8. Ada Banyak Momen Tidak Terduga dengan Bapak
Mahasiswa selain kuat mental, hatinya harus lebih kuat.
***
Audi tidak bisa fokus. Pekerjaannya tak kunjung selesai sedari tadi. Padahal, Elle sudah memintanya untuk menemani ke rumah sakit. Audi melirik jam dinding di kamarnya. Rasanya waktu berlalu sangat cepat.
"Karena itu berarti Kenan gak mau berbagi tentang kamu sama saya."
Audi menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba memperoleh kembali kewarasannya.
Sialan Pak Rezvan, batin Audi gusar.
Kata-kata yang dilontarkan oleh Rezvan kemarin lusa itu masih membekas di ingatannya. Ketika ia bertanya kepada Rezvan apa maksud kata-kata ambigu tersebut, Rezvan hanya diam saja, seolah-olah ia tidak pernah berbicara hal seperti itu. Konsultasi mereka hari itu berakhir biasa saja. Tidak ada sindiran maupun amarah seperti biasanya. Benar-benar normal.
Audi mencoba melanjutkan pekerjaannya. Saat ini ia harus lebih fokus lagi mengerjakan tugas akhirnya. Ia menjadi lebih termotivasi setelah berbicara banyak hal dengan Kenan. Ah ya, Kenan!
Audi ingat ia juga punya janji dengan Kenan sore ini. Katanya ada hal mendesak yang harus dilakukan oleh Kenan dan hanya Audi yang bisa membantunya. Bertahun-tahun mengenal Kenan, Audi yakin jika hal mendesak itu tidak seberapa penting dibandingkan tugas akhirnya ini.
Walau sikap Rezvan padanya akhir-akhir ini mulai melunak, tapi bukan berarti Audi bisa seenaknya saja. Sekali-dua kali ia masih mendapatkan sindiran kejam Rezvan. Les private dan kejadian yang tak terduga masih kurang mempererat hubungan mereka.
"Di! Yuk, anterin kakak ke rumah sakit," tiba-tiba Elle masuk ke kamar Audi, sudah dengan pakaian rapi.
"Maaf, Kak. Audi lupa ternyata ada janji sama Bang Kenan," kata Audi dengan raut wajah penuh penyesalan. "Audi pesenin taksi aja, ya?"
"Selalu Kenan yang diutamakan, ya?" seru Elle kesal.
Audi menyengir menanggapi kakaknya itu. Habisnya Kenan sudah seperti kakak kandung Audi sendiri.
Beberapa saat kemudian, taksi online pesanan Audi datang. Audi menatap mobil minibus yang mengangkut kakaknya yang sedang kesal itu dengan tatapan panjang. Ia kepikiran banyak hal. Dan ini pelan-pelan membuatnya tidak tenang.
***
"Mau kemana, sih, Bang?" tanya Audi.
"Kemana aja asal sama kamu," goda Kenan, ia masih fokus menyetir di jalanan yang sore ini ramai sekali.
"Gombal."
Mobil mereka berhenti di salah satu rumah makan yang cukup terkenal di kota. Audi turun dari mobil, menyusul Kenan yang sudah mendahuluinya masuk ke restoran tersebut. Audi mengekor pada Kenan. Mereka masuk agak ke dalam bagian restoran tersebut.
"Wah, ditraktir Bang Kenan makan-makan, nih?" tanya Audi antusias.
"Lihat aja ntar," jawab Bang Kenan misterius.
Kenan menyuruh pelayan yang sudah menghampiri mereka untuk kembali ke tempatnya. Kata Kenan, mereka akan memesan nanti saja. Audi jadi terheran-heran. Sebenarnya Kenan niat mentraktirnya atau tidak, sih? Bikin kesal saja.
"Jadi, disuruh duduk doang, nih?" ujar Audi memberengut.
Kenan tertawa kecil. "Bentaran doang elah nunggunya. Masih nunggu yang punya hajat ini."
"Hajat? Boker?"
"Bukan. Ih, maksud aku tuh nunggu yang mau bayarin kita makan ini lo," jelas Kenan tidak sabar.
Audi hanya mengangguk. Ia tidak paham dengan maksud Kenan. Kenan juga tidak menjelaskan apa-apa kepadanya. Tapi, Audi bisa menarik kesimpulan kalau akan ada satu orang lagi yang bergabung dengan mereka. Yang paling membuat penasaran, siapa orang yang mau-maunya membayari makan Kenan? Padahal Kenan itu makannya bar-bar.
