Love

Aku duduk dengan tegang di sofa ruang tamu berwarna krem yang mewah. Sama mewahnya dengan dekorasi-dekorasi rumit di ruang tamu yang megah. Di hadapanku, Mama dan Papa mertua terlihat duduk seraya menatapku tajam. Sementara Andra, sibuk di ruang makan. Mencari-cari M & M's favoritnya.

"Gi-gimana kabarnya, Ma, Pa?" tanyaku mencoba memecahkan ketegangan, tapi suara yang keluar entah mengapa terdengar seperti mencicit.

"Baik." Mama menjawab singkat.

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Berharap jawaban yang sedikit panjang, agar bisa kutimpali-kutimpali dengan pertanyaan lain. Kemudian hening. Astaga, aku benci keheningan!

Aku nyaris kembali membuka mulut ketika suara Andra terdengar membahana, "Kenapa M & M's-nya cuma dikit, sih, Ma?!"

Entah mengapa aku jadi tegang mendengar seruan Andra. Ditambah kedua mertuaku yang masih menatap tajam meski keduanya memberi ekspresi datar.

"Ke Amerika kalau mau yang banyak." Papa mertuaku yang menyahut. Suaranya berat dan dalam. Kalau aku bilang, kayak suara angkatan-angkatan bersenjata itu. Sialnya, dia berbicara seperti itu dengan wajah yang terus lekat padaku.

"Ah benar juga!" Lalu terdengar langkah-langkah yang mendekat. Andra tampak di ujung ruang, kemudian bergerak ke arahku dan duduk di sebelahku. Dengan santai dirangkulnya leherku dengan salah satu tangan. "Kita jalan-jalan yuk ke US?"

Seperti tadi, aku nyaris membuka mulut. Namun, kali ini Mama mertua yang menyahut.

"Enggak usah ajak Vini. Sendirian aja. Vini, 'kan, punya karir di sini," katanya. Mengangkat salah satu alis ke arahku, lalu menoleh ke arah Andra dan tersenyum.

Kuhela napas perlahan, mencoba menahan perasaan. Ini bukan hal baru. Mereka memang tidak pernah menutupi ketidaksukaannya padaku.

"Kalau enggak sama istri. Aku di sini aja." Dan suamiku, selalu membela.

Aku menoleh pada Andra, mencubit pahanya. Sebagai peringatan agar dia tidak membantah atau menyahuti dengan tidak sopan.

Namun, Andra semakin menjadi. Dia malah mengecup pipiku dan berkata lagi, "Kalau ke US ya harus sama kamu, dong, Sayang. Ngapain cubit-cubit? Kode, ya? Mau coba bikin bayi di kamarku yang di sini? Lebih luas dari kamar kita di rumah." Matanya berkedip-kedip.

Papa mertuaku tetiba berdeham kencang, Mama mertuaku mungkin sedang mengelus dada, sementara aku?

Sepertinya wajahku memanas karena malu segaligus sebal dengan kelakuan Andra. Kenapa dia sepertinya tidak sedang berusaha memperbaiki hubunganku dengan orang tuanya? Ini hanya akan membuat segala hal semakin ruyam untukku.

"Kenapa enggak ajak Clara ke sini?" Topik pembicaraan berubah. Andra mengalihkan pandangannya dariku ke Papa yang barusan bertanya. Aku segera menunduk. Masih malu karena kecupan dan ucapan Andra tadi.

"Enggak sempat. Tadi jemput Vini dulu," jawab Andra.

"Lebih mentingin Vini dari Clara?" Ini Mama mertua yang bertanya.

"Keduanya sama penting buatku. Istri dan anak." Andra terdengar berdecak. "Mana bisa milih yang lebih penting?"

"Pinter ngeles kamu sekarang." Mama mertua terdengar lelah.

"Kamu kapan balik ke kantor?"

Pertanyaan Papa mertua pada Andra, membuatku yang masih menunduk menahan napas.

"Masih cukup share saham aja." Suamiku terdengar meringis. "Aku enggak kekurangan. Vini masih sejahtera."

Tiba-tiba suara meja kaca yang dipukul terdengar memekakkan telinga. Aku semakin menunduk, tapi Andra semakin menjadi.

"Kenapa? Papa marah? Sama! Andra juga! Aturan apa itu? Kenapa harus sama Lia? Kenapa enggak sama Vini?!"

Oke, ini perdebatan baru. Aku tidak pernah mendengar pembahasan mengenai; kenapa Lia, kenapa Vini. Aku penasaran, apa bedanya aku dan Lia.

Aku sedikit mengangkat kepala, mencoba mengintip apa yang terjadi. Terlihat Papa mertua yang sudah berdiri dari tempatnya duduk. Sementara Mama yang menutup wajah dengan kedua tangan, sepertinya sedang menahan tangis.

"Pembangkang ...." Suara Papa seakan berdesis.

"Aku pulang!" Andra merunduk meraih pergelangan tanganku. Serta merta kepala yang tadinya hanya setengah terangkat, mendongak sempurna.

