Guise, Feeling, and Another Double Date
Verlita's speaking:
Sebelumnya, again! Terima kasih untuk kalian yang masih mendukung ceritaku. Ngasih vote, comments, bahkan bersedia meng-share cerita ini. ❤
Uhm ... silent readers harus banyak-banyak terima kasih, nih, sama readers yang dengan baik hati mau goyangin jempol pencet ❤, bikin aku semangatnya maksimal. Hahaha. 😂
Btw, Andra-Vini akan segera tamat. Mungkin 2-3 bab lagi, setelahnya kita bakal ketemu di lapak baru. Kemarin baru aja lempar prolog SPARKLING ADHARA, udah ngintip? Semoga suka!
Lalu, AURORA D'ART juga bakal mulai kutulis lagi. LITTLE WIFE, sebentar lagi bakal benar-benar pindah lapak ke Joylada.
Oiya! Salah satu ceritaku juga bakal terbit awal bulan depan. KEEP SILENT. Udah baca versi WP-nya? Kalau belum, cus! Sebelum aku bakal hapus sebagian tentunya.
Kalian jangan lupa follow IG Verlitaisme dan LotusPublisher biar enggak ketinggalan info seputar PO novel ini, ya. 🤗
Oke deh, sekarang ... lanjut ke Vini dan Andra. Enjoy!
With love,
Verlitaisme 😘
.
.
.
.
.
.
.
"Andra sedang tidak di rumah," sahutku sambil menatap wajah di hadapanku satu per satu. Sementara ponsel masih tergenggam, kuharap Andra masih mendengar di ujung sana.
Lia terlihat menoleh ke balik punggungnya, sepertinya dia juga terkejut. Apalagi aku? Bagaimana bisa mereka semua muncul sampai ke depan pintu teras? Seingatku, aku belum membuka akses pagar depan sejak pagi, atau Andra lupa?
Lia kembali menoleh ke arahku, matanya masih nanar, telapak tangan kanannya bergerak mengusap kening. Saat itulah aku melihat kunci yang gemerincing di tangannya. Sepertinya, dia membuka pintu pagar penghubung yang selama ini terkunci.
"Aku enggak bawa mereka ...." Suara Lia terdengar sangat halus dan kecil. Nyaris tidak bersuara, aku hanya bisa melihat bibirnya bergerak. Sepertinya dia tidak ingin pasangan mantan mertuanya mendegar.
"Ke mana?" Ibu mertuaku bergerak maju, sekarang dia berdiri bersisian dengan mantan menantunya. "Selamat pagi, Lia." Dia menoleh, menyapa Lia yang menatapnya dengan canggung.
Lia menjawab dengan anggukkan, kemudian menatap lagi ke arahku. Terlihat pelipis itu berkeringat karena tegang.
"Ke rumah Mama. Enggak ngasih tau ya dia?" sahutku, berusaha terlihat dan terdengar sesantai mungkin.
Kening ibu mertua dan Lia terlihat mengerut, sementara ayah mertuaku terlihat lebih santai. Dia terlihat tidak terkejut. Entah karena sudah bisa menebak ke mana Andra pergi, atau karena ingin terlihat tidak peduli.
"Kalau begitu, Mama mau tunggu di dalam." Ibu mertuaku hendak bergerak masuk, tapi segera kuhalangi langkahnya dengan berdiri tepat di depannya.
"Kenapa? Mama enggak boleh masuk?" Wanita yang masih terlihat muda di usianya yang lebih dari setengah abad itu, membelalakkan mata ke arahku.
"Andra bilang, enggak ada yang boleh masuk rumah kalau enggak ada dia," sahutku.
"Aku Mama-nya loh ...." Ibu mertuaku masih mendesak. Lalu, dengan sengaja di dorongnya tubuhku ke samping, membuatnya mendapat akses masuk dengan leluasa.