"Aku kira kamu yang bayarin aku makan, Bang."
"Mahasiswa perantauan luar negeri kaya aku itu lagi fakir, Dek. Ini liburan juga gak dikasih Bunda uang saku yang banyak," Kenan malah curhat.
Iya juga, sih. Audi sendiri juga mahasiswa. Ya, walaupun ia setiap hari bisa pulang ke rumah, ia bisa memahami kondisi mahasiswa perantauan seperti Kenan. Temannya juga banyak yang anak perantauan.
Suasana restoran ini benar-benar menyenangkan. Sebelumnya, saat masuk pertama kali ke restoran ini, Audi sama sekali tidak menyadarinya. Dekorasi restoran ini dominan dengan pernak-pernik khas Jawa. Belum lagi samar-samar terdengar alunan musik keroncong yang menyegarkan indra pendengaran. Audi jujur saja suka sekali dengan suasana restoran ini.
"Asyik, ya, lagunya?" Kenan seperti menebak apa yang ada di kepala Audi. "Ini nih yang bikin kangen Indonesia. Khas banget."
Kenan menutup matanya dan mencoba menikmati lagu. Sesekali kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan lembut. Audi sempat tersenyum kecil melihat tingkah Kenan yang absurd itu.
Tanpa disadari Kenan dan Audi, seseorang berjalan ke meja yang mereka duduki. Ia sempat berhenti sejenak. Ia tidak tahu dengan perasaan yang menghinggapinya kini ketika melihat dua orang itu bersama. Dengan agak terburu-buru, ia berjalan kembali menghampiri kedua orang tersebut.
"Sudah lama nunggunya?"
Audi terhenyak. "Pak Rezvan?"
Kenan yang mendengar nama Rezvan, langsung membuka matanya dan duduk tegap. "Gimana kencannya?"
Rezvan duduk di samping kanan Kenan, yang berarti ia berada di kiri Audi. Mereka duduk di meja bundar dan kebetulan Audi dan Kenan tadi duduk berhadapan.
"Seperti biasa. Gue gak mau ketemu cewek-cewek itu lagi," jawab Rezvan dengan nada lelah.
Kenan tertawa melihat Rezvan yang terlihat suntuk. Sementara Audi hanya terbengong-bengong. Ia heran kenapa di antara semua manusia kenalan Kenan, harus Rezvan orangnya. Ia agak canggung jika masih harus bertemu Rezvan di luar dunia kampus.
"Bilang mama lo makanya," Kenan mulai menirukan nada dan suara Rezvan. "Ma, Rezvan gak mau lagi ketemu cewek random tiap bulan. Mama pilih aja di antara mahasiswa Rezvan."
"Ogah," tolak Rezvan. Matanya tak sengaja melirik ke arah Audi yang sedari tadi diam saja. "Jadi, cewek yang katanya mau lo ajak itu mahasiswa gue sendiri?"
"Iya. Gue tadinya mau ngajak Elle tapi kayanya gak seru. Jadi, gue ajak aja Si Tukang Molor ini," kata Kenan sambil menunjuk Audi.
Setelah itu suasana agak canggung. Kenan berdiri untuk mencari pelayan yang tadi diusir karena mereka akan memesan sekarang. Meninggalkan Rezvan dan Audi berdua saja.
Rezvan memandang Audi yang kini sibuk memainkan ponselnya dan malah mengabaikan Rezvan. "Kenapa mau diajak Kenan?" tanya Rezvan memecah keheningan.
"Saya ditipu Bang Kenan, Pak," jawab Audi kikuk. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan menatap Rezvan. "Bapak tadi habis kencan, ya?"
"Emm... iya, sih. Biasa disuruh mama," Rezvan tampak malu sehingga ia memandang ke arah Kenan tadi pergi.
"Kok pacarnya gak diajak makan bareng, Pak?"
Rezvan buru-buru menjawab. "Saya gak punya pacar, Audiar."