Mata Andra terlihat memerah, bisa jadi menahan amarah. Papa mertua yang sama merah matanya, dan Mama mertua yang perlahan melepas telapak tangan dari wajahnya, membuat basah di matanya terlihat jelas.

Andra menarikku paksa saat aku masih tercengang dengan pemandangan di depan mata. Cepat aku bangkit berdiri.

"Vini pulang, Ma, Pa ...," pamitku tanpa balasan. Andra terus menarik lenganku agar mengikutinya keluar, membuat langkah ini terseok demi mengimbangi langkah lebarnya.

***
Andra sama sekali tidak berbicara di dalam mobil. Wajahnya kusut, pastinya sekusut hatinya saat ini. Katakan saja aku sok tahu, tapi aku yakin kalau perasaan hatinya sedang hancur-hancuran sekarang. Mengingat bagaimana tadi matanya kemerahan menahan amarah, beradu pandang sengit dengan papanya.

Tidak lama Andra terlihat merogoh-rogoh saku celananya. Sepertinya dia kesulitan menarik sesuatu keluar dari dalam sana.

"Ndra ...," panggilku, ketika melihat wajahnya memerah sepertinya karena kesal karena tidak berhasil juga menarik benda di saku. "Ndra ...."Sekali lagi kupanggil dia karena tidak menyahut.

"Keluar juga! Sialan!" Andra mengumpat, sambil menarik plastik-plastik M & M's dari saku celananya. Tidak hanya satu, tapi banyak di kedua saku celana. Hal ini otomatis membuatku ternganga dan geli sekaligus.

Dengan cepat Andra melempar semua kemasan M & M's ke jok belakang mobil, lalu mendengkus dan kembali melayangkan pandangan ke jalan di depannya.

"Kamu enggak mau M & M's-nya?" tanyaku sambil melirik ke jok belakang.

"Males makannya. Udah enggak napsu!" sengitnya sambil mengerucutkan bibir.

"Terus, napsunya ngapain?" tanyaku, mencoba memancing senyum yang raib sedari tadi untuk merekah di bibirnya.

"Ntar aku kasih tau pas di kamar. Asal kamu mau topless depan aku. Sesekali telanjang dada tanpa kuminta gitu, supaya enggak usah ribet-ribet buka bra kamu."

Aku melongo sesaat, tapi kemudian tawaku mau tidak mau pecah. Pasalnya dia mengatakan semua itu tanpa merubah ekspresi kesalnya. Bahkan ketika aku tertawa sampai rahang ini terasa sakit, Andra hanya melirik sekilas dengan pandangan aneh sebelum kembali konsentrasi dengan ramainya jalan.

Masih beberapa saat hingga akhirnya tawaku mereda, kemudian menghela napas untuk menyelesaikan sisa-sisa tawa. Kembali menatap sisi kiri wajah Andra yang masih juga menekuk. 

"Aku sayang kamu, Ndra. Sayang banget," kataku sambil mengusap lengan kirinya. "Makasih udah selalu belain aku."

Aku masih mengusap lengannya, sampai akhirnya Andra menghela napas keras-keras. Lalu, saat ia menginjak rem karena lampu lalu lintas yang menyala merah, dia menoleh menatapku.

"Kewajibanku sebagai suami, Vin." Dia meraih tanganku yang mengusap lengannya dan dikecup. "Aku juga sayang banget sama kamu." Senyum pun akhirnya mengembang di bibirnya.

"Makasi, Ndra ...."

"Iyah." Dia mengangguk. "By the way, minggu ini belum lima kali. Ntar ya. Jangan suka pura-pura lupa." Lalu, dia nyengir dengan tampang jahil.

Andra kadang memang semengesalkan itu. Tapi aku suka.

***

Mobil kami memasuki pekarangan ketika sore telah berganti malam. Begitu turun dari mobil, suara Clara terdengar memanggilku dan Andra dengan ceria. Dengan segera kami menghampir dia yang berdiri di halaman rumahnya, lekat dengan pagar pembatas.

"Sayang belum tidur?" Andra bertanya seraya mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala gadis kecil kesayangannya.

"Belum. Tadinya mau minta dibacain cerita lagi sama Papa." Clara menyahut dengan senyum lebar. "Tapi enggak jadi. Soalnya Mama bilang, mau bacain cerita buat aku."

Andra tersenyum. "Jangan kemalaman tidurnya. Besok sekolah, 'kan?"

Clara mengangguk, lalu melirik ke arahku. "Apa kabar, Tante Vin? Tadi pagi Mama bilang agak khawatir sama Tante dan Papa. Tapi aku enggak tanya kenapa. Enggak peduli juga, sih, soalnya aku lebih khawatir dengan," Clara mengedipkan sebelah matanya, "you know, 'kan, Tante?"

Aku hanya menghela napas, lalu dengan sangat terpaksa tersenyum.

"Jangan lupa ya, Tante ...." Clara tersenyum penuh arti.

"Kalian punya rahasia?" Andra menoleh ke arahku, kemudian berkedip secara diam-diam, seolah-olah dia tahu rencanaku dan Clara yang sesungguhnya. Padahal, dia tidak tahu persis apa rencananya, karena aku tidak pernah memberitahu hal yang sebenarnya. Bahwa Clara ingin aku menggagalkan rencana Andika itu melamar Lia.

