Hit, Run, and Chocolate
Andra tertidur dengan kepala di pangkuanku. Dia sudah terlihat lebih tenang. Tangisnya tadi memang tanpa sengguk, hanya linangan air mata yang sulit berhenti, yang sialnya malah membuatku sakit hati.
Telunjukku bergerak menyusuri wajah Andra. Keningnya, hidungnya, bibirnya. Ternyata, semua yang terlihat indah selama ini, memiliki sisi ketakutannya sendiri. Dia ingin melarikan diri. Sama sepertiku, yang selama bertahun-tahun berpura-pura kuat, padahal rapuh di dalam sini. Sisi rapuh yang dengan mudahnya terpantik dengan keramaian, tabrak lari, dan sepeda anak beroda dua.
Bel di pintu depan tiba-tiba berdenting, disusul dengan ketukan tiga kali. Perlahan kuletakkan kepala Andra di sofa, dan bergegas ke pintu depan.
Begitu pintu kutarik, wajah Andika tampak di sana. Wajah yang telihat kusut, cemas, dan malu. Sepertinya dia agak terkejut karena aku yang membukakan pintu.
"Andra ada?" tanyanya.
"Ada," sahutku. "Cuma lagi tidur."
Terlihat dia menarik napas, terlihat ragu-ragu dan serba salah.
"Ada apa?" tanyaku lagi, karena merasa ada sesuatu yang penting hendak disampaikan.
Andika mengusap wajahnya dengan telapak tangan, kemudian menatapku lagi. "Kejadian siang tadi dengan Clara. Itu salahku ...."
Keningku berkerut. "Kenapa?"
"Karena aku lancang memarahinya, setelah tau kalau dia yang menyuapi ibunya cake stroberi." Andika menggigit bibir bawahnya. "Aku khilaf ...."
Kuhela napas, paham atas akar masalahnya sekarang. Clara terlalu sensitif. Sementara Andika, karena terkejut, menjadi lancang.
"Aku mau minta maaf. Khawatir kalau Andra berprasangka buruk," katanya lagi. "Aku hanya enggak habis pikir, itu sebuah nyawa. Nyawa ibunya." Diacaknya rambut sendiri, terlihat gusar, frustrasi.
"Bakal kusampaikan nanti ke Andra." Aku tersenyum, mencoba menenangkan.
Andika terlihat menghela napas, jelas ada kelegaan. Bibirnya akhirnya dapat melempar senyum.
"Kalau Andra mau aku datang menjelaskan langsung, bilang aja. Aku bakal datang."
"Jangan khawatir ...."
Andika mengangguk-angguk. "Terima kasih," katanya, kemudian berbalik. Namun, detik berikutnya, tubuhnya berputar lagi, kembali menghadapku. "Kamu, baik-baik aja?"
Mata ini segera mengerjap, bingung.
"Kamu baru balik dari rumah sakit karena pingsan, bukan? Kamu baik-baik aja?" Andika menjelaskan pertanyaannya.
"Oh! I'm fine, thanks. Ada kecelakaan kemarin, tabrak lari. Aku langsung mual," sahutku, kemudian tersenyum miris. Mengingat itu saja, aku jadi benaran mual.
Andika segera mengatup kedua mulut, keringat terlihat mengucur dari pelipis. Respon yang tidak kuharapkan.
"Are you ok?" tanyaku khawatir.
Andika tidak segera menjawab, meski terlihat jakunnya bergerak seakan menelan liur. "Tabrak lari? Wow!" Lalu dia tertawa, tawa yang terdengar seperti kepahitan.
Tidak lama, Andika kembali berpamitan dan benar-benar pergi. Kutatap dia sampai benar-benar keluar dari pagar rumah dan masuk ke halaman rumah Lia. Aku pikir lelaki itu akan kembali masuk ke dalam rumah sang kekasih, tapi ternyata tidak. Karena dia segera menaiki Pajero hitam-nya, dan berlalu dari rumah itu.
Aku tersenyum tipis, menyadari kalau aku dan Andika memiliki satu kesamaan. Mual karena aksi tabrak lari. Well, tapi siapa yang tidak akan mual? Darah yang mengalir di aspal, tanpa ada manusia yang bisa disalahkan.