Bagi Audi, agak aneh di zaman sekarang kita kencan tapi tidak mengakui pasangan kencan kita sebagai pacar. Mungkin ini yang disebut kawan-kawannya sebagai yang-penting-jalan-dulu-komitmen-di-akhir. Audi tipe cewek yang memprioritaskan komitmen di atas segalanya. Kalau sayang dan mau serius, ayo sama-sama. Tapi, kalau suka dan tidak ada niat serius, selamat tinggal.
"Oh."
"Kok cuma 'oh'?"
"Habis saya gak ngerti kenapa bapak mau-maunya kencan tapi dia bukan pacar bapak."
"Soalnya saya sudah suka sama orang lain," jawab Rezvan tanpa sadar serta tidak nyambung dan ia buru-buru mengoreksinya. "Maksud saya, mama saya mencoba mengenalkan saya sama wanita lain. Istilahnya blind date, bukan?"
"Iya, blind date, Pak. Saya pikir hanya orang Korea saja, ternyata bapak juga," ada nada geli di pernyataan Audi barusan.
Rezvan memilih untuk diam saja dan tidak menanggapi perkataan Audi yang seakan menyindirnya itu. Mungkin ini balasan sikapnya yang suka bersifat semaunya kepada Audi. Karma does exist.
"Aduh, mbaknya pake ngilang segala," Kenan sudah kembali dari pencariannya. "Kalian gak ngomongin aku, kan?" tanya Kenan curiga.
"Ngomongin lo," balas Rezvan singkat, pandangan matanya tajam ke arah Kenan.
"Bisa aja, Bro. Ohya, cerita dong. Kali ini cewek mana yang beruntung pernah kencan sama lo," Kenan terlihat semangat sedangkan Rezvan sudah uring-uringan.
Audi ingin sekali rasanya berteriak senang. Akhirnya, ia bisa melihat bahkan bisa mendengarkan dengan mata kepalanya sendiri pengakuan seorang Rezvan Brata. Lumayanlah buat gosip dengan Arlino dan Milla nantinya. Rupanya Audi masih belum bisa melupakan balas dendamnya dengan Rezvan.
"Gak separah sebelumnya, sih. Cuma dia ini agak cerewet. Dia tanya segala jenis pertanyaan yang gak penting. Gue sempet kira dia mantan reporter karena gue berasa kaya diwawancara," Rezvan menjelaskan, masih ada rasa kesal di wajahnya yang tampan itu. "Belum lagi dia mulai ngatur-ngatur soal cara ngomong gue, cara gue berbusana, sampe cara gue berpikir soal masa depan. Ini baru pertemuan pertama kami, lo. Kesel gak sih lo?"
Baru kali ini Audi melihat Rezvan berbicara panjang lebar selain topik mata kuliah ataupun di kelas. Mana yang dibicarakan adalah hal sepele terkait wanita. Bagi Audi, ini adalah pengalaman keduanya melihat betapa 'manusia'-nya Rezvan. Yang pertama ketika Rezvan makan tentu saja.
"Ngeselin, sih. Menurut kamu gimana, Dek?" tanya Kenan mengalihkan perhatiannya kepada Audi. Rezvan juga ikut menatap Audi, menanti tanggapan mahasiswanya itu.
Audi agak gugup ketika Rezvan menatapnya dengan tatapan menuntut. Rasanya seperti konsultasi tugas akhir tapi beda kasus.
"Ya, aneh cewek kaya gitu. Baru pertama ketemu rasanya gak etis kalau udah mencampuri urusan pribadi," jawab Audi sebaik mungkin.
"Nah!" seru Kenan. "Mencampuri urusan lo tuh, Van. Belum jadi apa-apa udah ngatur, besok jadi istri lo bisa-bisa dia jadiin lo budaknya."
Bang, adek lo ini juga jadi budaknya Rezvan lo, pikir Audi miris.
Rezvan berdeham. Ia juga tampak salah tingkah. Untung saja, pelayan yang tadi menghilang sudah muncul kembali dan mulai mencatat pesanan ketiga orang tersebut.
Rupanya, hari ini adalah ulang tahun Rezvan yang ke-26. Pantas saja Rezvan berbaik hati mentraktir sahabatnya ditambah mahasiswa bernama Audiar. Kenan dengan heboh mengeluarkan sekotak birthday cake ukuran kecil dari kantong kertas yang rupanya dia bawa sedari tadi. Sebuah kue tiramisu dengan lilin yang menunjukkan 26 di atasnya.
