9. Drama Everywhere, Pak

heleh, wp error. Upload lagi -__-

***

Keberhasilan itu gabungan dari usaha, doa, niat, dan keajaiban. Sudah niat, usaha maksimal, dan selalu berdoa tapi tidak ada keajaiban, itu namanya kegagalan.

***

"Saya gak ngerti maksud bapak," balas Audi.

Ia membalas tatapan Rezvan yang sama sekali tidak lepas darinya. Kalau kalian bertanya apa keadaan Audi baik-baik saja setelah dibombardir oleh Rezvan, jawabannya tidak. Siapa yang masih bisa tenang setelah mendengar segala sesuatu yang diucapkan Rezvan?

"Kamu lebih paham apa yang saya gak bisa pahami, Audiar," kata Rezvan pelan. "Saya bisa rasakan ada batas yang selalu kamu pasang setiap bertemu dengan saya. Seakan-akan..."

Rezvan berhenti berbicara, membuat Audi mau tak mau memandangnya.

"Apa kamu ragu?"

Audi bingung. Pertama, ia tidak tahu apa yang terjadi. Kedua, kenapa harus dirinya?

"Pak, saya mau turun. Terima kasih," kata Audi pada akhirnya.

Klik.

Pintu mobil sudah terkunci bahkan sebelum Audi membuka pintunya. Sontak saja dia panik dan langsung menatap Rezvan dengan tatapan kesal.

"Kenapa dikunci? Bukain gak?"

"Saya mau ngomong sebentar sama kamu. Tolong diam dulu," pinta Rezvan berusaha menenangkan Audi.

"Kalau Bapak gak buka pintu mobil ini, saya teriak," ancam Audi.

Sial. Dia yang awalnya dibuat bingung oleh Rezvan, sekarang malah harus dibuat takut dengan sikap lelaki itu yang tak bisa ditebak. Rezvan bukannya menuruti perintah Audi, ia malah memilih diam sambil meletakkan kedua tangannya di setir mobil. Ia juga tampak tak kalah frustasi.

"Awalnya saya gak tahu kenapa saya memperlakukan kamu beda dari mahasiswa lain," Rezvan membuka topik.

Audi yang sebelumnya sudah heboh mencoba membuka pintu tapi gagal, kini hanya melirik Rezvan jengkel. Audi bahkan sudah tidak berpikir apakah ia terlihat sopan di depan Rezvan atau tidak.

"Pak Kaprodi hanya memberikan saya daftar mahasiswa yang harus saya bimbing tahun ini. Dan ternyata ada nama kamu di situ," Rezvan mengarahkan pandangannya pada Audi. "Saya ingat mama saya sering cerita tentang kamu sama saya."

Mau tak mau Audi harus mendengarkan cerita Rezvan. Dia juga sedikit penasaran kenapa dosennya itu bisa ada rasa dengannya, padahal setiap hari Audi tidak berhenti menjelekkannya di hadapan Arlino dan Milla.

"Kita kan tetangga," timpal Audi ketus, masih dendam ia tak dianggap tetangga oleh Rezvan.

"Iya," Rezvan tersenyum. "Mama bilang dia suka sama kamu. Katanya kamu sama mama kamu itu satu-satunya tetangga yang rela bantuin mama mindahin barang ketika beliau pindahan."

Ingatan Audi terlempar ke lima tahun yang lalu. Ia ingat ketika ia baru pulang sekolah dan mamanya menyuruhnya membantu pindahan tetangga baru. Ia ingat kalau ia agak kesal karena ia masih lelah dan harusnya tidur siang.

"Sejak saat itu diam-diam mama saya sering menanyakan kamu lewat mama kamu, Audiar. Dan setelah itu, beliau pasti langsung menceritakannya pada saya," kata Rezvan terlarut dalam kenangannya.

Audi memandang sekilas Rezvan. "Kenapa Tante Hadi harus cerita?"

"Karena mama saya sedang membujuk saya agar tidak melanjutkan kuliah di luar negeri," jawab Rezvan sedih.

"Kenapa?"

"Mama gak mau sendirian setelah bercerai dengan papa saya. Beliau hanya ingin saya tetap tinggal dengan beliau."