Kuhela napas memandangi tubuh semampai yang bergerak masuk. Sementara itu ayah mertuaku juga ikut di belakangnya, mengabaikanku yang berdiri di depan pintu. Lia, dia juga ikut-ikutan. Setelah menatapku dengan mata yang masih berkaca-kaca, akhirnya dia pun masuk.
Serba salah, aku hanya bisa menatap mereka yang duduk saling berhadapan di sofa. Ibu dan ayah mertuaku duduk berdampingan, sementara Lia terlihat berkerut duduk di sofa seberangnya.
Tidak turut masuk, aku mondar-mandir di teras, berharap agar Andra cepat datang. Dari sini bisa terdengar percakapan mereka bertiga. Pertanyaan tentang di mana Clara berada, yang dijawab Lia bahwa cucu mereka itu sedang bersekolah. Lalu, percakapan basa-basi yang ujung-ujungnya membuat suara ibu mertuaku meninggi.
"Enggak bisa!"
Suara lengkingan dari ibu mertuaku membuat langkah mondar-mandirku terhenti. Melongok ke dalam, terlihat mata wanita berambut kecokelatan itu membelalak ke arah Lia yang terlihat menundukkan kepala.
"Kamu enggak bisa dan enggak boleh berhubungan dengan lelaki lain selain Andra, Lia!"
Jiwa penasaranku tergoda, kakiku selangkah masuk ke dalam rumah.
"Mama sama Papa sedang memperjuangkan hubungan kalian. Enggak boleh. Kamu harus tetap bersama Andra karena begitulah yang seharusnya."
Hatiku terasa diperas. Terang-terangan sekali. Bukankah mereka tahu ada aku di sini? Terang-terangan sekali mereka tentang keinginan mereka membuat Andra dan Lia kembali bersama.
"Lia sama Andra ... udah cerai, Ma ...." Terdengar suara Lia yang bergetar. Bisa jadi dia menahan tangis. "Andra enggak cinta Lia lagi ...."
"Kamu sendiri? Masih cinta sama Andra?" Kali ini, ayah mertuaku yang bertanya.
Dadaku berdebar tak keruan, menanti jawaban Lia atas pertanyaan barusan membuatku susah bernapas. Sialnya, mantan istri Andra itu tidak langsung menjawab. Aku hendak masuk ke rumah lebih dalam, saat terdengar suara pagar yang terbuka. Segera aku menoleh, terlihat mobil Andra masuk ke dalam pekarangan.
Konsentrasiku jadi terbelah. Ingin mendengarkan percakapan lebih lanjut, tapi ketika menoleh ke dalam, terlihat tiga pasang mata itu juga lebih tertarik dengan kendaraan Andra yang baru saja terparkir sempurna di halaman.
Aku mendengkus, kecewa karena tidak mendapat jawaban dari Lia. Kembali aku melempar pandang ke arah mobil Andra. Terlihat suamiku itu sudah turun, berjalan tergesa ke arahku.
"Good job, Sayang." Dikecupnya keningku saat kami berpapasan, lalu dia segera masuk ke dalam. Aku mengekor dengan tegang, penasaran apa yang akan dilakukan Andra terhadap mereka.
Andra terlihat berdiri di hadapan ketiganya, aku sendiri berdiri selangkah di belakangnya. Aura di dalam rumah benar-benar tegang.
"Ada apa Mama dan Papa ke sini?" tanyanya. "Kamu juga, ngapain?" Dia menoleh ke arah Lia. Perempuan itu segera menundukkan kepala dalam-dalam.
"Kamu sendiri, ada apa ke rumah Papa?" Suara papa mertuaku terdengar berat.
"Untuk nyari tau, kenapa kalian ngebohongin aku selama ini." Suara Andra terdengar tajam.
"Untuk kebaikanmu, Andra. Kalau kami tidak mengenalkan Lia ke kamu, entah bagaimana keadaamu sekarang." Kali ini mama mertuaku yang bicara.
