Nextdoor Neighbour
Kalau dihitung, pernikahanku dan Andra sudah berjalan tiga bulan dua minggu. Masih hangat dan mesra-mesranya. Andra lebih banyak di rumah, tentu saja. Sementara aku, sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan telko, selalu sibuk dengan urusan kantor.
Beberapa kali Andra menyarankan agar aku berhenti bekerja. Karena menurutnya, bagian saham yang diterimanya sudah sangat cukup untuk membiayai kehidupan kami.
Namun, aku menampik. Aku tidak bisa hanya berdiam diri dan meninggalkan karir yang kubangun setengah mati. Mati-matian.
Baru saja aku mengenakan gaun tidur ketika Andra masuk ke dalam kamar. Menatapku sekilas, lalu berjalan begitu saja masuk ke kamar mandi. Tidak lama terdengar air mengucur di kamar mandi, tanda pancuran menyala.
Aku bergerak naik ke ranjang, kemudian menyusup ke balik bed cover. Mataku nyaris memejam saat Andra mengusap lenganku. Perlahan mata membuka dan menemukan Andra yang tidak lagi bertelanjang dada. Piama dengan garis-garis hitam putih telah membalut tubuhnya.
"Ikut aku yuk ke sebelah," ajaknya.
Keningku sontak mengenyit. "Ngapain?"
"Clara minta ditemenin bobo lagi."
Aku mendengkus. Tadi ngerjain pe-er, sekarang nemenin tidur.
"Memang Lia enggak ada?" tanyaku.
"Ada. Cuma itu anak lagi manja. Mau sama papanya. Jadi mau nemenin apa aku sendirian aja ke sebelah?"
Sendirian? Tidak! Bisa jadi Andra sudah tidak ada rasa karena telah memiliki aku. Tetapi bagaimana dengan Lia? Dia masih sendirian, belum menikah lagi. Terlalu sering bertemu tidak baik untuk kesehatan hati pastinya.
Daripada terjadi hal yang tidak-tidak, aku bangkit berdiri. Menuju lemari dan mengambil jubah tidur untuk dikenakan. Kemudian beriringan dengan Andra menuju rumah sebelah.
Andra menekan bel yang tersambung dengan interkom di balik pagar. Biasanya akan ada suara menyahut sebelum pintu terbuka. Namun, sepertinya pemilik rumah sudah melihat siapa yang datang dari monitor yang pastinya terpasang di dalam sana, sama seperti yang ada di rumah kami.
Pagar otomatis terbuka. Andra meraih telapak tanganku untuk digandeng masuk. Menaiki anak-anak tangga menuju teras rumah dan pintu depan yang sudah terbuka.
Rumah ini sama persis dengan rumah yang aku dan Andra tempati. Maksudku sama adalah, benar-benar sama. Warna pagarnya, bentuk halamannya, warna dindingnya, semuanya!
Ini bukan kali pertama aku datang ke rumah sebelah. Ini sudah yang kesekian kalinya aku datang untuk menemani Andra yang sering kali mampir dengan alasan ... Clara.
"Clara mana, Li?" Andra bertanya ketika seorang perempuan berpotongan rambut bob yang matanya bulat, menyambut kami di ruang depan. Ruang dengan tatanan minimalis yang nyaris mirip dengan rumah yang aku diami, kecuali tidak adanya foto pernikahan besar pada dinding di atas bufet.
Sesungguhnya berkali-kali aku bertekad mengatur ulang dekorasi di rumah, tapi berkali-kali juga gagal karena pekerjaan yang terlalu sibuk. Jadi, salahku memang kalau rumah ini terasa sama, terasa familiar.
"Udah masuk kamar. Samperin gih," sahut Lia, sembari menyodorkan sebuah buku cerita ke tangan Andra. "Tema hari ini Rapunzel."
Andra menyahut buku cerita dari tangan mantan istrinya, lalu beranjak menaiki anak-anak tangga menuju kamar Clara.
Aku masih berdiri dengan tidak nyaman. Bisa-bisanya Andra meninggalkanku sendiri dengan Lia. Mau apa aku dengan dia?
"Mau teh?" Lia tiba-tiba menawarkan, membuatku berpaling ke arahnya. "Paling setengah jam doang Clara bakal tertidur." Dia tersenyum.
Aku meringis serba salah, kemudian mengangguk.
"Tunggu ya, Vin. Duduk aja dulu. Kayak tamu aja ...." Dan dia berlalu ke belakang.
Kayak tamu aja?
Kalau bukan tamu, lalu aku siapa di sini?
Aku menarik napas dalam diam-diam, menjatuhkan diri di atas sofa yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Sesekali melirik ke anak tangga, berharap Andra segera turun. Namun, sampai dengan Lia datang kembali dengan dua cangkir teh di atas nampan, Andra tidak juga turun.
"Silakan, Vin." Lia meletakkan salah satu cangkir pada meja di hadapanku. Kemudian dia mengambil tempat duduk pada sofa di seberang, dan meletakkan nampan berisi cangkir satunya lagi pada meja di sisinya.
"Makasih," sahutku sambil tersenyum kikuk, yang disambut dengan senyuman hangat terlihat tulus.
Kadang aku bingung mengapa Andra dan Lia yang selalu terlihat ramah bisa berpisah. Apa yang kurang dengan perempuan ini? Nyaris tidak ada. Semampai, dengan mata bulat dan bibir tipis berwarna merah muda, jangan lupa hidung bangir yang membuatnya terlihat seperti boneka hidup.