***
"Aku ternyata enggak bisa mendapatkan rumah baru secepat itu."
Perkataan Andra membuatku mengangkat kepala dari sarapan di atas meja. Aroma nasi goreng yang menyeruak, tidak lebih membuatku tertarik dari pada ucapan suamiku barusan.
"Kayaknya, kita tinggal di apartemen dulu aja. Hans merekomendasikan apartemen yang nyaman." Andra berdiri bersandar pada meja kitchen set, dia bertelanjang dada, dengan cangkir berisi kopi terlihat berada di genggamannya. Suamiku itu menatap dengan sudut-sudut mata yang tersenyum. Herannya, aku tidak melihat kalau senyum itu tulus. Ada kebohongan yang nyata-nyata terselip di sana. Lelaki ini, tidak pernah benar-benar menginginkan untuk pindah.
Tetapi, apa artinya, kali ini kami akan benar-benar pindah? Hans, temannya di perusahaan properti, sepertinya benar-benar sudah menyodorkan tempat sesuai minatnya.
"Kamu enggak senang kita pindah? Bukannya kamu udah lama minta kita untuk pindah?" Kening itu mengernyit, sementara bibirnya merapat pada pinggiran cangkir.
Aku menghela napas. Siapa yang tidak suka pindah dari sini? Tinggal di sini benar-benar menyiksaku dari segala sisi. Mantan istri suami, anak suami dengan mantan istri yang sulit untuk menjadi akrab, ditambah tetangga super nyinyir. Siapa yang tidak sangat bersyukur untuk pindah dari rumah ini?
Namun, kalau teringat Clara?
"Rumah ini, bakal kita apakan?" tanyaku setenang mungkin.
Andra meletakkan cangkir kopinya ke atas meja kitchen set, lalu mengambil duduk di kursi makan, berseberangan denganku. Di meja di hadapannya juga sudah ada sepiring nasi goreng, yang dibuatnya tadi untuk sarapan kami berdua.
"Kita bisa kontrakin," sahutnya.
Keningku berkerut. Merasa sayang sekali kalau dikontrakkan, dan ternyata yang menghuni nanti tidak apik. Bisa-bisa rumah jadi rusak.
"Enggak setuju?" Andra menatap menelisik, sesendok nasi goreng masuk ke dalam mulutnya. "Kalau dijual?"
"Duh, Ndra! Masa dijual?" Kali ini, aku benar-benar tidak setuju.
"Ya pilihannya cuma itu memang. Kontrakin atau dijual." Andra mengangkat kedua bahunya tak acuh. Kemudian sesuap demi sesuap nasi goreng masuk dengan lancar ke mulutnya. Dia tidak mengatakan apalagi, makan pun sembari menunduk, terlihat berkonsentrasi dengan makanannya.
Aku mendengkus, sedang tidak ingin memperpanjang masalah. Dengan bibir mengerucut dan rasa sebal yang sangat, kutundukkan kepala. Sama seperti dia yang duduk di seberangku, makan dengan hanya menatap piring dan hati yang dongkol.
Meski aku baru beberapa bulan menempati rumah ini, tapi aku tidak rela kalau sudut-sudutnya dirusak. Apalagi kalau sampai harus berpindah tangan? Rasanya ....
"Tiga hari lagi kita pindah."
Makanan yang ada di mulut, mau tidak mau tersembur keluar. Aku terbatuk tanpa terkendali, meraih serbet yang ada di sudut meja untuk menutup dan membersihkan mulut dengan segera. Andra dengan sigap mengulurkan gelas berisi air, yang segera kuminum sampai tandas hingga tetes terakhir.
"Tiga hari lagi? Sabtu ini?" tanyaku dengan terkejut setelah bisa mengendalikan diri.
Andra mengangguk. Matanya menelisik dengan khawatir. "Kamu enggak apa-apa, Sayang?"
"Secepat itu?" Aku tidak berniat menjawab pertanyaannya sama sekali. "Emangnya bisa pindah secepat itu? Bagaimana dengan perabotan? Barang-barang kita banyak!"
"Tinggalin aja. Di sana udah full furniture," sahutnya, kemudian meraih gelasnya untuk minum. Andra terlihat sangat santai, bibirnya tersenyum selalu ke arahku. Ini benar-benar menyebalkan!