"Kebaikan aku?" Andra terdengar mendengkus, pandangannya beralih ke arah Lia. "Bagaimana cara ibumu meninggal dunia, Lia?" Andra bertanya ke arah si mantan istri.
"Ke-kecelakaan." Suara Lia terdengar gugup.
"Kecelakaan apa?" Andra bertanya lagi, suaranya sungguh-sungguh tenang. Jelas sekali kalau dia berusaha mendapat jawaban tanpa mau menyakiti hati yang ditanya.
"Andra!" Ibunya terdengar berseru, seolah-olah mencegah Lia untuk menjawab. "Kamu tau persis kalau ibu-nya Lia meninggal karena kecelakaan mobil. Kenapa harus bertanya untuk sesuatu yang sudah jelas?" Ibu mertuaku terdengar sengit.
Namun, Andra seakan tidak peduli. "Di mana?" Dia menambah pertanyaan untuk Lia.
Kutatap wajah Lia lekat-lekat, menanti jawaban dari pertanyaan Andra. Perempuan yang pernah mendampingi Andra selama 8 tahun itu menatapku dengan gelisah. Kemudian, bukannya menjawab, dia justru menangis.
"Kamu lihat apa yang kamu perbuat ke Lia? Dia itu Ibu dari anakmu satu-satunya, Ndra!" Ibu mertuaku segera bangkit. Beranjak dari tempatnya duduk untuk kemudian duduk di sebelah Lia. Diusapnya punggung mantan menantunya itu sambil mengeluarkan ucapan-ucapan untuk menghibur.
Hatiku terasa sakit. Kepadaku, wanita yang masih terlihat cantik di usia senja itu, selalu menjaga jarak. Tidak pernah ada percakapan akrab di antara kami.
Tiba-tiba saja lembarang koran yang sejak tadi terlewat dari pandanganku, ditarik Andra dari saku belakang celananya, di lempar ke atas meja. Kukerutkan kening, berusaha melihat apa yang tertulis di atas koran, tapi percuma.
"A-Andra ...." Suara ibu mertuaku terdengar gagap sekarang. Membuatku menoleh ke arahnya dengan penasaran.
"Lagi-lagi, masalah bisnis?" Andra mendengkus. Suaranya terdengar sedang menahan tawa. "Andra ... kamu harus belajar bisnis nanti, kamu harus melanjutkan bisnis Papa, enggak boleh ambil kuliah lain. Kalau enggak nurut, kami enggak akan bertanggung jawab atas masa depan kamu. Kamu harus begini, harus begitu ...." Andra mencicit, jelas sekali kalau dia sedang meniru ucapan seseorang.
"Demi kebaikanmu." Ayah mertuaku yang menyahut.
"Bahkan caraku bernapas pun, kalau bisa, mungkin akan kalian atur." Suara itu terdengar kecewa. Membuatku mengulurkan tangan hanya untuk mengelus punggungnya, memberinya ketenangan.
"Lia," Andra menoleh lagi ke arah Lia yang tangisnya sudah tidak terdengar, "kenapa kamu juga bohongin aku?"
"Me-mereka, minta aku untuk menjawab 'iya' untuk semua pertanyaan, Ndra." Lia terdengar terbata.
"Ayahmu juga ikutan?"
Segera aku menoleh ke arah Andra, dia sedang tersenyum miring. Wajahnya terlihat kecewa.
"Padahal kalian tau yang sebenarnya. Tapi kalian tetap memaksakan semuanya." Andra melempar tatapan ke koran. "Artikel di sana, untuk dua kecelakaan yang sama di tempat yang berbeda. Di Jakarta dan Amerika."
Wajah ibu mertuaku terlihat memucat.
"Begitulah kerajaan bisnis kita berdiri, ehm? Dengan mengawinkan para pewaris, dengan mengorbankan perasaan." Andra menundukkan kepala, terlihat dia sangat kecewa.
