Heir
Sudah larut, Andra pun sudah terlelap sebelum kutinggal ke ruang kerja. Diary merah sudah terbuka di atas meja, tepat di bagian kertas yang kosong. Sejujurnya aku sedang gundah perihal double date yang akan datang dalam beberapa hari lagi. Tentang apa yang harus kulakukan pada Andika, tentang apa yang harus kulakukan pada Clara.
Aku jadi ingat masa-masa saat di panti dulu, di mana kami--aku dan anak-anak lainnya--berbagi segalanya. Bahkan kami berbagi cinta dari ibu panti. Masa-masa ketika kami berjajar selepas mandi dengan handuk melilit tubuh, juga rambut yang basah. Menunggu giliran untuk dikeringkan, dibedaki, dan diberi pakaian oleh Ibu Panti dan pengasuh lainnya.
Saat ini aku pun sedang berbagi. Berbagi Andra dengan Clara. Pembagian yang menurutku kurang adil. Karena kemarin aku sadar, Clara ingin aku pun berbagi Andra dengan ibunya. Ini tidak adil.
Kuhela napas, meraih pena dari rak pensil di meja dan mulai menggores sebuah kalimat.
Lalu, apa sekarang aku pun harus berbagi hati?
"Aku enggak tau, kalau buku itu masih ada."
Suara yang mengagetkan, membuatku menutup diary dan mendongak dengan cepat. Andra terlihat bersandar di kusen pintu. Bertelanjang dada, dengan mata yang menatap teduh. Satu tangannya terlipat di atas perut seraya menopang siku tangan lainnya, yang menopang dagu.
"Aku pikir, kamu sudah tidur." Kumasukkan diary pada laci dan bangkit berdiri.
"Aku kebangun." Andra menatap lekat aku yang yang tengah berjalan menghampirinya. "Karena pas mau meluk kamu, kamunya enggak ada. Aku kehilangan ...."
Mau tidak mau senyumku mengembang mendengar ucapan konyolnya. Dan di menit berikutnya, aku sudah memeluknya. Sementara tangan-tangan Andra pun balas memeluk. Aku menyukai dengan sangat pria ini. Aku bisa berbagi dengan anaknya, karena sudah seharusnya demikian. Namun, sepertinya aku tidak akan rela untuk berbagi hati.
"Sayang ...." Aku berbisik di dadanya.
"Ya?" Aku merasa embusan napas di atas kepala.
"Kamu masih cinta Lia?" tanyaku perlahan dengan hati yang berdebar, dan telinga yang sengaja melekat di dada kirinya. "Masih?" Aku kembali bertanya, ketika debaran dadanya sedikit meningkat. Ada rasa kecewa, paham jika debarnya kemungkinan adalah jawaban yang tidak ingin kudengar.
Kutarik telingaku dari dadanya, melepas pelukan, dan mundur satu langkah agar aku bisa menatap wajah Andra dengan jelas.
"Aku cuma cinta kamu. Lia ... dia hanya ibu dari anakku. Enggak lebih ...." Andra berkata dengan tatapan tegas, yang justru membuatku kecewa. Dia tidak jujur, dan aku tahu itu.
"Terus, kenapa kamu berdebar tadi?"
"Kapan?" Dia mengerutkan kening.
"Tadi. Waktu aku nanya apa kamu masih sayang sama Lia." Kukerutkan kening dengan bibir mengerucut.
"Karena kamu meluk aku." Andra meraih salah satu telapak tanganku, dan ditarik agar rapat kembali. "Sini!" Diletakkannya kepalaku kembali ke dadanya. "Dengar enggak?"
"Dengar apa?"
"Jantung yang berdebar cepat ...."
Kuletakkan telinga di dadanya dengan penasaran, dan perlahan debar itu benar semakin cepat. Dia berdebar.
"Kamu enggak pernah ngeh apa? Kalau aku selalu berdebar ketika bagian tubuh kamu melekat padaku?"