Cepat aku bangkit dari duduk, menatap Andra dengan pandangan membunuh. Bahkan tidak ada percakapan apa pun sebelumnya. Tidak ada basa-basi untuk meminta pendapatku mengenai apartemen yang akan kami tinggali. Menjengkelkan!
"Salahku apa?" Andra bertanya. "Aku lagi berusaha mengabulkan permintaanmu untuk pindah selama ini. Salahku apa?" Dia mendongak, menatapku dengan pandangan teduh.
Mengabulkan permintaanku? Kalau dilihat dari bagaimana dia menangis kemarin, justru Andra yang mau melarikan diri.
"Mengabulkan pemintaanku, atau untuk memenuhi keinginanmu melarikan diri?" semburku dengan tajam.
Andra masih menatapku, pandangan teduhnya sama sekali tidak berubah. Kemudian, dia berdiri dari duduk dan melangkah mendekat. Setelah beberapa saat berdiri hanya dengan saling memandang, tiba-tiba saja dia merengkuhku dalam pelukan.
"Aku cinta kamu, Vini," bisiknya. "Sepertinya akan menyenangkan, kalau sekali-kali kita benar-benar hanya berdua. Tanpa ada yang mengusik, tanpa kamu harus menahan perasaan."
Aku berdebar. Aku menginginkan itu. Sangat! Pikiran tentang bagaimana hidup kami hanya tentang kami, benar-benar membuatku merasa senang.
Perlahan ketegangan mencair. Kutarik napas dalam-dalam, untuk kemudian kuembuskan kencang-kencang.
"Memang, kamu udah ngomong sama Lia dan Clara?" tanyaku. Tidak mungkin kami pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun pada mereka.
"Nanti. Barengan sama kamu. Abis kamu pulang kerja malam ini," sahutnya.
Kembali kuhela napas panjang dan dalam, mengatup kedua mata untuk mengusir perasaan tak menentu. Lalu teringat, kalau aku belum menyampaikan perihal kedatangan Andika kemarin saat dia tertidur.
Segera aku keluar dari dekapan Andra, membuat suamiku itu terkejut karena aku sedikit mendorongnya.
"Maaf. Cuma aku lupa bilang, kemarin Andika datang pas kamu lagi tidur," kataku.
"Ngapain?"
"Mau minta maaf. Katanya, kemarin Clara jadi seperti itu karena dia memarahinya."
Kening Andra mengernyit.
"Andika baru tau kalau penyebab Lia masuk rumah sakit adalah, karena Clara yang menyuapi ibunya dengan cake stroberi. Jadi dia marah karena terkejut. Sepertinya, Clara menjadi salah paham. Andika mau minta maaf sama kamu, karena udah marahin Clara."
Napas Andra terhela panjang. Kemudian, dia berdecak.
"Luar biasa anak itu." Dia menggelengkan kepala. "Enggak bisa dikasih tau banget."
"Namanya juga anak-anak." Kuulurkan tangan untuk mengelus pipi Andra. "Sabar ...."
Andra tersenyum, kemudian bibirnya mengerucut. "Dia keras kepala dan pembangkang," keluhnya.
"Mirip siapa?" godaku sambil mencubit gemas pipi Andra.
"Siapa?" Andra bertanya, seakan dia tidak tahu menahu tentang sifat Clara yang mirip dengan dengannya.
"Entar, aku kasih kamu kaca," sindirku, seraya menarik tangan dari pipinya dan melirik jam di pergelangan tangan. "Aku harus berangkat sekarang."
"Aku antar!" Dia menimpali.
Aku menatap suamiku itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia bertelanjang dada dan masih mengenakan celana training.
"Kamu belum mandi, Ndra ...."
"Gampang, ada parfum si penyelamat." Dia terkekeh, lalu berlalu meninggalkanku sendirian di ruang makan.
Aku sendiri sudah rapi sejak tadi. Stelan celana panjang dan blazer kotak-kotak yang senada sudah kukenakan dengan pas, meski kaki masih mengenakan sandal rumahan. Kurapikan piring bekas kami makan, mencuci dan meletakkannya ke dalam rak.
"Udah siap, Vin?!" Suara Andra bergema dari arah depan.
