Canceled

"Ini untukmu ...."

Seseorang yang wajahnya terlihat samar itu, menundukan kepala. Disodorkannya padaku sebuah benda yang dibungkus kertas kado dengan banyak gambar hati.

"Selamat ulang tahun, Vini ...." Lalu, ia mengecup pipi, dan membelai rambutku dengan sayang.

Aku tersenyum, menatap kado di tangan dengan mata yang mengerjap kegirangan.  Aku ulang tahun, dan aku medapatkan hadiah. Sebentar lagi, pasti akan ada kejutan dari Andra.

Aku menanti, kapan suamiku itu akan tiba-tiba muncul? Membawa kue atau sesuatu yang menawan sebagai hadiah ulang tahun.

Tidak lama terdengar hiruk pikuk, lantunan lagu selamat ulang tahun yang terdengar cempreng dan ramai. Itu pasti Andra, entah rombongan apa yang dibawanya sehingga sebegitu ramainya.

Suara itu semakin mendekat, terdengar seperti suara kanak-kanak sekarang. Keningku berkerut, terlebih ketika wajah-wajah anak-anak itu muncul satu persatu. Anak-anak itu, yang usianya tidak akan lebih dari dua belas tahun.

Astaga! Aku mengenal mereka! Aku mengenal semua wajah anak-anak itu.

Sontak aku menoleh ke arah wajah yang tadi terlihat buram saat memberikan kado. Wajah itu perlahan terlihat jelas, membuat perutku terasa mual seketika.

Lalu, anak yang membawa kue muncul, membuat mataku membelalak. Pasalnya, lilin pasa kue yang dibawanya, adalah angka 15.

"Happy birthday, Vini ...." Suara itu berbisik. Suara dari orang yang memberikan kado tadi.

Wajah itu semakin jelas, membuatku ingin menangis.

"Kapan kamu akan pergi dari panti?" tanyanya lagi seraya mendekatkan wajah padaku.

Aku benar-benar menangis sekarang. Bercucuran air mata dengan tubuh yang gemetar.

Aku ingat hari ini, aku ingat ulang tahunku yang ke-15. Aku ingat semuanya ....

Rasanya sesak, air mataku bahkan tidak mampu untuk berhenti. Kupenjamkan mata erat seraya memeluk kado erat-erat.

Sampai aku merasa seseorang menepuk-nepuk lenganku.

"Sayang ... Sayang ...."

Andra ....

"Vini, Vini sayang ...."

Bukannya membuka mata, malah kudekap dia erat. Lalu menangis sejadi-jadinya di pelukannya.

"Kamu mimpi buruk?"

Sangat buruk.

"Aku di sini ...." Lantas, lengan-lengan itu mendekap erat. Sebuah kecupan di kening, dan elusan lembut menenangkan di kepala sampai ke punggungku.

***

Pagi ini aku terbangun dalam dekapan Andra. Melekat pada kulit tubuhnya yang tak memakai kaus atasan di balik bed cover. Kuhela napas. Dia bisa sakit kalau tidur tanpa pakaian seperti ini.

Mimpi buruk semalam benar-benar terasa nyata. Dan dekapan menenangkan ini, satu-satunya yang sungguh nyata.

Aku mendongak, dan menemukan Andra yang ternyata sudah bangun dan sedang menatap dengan teduh. Ketika mata kami bersirobok, dia tersenyum, membuat cekung-cekung lesung di pipinya terlihat jelas.

"Kenapa tidurnya enggak pake baju?" Pertanyaan ini keluar begitu aja dari bibir.

"Karena tadinya aku udah mau eksekusi kamu. Tapi enggak jadi ...." Salah satu tangannya bergerak menyampir helai rambut yang lekat di wajahku. "Kamu, kenapa tidur sambil nangis?"

Aku terdiam sesaat, lalu menghela napas. Kemudian, berusaha untuk bangun, tapi gagal. Karena Andra menahan tubuhku agar tetap berbaring.

"Mau ke mana?" tanyanya sambil memberi kecupan di pipiku. "Kalau mau bikin sarapan, enggak perlu. Ini weekend. Chef Andra yang bakal bikin sarapan buat kamu."

Aku mengerjap, terlebih ketika Andra memberikan kecupan di bibirku sebelum bangkit berdiri.

