Heart's Matter
"Selamat pagi, Tante Vini!"
Langkahku yang baru saja melewati ambang pintu untuk mencapai teras segera terhenti. Menoleh ke arah suara yang terdengar kelewat ceria, terlihat Clara yang sedang berdiri berhadapan dengan Andra. Mereka hanya terhalang jeruji pagar pembatas.
"Hai, Clara." Aku membalas panggilan yang tak biasa dari anak berseragam SD itu. Jarang sekali dia menyapa, meski beberapa kali kami bertemu dengan posisi seperti ini. Aku yang bersiap ke kantor, dan dia yang hendak berangkat sekolah. Biasanya yang kami lakukan adalah pura-pura tidak saling melihat.
"Mobilnya udah aku panasin, Sayang." Andra berkata sambil menunjuk ke arah mobil yang sedang menyala mesinnya. Terlihat matanya berbinar. Aku tahu, moment saling sapa yang sangat jarang terjadi ini, membuat Andra merasa senang.
"Makasih, Sayang," sahutku seraya bergerak mendekat.
Agak kikuk sebenarnya karena sadar dua pasang mata itu sedang mengikuti gerakku.
"Tante, Vin ...." Clara memanggil ketika tangan nyaris meraih kenop pintu mobil.
"Ya?" Segera aku menoleh lagi ke arahnya.
"Kata Papa, kantor Tante searah sama sekolahnya aku?"
Tanpa sadar aku menelan liur. Kalau searah terus maksudnya?
"Mama aku lagi sak---"
"Lia sakit." Kali ini Andra yang bicara. "Bisa tolong drop Clara di sekolahnya?"
Sial! Apa enggak bisa dia saja yang antar anaknya? Aku sangat yakin perjalananku ke kantor akan penuh dengan pertanyaan dan tekanan jika harus ditempuh bersama Clara. Dia pasti akan menanyakan mengenai perkembangan rencana kencan antara aku, ayahnya, ibunya, juga Om Andika-nya. Sementara Lia belum memberi jawaban sejak Sabtu, sejak Andra menyampaikan rencana konyol itu.
Boleh tidak aku memilih untuk menjaga mood baikku selang bercinta luar biasa semalam, agar tidak luntur? Aku masih ingin memahat kenangan perut kotak-kotak dan erangan puas yang terekam di benak, setelah dua malam berturut-turut Andra meminta bayarannya. Bayaran untuk hal yang sampai saat ini bahkan belum juga dijawab oleh mantan istrinya.
Boleh?
Seharusnya aku menggeleng, tapi yang ada aku mengangguk. Membuat ayah dan anak itu, dengan kompak memasang senyum lebar.
Mood oh mood ....
❤❤❤
Benar saja, semobil bersama Clara membuatku merasa serba salah. Padahal anak yang duduk di sebelahku ini terlihat lebih dari santai, mengutak-atik ponselnya tanpa merasa terganggu dengan keberadaanku.
Merasa canggung, tanganku bergerak brrmaksud untuk menyalakan radio. Namun, tiba-tiba Clara berkata, "Grogi ya, Tante?"
Aku melirik. Dia berkata tanpa menatap sedikit pun, masih sibuk dengan ponselnya.
"Enggak usah grogi. Kemarin aku denger Mama ngobrol sama Om Andika." Sekali lagi aku melirik. Clara sudah mengangkat wajah dan menoleh menatapku.
"Oya?" Kutarik tangan dari layar radio pada dashboard. Seolah-olah tidak peduli, kembali fokus pada jalan di depan.
"Om Andika tadinya enggak setuju. Tapi akhirnya dia mau."
Wow! Dasar tukang nguping!
"Kencan?" Aku meyakinkan.
"Apalagi?" Suara Clara terdengar riang. "Sabtu ini, kalau aku enggak salah denger."
Aku mendengkus. "Tapi belum ada kabar ke kami."
"Mungkin Mama bakal segera telepon Papa."
Mama telepon Papa. Sepertinya interaksi antara Andra dan Lia bakal semakin sering, bagaimanapun, aku merasa sedikit was-was.
"Begitu ya?" Kutekan klakson ketika tiba-tiba ada sepeda motor yang menyalip. Seharusnya cukup sekali, tapi aku menekannya berkali-kali. Suasana hati yang berubah membuatku sedikit kepanasan.
"Enggak usah khawatir, Tante ...."
"Khawatir apa?" Aku melirik lagi sekilas ke arahnya yang terlihat sedang tersenyum.
"Masalah hati ...."
Spontan aku berdecak, menghela napas berat dengan perasaan berdebar. Sampai titik ini aku tidak yakin kalau Clara masih berusia 7 tahun dan duduk di kelas 2 Sekolah Dasar.
"Kamu mikirnya ketuaan!" seruku dengan sedikit kesal.
"Tante juga mikirnya kekanakkan. Apa umur kita ketuker?" Dia terdengar mengikik. Menyebalkan.
Kuhela lagi napas panjang dan lelah. Clara tidak bisa dibantah, dia cerdas. Aku tahu. Tetapi kecerdasan yang tidak pada tempatnya. Sial!