"Ayo, make a wish, Van," kata Kenan setelah menyalakan lilin.
Rezvan menutup matanya. Rezvan lumayan lama dalam membuat permohonan. Ia kemudian meniup lilin. Audi dan Kenan bertepuk tangan senang. Terlintas di pikiran Audi kira-kira permohonan apa yang diminta Rezvan, mengingat Rezvan nyaris memiliki segalanya.
"Happy birthday, my brother, Rezvan. Stay healthy. Get married soon, okay?" ujar Kenan dengan kerlingan menggoda.
Rezvan tersenyum mengejek dan mengiyakan ucapan selamat dan embel-embel dari Kenan. "Lo juga kapan?"
"Pak, selamat ulang tahun. Semoga bapak semakin baik ya ke saya," Audi berkata sambil sedikit memberikan pandangan memohon.
Rezvan tersenyum kecil lalu mengangguk paham. "Makanya saya berusaha sebaik mungkin mengajari kamu. Asal kamu dengarkan semua kata-kata saya."
"Aduh, Van. Berhenti jadi sok gitu, deh. Lo niat nyiksa adek gue?" tanya Kenan tidak terima.
"Apaan, sih," sela Audi tersipu.
"Kayanya gue yang tersiksa," bisik Rezvan, nyaris tidak dapat didengarkan oleh baik Kenan maupun Audi. Ia menatap kedua orang tersebut penuh arti.
***
Tahu rasanya ketika semesta berkonspirasi seperti apa? Hal itulah yang dirasakan Audi saat ini. Lagi-lagi ia harus terjebak berdua dengan Rezvan dalam situasi yang tak terduga.
Audi harus menumpang mobil Rezvan untuk kedua kalinya. Kenan yang mendadak ditelfon oleh Elle, tidak bisa menolaknya. Akhirnya, ia terpaksa meninggalkan Rezvan dengan Audi.
"Kenan sama Elle ternyata jauh lebih dekat daripada yang saya kira, ya?" ujar Rezvan ketika mereka dalam perjalanan pulang.
"Kan mereka temenan dari SD, Pak. Jelas dekat," jawab Audi.
"Kalau kamu juga deket banget sama Kenan, ya?"
Audi menoleh untuk memandang Rezvan yang sedang menyetir. "Dari kemarin Bapak kok nanya itu terus, sih? Kan sudah saya jawab," balas Audi, ia lupa tidak mengontrol nada bicaranya yang cenderung ketus saat menghadapi Rezvan.
"Kan saya cuma memastikan."
Mobil berhenti ketika lampu merah. Rezvan memanfaatkan itu untuk berbicara sambil menatap Audi.
"Tadi saya kepikiran mau kasih Bapak kado ulang tahun," kata Audi pelan. "Setelah saya pikir-pikir, mending Bapak gunain kesempatan itu buat tanya sesuatu ke saya aja."
"Memang bisa?" Rezvan tampak agak bingung.
Audi menegakkan badan. "Saya kasih kesempatan Bapak buat bertanya."
Audi berpikir mungkin lebih baik seperti ini. Dia yakin selama ini Rezvan jadi agak kepo semenjak Kenan pulang ke Indonesia. Lumayanlah Audi tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang untuk memilih hadiah.
"Boleh tanya apa saja?"
Audi mengangguk. "Asal jangan tanya kapan saya bisa sidang. Itu Bapak yang tahu, hehe."
Rezvan tersenyum mengejek kemudia mengangguk paham.
Rezvan tampak berpikir sejenak. Audi menanti dengan sabar. Harus sabar karena kalau dia tidak sabaran bisa-bisa Rezvan kembali ke dalam mode menyebalkan. Hari ini hari ulang tahun Rezvan, jadi Rezvan tampak normal. Lampu hijau menyala.
"Kamu senang tidak dapat dosen pembimbing seperti saya?" Rezvan mulai bertanya.
Samasekali engga.
"Senang kok, Pak. Bapak pintar soalnya."
"Menurut kamu cara membimbing saya gimana?"
Mengerikan. Apa bedanya gue kuliah sama kerja romusha?
"Kamu nyaman gak sama saya?" Rezvan agak melirik Audi, ingin melihat bagaimana tanggapan mahasiswanya itu.
Nyaman bagaimana, Pak? Aduh, nanti gue baper.