Ingatan Audi berputar kembali. Sepanjang Rezvan bercerita, hanya ada satu bayangan yang terbentuk di kepalanya. Seorang anak laki-laki di dalam kamar, duduk dengan pandangan kosong. Audi ingat, ia tak sengaja mengintip ke celah kecil pintu ketika dia ingin meminjam toilet Tante Hadi. Anak laki-laki itu tampak pucat, keadaannya berantakan, belum lagi ia melihat banyak pil berceceran di lantai.

"Jangan-jangan... Bapak itu anak laki-laki yang gak sengaja saya intip waktu itu?" tanya Audi dengan nada menuntut.

"Iya, itu saya."

"Tapi, anak laki-laki itu... bapak..." Audi menatap Rezvan tak percaya.

"Setelah saya lulus, orang tua saya bercerai. Saya ikut mama. Saya terpaksa ikut pindah kota dengan mama. Kemudian ada tawaran beasiswa S2 dan S3 yang datang untuk saya. Saya harus terima beasiswa itu. Tapi, mama saya menolak," Rezvan berhenti sejenak. "Saya depresi."

Rasanya kemarahan Audi tadi langsung menguap tatkala melihat Rezvan menenggelamkan wajahnya. Ia tahu hanya dengan melihatnya saja bahwa saat itu Rezvan benar-benar putus asa. Keluarganya berantakan dan ibunya tidak setuju dengan tawaran studi gratis.

Audi mengulurkan tangannya untuk mengelus punggung Rezvan. Ia tahu Rezvan menangis ketika mengingat kejadian itu. Audi tidak perlu Rezvan untuk melanjutkan ceritanya karena dia tahu kelanjutannya.

Rezvan kabur dari rumah. Ia sama sekali tidak pernah kembali. Lima tahun lamanya. Audi pernah dengar juga, setelah Rezvan lulus dan kerja, ia hanya mengirim uang pada mamanya tanpa niat akan kembali ke Indonesia.

Rezvan bangkit. Audi pun juga kembali bersikap biasa saja. Rezvan menghela napas kasar.

"Intinya, saya tertarik sama kamu, Audiar," kata Rezvan tegas.

Baru saja Audi berpikir kalau Rezvan akan melupakan topik mereka sore itu dan mengizinkannya keluar dari mobil ini. Audi memang tidak menyukai Rezvan, atau mungkin belum. Tapi, entah kenapa jantungnya juga ikut berdetak kencang.

"Kalau kamu kasih izin saya buat menghapus jarak itu, saya siap," kali ini mata Rezvan seperti berapi-api.

Audi meneguk saliva. "Gak!" tolak Audi. "Gak saya izinin."

Sejenak Rezvan membeku. Kemudian ia tertawa kecil. Audi hanya menatap Rezvan dan mengira Rezvan sudah gila.

"Kamu tahu, semua wanita yang pernah saya dekati pasti gak akan menolak kalau saya sudah mengatakan kata-kata sakti tersebut," ujar Rezvan, masih dengan senyum menggoda.

"Sayangnya saya bukan semua wanita itu, Pak," balas Audi ketus.

Rezvan mendekat ke arah Audi, mempersempit jarak di antara mereka. Hal ini terpaksa membuat Audi mundur hingga punggungnya menyentuh pintu mobil. Ia sampai harus menahan napas ketika jaraknya dan Rezvan benar-benar sangat minim.

"Makanya, saya bilang saya tertarik sama kamu, Audiar."

Audi memalingkan wajahnya karena malu. Bisa-bisa ia dikira melakukan tindakan tidak senonoh dengan Rezvan.

"Bapak jauh-jauh dari saya. Kalau engga, saya bakal teriak dan mecahin kaca mobil bapak. Saya gak peduli!" ancam Audi.

Rezvan terkikik kemudian kembali ke tempatnya semula. Ia masih betah memandangi Audi seakan Audi adalah objek paling menarik di mobilnya. Padahal, saat ini tampang Audi tidak kalah sangarnya dengan ibu-ibu yang kalah rebutan barang diskonan.

"Apa bapak lihat-lihat?"