"Maaf ya, Clara masih kelewat manja. Maklum, masih jadi cucu satu-satunya dari sisiku juga Andra. Jadi gitu, deh."
Ucapan Lia yang seperti ini bukan baru pertama kali kudengar. Sudah berkali-kali sampai aku hapal kata per kata. Jadi, aku menarik senyum seraya meraih cangkir teh dari meja untuk kusesap perlahan.
Seketika hanya ada diam di antara kami berdua. Lia terlihat sesekali mencuri pandang ke arahku yang melakukan hal yang sama. Sesekali melirik ke anak tangga, sesekali bersirobok dan saling melempar senyum sungkan.
"Li ...."
"Vin ...."
Berbarengan. Terdiam sejenak, lalu tertawa berderai bersamaan.
"Ini aneh," ucapku saat tawa kami mereda.
"Aku juga ngerasa begitu." Lia mengamini.
"Kamu tau, kan, gimana pandangan orang-orang ke aku ketika tau Andra menikahiku, ditambah rumah kita bersebelahan ...."
"Ini pembagian harta gono-gini, Vin. Dulu kami memang sengaja membeli dua rumah yang bergandengan, rencananya untuk Clara. Supaya dia enggak perlu jauh-jauh dari kami nantinya. Tapi ternyata keadaan berkata lain ...."
Aku menghela napas. Ini juga bukan hal yang baru kudengar. Diulang-ulang.
"Masalah omongan orang, abaikan saja ...." Sama. Yang ini juga bukan kata-kata baru.
Masalahnya, bagaimana aku bisa mengabaikan kalau mata orang-orang itu seakan hendak menerkamku hidup-hidup setiap kali bersinggungan? Tidak terkecuali ayah dan ibu Andra. Gestur tubuh dan cara mereka menyapaku seakan berkata, kalau aku yang bersalah atas perceraian anak mereka dengan Lia.
Padahal, apa hubungannya? Aku bertemu Andra ketika dia sudah resmi bercerai dengan si mantan istri.
"Kamu enggak mau nikah lagi?" tanyaku. Kalau dia menikah lagi, setidaknya aku berharap orang-orang itu sedikit terbuka pikirannya. Tidak lagi berspekulasi yang tidak-tidak, tidak lagi memandang seakan hendak menguliti.
"Belum ada yang co--"
"Akhirnya Clara bobo juga ...."
Suara Andra serta langkah-langkah di anak tangga membuat ucapan Lia terputus. Bersamaan kami menoleh ke arah anak tangga, Andra terlihat baru saja menjejak di anak tangga terakhir.
"Itu teh melati, ya?" Andra menatap cangkir seraya mengendus, melangkah mendekat ke arah kami untuk kemudian mengambil cangkir milikku, meminum teh di dalamnya hingga tandas. Kemudian, dia melirik ke arah cangkir di sisi meja milik Lia, dan tangannya mulai bergerak.
Mataku membelalak memperhatikan pergerakan tangannya. Tidak rela kalau Andra meraih cangkir milik si mantan istri dan minum dari cangkir yang sama. Pikiranku kotor. Bertukar liur secara tidak langsung, berciuman dengan tidak sengaja, aku tidak rela ....
"Kamu mau teh? Aku bikinin." Lia menawarkan sembari mengangkat gelas dari meja dan diminum, membuat Andra menghentikan gerakan tangan serta menatap dengan kening berkerut ke arah Lia.
Aku menghela napas, bersyukur karena adegan nan haram itu tidak sampai terjadi. Memikirkan bagaimana mereka pernah bersama, berpelukan, berciuman, dan bercinta saja sudah membuat lelah hati. Apalagi sampai melihat mereka bertukar liur di depan mata?
Berdiri dari duduk, aku menatap ke arah Andra. "Kita pulang, Sayang? Nanti aku bikinin teh di rumah."
Andra segera menoleh ke arahku.
"Sekalian kita tuntaskan yang tadi sempat tertunda. Bathtub menunggu ...." Kukerlingkan sebelah mata. Sengaja. Berharap Lia melihat. Apalagi gestur Andra segera berubah, dengan wajah yang memerah dengan garis senyum tertahan.
Bukan, bukan aku mau membuat Lia cemburu. Hanya ingin memberikan sinyal bahwa hubunganku dan mantan suaminya sungguh hangat bahkan berapi-rapi. Ingin menebalkan garis batas di antara mereka, hendak mengingatkan bahwa aku si pemegang kendali atas suamiku.
"Belum sempat mandikah sepulang kerja?" Lia mengerutkan kening ke arahku, memindai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku memakai gaun tipis di balik jubah tidur, adalah bodoh jika Lia berpikir aku mengenakan pakaian tidur sebelum membersihkan diri.
"Udah ...," sahutku, sambil mengapit lengan Andra yang sudah berdiri di sebelahku.
"Oh!" Lia nyaris menjerit, seakan menyadari suatu hal. Aku menatapnya bingung, seraya mengeratkan pegangan pada lengan Andra.
"Bathtub!" serunya lagi. "Jangan sampai tergelincir kayak dulu, Ndra. Kamu kalau keseleo lama sembuhnya ...." Lia mengulum senyum, jelas sekali sedang menahan tawa.
Entah bagaimana rupaku saat ini. Yang pasti, aku sudah tidak berselera lagi dengan bathtub.
Sialan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top