Cepat kutarik kembali kepala, dan mundur lagi selangkah. Menatap Andra dengan mata menyipit.
"Karena segenap tubuhku tau, kemana cinta mesti berlabuh." Dia nyengir. Membuatku kembali mencibir, menggurutu karena senang sekaligus malu.
Andra menarik tubuhku lekat. Mengangkat daguku naik dengan salah satu telunjuk, sehingga matanya tepat menghunjam iris mataku.
"Kapan aku mendapat jatah selanjutnya? Minggu ini, belum lima kali, Nyonya Andra ...."
Kemudian tangannya merangkum tubuhku, dan tanpa aba-aba mengangkatnya keluar dari ruang kerja. Tujuannya ... sofa!
Astaga!
"Sudah lama sofanya enggak disapa. Dia kangen katanya," ucapnya seraya membaringkanku dengan hati-hati di sana.
Wajahku terasa panas dengan napas yang memburu, terutama ketika kecupan mulai mendarat di kening, sementara tangannya menarik tali gaun tidurku turun.
❤❤❤
"Kenapa dadakan?"
Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi, menoleh ke arah suara. Andra terlihat sedang menerima telepon entah dari siapa. Dia berdiri membelakangiku di dekat ranjang.
"Iya, Pap, Ndra tau. Tapi kenapa dadakan?"
Oh, papa-nya.
"Aku udah ada janji pagi ini. Lagian aku juga enggak ada dalam jajaran direksi, ngapain aku sidak?"
Aku duduk di hadapan meja rias, meraih pengering rambut, membuka handuk yang menutup kepala dan mulai mengeringkan rambut. Deru pengering rambut membuatku abai dengan lanjutan percapan Andra dengan papa-nya.
Masih juga tanganku sibuk mengeringkan, ketika tiba-tiba pengering di rebut dari tangan. Aku menatap cermin, menemukan Andra dengan bibir mengerucut yang menggemaskan. Kemudian tangannya mulai bergerak mengeringkan rambut.
"Papa?" tanyaku, sambil mulai menepuk-nepuk kapas yang basah karena toner ke wajah.
"Hu'um." Tangannya bergerak cekatan, memisah-misahkan rambut yang sedang dikeringkan. "Aku kayaknya enggak bisa antar kamu ke kantor. Mesti sidak ke kantor cabang Jakarta." Dihelanya napas seakan kecewa.
"Enggak apa-apa, aku bakal baik-baik saja." Aku tersenyum melalui cermin.
"Ada di jajaran direksi pun enggak, pake acara disuruh-suruh. Suka ngeselin Papa, tuh!" Dia memberengut. "Kasih aku jabatan kek. Malu-maluin banget!"
Tanganku yang sedang memulas bedak terhenti, ini menarik. Maksudku, aku tidak tahu kalau Andra sebenarnya menginginkan jabatan di perusahaan elektronik papa-nya yang sudah berskala multinasional. Aku pikir, dia sudah sangat nyaman dengan hanya mondar-mandir menikmati kucuran pembagian saham. Namun, statement-nya barusan membuatku penasaran.
"Kamu mau ada andil di perusahaan?" tanyaku.
Andra mengangkat kepala, menatapku melalui pantulan cermin. "Ngeliat kamu sibuk kerja, aku juga kepengen." Lalu, dia tertawa pendek dengan wajah serba salah.
"Kenapa kamu enggak dikasi megang perusahaan sama Papa?"
Andra menghela napas, kemudian kembali sibuk dengan rambutku yang hampir kering.
"Ndra? Sayang?" Kukerutkan kening.
"Karena aku menyalahi aturan," jawabnya pelan.
"Aturan?"
Andra mematikan pengering rambut, meletakkannya di meja, dan mengangkat-angkat rambutku. Sepertinya dia sedang memastikan bahwa rambut ini telah kering sempurna, sambil mencoba mengalihkan perhatian.
"Udah kering, Sayang," katanya sambil menepuk bahuku. "Yakin kamu enggak apa-apa sendirian ke kantor? Aku enggak bisa anter kamu hari ini."