"Dari yang saya lakukan tadi, saya sudah bisa membuktikan kalau saya bisa menghapus batas fisik dengan kamu," kata Rezvan. "Tinggal saya berusaha keras menghapus batas batin antara kita."

Deg.

***

"Aaaaa!!!"

Audi tidak bisa berhenti berguling-guling resah di kasurnya. Sejak pernyataan rasa Rezvan tadi, Audi bahkan sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Ia memikirkan banyak hal di antara dia dan Rezvan selama ini.

Audi selalu bersikap normal. Ia tidak pernah mencoba menggoda Rezvan seperti mahasiswi lain. Ia juga tidak penasaran dengan segala hal menyangkut Rezvan. Kalau bisa, ia malah berusaha mati-matian menghindari Rezvan. Harapannya cuma satu, ia hanya ingin Rezvan mempercepat kelulusannya, bukan malah menyatakan perasaannya pada Audi.

"Ya Tuhan, kenapa cobaanmu berat sekali," rintih Audi sambil memeluk erat gulingnya. "Apa ini dosa gue karena suka nyumpahin Rezvan? Ah, tapi yang ngehujat dia bukan gue aja."

"Kenapa pula orang yang suka sama gue harus dosen pembimbing gue sendiri? Kaya gak ada orang lain aja, Tuhan."

Audi bangkit dari kasurnya dan segera menyambar ponselnya yang sedang di-charge. Ia langsung memencet aplikasi chatting dan menuju ke ruang obrolannya dengan duo sahabat micinnya.

Pengabdi TA (3)

Gaeees, gue galau nih

Ada temen gue yang nanya sesuatu

Terus gue bingung

Read by 2

Audrey Samilla

Bingung kenapa?

Arlino Mahesa

Baju lo kebalik kali

No, gue lg gak pengen ngelawak -__-

Gini

Bentar gue ketik dulu

Read by 2

Arlino Mahesa

Wkwkwk

Iya iya, gue pantau terus nih

Jadi gue punya temen cewek nih

Dia tiba2 ditembak sama cowok

Tapi dia gak suka sama cowoknya

Cara dia ngehindar gimana gaes?

Read by 2

Audrey Samilla

Ya udah ngehindar aja

Gak usah ketemu lagi. Selesai

Arlino Mahesa

Nah, setuju sama Milla

Gak perlu pusing dah kalau gitu

Masalahnya temen gue itu ga bisa ngehindar

segampang itu

Soalnya mereka tiap hari ketemu

Read by 2

Arlino Mahesa

Susah kalau gitu

Biasa aja dah, kaya gak terjadi apa2

Asal si cewek gak ngasih harapan

Cowok tuh gak kuat kalau digituin :""

Audrey Samilla

Heleh si Arlino curhat -___-

Tapi gue setuju sama Arlino

Gitu ya?

Read by 2

Arlino Mahesa

Emang sejelek apa sih cowoknya sampai

si cewek gak mau?

Bukan masalah fisik beb

Cinta mah tidak memandang fisik

#tsaaah

Read by 2

Audrey Samilla

Gegayaan lo Di

Itu gebetan lo bening semua lo

Mana ada yang modelannya kaya Arlino

Arlino Mahesa

Eeeh, mbak Audrey tolong dijaga mulutnya

Saya ini ganteng ya -__-

Bicik lo berdua

Makasih yaaa :DD

Read by 2

Demi menghindari dua sahabatnya yang mulai adu chat, Audi segera meletakkan kembali ponselnya. Ia kembali ke tempat sucinya, kasur, dan mulai membuka laptopnya. Hatinya sudah teguh.

Ia akan menganggap tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Rezvan. Ia hanya perlu fokus pada tugas akhirnya. Kalau suatu saat Rezvan berani macam-macam seperti, memperlama waktu lulus Audi, Audi tinggal lapor saja kepada Dewa Dosen.

Audi mulai mengerjakan tugas akhirnya di tengah kalutnya pikiran. Ia hanya punya satu tujuan. Ia ingin cepat lulus.