"Udah!" Cepat kukeringkan tangan dan tergesa hendak menuju kamar untuk mengambil tas dan sepatu. Namun, sebelum masuk ke kamar, terlihat Andra mengangkat kedua tangannya. Sepasang sepatu dan tas dengan warna senada, sudah disiapkannya untukku.
Suamiku, luar biasa.
***
"Apa kamu benar-benar yakin kita akan pindah?" tanyaku seraya melirik Andra yang duduk di balik kemudi. Aku masih belum yakin dengan kemauannya yang tiba-tiba.
"Kamu enggak mau?" tanyanya balik, tanpa mengalihkan padangan dari jalan.
"Mau, sih," sahutku. "Tapi apa kamu benar-benar yakin?"
"He'em ...."
"Bagaimana dengan Clara?"
Andra terdengar menghela napas. "Nanti aku jelasin. Lagian, dia bisa datang ke tempat kita nanti kapan aja dia mau."
Aku manggut-manggut, kemudian sibuk dengan ponsel yang berdenting. Sebuah pesan masuk. Dari Keevan.
Kamu ke kantor hari ini?
Itu isi pesannya.
Yes, Bos!
Balasku dengan cepat.
Kalau kamu masih belum baikan,
enggak masalah untuk izin satu hari lagi.
Aku udah baik-baik aja, Pak.
Baguslah kalau begitu.
Btw, Keevan. Bukan bos, apalagi Pak!
Aku terkekeh melihat balasan terakhir, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan berbalas pesan. Apalagi, Andra sudah melirik dengan curiga ketika aku tertawa singkat barusan.
"Siapa?" tanyanya, dengan gaya menyelidik seperti biasanya.
"Keevan. Bos aku," sahutku, tanpa menyembunyikan apa pun.
"Ck! Itu orang susah banget dikasih tau. Kenapa naksirnya harus sama kamu, sih? Kayak enggak ada cewek lain aja. Sebel aku tuh ...." Andra menggerutu.
"Kan yang penting, aku enggak naksir. Aku mah, naksirnya cuma sama kamu," ucapku bermaksud menggoda.
"Ah! Tetap aja aku enggak suka." Andra merengut. "Kamu resign ajalah, Vin. Aku masih sanggup biayain kamu."
"Iya aku tau. Nanti aku pertimbangkan," sahutku.
"Serius?" Andra benar-benar menoleh kali ini.
Sialnya, dia--kami--tidak menyadari kalau seseorang menyebrang di depan sana. Andai saja suara klakson yang bertubi-tubi tidak membuat Andra kembali menatap jalan di depannya dan menginjak pedal rem, bisa jadi ada nyawa yang akan melayang.
Mataku sontak terpejam, bersamaan dengan suara rem yang berdecit. Suara itu, ban dan aspal, benar-benar membuat jantungku berdetak kencang tak terkendali. Ditambah tubuh yang sedikit terpental ke depan, menambah sensasi ketegangan, meski berhasil tetahan berkat sabuk pengaman.
"Kamu baik-baik aja, Vin?"
Suara Andra terdengar seperti gema di telingaku yang berdenging. Tubuh ini masih bergetar hebat ketika sebuah dekapan tiba-tiba melingkupi.
"Are you oke, Vin?"
Usapan di lengan dan kepala, terasa berusaha menenangkan. Namun, tetap saja, butuh beberapa saat sampai akhirnya aku bisa mengendalikan diri dan mampu membuka mata.
"Maafin aku. Aku enggak hati-hati ...."
Mata Andra memerah, berkaca-kaca terlihat penuh rasa bersalah juga ketakutan.
Kulempar pandangan ke depan dari balik dekapan. Tidak ada yang tergeletak di atas aspal, tidak ada keramaian, tidak ada yang mati.
"Aku baik-baik aja, Ndra," bisikku, seraya merapatkan wajah di dadanya penuh kelegaan.
***
Entah kapan Andra menghentikan laju mobil di depan lobi kantorku. Yang pasti, aku tersadar ketika sabuk pengaman terlepas, sementara usapan di pipi terasa menenangkan. Ketika menoleh, terlihat Andra sedang mengusap pipiku seraya menatap cemas.
"Kamu bisa minta izin hari ini, 'kan? Kayaknya kamu masih shock," katanya, sambil terus mengusap pipi ini dengan punggung telapak tangan.
