Crying Daughter

Andika duduk dengan gelisah di bangku taman halaman rumah, aku sendiri berdiri sama gelisah di depannya. Sementara si cerdas super konyol, Clara, ada di ruang tengah menonton tv kabel.

"Aku enggak tahan. Sebaiknya aku ke rumah sakit aja!" Tiba-tiba saja Andika bangkit dari duduk, membuatku terkejut.

"Ru-rumah sakit?" Suara yang keluar dari mulut jadi bergetar saking kagetnya.

"Belum ada kabar dari Andra, 'kan? Dari tadi pun aku nelepon Lia, dan enggak diangkat." Dia menatap ponsel di tangannya, kemudian menghela napas. "Aku bisa gila kalau begini."

Aku turut menghela napas. Merasa kasihan melihat wajah Andika yang terlihat tegang sekaligus cemas.

"Dia bakal baik-baik aja." Aku coba menenangkan.

Andika menatapku sejenak, kemudian mengusap wajah sendiri dengan frustrasi.

"Aku enggak ngerti lagi gimana caranya ngucapin terima kasih sama Andra. Suamimu baik. Maaf, kami udah sering sangat merepotkan." Ada ketulusan dari tiap ucapan yang terlontar. Dia juga menyebut kata kami. Aku penasaran dengan kami yang disebutnya. Apa selain dirinya dan Lia, Clara adalah bagian di antaranya?

"Lia itu ...." Aku terdiam sejenak, mencoba memilih kata untuk merangkai kalimat yang tepat. "Lia itu, ibu dari anaknya." Akhirnya kupinjam kalimat yang pernah Andra ucap. "Andra harus menjaga anaknya dari yang namanya kehilangan. Itu kewajiban seorang ayah."

Andika menatap dengan lekat, membuatku serba salah. "Kamu baik-baik aja dengan hal itu?"

Mataku mengerjap. Apa aku baik-baik saja? Apa benar aku baik-baik saja? Apa aku yakin, kalau aku baik-baik saja?

Andika mengangkat alisnya, sementara yang bisa kulakukan hanya tersenyum setulus yang kubisa. Maka, lelaki itu pun turut menoreh senyum.

"Andra beruntung punya kamu," katanya. "Aku juga ingin Lia dan Clara merasa beruntung memilikiku. Doakan aku, ya. Doakan kami bertiga bisa akur ...."

Aku mengangguk. Ada Clara dalam kami yang disebutnya tadi, lega ....

"Padahal kita sudah serapi ini." Tiba-tiba Andika bicara dengan lebih riang. "Ternyata kencannya batal."

Sebuah tawa lolos dari bibirku. Menyadari bahwa dia memang terlihat sangat rapi dengan kemeja dan rambut yang disisir naik dengan gaya.

"Kalau kayak gini, namanya bukan double date. Dibilang kencan juga pasangannya kebalik." Andika melanjutkan ucapannya dan turut tertawa. 

Dia lucu juga. Selera humor recehnya, lumayan. Aku bisa melihat bibit-bibit kebaikan. Entah mengapa Clara begitu antipati pada Andika, aku belum melihat sesuatu yang salah dari lelaki ini.

"Aku mesti ke rumah sakit untuk memastikan Lia baik-baik aja, dan mengembalikan Andra ke sisimu." Andika berkata setelah tawanya mereka, kemudian melempar pandangan ke rumah dan menoleh lagi padaku. "Aku izin masuk ya. Mau bicara sebentar sama Clara, khawatir dia sedih."

Lagi aku mengangguk. "Silakan."

Andika segera beranjak masuk, sementara aku mengganti posisinya duduk di bangku taman. Mataku menatap teras rumah Lia di mana mobil Andika terparkir. Lampu sudah menyala secara otomatis di sana begitu senja turun, dan langit mulai menggelap. Selepas Andika pergi nanti, hanya akan ada aku dan Clara. Berdua dengan bocah itu pasti akan terasa aneh. Sama anehnya dengan pembicaraan kami berdua di mobil tempo hari, saat mengantarnya ke sekolah. Pembicaraan mengenai bagaimana memisahkan ibunya dan si Om Andika.

