Burnt
Sebuah pukulan lagi benar-benar mendarat di wajah Keevan, membuat jeritan keluar dari mulutku. Lalu lalang manusia-manusia pada lobi, mendadak terhenti. Beberapa menutup mata mereka karena takut, dan beberapa berteriak sama terkejutnya denganku.
Seorang petugas security bertubuh besar berhasil menahan pergelangan tangan Andra yang nyaris terayun lagi. Sementara petugas security yang lain, membantu Keevan untuk bangkit.
"Aku bisa nuntut kamu, Berengsek!" Keevan menyeka sudut bibirnya yang berdarah.
"Tuntut aja!" Andra terdengar menantang, ditepisnya tangan security hingga cengkeraman lepas dari pergelangan tangannya.
Aku masih membeku dengan gemetar di tempatku berdiri. Menatap Keevan yang beberapa kali meludah untuk membuang cairan merah dari mulutnya, lalu berpaling pada Andra yang masih terlihat geram.
Tiba-tiba pergelangan tanganku ditarik, Andra merampas cokelat yang masih tergenggam di telapak tangan, dan melemparnya ke arah Keevan. Aku membelalak, menatap cokelat yang jatuh tepat di ujung kaki bos-ku itu.
"I can give her a thousand chocolates. She doesn't need yours." Suara Andra terdengar gemetar. Aku tahu, dia sedang benar-benar marah. Cengkeraman di tanganku semakin mengeras sementara giginya gemeletuk.
"Kita pulang!" Andra menarikku keluar dari lobi. Langkah kami beriringan, dengan aku yang berusaha mengimbangi langkah besarnya.
Terlihat Keevan menatap kami berdua. Sampai Andra membukakan pintu mobil dan menutupnya kembali, dari jendela mobil, bisa kulihat bos-ku ini masih menatap dengan pandangan kecewa. Entah kecewa karena apa.
"Jangan diliatin mulu!" Aku tersentak karena suara Andra yang lantang. "Tolong, submit surat pengunduran diri kamu segera. Aku enggak suka kalau bos kamu yang genit itu, ada di sekitar kamu."
Aku menoleh pada Andra. Wajah suamiku itu terlihat kemerahan juga tegang, sementara telapak tangan yang memengang kemudi terlihat mengerat. Mobil kami, segera berlalu dari pelataran lobi.
Yang kami lakukan di sepanjang jalan adalah bungkam. Aku tidak berani mengatakan apa pun, karena Andra tidak pernah terlihat semarah ini. Namun, ketika menyadari kalau ternyata kami tidak sedang mengarah pulang ke rumah, aku menjadi was-was, tapi tidak berani bertanya.
"Kita bakal ke apartemen. Aku mau kamu melihatnya sebelum kita benar-benar pindah tiga hari lagi." Seakan tahu apa yang sedang kupikirkan, Andra menjelaskan.
Aku hanya mengangguk. Sepertinya pindah adalah keputusan yang sudah final. Suamiku benar-benar menginginkan pergi dari rumah itu.
Andra mengarahkan kendaraan kami arah utara Jakarta, menyusuri jalan yang padat hingga akhirnya tiba di sisi pantai. Memasuki area apartemen yang menakjubkan, di mana di sekitarnya di kelilingi pantai.
Kami berhenti di pelataran lobi. Andra meminta bantuan seorang petugas valet parking untuk memarkirkan kendaraan kami. Kemudian, dia merangkul pinggangku. Terlihat sangat posesif.
Tiba di lobi, di mana seorang lelaki bermata sipit, yang kukenal dengan nama Hans, temannya Andra yang pengusaha property, sudah menunggu. Hans menghampiri kami, menjabat tanganku dan melakukan salam tinju dengan Andra. Mereka memang seakrab itu.
"Kartu akses kalian." Hans menyerahkan dua kartu kepada Andra. "Gue juga udah daftarin kalian sebagai penghuni. V-I-P."
Hans menggiring kami ke arah lift setelah melambaikan tangan ke arah petugas security dan resepsionis.
"Apa kalian mau touring apartemen dulu sebelum ke unit kalian?" Hans menawarkan, dia berkedip ke arahku, mungkin untuk sekadar menggoda.
"Jangan ngedip-ngedip ke bini gue. Gue baru aja mukul orang gara-gara genit ke Vini."Andra berucap seraya mengeratkan rangkulan di pinggulku.
Aku melipat kedua bibir, mencoba menahan tawa ketika melihat wajah Hans yang berubah pasi.