***

Kantin teknik lebih ramai daripada biasanya. Minggu depan rupanya sudah mulai ujian akhir semester. Bagi mahasiswa tingkat akhir seperti Audi, rasanya lama sekali tidak merasakan yang namanya ujian, rebutan tempat duduk (padahal nanti dirubah sesuai nomor absen), menghafalkan sederet rumus yang bahkan sampai sekarang dia tidak ingat, atau tengok kanan kiri ketika otaknya sudah buntu. Ia kangen menjadi mahasiswa seperti itu.

Audi sendiri sedang asyik memamah biak bakso Mang Asep yang dia pesan spesial hari ini. Baksonya lebih banyak dari porsi biasanya. Mang Asep baik sih, Audi kan pelanggan tetapnya. Sedang asyik-asyiknya menikmati bakso seorang diri, muncullah dua makhluk astral yang mengganggunya.

"Iiih, beli bakso enak temennya gak dikasih," protes Milla yang langsung duduk di samping Audi.

Arlino yang juga baru datang langsung merebut sendok Audi dan memakan satu bakso jumbo milik Audi yang sengaja dia sisihkan terakhir. Audi nyaris melemparkan botol saus kepada Arlino yang sembarangan merebut bakso kesayangannya itu.

"Padahal gue sisihin terakhir," cicit Audi.

Mangkoknya nyaris tandas. Baksonya sudah hilang semua masuk ke perut Milla dan Arlino.

"Ah, Mang Asep memang terbaik. Baksonya enak," kata Arlino puas. Ia menepuk-nepuk perutnya tanda dia sudah puas dan kenyang.

"Makanya, Di. Lain kali kalau pesen bakso spesial, temennya jangan lupa dibungkusin," sindir Milla.

Audi menatap gahar kedua temannya yang tidak tahu terima kasih itu. Ia buru-buru menyeruput es jeruknya, takut es jeruknya juga menjadi korban kebiadaban kedua sahabatnya.

"Yah, padahal gue haus," ratap Arlino ketika melihat gelas es jeruk Audi sudah kosong. "Dasar pelit!"

Audi tertawa mengejek. "Akhir bulan, kawan. Kalau mau gue traktir cariin gue sugar daddy sana," kata Audi sembari melempar bekas tisunya ke arah Milla dan Arlino.

Milla menatap jijik Audi. "Lo mah mau traktir bakso aja kudu nyari sugar daddy dulu."

"Ngomong-ngomong soal sugar daddy, gue lupa mau ngasih tahu lo," tiba-tiba Arlino mendadak serius.

"Ohya, itu tujuan gue sama Arlino tadi," Milla juga mendadak serius.

Audi kembali dibuat bingung. Memangnya ada apa dengan sugar daddy?

"Soal Si Bapak, nih."

Mana ada hubungannya Rezvan dengan sugar daddy? Kan Rezvan masih mas-mas, ya kali dia dipanggil daddy.

"Kenapa?" pelan-pelan jantung Audi berdegup agak berisik ketika topik tentang Rezvan tiba-tiba muncul.

"Tadi lo habis konsul, kah?" tanya Milla bak reporter dadakan.

"Iya."

"Terus?" tatapan Milla dan Arlino tampak menuntut.

"Terus?" ulang Audi dengan raut kebingungan.

Arlino rasanya ingin menendang Audi yang otaknya lebih lemot daripada kecepatan internet web universitasnya ketika masa-masa IPK sudah keluar. Belum lagi Audi menunjukkan wajah polos tidak tahunya yang terlihat mengesalkan.

"Terus lo ngapain aja sama Si Bapak?" tanya Arlino tidak sabar.

"Hah?! Gue gak ngapa-ngapain," sergah Audi cepat-cepat.

"Serius?" kali ini ganti Milla yang bertanya.

"Iya. Beneran gue konsul kaya biasanya, kok."

Audi menceritakan kronologisnya. Dia datang pagi seperti biasa. Konsul tugas akhirnya. Kemudian Rezvan memberikan revisi seperti biasanya juga. Semuanya Audi ceritakan kecuali bagaimana sikap Rezvan padanya pagi ini. Rezvan jadi baik padanya. Tak ada bentakan dan tak ada sindiran. Bahkan suaranya lebih lembut daripada jika bicara dengan Deila, mahasiswi favoritnya. Belum lagi tatapan yang Rezvan berikan, itu bisa bikin Audi melambaikan ke kamera saking deg-degannya.

