Andra yang sudah merangkum tubuh Clara lagi ke pelukan.

"Apa enggak bisa Clara punya orang tua yang normal aja? Aku enggak suka begini." Clara merengek, sementara hati ini tetiba berasa nyeri.

Andra mendongak, menatapku yang sedang memandang mereka dengan pedih. Kepalanya bergerak, memintaku untuk masuk lebih dulu.

Sebenarnya aku ingin tetap berada di sini, tapi aku tahu kalau itu akan memperkeruh keadaan. Jadi, dengan patuh aku melangkah masuk. Sekilas ekor mataku bisa menangkap sosok Lia di teras rumah, dia membekap mulut dengan kedua telapak tangan, sementara sorot matanya terlihat bersedih. Tidak lama terlihat Andika menghampiri dari dalam rumah, dia langsung memeluk tubuh sang kekasih.

Aku terus melangkah masuk, sampai ke ruang makan dan membuka kulkas. Kuambil botol air dingin, gelas, menuang air ke gelas dan meminum airnya hingga tandas.

Orang tua yang normal?

Aku pernah punya sampai usiaku nyaris lima tahun. Lalu setelahnya terpisah-pisah. Meninggal dan melarikan diri. Setelahnya, aku sebatang kara. Aku pernah lupa hangatnya pelukan, sampai ibu kepala panti sering-sering memelukku setiap malam saat aku menangis di pojok kamar. 

Akhirnya aku terduduk di kursi makan, sendirian, dengan pikiran kosong sampai derap-derap langkah masuk tertangkap telinga. Mendongak, kutemukan Andra sudah duduk di seberang meja. Berhadapan denganku dengan wajah kusut dan bibir yang mengerucut. Napasnya terhela berkali-kali, sampai akhirnya pandangan kami bertemu. Ini pasti masalah mengenai orang tua normal yang dipinta Clara tadi. 

Untuk sesaat kami hanya berpandangan dalam diam, sampai akhirnya Andra menghela napas sekali lagi.

"Maafkan Clara, ya, jangan tersinggung. Entah kenapa dia bisa berpikir seperti itu. Kemarin tentang adik bayi, sekarang tentang orang tua normal. Ah! Aku enggak ngerti kenapa dia bisa---"

"Aku enggak tersinggung." Kupotong ucapan Andra yang terkesan terburu-buru. Suamiku itu langsung diam, menatapku dengan serba-salah. "Aku cuma kasihan. Aku kasihan sama Clara ...."

Lalu, kembali kami berdua termenung. Tak ada percakapan lain. Berhenti sampai di situ. Pikiranku melayang. Ada rasa nyeri karena paham apa yang Clara minta, tapi tidak sanggup memenuhi. Entah bagaimana dengan Andra, aku tidak tahu apa yang ada di benaknya saat ini.

Sampai sore menjelang, kami sama sekali tidak membahas hal itu. Namun, aura sudah jelas berbeda. Andra terlalu diam. Dia tidak menggodaku, dan sibuk dengan ponselnya sejak tadi di sofa depan teve. Dan meski kami duduk di sofa yang sama, sepertinya channel yang tayang di hadapan, hanya aku yang menonton. Itu pun tanpa memahami isi dari acara. 

"Bukankah dua pasang lebih baik daripada sepasang?" Andra tiba-tiba melontarkan pertanyaan, membuatku yang sejak tadi tidak fokus, tersentak.

"Hm?" Aku menoleh. Suamiku itu masih terlihat menatap ponsel.

"Aku nanya. Bukankah dua pasang itu lebih baik, daripada sepasang?" Dia menoleh juga ke arahku, membuat mata kami bertemu.

Aku mengerjap. Bingung dengan arah pertanyaan.

"Apa aku perlu menatar Clara tentang cara bersikap dan menghadapi kenyataan? Aku sama sekali enggak melarikan diri, enggak meninggalkannya, dan mencoba berkompromi. Kamu bahkan," pandangannya berubah miris, "jadi harus ikut-ikutan. Aku tau, kamu enggak nyaman."

Aku berusaha untuk tidak mengubah ekspresi wajah. Menjaga agar Andra tidak tahu kalau aku mengamini ucapannya, tentang perasaan yang tidak merasa nyaman.

"Siapa yang tahan, tinggal di sebelah rumah mantan istri suaminya. Aku tau itu, hanya selama ini pura-pura enggak tau. Demi siapa? Demi Clara!" Wajah Andra terlihat gusar.

Aku meneguk liur sendiri. Entah ke arah mana cerita ini akan bergulir.

"Kita pindah!" Tiba-tiba dia berseru. Seakan memberikan ultimatum dengan yakin, meski masih terdengar sumbang di telinga. "Biar bocah itu tau, seperti apa orang tua yang enggak normal sebenarnya."

"Andra ...." Telapak tangan kananku cepat menyentuh pipi kirinya. Mengusap pipi itu lembut dengan ibu jari. Andra terlihat terengah, aku tahu dia sedang tidak bisa berpikir jernih. Sungguh, demi apa pun, aku ingin pindah. Namun, saat ini, ketika Clara sedang merajuk, bukankah terlampau egois untuk pergi? Bagaimana kalau pada akhirnya nanti, Andra menyesal?

"Kamu lagi enggak mau melarikan diri, 'kan?" tanyaku pelan, berhati-hati, berusaha tidak terdengar menuduh.

Andra tidak menjawab, tapi pandangan matanya menelisik melewati rongga-rongga mataku. Kemudian, pandangan itu berubah menjadi kepedihan.

Tiba-tiba telapak tanganku yang berada di pipinya, digenggam. Sontak kupandang dengan lebih fokus mata yang tetiba tampak berkaca-kaca.

"Vin. Emangnya salah, kalau kadang aku mau melarikan diri? Sekaliii aja ...."

Serasa ada yang menghunjam dada. Itu permohonan. Apa yang diucapkannya barusan adalah rajukan penuh permohonan.

Terlebih ketika ada air mata yang tumpah, membasahi telapak tangan kami yang masih berada di pipinya. Membuatku langsung menyadari, kalau sendok emas yang berada di mulutnya sejak lahir, tidak menjamin ketenangan batin apalagi kebahagiaan.

Aku masih bertanya-tanya, tentang apa yang membuatnya butuh diselamatkan saat muda dulu. Dan tentang bagaimana pada akhirnya, dia merelakan segalanya.

Ah ... Pangeranku, menangis.

Pic: Pinterest

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top