Ck!

Namun, setidaknya dia tidak akan mengungkit masalah itu lagi. Karena dia yang merusak kencan kami berempat hari ini.

Astaga! Sepertinya aku harus mengingatkan Clara bahwa apa yang dilakukannya kepada Lia sangat membahayakan. Taruhannya nyawa. Bagaimana kalau ternyata tadi kami tidak di rumah? Kalau hal buruk terjadi, anak itu bisa menyesal seumur hidup.

Aku menoleh ke teras ketika mendengar langkah mendekat. Andika sudah keluar dari sana dan berjalan dengan tergesa. Aku bangkit dari duduk ketika dia hampir tiba di dekatku.

"Titip Clara ya, Vin," pintanya.

"Uhm ... Clara anakku juga," sahutku. Karena kenyataannya memang begitu. Anak Andra, artinya anakku juga, bukan?

Andika tersenyum. "Terima kasih," katanya. "Aku pergi dulu." Lalu dia setengah berlari menuju mobilnya.

Aku masuk ke dalam ketika mobil Andika sudah keluar dari halaman rumah Lia. Begitu tiba di ruang tengah, terlihat Clara duduk di sofa dengan pandangan tertuju ke arah televisi. Kuhela napas sebelum mendekat dan duduk di sebelahnya. Pandanganku langsung menatap ke arah teve yang sedang memutar tayangan kartun.

"Om Andika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk mama," kataku pelan. "Kita tunggu papa pulang, ya. Atau kamu mau makan sesuatu? Tante bisa masak buat kamu. Clara lapar, enggak?"

Bukannya jawaban, malah suara sengguk yang terdengar. Membuatku menoleh dan menemukan kalau wajah bocah tujuh tahun itu basah karena air mata yang berderai.

"Are you okay, Clara?" tanyaku terkejut.

"Tante, apa Mama bakal baik-baik aja?" tanya dengan tersedak-sedak. "Bagaimana kalau Mama kenapa-napa? Aku salah, Tante ...." Lalu tangisnya pecah.

Cepat kuraih kepalanya untuk kusandarkan di dadaku. Kupeluk makhluk mungil yang tersedu itu dengan erat. Ada iba yang menguar, membuatku terus mengusap kepalanya berkali-kali.

"Mama-mu, akan baik-baik aja, Clara," bisikku.

"Aku salah, Tante. Clara salah. Clara enggak mau kehilangan Mama. Clara enggak mau, Tante ...."

Dia menyesal, dan itu bagus. Kadang, bukankah kita harus melakukan kesalahan, untuk kemudian menyesal, ketika menyadari kalau apa yang kita lakukan adalah salah? 

Entah berapa lama Clara menangis, hingga akhirnya dia tertidur dengan kepala berada di pangkuanku. Aku menunduk dan menemukan kalau kelopak dan sekitar matanya terlihat memerah juga bengkak akibat tangis yang keterlaluan tadi. Baru kali ini sepanjang menikah dengan Andra, aku begitu dekat dengan Clara. Berpelukan, menenangkannya saat menangis.

Dan baru kali ini juga aku menyadari, kalau Clara begitu mirip dengan Andra. Garis wajahnya, hidungnya, bibirnya. Hanya matanya yang terlihat sering kali berbinar seperti ibunya. Entah mengapa, aku tergerak untuk mengecup keningnya. Ah, dia benar-benar terlihat seperti kanak-kanak kala tertidur.

Kusandarkan kepala pada punggung sofa, menatap lurus pada bagian atas dinding di hadapan. Ada foto pernikahanku dan Andra di sana, bersama seorang gadis kecil pembawa cincin. Clara.