"Kenapa, sih? Kok seakan-akan gue melakukan kesalahan gini," protes Audi. Perasaannya mendadak tidak enak.

Arlino dan Milla saling bertatapan, sebelum salah satu dari mereka mulai bicara.

"Tadi, gue sama Milla nunggu depan administrasi kaya biasanya. Mau konsul gitu. Terus kita lihat Deila keluar dari kantor dosen dengan muka sepet," kata Arlino. "Dia nyamperin gengnya sambil mencak-mencak. Kita gak sengaja denger sih, tapi Deila bilang katanya Si Bapak muji-muji lo gitu."

Iya, tadi Rezvan sempat memujinya. Tumben lo. Pertama kalinya Audi dipuji oleh seorang Rezvan selama tiga bulan dia dibimbing dosennya itu. Semua berkat Kenan yang rela dia ajak begadang mengerjakan tugas akhirnya dengan sogokan crepes dua biji. Kenan minta yang ada marshmallow-nya.

"Muji-mujinya di depan Deila lagi. Doi merasa tersaingi, Di," tambah Milla.

"Iya, sih. Tadi Pak Rezvan sempat muji gue. Tapi kan wajar, gue juga mahasiswi bimbingannya," Audi membela diri.

"Gue sama Milla juga mikir gitu. Emangnya cuma dia doang yang boleh dapat pujian. Emangnya Rezvan punya dia doang," ujar Arlino kesal.

"Dasar ular!" hina Milla. "Pokoknya mulai sekarang lo hati-hati kalau ada Deila. Terutama kalau di deket Pak Rezvan. Bisa-bisa dia tambah menjadi-jadi."

"Mak Lampir satu itu bukan anggota geng gosip gue. Tapi, kenalan dia lumayan banyak buat menyebarkan gosip-gosip, Di. Lo harus hati-hati," kata Arlino memperingatkan.

"Bentar-bentar. Kalian ngomong gitu seakan-akan gue sama Si Bapak ada hubungan tahu gak," semprot Audi.

"Loh, kita pikir begitu. Habisnya pas gue sama Milla konsul, kita berdua denger Rezvan ngomongin lo sama Pak Haris. Pak Haris kan dosen penelitian lo, yang suka muji kerajinan lo, kan?"

"Iya, sih. Habisnya temen gue suka ilang-ilangan. Gue yang sering ngurus apa-apa ke Pak Haris," kata Audi membenarkan.

"Pokoknya Pak Rezvan lagi semangat-semangatnya ghibahin lo sama Pak Haris."

"Itu mah emang doinya yang ghibahin gue, ogeb. Bukan ada hubungan," Audi melemparkan tisu bekas kembali kepada kedua sahabatnya itu.

Audi sejenak berpikir. Tidak ada yang tidak mungkin kalau sudah menyangkut Deila. Gadis itu ambisinya lebih besar daripada siapapun. Mungkin benar kata Milla dan Arlino, ia harus ekstra hati-hati menyangkut Deila dan Rezvan.

Siapa tahu juga kalau Rezvan benar-benar membuktikan perkataannya soal menghapus batas batin itu. Audi mungkin tidak yakin dengan perasaannya pada Rezvan, begitu pun sebaliknya. Audi tidak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali. Terutama jika ia masih ada sesuatu yang mengganjal.

"Di, Audi?"

"Apa, Mil?" tanya Audi tidak bersemangat.

"Gebetan lo lewat!"

To be Continued    


Author's Corner

Sudah hari Rabu!! Yeeey

Terima kasih buat yang sudah kasih cinta buat cerita ini dan karakternya. Actually, I can't take it for granted. Sebagai balasan cinta kalian (cieee), aku akan update seminggu dua kali. /clap/

Nah, minta saran dong kira-kira enaknya update di hari apa selain hari Rabu.

- Kamis

-Jumat

-Sabtu

Komen terbanyak akan menentukan pilihan, yaaa. Jangan minta hari Rabu, nanti aku tepar wkwkwk

Terima kasih buat yang sudah sempetin baca, kasih bintang, dan komentar.

XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top