"Lantai berapa?" tanya Andra, seraya menatap papan angka yang belum berubah di sisi lift.
"Dua puluh." Hans buru-buru menempelkan kartu ke sisi lift, menekan angka dua puluh. Tidak lama pintu lift terbuka. Kami bertiga masuk, dan pintu segera menutup.
Lift membawa kami ke lantai dua puluh. Sesampainya di sana Hans segera menunjukkan unit apartemen kami. Hal pertama yang ditunjukkannya adalah pemandangan laut yang menakjubkan. Kami bisa memandang langsung ke laut perairan laut Jawa dari ruang tengah sampai ruang makan.
"Kalian bisa ngeliat sunset yang indah dari sini. Sementara sunrise, bisa terlihat dari jendela kamar utama." Hans menjelaskan dengan bersemangat.
Aku menatap living room yang terdiri dari sofa-sofa putih yang disusun berhadapan dengan televisi layar datar, sementara di balik punggungnya adalah jendela besar yang menghadap laut. Lalu meja makan berwarna hitam bersama enam kursi berwarna krem.
"Ini menakjubkan," gumamku takjub, seraya membayangkan bahwa makan malamku akan selalu terasa romantis. Sunset, dan lampu-lampu dari gedung-gedung pencakar langit di malam hari.
"Kamu suka?" tanya Andra.
"Suka sekali!" sahutku bersemangat, menoleh ke arah Andra dan mengecup pipinya.
"Oh, please ... get a room!" Hans menimpali seakan jijik. Tetapi aku tahu dia sedang bercanda.
"Yes, indeed. We need a room." Andra menyeringai ke arahku, sebelum mendaratkan kecupan sekilas di bibir. "Tapi, sofa itu juga cukup menggoda ya, Sayang?" Dia mengusap bibirku dengan ibu jari. Sialnya, aku berdebar.
Tiba-tiba tubuh Andra terdorong mundur. Rupanya Hans menarik tubuhnya menjauh dariku.
"Kasihani gue yang jomlo, Bro!" Hans mendengkus. Memukul bokong temannya dengan gemas, dan menggiringnya menuju salah satu ruang.
Aku terkekeh karena Andra menjerit. Dia tidak protes, tapi tertawa-tawa dan menurut arahan Hans untuk mengikutinya. Aku mengekor dari belakang sambil menggeleng-geleng. Mereka terlihat seperti bocah.
Hans sepertinya tidak main-main dengan properti yang disarankannya untuk kami. Karena pemandangan disetiap sudut selalu membuatku berdecak. Kamar kami juga menakjubkan. Kasur ukuran kingsize yang luar biasa nyaman, ditambah pemandangan kota di sisi laut yang membuatku tercengang. Entah berapa rupiah yang digelontorkan Andra untuk hunian ini, bertanya pun aku tidak berani.
Andra tidak membiarkan Hans berlama-lama bersama kami, tidak lama temannya itu sudah pamit pergi. Sekarang, hanya ada kami di sofa putih ruang tengah, menatap matahari yang pelan tenggelam dari jendela yang sengaja tirainya kami buka lebar-lebar, seraya berangkulan.
"Apa kita pindah hari ini aja?" Andra bertanya seraya mengelus kepalaku yang bersandar di bahunya.
"Uhm," aku berguman, "ini menakjubkan, Ndra."
"Hari ini?" tanyanya lagi.
Aku menghela napas dalam, mendongak dan mengecup bagian wajahnya yang terjangkau oleh bibir. Kemudian menyahut, "Tiga hari lagi."
Andra menunduk, menatapku dengan bibir mengerucut. Sepertinya dia tidak sabar untuk pindah ke tempat ini.
"Kita harus menemui Lia dan Clara dulu, bukan?" Aku mengingatkan. "Bagaimana perasaan Clara pas tau papa-nya pindah enggak bilang-bilang."
Andra mengerjapkan mata, kemudian menunduk untuk mengecup ujung hidungku. Setelahnya dia bangkit berdiri.
"Baiklah, Nyonya Andra yang tercinta." Tiba-tiba saja tubuhku diangkat, otomatis kedua tanganku mengait ke lehernya karena takut terjatuh. "Kita akan membicarakan tentang Clara nanti, sekarang kita selesaikan dulu urusan kita."
"Urusan apa?" Keningku mengerut.