❤❤❤

Mataku yang entah sejak kapan terkatup, membuka saat merasakan kecupan di kening. Wajah Andra yang tersenyum terlihat sangat dekat. Senyum yang menular, membuatku menggurat garis yang sama di bibir.

"Udah pulang?" tanyaku, mencoba bangkit tapi urung. Saat sadar kalau kepala Clara masih bersandar di pangkuan.

"Udah," jawabnya dengan suara pelan nyaris berbisik. "Kamu enggak pegel tidur kayak gini?" Andra masih belum menarik wajahnya, masih dekat dengan wajahku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat tiap kali dia berkata-kata.

"Lumayan." Aku meringis, karena leher belakangku memang terasa sakit karena terus seraya mendongak.

Andra mencium keningku lagi, lalu mengambil tempat di bagian sofa sebelah kiriku yang kosong.

"Sini." Dia meraih sisi kepala sebelah kananku, untuk meletakkan wajah bagian kiriku di bahunya. "Lebih nyaman enggak?" tanyanya setelah aku bersandar.

"Nyaman," sahutku, sambil menggerakkan kepala sampai mendapatkan posisi paling nyaman. Lalu, pandanganku jatuh pada televisi yang masih menyala, meski volume-nya mengecil. Sepertinya Andra yang melakukannya sebelum membangunkanku dengan kecupan tadi.

Kami berdiam cukup lama. Sampai akhirnya aku bertanya, "Lia gimana?"

"She's good. Andika ada di sana."

"Baguslah," kataku lega.

"Aku enggak habis pikir, bagaimana bisa Lia enggak sadar kalau ada stroberi di cake yang dia makan? Kenapa dia bisa seceroboh itu?" Andra terdengar kesal, meski suaranya tetap dijaga rendah. "Apa dia enggak mikirin gimana nasib Clara kalau dia kenapa-napa?"

Ok, sepertinya Andra belum tahu kalau pelakunya adalah Clara, dan Lia juga tidak menceritakan hal itu. Artinya, Lia mau ini menjadi sebuah rahasia. Sepertinya aku juga harus membuat kejadian yang sebenarnya untuk tetap menjadi sebuah rahasia.

"Mungkin mereka harus mulai menyingkirkan semua makanan ber-stroberi dari rumah mereka." Aku memberi saran.

"Clara suka stoberi." Andra menyahut, lalu mendengkus. Bisa kurasakan lehernya bergerak. Kuangkat kepala dari bahunya, dan melihat kalau dia menoleh melewatiku untuk bisa menatap anaknya. "Aku benar-benar berharap Lia cepat sembuh. Demi Clara."

Aku tersenyum. Tanganku bergerak untuk menyentuh wajahnya, membuat Andra mengalihkan pandangan padaku. "Aku enggak sabar untuk punya anak dari kamu," bisikku membuat mata Andra membulat. "Kamu udah terbukti bisa jadi ayah yang baik." Aku memuji, sementara wajah itu perlahan merona.

"Kamu bikin aku ... bersemangat, Vini sayang," bisiknya sambil mendekatkan wajah padaku. "Aku enggak tahan mau---"

Ucapan Andra terputus karena Clara yang tiba-tiba mengerang, menggeliat. Kepalanya bergerak di pangkuanku untuk berganti posisi sebelum akhirnya pulas kembali. Detik kemudian aku dan Andra saling berpandangan, kemudian tertawa tertahan. Menahan agar tawa tidak sampai meledak. 

"Sepertinya aku harus sedikit menahan hasrat malam ini." Andra mengecup bibirku sekilas, lalu kembali memperbaiki letak duduknya agar tegak dan lurus. Serta merta aku menyandarkan kembali kepala di bahunya.

"Aku mau mau punya anak laki-laki," bisikku.

"Kenapa laki-laki?" tanyanya sambil meraih tanganku untuk diletakkan digenngam dan diletakkan di pangkuannya.

"Karena kita udah punya anak perempuan."