Aku tersenyum, kemudian menggeleng. "Aku baik-baik aja, Ndra. Cuma, aku enggak bisa bayangin aja kalau ada yang benar-benar tertabrak tadi."
"Aku pun, enggak sanggup ngabayangin. Aku benci keadaan kayak tadi. Karena enggak hati-hati, sebuah nyawa bisa aja ...." Andra segera menggigit bibir bawahnya, menarik tangan dari pipiku, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. "Ini membuatku sesak," keluhnya.
Mataku mengerjap. Melihat Andra sama tak nyamannya denganku ketika membicarakan mengenai kejadian tadi, membuatku merasa kalau kami memiliki kesamaan.
"Kita enggak perlu membicarakan ini kalau ternyata enggak terasa nyaman. Kemarin aku pingsan gara-gara lihat tabrak lari. Jangan-jangan kamu juga pingsan kalau berada di posisiku kemarin." Aku terkekeh. Namun, Andra malah menatapku dengan binar yang tidak bisa kuungkapkan dengan baik. Ada terluka, ada ketakutan di sana.
Maka, cepat kutarik kaus yang dikenakannya sehingga tubuh itu maju mendekat. Melekatkan bibirku di bibirnya dengan lembut, memejamkan mata, dan menikmati rasa nyaman untuk beberapa saat. Hingga bisa kurasakan, tubuh kami menjadi lebih rileks.
"Aku turun," pamitku seraya menarik bibir. Aku harus menyudahi kecupan yang intensitasnya mulai berubah seiring napas Andra yang mulai terdengar memburu, dan balasan yang menjadi intens juga menuntut.
Andra mendengkus kecewa, tapi akhirnya tersenyum juga.
"Nanti kujemput jam empat sore," katanya. Aku mengangguk, membuka pintu dan turun.
Aku melangkah menuju lobi. Andra sudah pasti tidak akan pergi jika belum melihatku masuk. Tetapi, baru juga sampai di ambang pintu lobi, sebuah suara memanggil.
"Vini!"
Aku berhenti, menoleh, dan menemukan Keevan sedang berjalan dengan langkah cepat ke arahku.
"Hai, Keev!" sapaku, saat melihatnya yang semakin mendekat. Sekilas kulirik, kalau mobil Andra masih belum beranjak juga dari depan lobi.
Keevan terlihat merogoh tasnya, dan mengeluakan sebuah benda panjang dengan bungkus berwarna gelap dari dalamnya. Begitu tiba di depanku, dia segera menyodorkan benda itu.
"Supaya kamu enggak sedih dan shock lagi ...."
Aku menunduk, dan menyadari kalau yang ada di tangannya adalah sebatang cokelat.
"Cokelat?" tanyaku bingung.
Keevan meraih pergelangan tangan kananku, dan memaksa memasukkan cokelat ke genggaman. Kemudian, ditariknya lagi tangannya. Gilanya, telapak tangan kanannya terangkat, lalu bergerak mengusap rambutku perlahan.
"Jangan takut, Vini. Hmm ...," ucapnya, membuatku membeku karena terlempar pada perasaan penuh nostalgia.
Namun, belum juga nostalgia itu tersusun sempurna, keping-kepingnya telah kembali berhamburan. Tangan Keevan tiba-tiba saja lepas dari kepalaku, dia tersungkur jatuh tanpa ampun.
Aku memekik terkejut, terlebih karena Andra terlihat telah berada di antara kami. Dia berlutut dengan gusar bersamaan napasnya yang memburu. Detik berikutnya, kerah kemeja Keevan sudah berada dalam cengkeraman telapak tangan kirinya. Sementara, telapak tangan kanannya telah mengepal di udara, bersiap untuk mendarat lagi.
Verlita's speaking:
Terima kasih untuk support-nya untuk Andra dan Vini ya. Kayaknya cerita ini akan jadi lumayan panjang. Bisa 30-40 chapters kalau dibayangan saya. Semoga kalian enggak bosan, ya ....
Btw, terima kasih untuk vote dan comments-nya, itu sangat-sangat-sangaaaatttt berarti dan bikin saya bersemangat. Tolong bantu shares juga dong, supaya banyak yang bisa kenalan dengan Andra dan Vini.
Makasihhhh!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top