Kali ini aku mendekat, rapat pada tubuh yang terlihat kehabisan tenaga. Memeluk tubuh itu erat. Sementara di hadapan kami tiga pasang mata itu terlihat redup, menunduk dalam-dalam seperti tersangka yang sudah tidak bisa berkutik karena baranng bukti sudah ditemukan.
"Aku kecewa ...." Andra menutup ucapan, mengangkat lagi kepalanya dan menatap tajam ke arah ayah dan ibunya bergantian. "Sekarang, terserah. Aku enggak lagi berhasrat dengan jabatan di perusahaan. Kalau sahamku mau ditarik pun, aku enggak peduli. Aku hanya ingin hidup tenang, sesuai kata hati. Andra lelah, Ma ... Andra capek, Pa."
Sialnya, suara suamiku gemetar. Dia terlihat rapuh.
Tidak ada lagi pembicaraan apa pun. Sampai satu persatu mereka meninggalkan rumah kami secara diam-diam. sementara Andra tetap tenang di pelukanku. Napasnya yang tadinya terdengar menderu, perlahan menjadi teratur.
"Ndra, are you ok?" tanyaku saat tubuh jangkung itu mulai membalas pelukan.
"Nope," sahutnya, dengan kepala yang berusaha masuk di antara bahu dan kepalaku.
"Apa yang harus aku lakuin supaya kamu jadi baik-baik aja?"
"Enggak ada. Kamu enggak harus ngelakuin apa pun selain ini. Begini aja cukup. Dipeluk." Dan pelukan kami, semakin mengerat.
***
Aku mengamati isi artikel di koran yang tadi dilempar Andra ke atas meja. Sudah larut, suamiku sudah tertidur lebih dahulu setelah sepanjang hari terlihat suntuk. Sejak tadi yang dilakukannya hanya termenung di depan televisi, kemudian tiba-tiba menghampiriku untuk hanya sekadar memeluk, mencium, atau mengendus aroma rambutku. Dan beberapa waktu lalu, akhirnya dengan lunglai masuk ke dalam kamar untuk tidur.
Sendirian di sofa depan televisi, tanganku gemetar membaca judul artikel yang tertera.
KECELAKAAN TABRAK LARI DI JAKARTA SELATAN, SEORANG WANITA MENINGGAL DI TEMPAT
Itu sudah pasti kasus Ibu. Kemudian kulirik artikel di lembar yang lain.
ISTRI PENGUSAHA IMPORTIR TERKEMUKA, MENINGGAL DUNIA KARENA PERISTIWA TABRAK LARI SAAT BERLIBUR DI AMERIKA.
Kulirik tanggal di bagian atas koran. Artikel dari tanggal yang sama, tahun yang sama.
Segera kuhela napas dalam-dalam. Meletakkan kembali koran ke atas meja, dan menyandarkan punggung ke sofa. Kutatap langit-langit dengan mata berkedut, dengan hati yang miris.
Namun, setidaknya, aku tidak perlu lagi membenci Andra.
Tiba-tiba saja sepasang tangan meluncur dari atas bahu, kemudian mengait di depan dadaku.
"Kamu kebangun?" tanyaku, pada Andra yang bernapas lekat di pipiku.
"He'em," sahutnya tepat di telingaku.
"Kenapa? Mau aku temenin bobonya?"
"Enggak," sahutnya lagi.
"Terus kenapa?"
"Aku lagi mikir, kalau Mama sama Papa beneran cabut saham aku dari perusahaan, artinya kita bakal jatuh miskin. Aku dan kamu sama-sama nganggur."
Kuhela napas lelah. Tadi saja, waktu di depan orang tuanya dia terlihat sangat yakin mengucapkan kata demi kata. Sekarang, kepikiran.
"Terus kalau jatuh miskin kenapa?" tanyaku sebal.
Andra berdecak, menarik pelukannya lalu cepat duduk di sebelahku.
"Takut enggak bisa beliin skincare kamu," jawabnya asal, meski pandangannya terlihat sungguh-sungguh.
Lagi, napasku terhela sebal.