"Ah ... iya. Sudah ada perempuan. Kita butuh laki-laki." Andra mengusap punggung telapak tanganku. "Kamu tau enggak, Vin?" tanyanya.

"Apa?"

"Kalau aku selalu merasa beruntung bisa punya kamu."

Senyumku merekah, meski bisa jadi Andra tidak melihatnya. Sesungguhnya aku yang beruntung karena ditemukan olehnya. Menjadi tidak lagi sendirian, menjadi diinginkan, merasa diperjuangkan.

"I love you, Ndra," bisikku.

"I love you more, Vin ...."

❤❤❤

Pagi ini Andra mengeluh karena tangannya pegal. Ternyata semalam dia membopongku ke kamar, lalu membopong Clara juga ke kamar. Dia bilang, tenaganya terkuras untuk mengangkat tubuh kami yang lumayan berat. Lalu, kami beradu argumen masalah berat yang dilontarkannya. Aku tersinggung.

"Beratku bahkan enggak sampai 50 kilo!" Aku menggerutu.

"Kenyataannya kamu berat, Sayang." Andra meringis, karena aku memijat lengannya dengan gemas. "Kamu mijit apa nyubit, sih, Vin?" protesnya.

"Dua-duanya!" Aku mendengkus dan melempar pandangan ke arah lain. Sialnya, mataku bersirobok dengan bocah 7 tahun yang berdiri bersandar pada pintu kamar. Clara berdiri di sana, memandang kami dengan aneh. Wajah yang semalam menangis itu, sudah kembali menjadi sejudes biasanya.

"Aku mau makan," katanya datar.

Andra menoleh juga ke arah Clara. "Tante Vini bisa bikinin kamu roti panggang stoberi," kata Andra sambil menarik tangannya dariku, dan bangkit dari ranjang. "Buat kita lebih tepatnya." Dia mengedipkan salah satu mata ke arahku.

"Ini weekend!" Aku protes. Weekend adalah saatnya Andra memasak. Meski sebenarnya, memang lebih sering dia yang memasak dibanding aku setiap harinya.

"Aku pegal, Sayang. Kalian berat. Tolongin, ya ...." Dia memelas, kemudian mengecup bibirku sekilas. Sebelum beranjak menghampiri Clara dan menggandeng bocah itu keluar dari kamar. Meninggalkanku sendiri di atas ranjang. Bikin sebal.

"Selainya yang banyak ya, Tante!" Terdengar Clara berseru dari luar sana. Yang bocah lebih mengesalkan lagi.

"Aku yang akan mencuci piring nanti!" Seruan Andra membuatku mengulum senyum. Dia tidak benar-benar membuatku melakukan semuanya sendirian.

Cepat aku melompat turun dari ranjang, dan berlalu menuju ruang makan. Di sana mereka berdua sudah duduk bersebelahan di kursi makan. Sementara aku berdiri membelakangi mereka untuk menghadap ke arah kitchen set di mana roti dan toaster berada.

Aku mulai mengambil satu lembar roti, mengoleskannya dengan mentega sebelum kumasukan pada pemanggang.

"Tante, apa kaki Tante pegal?"

Eh?

"Kalau Papa keberatan untuk pijat Tante, aku bakal pijat kaki Tante nanti."

Ada debar aneh yang tiba-tiba menyusup. Clara entah mengapa tiba-tiba terdengar manis. Segera aku berbalik, melihat Andra yang sedang menatap Clara dengan takjub, sementara gadis itu hanya menunduk sambil mengaduk-aduk secangkir teh manis di hadapannya dengan sendok kecil. Andra pasti sama sepertiku, tidak menyangka bisa mendengar anak gadisnya menawarkan hal baik seperti barusan.

"Terima kasih, Clara," kataku.

"He em. Sama-sama," sahutnya, yang dihadiahi kecupan di kepala oleh ayahnya.

BERSAMBUNG.

Verlita's note:

Mari kita doakan, semoga mereka bertiga akur selalu. Aminnnn.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top