Nyaris aku tersedak melihat bagaimana penampilan Andra begitu keluar dari bed cover. Suamiku sepertinya tidak berbohong masalah eksekusi yang disebutnya tadi. Karena tubuh bagian bawahnya hanya ditutupi dengan boxer ketat berwarna hitam.

"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya sambil mengenakan celana training yang tercecer di lantai.

"Kamu seksi banget," sahutku jujur, sambil memperhatikan bagaimana dia bergerak menarik celana panjangnya naik. Lalu merengut seiring kaki jenjang yang perlahan tertutup balutan celana.

"Apa kita perlu melakukannya sekarang? Aku enggak keberatan buat buka celana lagi."

Cepat aku mendongak, menemukan kalau Andra sedang menatapku dengan mata menyipit.

"Go, Andra! Aku lapar!" seruku sambil mengerucutkan bibir.

Andra terkekeh. "Siap!" sahutnya, kemudian berbalik melangkah hendak ke luar kamar. "Oiya, hari ini kita double date ...," katanya sambil menoleh ke arahku, sebelum menghilang di balik pintu.

Double date? Astaga! Ini sudah Sabtu? Hampir saja aku lupa.

Cepat aku bangkit dari tidur. Kemudian tergesa keluar kamar. Aku bisa mencium wangi telur yang digoreng, dan suara senandung Andra yang bersemangat.

Namun, kakiku justru tergesa menuju teras rumah, dan benar saja! Clara terlihat sedang mondar-mandir di halaman rumahnya.

Aku mengernyitkan kening, karena anak itu terlihat gelisah. Ketika tiba-tiba kepalanya terangkat naik, mata kami bersinggungan.

Cepat Clara merapatkan diri pada pagar yang memisahkan kediaman kami, lalu menggerak-gerakkan telapak tangan memintaku mendekat.

Aku menggeleng, enggan mendekati karena yakin kalau topik pembicaraan yang akan diangkatnya adalah sekitar kencan nanti malam.

Ayolah, aku belum memutuskan apa pun.

"Tante!" Namun, tiba-tiba Clara berteriak. "Tante Vini!"

Aduh! Jangan sampai ada keributan sepagi ini. Maka aku melangkah mendekati pagar pembatas.

"Hm?" Aku menatap Clara dengan gelisah.

"Tante, jangan lupain rencana kita, ya. Aku enggak mau punya Papa baru. Tolong ya ...." Wajah Clara terlihat memelas, membuatku menghela napas.

Ini di luar dugaan. Kupikir Clara akan mengancam, tapi ternyata dia memohon.

"Om Andika orang baik, Clara." Aku berbisik. "Om Andika pernah nolongin pas mobil Tante mogok. Dia orang baik."

Clara menggeleng kuat-kuat. "Aku enggak mau Papa baru. Papa-ku cuma Papa Andra." Matanya berkaca-kaca. "Cuma Papa Andra, Tante ...."

Aku pun cuma punya Andra. Andra seorang. Apa aku harus melepasnya untuk anak gadis yang tiba-tiba meneteskan air mata di hadapanku ini?

Tanganku terulur melewati sela-sela pagar untuk mengusap kepalanya.

Waktu aku berulang tahun yang ke-15, ibu kepala panti memelukku. Dia mengusap kepalaku yang sudah beranjak remaja kala itu. Aku adalah anak tertua di panti. Anak-anak lain yang seharusnya berusia lebih tuaku, sudah diambil oleh keluarga-keluarga baru, bahkan sebelum mereka berusia sepuluh tahun.

Sambil mendekapku, ibu panti berkali-kali juga mengusap lenganku. "Jangan takut, kamu selalu kami terima di sini." Saat itu, kulihat matanya berkaca-kaca.

Waktu itu aku tidak paham maksudnya. Namun, seiring berjalannya waktu, aku dapat mengambil kesimpulan dari ucapannya kala itu. Bahwa tidak ada yang mau menerima kehadiranku.

Aku ingat sewaktu kecil. Saat banyak pasangan datang dan menyapa kami anak-anak satu persatu. Mereka rela berjongkok di depan beberapa anak, beradu cakap dengan akrab, dan membawa mereka pulang ke istana mereka.

Sementara aku? Paling-paling mereka akan mencuil pipiku gemas, lalu beralih ke anak lain. Begitu terus sampai aku dewasa dengan sendirinya.

Aku ... tidak diinginkan oleh siapa pun.