"Nanti, aku bakal cari kerja lagi. Biar dapat duit yang banyak." Kali ini aku yang menyahut asal.
"Jangan! Aku aja yang kerja!" Andra mencegah. "Pengalaman jadi direktur bakal lebih dilihat dari pada cuma sekadar manager pemasaran ...."
Aku menyipitkan mata, memandangnya dengan geram. Apa Andra sedang menyindir pengalamanku?
"Mau bukti, kalau aku bakal lebih cepat dapat pekerjaan dibandingin kamu?" tantangku sambil meraih ponsel di atas meja.
Cepat kubuka layar, meng-scroll layar sentuh dengan terburu-buru.
"Kamu mau ngapain?"" Andra terlihat penasaran dan panik.
"Ngehubungin calon bos baru aku."
"Hah? Siapa?!"
"Keevan."
Segera saja ponsel di tanganku ditarik, kemudian di lempar sembarang ke atas sofa.
"Awas kalau berani!" Andra melotot, napasnya menderu. Sementara aku? Menikmati kemarahan dari si keras kepala.
Aku tidak khawatir mengenai hari esok, mengenai saham yang kemungkinan akan ditarik dari tangan Andra, atau kehidupan kami yang akan berubah drastis---mungkin. Selama ada Andra, selama kami masih bersama, kurasa semua akan baik-baik saja.
Ditambah ... siapa tahu rumah ini akan segera terjual. Iya, 'kan?
***
Pagi ini aku terbangun lebih dulu. Berdiri di depan teras, dan sedikit melakukan gerakan olah raga. Mataku menatap ke arah rumah Lia yang terlihat sepi. Bertanya-tanya bagaimana perasaannya setelah kemarin semua kedok mereka terbuka.
Tidak lama ekor mataku melihat sosok gadis kecil berseragam, muncul dari teras rumah sebelah. Gerakan senamku lantas terhenti.
Itu Clara, dia menoleh ke arahku sambil memperbaiki ransel warna di pink di bahunya. Kemudian, melengos begitu saja ke arah mobil yang suara kunci otomatisnya terdengar berbunyi.
Tidak lama, terlihat Lia muncul dari dalam rumah itu. Wajahnya sedikit terkejut saat tanpa sengaja pandangan kami berbenturan. Dia tersenyum dengan kaku, yang kubalas dengan senyum yang lebih tulus. Bergegas Lia menyambangi mobilnya setelah mengangguk pamit ke arahku.
"Lia!" Aku berseru memanggilnya.
Tangan yang hendak meraih kenop pintu mobil itu, mendadak berhenti. Dengan canggung tubuh itu berbalik menghadapku.
"Ya, Vin?" sahutnya.
"Apa kamu pernah cinta sama Andra?"
Wajah Lia terlihat berubah menjadi tegang saat pertanyaan terlontar dari mulut ini.
"Kamu masih cinta Andra?" tanyaku lagi, yang masih penasaran dengan jawaban yang mungkin akan terlontar dari bibinya kemarin.
Matanya mengerjap. Lia tidak menjawab. Perempuann itu berbalik dan masuk begitu saja ke dalam mobil tanpa menjawab pertanyaanku. Tidak lama, mobilnya bergerak meninggalkan halaman rumah sebelah.
Aku terdiam. Merasa tahu atas jawaban yang tidak tersebut dari bibir Lia. Perasaan itu terlihat begitu jelas.
Cepat kurogoh saku piama yang masih kukenakan. Membuka aplikasi WA dan mencari nomor ponsel seseorang. Tanganku cepat mengetik pesan yang kukirimkan juga dengan sama cepatnya.
Bagaimana kalau kita mengulang double date yang tertunda?
Aku menanti jawaban dengan gelisah.
Mau banget, Vin!
Aku tersenyum dengan jawaban yang datang. Misi double date kali ini ... meyakinkan Lia, kalau Andika adalah pria yang tepat sebagai pendamping.
Sementara Andra, dia milikku ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top