Aku mengangguk. Jelas sekali kalau suamiku ini sedang mencoba melarikan diri dari pertanyaan.
"Good girl ...." Sebuah kecupan mendarat di keningku, kemudian di bibir. "Sampai ketemu nanti malam ...." Andra tersenyum, kemudian berlalu begitu saja keluar kamar.
Aku menoleh, mengamati punggung yang bergerak menjauh hingga hilang di balik pintu kamar.
Setelahnya kembali kutatap cermin, mencoba membayangkan mengenai peraturan apa yang dilanggar oleh Andra. Namun, buntu. Aku tidak nyatanya tidak mengetahui apa pun. Pun jika mau menanyakan langsung ke orang tuanya, kenyataannya kami tidak pernah dekat sama sekali.
Akhirnya kuusir rasa penasaran, kembali sibuk dengan riasan wajah.
❤❤❤
"Tante Vini!"
Baru saja aku hendak masuk ke dalam mobil saat suara Clara terdengar nyaring. Menoleh, kutemukan dia di balik pagar pembatas rumah. Bibirnya tersenyum, sementara kedua telapak tangannya mencengkeram besi pembatas.
"Hai!" sahutku, kemudian berjalan mendekati. "Enggak berangkat sekolah?" Kulihat dia sudah berpakaian seragam lengkap.
Clara mengangguk. "Lagi nunggu Mama." Lalu, telunjuk kanannya bergerak, seakan memintaku sedikit menunduk untuk menyejajarkan wajah kami.
"Apa?" tanyaku.
"Tiga hari lagi," bisiknya.
Segera kutarik wajah, kemudian menatap Clara yang terlihat tersenyum penuh arti.
"Jalan sekarang, Clara?"
Aku dan Clara menoleh ke arah suara. Terlihat Lia sedang berjalan dari arah teras mendekat ke arah kami.
"Hai, Vin!" sapanya seraya tersenyum. " Belum berangkat? Diantar Andra?"
Aku membalas senyum itu lalu berkata, "Ini udah mau jalan. Andra enggak antar, dia harus sidak ke kantor Jakarta."
"Oh?" Lia terlihat sedikit terkejut.
"Kamu udah baikan? Alerginya udah aman?" tanyaku, teringat akan kejadian kemarin.
Lia mengangguk, tapi matanya masih menatapku dengan lekat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal yang hendak dia ucapkan.
"Aku tunggu di mobil, Ma." Clara terlihat tidak sabar, kemudian berlalu meninggalkan kami menuju kendaraan ibu-nya.
"Dia ke kantor? Apa Papa udah ngasih posisi lagi buat dia?" Lia terlihat penasaran, dia bertanya dengan hati-hati.
Aku menggeleng. "Cuma disuruh sidak," sahutku jujur.
Lalu, sama seperti Lia yang penasaran, aku pun penasaran dengan statement-nya tadi. Posisi untuk Andra? "Andra pernah punya posisi di kantor?" Sekarang, aku yang menyelidik.
Mata Lia mengerjap, seakan tidak percaya dengan apa yang kutanyakan. "Tentu aja. Dia itu, 'kan, ahli waris."
Kali ini aku yang mengerjap, sedikit mencodongkan tubuh dengan sangat penasaran, berharap sebuah penjelasan. "Terus?"
"Terus, dicabut jabatannya," Lia berdeham, "pas cerai sama aku."
Segera, napasku terhela singkat.
Verlita's speaking:
Hai! Maaf karena baru bisa update. Sesungguhnya otakku terpecah karena harus menamatkan Keep Silent, sebelum tanggal 17 Juli ini, karena kuikutkan ke GMGChallenge2020. Dan entahlah, mau optimis bisa selesai. Doakan, ya!
Btw, jangan lupa vote, comment dan shares cerita ini ya. Karena itu akan membuatku semangat banget untuk terus lanjut.
Terima kasih, Gaes. Verlita loves you so very much! #luv
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top