Andra mengedipkan salah satu mata sambil tersenyum penuh arti. "Memangnya, kamu enggak mau nyobain kasur baru kita?" Lalu dia nyengir. Otomatis wajahku merapat di dadanya karena malu, sementara Andra mulai melangkah menuju kamar.
***
Andra menekan bel yang berada di sisi pintu depan Lia, sementara tangan kirinya menggandeng telapak tangan kananku. Tidak lama, pintu rumah itu terbuka dan Lia muncul dengan senyum.
"Tumben?" Sambutnya sambil mempersilakan kami masuk. "Clara-nya udah tidur tapi." Lanjutnya seraya menutup pintu di belakang kami.
"Udah tidur?" Andra mengerutkan kening.
"Udah jam sepuluh, Ndra ...." Lia mengingatkan.
Menyadari waktu yang memang sudah larut, Andra menoleh ke arahku. "Besok aja apa?" tanyanya meminta pendapat.
Aku mengangkat bahu. Sebenarnya memang harus ada Clara, supaya kami tidak perlu menjelaskan dua kali.
"Ada apaan sih?" Lia terdengar penasaran.
Andra menoleh ke arah mantan istrinya. "Kami akan pindah rumah ...."
Sontak aku terdiam, sama dengan Lia yang tiba-tiba mematung.
"Tiga hari lagi kami akan pindah, Li," katanya lagi. "Tadinya aku mau ngasih tau ini ke Clara, tapi dia udah tidur. Jadi---"
Lia tiba-tiba saja mendorong tubuh Andra rapat kembali ke pintu, otomatis aku turut terdorong karena Andra masih menggenggam tangannku.
"Kenapa sih?" Andra terlihat risih.
"Oke, kalian pindah aja." Lia berbisik. "Pamit sama Clara-nya nanti aja ...." Wajahnya terlihat cemas.
Aku mengamati raut wajah yang terlihat khawatir, sementara Andra juga menatap kebingungan.
"Ada mereka, ya?" tanya Andra pelan, sama berbisiknya. Lia segera mengangguk.
"Tadi siang datang. Lagi tidur bareng Clara," bisik Lia.
Aku menghela napas, paham dengan siapa yang mereka bicarakan. Andra berdecak. Namun, kemudian berbalik, membuka pintu dan menarikku keluar dari rumah Lia. Kami berjalan di halaman Lia dengan tergesa, masuk ke halaman rumah kami.
Tadinya kupikir Andra akan membawaku masuk ke rumah, tapi aku salah. Dia membuka lagi pintu mobil bagian kemudi dan memintaku masuk ke dalamnya.
"Mau ke mana?" tanyaku panik ketika dia hendak menutup pintu mobil, masalahnya wajahnya terlihat sangat tegang.
"Tunggu di sini," katanya, lalu melempar kunci ke arahku. Kemudian, terlihat Andra kembali lagi ke rumah Lia. Bisa kulihat dia berlarian di halaman Lia, menekan bel dengan gestur tubuh yang tak nyaman, lalu menghilang masuk ke dalam.
Cepat kunyalakan mesin mobil, menekan tombol pendingin. Sialnya, semua kulakukan dengan gemetar. Siapa yang tidak gemetar melihat bagaimana Andra bersikap. Dia begitu tegang, matanya bahkan terlihat tidak fokus.
Aku menatap pintu rumah Lia dengan was-was, sudah beberapa menit Andra di sana. Belum ada juga tanda-tanda kalau dia akan keluar dari rumah itu.
Sepuluh menit.
Lima belas menit ....
Akhirnya kulihat Andra keluar dari sana. Dia berjalan dengan tergesa di halaman. Tiba-tiba terlihat Lia berlari di belakangnya, dia menangkap tubuh Andra, memeluk tubuh suamiku itu dari belakang.
Rasanya napasku sesak sekarang, karena Andra terlihat diam saja saat tangan-tangan mantan istrinya melingkar di pinggangnya.
Entah setan apa yang merasukiku. Tetapi dengan sengaja kumundurkan mobil dan berputar balik, menyalakan lampu sein bagian depan hingga menyorot ke arah pasangan mantan suami istri di rumah sebelah. Keduanya menoleh ke arahku, sementara aku segera menekan klakson dengan amarah yang berkobar.
Sepertinya, aku terbakar ....
Verlita notes:
Ugh, siapa yang sama terbakarnya dengan Vini?
Kira-kira, apa yang terjadi, ya? Kalian udah bisa mengira siapa yang datang, 'kan?
Btw, terima kasih untuk vote, comment, dan share-nya.
#luv
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top