"Enggak! Enggak ada, Pa!" Clara buru-buru menepis pertanyaan ingin tahu ayah-nya. "Sampai besok!" Bocah itu tiba-tiba saja pamit, berlarian menjauh dan menghilang masuk ke dalam rumahnya.

Aku berbalik hendak beranjak masuk, ketika tiba-tiba Andra menarik lenganku.

"Kenapa, Ndra?" Aku menghentikan langkah dan berbalik lagi untuk menatapnya.

"Kenapa Lia harus khawatir sama kamu dan aku?" tanyanya dengan kening berkerut.

Sontak aku bingung harus bagaimana menjawab. Sepertinya ini mengenai percakapanku dengan Lia tadi pagi. Tentang Andra yang dicopot jabatannya karena bercerai dengan Lia. Aku merasa tidak berdaya untuk mengatakan hal itu saat ini.

"Enggak, kok. Enggak ngerti juga kenapa Clara bilang gitu." Aku mencoba berdalih, melebarkan senyum yang semoga tidak terlihat aneh karena dipaksakan. "Ayo masuk!" ajakku pada Andra yang terlihat tidak puas dengan jawaban yang didengarnya.

Namun, setidak puas apa pun dia dengan jawabanku barusan, tetap saja dia meraih telapak tanganku untuk digandeng masuk. Tidak ada tanya jawab lagi, hanya genggaman erat di telapak tanganku sampai kami masuk ke dalam rumah.

Sampai di ruang tamu, bukannya melepas genggaman, Andra malah menarik tubuhku rapat ke tubuhnya. Dia membuatku mendongak, sementara tangannya mengelus kepalaku dengan lembut.

"Lia bicara apa? Apa dia membicarakan mengenai aku yang dilepas jabatan karena bercerai dengannya?" Andra bertanya dengan napas yang menerpa wajah, sementara pandangannya menyelisik. "Karena itu kamu menanyakan tentang perasaanku mengenai jabatan itu siang tadi. Iya, kan?"

Aku bergeming. Dia bisa menebak dengan baik. Atau aku terlalu kentara mempertanyakan mengenai hal itu sepanjang hari ini, tanpa menyadari kalau Andra selalu memperhatikan setiap kata yang terucap dari bibir ini.

Aku menggigit bibir bawah dengan cemas. Rasanya mau menangis, menyadari kalau satu-satunya cara agar dia bisa kembali ke perusahaan adalah dengan kembali pada Lia. Tidak sanggup rasanya harus melepaskan dia yang kucinta. Satu-satunya permintaan terbesarku di sela-sela doa sejak pertama kali kami bertemu, adalah bahwa dia bisa menjadi seseorang yang mencintaiku sampai mati. Sama seperti aku yang rela melakukan apa saja untuknya. 

Namun, berpisah? Bukankah itu berlebihan?

"Ini salah aku, Ndra." Aku berucap dengan suara yang gentar, menahan agar mataku yang memanas tidak sampai meneteskan air mata. "Tapi, kalau memang satu-satunya cara adalah kamu harus bersama dengan Lia ...." Rasanya sesak, ya, Tuhan. Rasanya sesak mengatakan tiap kata dalam kalimat yang mengalir dari bibir ini. "Kalau itu satu-satunya jalan. A-aku ... a-aku ...."

Luruh sudah air mata tanpa berhasil mengucapkan kata. Terlebih ketika Andra mengecup bibirku pelan dan lembut. Meletakkan kepalaku dengan hati-hati di dadanya. 

Aku bisa mendengar suara jantung yang berderap-derap lebih cepat. Itu karena kerja jantungnya yang selalu lebih cepat setiap lekat denganku. Setidaknya, itu yang pernah diakuinya padaku. Suara jantung yang mungkin harus segera kuhilangkan dari ingatan, jika pada akhirnya dia harus mengambil keputusan penting. Meski Andra pernah bilang, kalau cinta saja cukup untuknya, bukankah untuk seorang lelaki, harga diri dan harta ada pada tingkatan lebih tinggi dibanding cinta?

"Kenapa kamu selalu saja ragu padaku, Vin?" Andra berbisik di kepalaku. "Apa kamu enggak percaya, kalau kamu aja sudah cukup untukku?"

Sialnya aku malah tersedu di dadanya.

"Kamu tau ...." Andra mendorong bahuku sedikit mundur, dan meraih dagu ini dengan jemarinya agar mendongak. "Kamu kutemukan karena cinta. Berbeda jauh dengan dia yang kunikahi karena sebuah kewajiban." Tangannya bergerak mengusap wajahku, merapikan rambut-rambut yang berantakan ke belakang telingaku. 

Air mataku semakin tak terbendung terlebih ketika dia mengecup bibirku lembut dan dalam sebelum berkata, "Enggak bisa dibandingin. Kamu, segalanya buat aku. Cinta ...."

Verlita's speaking:

Demi apa pun, aku mau kloningannya Andra!

Picture: Pinterest
Hyun Bin as Andra

Btw, di bawah ini M & M's

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top