Akhirnya kuputuskan untuk tidak melanjutkan percakapan. Kali ini mulai terdengar lagi suara ponsel dari kursi penumpang. Sepertinya bocah itu sudah mulai asyik lagi dengan gadget-nya.
Khawatir masalah hati? Tahu apa dia masalah hati?
Tidak lama kami tiba di depan sekolah Clara. Anak itu terlihat menatapku sejenak, membuat mata kami bersirobok beberapa saat. Kemudian, tanpa kusangka, dia menarik telapak tanganku untuk dicium punggung tangannya.
Sesaat aku terkesiap. Dia tahu norma?
"Tante istri Papa. Aku harus sopan," katanya seraya melepas telapak tanganku dan juga seatbelt. "Terima kasih." Dia tersenyum, kemudian membuka pintu mobil dan keluar.
Aku bisa melihatnya berlarian menuju gerbang, kemudian hilang berbaur bersama banyaknya murid berseragam merah putih lainnya. Untuk sesaat aku merasa bahwa dia benar-benar anak sekolah dasar berusia tujuh tahun. Namun, begitu aku mengingat bagaimana dia terdengar begitu pro saat berbicara tentang hati, mendadak bayangan itu lenyap seketika.
Aku mendengkus, tersenyum sendirian. Miris.
❤❤❤
Aku mengangkat kepala saat kubikelku diketuk. Mendongak, kutemukan mata bulat Bian mengerjap.
"Bu Bos, kamu dipanggil sama Pak Div Head," katanya.
"Ngapain?" Aku bertanya sambil bergerak mengambil ponsel, buku catatan dan pena.
"Enggak tau." Bian mengangkat bahunya. "Segera," katanya lagi sebelum ngeloyor pergi.
Aku segera bangkit dan melangkah ke arah ruangan tanpa pintu di salah satu sudut. Itu ruangan Keevan, kepala divisi bagian sales dan marketing. Sampai di depan ruangannya kuketuk dinding kaca yang menjadi pembatas.
Keevan mengangkat kepalanya yang sebelumnya terlihat menunduk melihat ponsel. Senyumnya mengembang ketika melihatku di depan ruang kerjanya.
"Masuk, Vin!" suruhnya.
Aku segera masuk, dan duduk di bangku seberang mejanya tanpa menunggu diperintah.
"Bapak manggil saya? Ada apa?" tanyaku sambil membuka buku catatan dan meletakkannya di meja. Bersiap untuk mencatat instruksi.
"Cuma mau nanya suatu hal aja sama kamu." Keevan meletakkan ponsel di meja. Kemudian tangannya bergerak ke arah buku catatanku, dan ditutup. "Enggak perlu catat-catat. Dan sudah berapa kali aku bilang, panggil aku---"
"Keevan," sahutku memotong ucapan.
"Nah itu tau!" Dia menyandarkan tubuh di kursi kebesarannya, kemudian menatapku dengan fokus.
Keevan. Usianya sekitar 37 tahunan. Sudah jadi Division Head. Modal lulusan luar negeri dan pengalaman beberapa tahun di perusahaan Telko di Amerika. Sudah pernah menikah, dan bercerai tanpa anak.
Kalian butuh tahu apa lagi?
"Saya enggak ngerasa sopan aja, Pak ... eh ... Keev." Serba salah.
"Santai saja. Di luar negeri, kami saling panggil nama, kok."
Selalu begitu ucapannya. Kesannya cuma dia yang pernah sekolah ke luar negeri. Ya iya, sih, aku lulusan lokal. Tetapi untuk urusan jalan ke luar negeri, aku sudah pernah beberapa kali. Enggak senorak itu juga.
"Kamu mau nanya mengenai apa?" tanyaku akhirnya, langsung to the poin.
Keevan tersenyum. Sialnya senyumnya manis. Hampir semua perempuan sedivisi--koreksi--seperusahaan, mengaguminya. Syukurnya aku punya Andra. Yang terlihat apple to apple dengan Keevan. Ada lebihnya malah. Andra punya lesung pipi yang bikin aku gemes.
"Masalah perasaan ...." Suaranya terdengar rendah, sementara tubuhnya condong ke meja.
"Perasaan? Bukan pekerjaan? Kenapa ke aku?" Aku merasa tidak senang.
"Kamu pengalaman. Menikah dengan seorang duda."
Astaga!
"Aku, sedang menyukai seorang perempuan bersuami."
"Pebinor ...." Aku bergumam dengan suara yang tidak kecil, membuat Keevan tertawa lepas.
"Menurut kamu, bagaimana?" Keevan bertanya dengan tertarik.
"Lupain, Keev! Kamu tuh ganteng, sukses. Cari yang single," saranku.
"Pernah. Sampai nikah malah, terus malah cerai." Dia mengeluh. "Yang berpengalaman dan terikat justru membuatku tertantang."
"Sinting!" Aku mengumpat, membuatnya kembali tertawa.