Aku paham ketakutan Clara. Dia pasti terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Setelah berpikir aku merebut ayahnya, hal paling anyar yang berenang-renang di pikirannya saat ini, pasti ibunya yang juga akan berbagi hati dengan sang kekasih.

Aku paham, aku tahu, kalau Clara terlalu takut untuk diabaikan, dan menjadi si tidak diinginkan. Kekhawatiran yang sama denganku.

Aku terlalu khawatir, khawatir Andra tidak akan menginginkanku lagi. Sial!

***

"Blush on kamu ketebalan, Sayang," ucap Andra, yang entah sejak kapan sudah berdiri bersandar pada meja rias.

Dia sudah terlihat rapi dengan sweater putih andalan. Meskipun sudah tahu bahwa outfit-nya sudah direncanakan sejak lama, tapi tetap saja aku berharap dia mau mengganti pakaiannya. Aku mau Andra terlihat lebih dibandingkan Andika nanti.

Aku mengembalikan pandangan ke arah cermin, dan mendapati kalau pipiku memang terlalu merah jambu. Cepat kuambil spons bedak, dan menepuk-nepuknya pada pipi.

"Apa kamu yakin enggak mau ganti baju?" tanyaku.

Andra terlihat menunduk, menatap pakaian yang dikenakannya, lalu menggeleng.

"Aku udah ngerasa keren," sahutnya percaya diri.

Aku mendengkus. Tidak bisa berkata-kata lagi. Terserah sajalah.

"Aku tunggu di depan ya, Vin." Andra meminta izin, lalu pergi meninggalkanku.

Aku kembali sibuk dengan make-up, kembali memulas wajah agar terlihat lebih cantik. Lipstik berwarna peach menjadi sentuhan terakhir. Dengan jemari, kutata lagi rambut yang sebelumnya sudah kusisir agar tak kusut dan tergerai rapi.

"Batal, Vin!"

Aku yang sedang memakai blazer, dikejutkan dengan teriakan Andra. Terdengar langkah-langkah cepat mendekat ke kamar. Aku menoleh, dan menemukan Andra masuk untuk mengambil kunci mobil di atas nakas.

Wajah Andra terlihat panik. Dia mengecup bibirku sekilas lalu berkata, "Titip Clara. Aku harus bawa Lia ke rumah sakit." Kemudian, dia melesat keluar.

Aku sempat terbengong beberapa di tempatku berdiri. Ketika tersadar, aku langsung melangkah cepat ke depan.

Di teras rumah, terlihat Clara berdiri sambil menatap ke teras rumahnya dengan wajah cemas. Aku yang sudah berdiri di sebelah Clara, turut menatap ke teras rumah Lia.

Pemandangan yang terlihat di sana, membuatku bingung harus bersikap. Andra terlihat membopong Lia di dadanya.

Aku ... cemburu.

"Ada apa dengan Mama-mu?" tanyaku pada Clara, sementara mata ini tetap tertuju pada Andra yang sedang memasukkan Lia ke dalam mobil.

"Mama pingsan, Tante. Alerginya kambuh." Clara menyahut.

Mendadak aku merasa iba. Pandanganku tak lepas dari mobil yang beranjak keluar halaman.

"Aku sengaja nyuapin Mama cake stroberi, saat Mama sedang mengenakan maskara."

Sontak, aku menunduk, menatap ke arah Clara yang masih menatap ke arah mobil yang melesat pergi dari halaman rumahnya.

"Kenapa, Clara?" tanyaku tidak percaya. Anak ini tahu persis kalau ibunya alergi akan stroberi.

Tiba-tiba suara klakson terdengar nyaring. Aku segera menoleh ke arah suara, dan menemukan Pajero Sport hitam memasuki halaman rumah Lia dari arah berlawanan. Itu mobil Andika.

"Supaya Om Andika tau, kalau dia selalu datang terlambat." Clara mendongak, bersamaan dengan aku yang kembali menatapnya.

Mau tidak mau mata kami bersirobok. "Jadi, Om Andika tau, kalau Papa selalu ada untukku dan Mama. Om Andika enggak perlu ada." Clara menyungging senyum, sementara debar dadaku bertalu-talu.  "Aku cerdas, 'kan, Tante?"

Verlita's speaking:

Maap kemalaman, Gaes. Tapi, yang penting masih hari minggu, 'kan? 😁

Btw, vote, comment and shares-nya dong ....

Makasi. 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top