"Jadi," Keevan menghentikan tawanya, "lupain aja?"
Aku mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan berbalik.
"Vin!" Keevan memanggil ketika aku hendak beranjak meninggalkan ruang kerjanya. "Bakalan susah kayaknya. Udah keburu kesengsem sejak awal ketemu soalnya ...."
"Bodo!" seruku sambil melangkah meninggalkan ruangan itu.
Bian yang kubikelnya berada tidak jauh dari ruangan Keevan, mengangkat kedua alisnya ketika kulewati. Dengan gemas kuserongkan satu jari telunjuk di kening seraya berkata, "Sinting!" Tanpa suara, tanpa menghentikan langkah.
Bian terkekeh, menutup mulut agar tawanya tidak meledak.
❤❤❤
"Tadi Lia mengabariku tentang rencana kencan bersama." Andra berkata sembari memijat pundakku dari belakang.
"Sabtu ini, 'kan?" tanyaku, sambil menikmati pijatan tangannya.
Pulang kerja, berendam air hangat, dan dipijat. Sungguh, kenikmatan yang tidak bisa digantikan dengan apa pun.
"Kok tau?" Kali ini pijatannya sedang memanjakan punggungku.
"Clara cerita kalau dia nguping percakapan Lia dan Andika," sahutku yang sedang memejamkan mata karena keasyikan.
"Dasar Clara." Andra terkekeh. "Mau kuberi sentuhan akhir?"
Aku mendengkus seraya tersenyum. "Sudah selesai memang?" tanyaku masih dengan mata terpejam.
"Kalau mau dilanjutkan, pijatannya bakal ke mana-mana. Mau?" Andra berkata menggoda seraya menghentikan pijatannya. "Bisa kumulai dari bagian dada, lalu turun ke perut, terus ke---"
"Berikan saja sentuhan akhir. Aku lelah hari ini," pintaku memotong ucapan.
Andra terdengar menghela napas kecewa. Namun, sebuah kecupan mendarat di leher belakangku dengan lembut. Itu yang selalu disebutnya dengan sentuhan alhir setiap kali selesai memijat.
Aku membuka mata, menggerakkan-gerakkan leher dan merasa senang karena terasa lentur.
Aku berbalik dan mengecup bibirnya sekilas. "Terima kasih, Sayang," kataku.
Andra segera berbaring, menatapku yang sedang beranjak bangkit dari ranjang menuju lemari pakaian.
"Apa sudah tau lokasi kencannya?" tanyaku seraya membuka lemari. Tiba-tiba terbersit untuk mempersiapkan outfit yang sesuai. Aku tidak boleh kalah dalam penampilan dari Lia. Kalau ternyata nanti tidak ada pakaian yang sesuai, masih ada waktu untuk berbelanja.
"Restoran Bintang."
Aku mengerutkan kening. Tempat itu merupakan pilihan yang terlalu resmi. Kupikir tadinya mereka akan memilih tempat yang lebih casual.
Kupandangi satu-persatu gaun yang terpajang di depan mata. Dan menarik sebuah gaun brokat berwarna salem selutut yang manis. Kulekatkan gaun itu ke tubuh, lalu berbalik menghadap Andra yang masih berbaring sembari memandangiku.
"Bagus enggak?" tanyaku.
"Bagus," jawabnya.
Aku kemudian memandang ke arah cermin yang menempel di pintu lemari. Mematut diri dan merasa ada yang kurang.
Jadi, aku kembali menghadap lemari. Kembali memilah dan menarik coat berwarna cokelat degan aksen salem yang cocok. Kembali kupadankan dan merasa puas. Artinya, aku tidak perlu berbelanja pakaian secara mendadak.
Kugantung pakaian terpilih di salah satu sudut lemari yang mudah terlihat. Kemudian, mataku menjelajah isi lemari bagian Andra.
"Apa kamu mau memakai blazer cokelat yang senada warnanya kayak punya aku?" Tanganki bergerak ke arah pakaian yang kumaksud.
"Enggak ah!" Andra menolak.
Aku menoleh, melihatnya masih berbaring seraya menatap ke arah lemari.
"Sweater itu aja!" Dia menunjuk.
"Sweater?" Aku mengerutkan kening karena merasa kami tidak akan terlihat sepadan.
"Iya. Itu yang di kerahnya ada list hitam. Bawahannya nanti bisa pakai jeans hitam." Dia menambahkan.
Ada-ada saja Andra. Aku berencana maksimal dengan gaun, bisa-bisanya dia tampil super simple.
"Kamu kayak kakek-kakek, pakai sweater mulu!" seruku sembari menoleh ke arahnya dengan tatapan sebal.
Andra tersenyum dengan menyebalkan sebelum menyahut, "Coba kamu cek itu kakek-kakek, ada berapa kotak-kotak di perutnya?"
Serta-merta aku menggerutu, menggertakkan geligi di dalam mulut. Seketika aku sadar, kalau gen Andra turun dengan sempurna ke putrinya. Gen tidak mau kalah dan menyebalkan itu!
Nyebelin!
Picture: Pinterest.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top