"Selama ini nyaman, Pak," jawab Audi tidak yakin. Tidak yakin apa maksud Rezvan sebenarnya.
Rezvan tersenyum kecil. "Kamu pilih saya apa Kenan?" tanya Rezvan tanpa basa-basi.
Jantung Audi rasanya berhenti sesaat kemudian memompa dengan cepat. Efeknya, wajahnya agak bersemu merah. Rezvan adalah orang yang susah ditebak. Ia bahkan tidak berani melirik Rezvan. Ia hanya bisa diam dan memegang erat sabuk pengamannya. Kewarasan mentalnya sedang diuji oleh Rezvan.
"Kayanya masih susah buat jawab, ya?" Rezvan tersenyum kecut. "Kalau gitu saya kasih kesempatan kamu buat tanya balik sama saya."
Audi tampak kikuk. Kalau diberi kesempatan bertanya ia akan bertanya banyak hal seperti 'kenapa Rezvan hanya jahat padanya saat membimbing?', 'Kenapa Rezvan selalu mengkritiknya?', dan 'Kenapa Rezvan seperti ini kepadanya?'.
"Tanya apa, ya?" Audi tertawa miris. "Kayanya engga ada, deh."
"Yakin?"
"Emm... kan hari ini Bapak ulang tahun, permohonan Bapak apa?" tanya Audi setelah berpikir keras selama beberapa detik.
"Rahasia. Masa saya kasih tahu ke kamu."
Iya juga.
"Kenapa Bapak mau disuruh Tante Hadi buat kencan buta?"
Pertanyaan yang agak privasi sih, tapi Audi sungguh-sungguh penasaran. Ada sekian juta wanita di dunia ini dan seorang Rezvan memilih untuk kencan buta? Ia bahkan tidak perlu dijodohkan kalau ingin menikah. Tinggal tunjuk, wanita tersebut pasti tak perlu dua kali untuk mengiyakan. Bahkan dengan segala prestasi dan fisik yang mumpuni, bisa saja ada pejabat yang melirik Rezvan. Audi sudah dengar beberapa gosipnya dari Milla.
"Saya mau nurutin kata Mama dulu. Soalnya mama saya gak setuju saya punya pacar bule," jawab Rezvan. Ada nada sedih dalam suaranya. Audi bisa merasakannya.
Jadi, memang benar kata Kenan kalau dulu Rezvan sempat punya hubungan dengan wanita asing di Australia dulu. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang melingkupi hati Audi ketika mendengarnya. Terlihat jelas kalau Rezvan sangat atau paling tidak pernah benar-benar mencintai wanita itu.
"Ooh..."
"Tapi sepertinya sekarang saya akan meminta mama saya untuk menghentikan blind date bodoh itu," ujar Rezvan.
"Kenapa, Pak?"
Rezvan tersenyum misterius. "Saya sudah ada orang yang saya sukai, Audiar."
Audi melongo. Dosennya yang terkenal killer seantero prodinya mengalahkan Pak Khalid, tiba-tiba saja membuat pengakuan mengejutkan. Bukan sembarang pengakuan, tapi pengakuan kalau pria itu sedang jatuh cinta!
"Bapak sudah move on?" tanya Audi penasaran.
Rezvan mengangguk. "Itu sudah lama. Buat saya, hubungan dengan dia dulu sangat tidak bisa dilupakan. Tetapi saat ini saya mau fokus sama karir saya," Rezvan menjeda kata-kata hanya untuk menatap Audi intens. "dan saya ingin mengenal baik orang yang sudah membuat saya khawatir."
Audi yang ditatap seperti itu oleh Rezvan, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mereka sudah sampai di depan rumah Audi. Tapi tak ada seorang pun yang turun dari mobil. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak terkecuali Audi yang perasaannya seperti diombang-ambingkan.
"Pasti orang itu beruntung banget ya, Pak," ucap Audi sambil mencoba mencairkan suasana yang terasa aneh itu.
"Oh tentu saja. Dia secara tidak langsung mengakuinya, kok," kata Rezvan misterius.
"Wow, how brave she is," kata Audi tak bisa menutupi kekagumannya. Adakah wanita yang tidak terintimidasi oleh aura Rezvan? Siapa gadis itu?
"Sayangnya, saya masih harus berusaha lebih keras lagi. Dia membuat batas tak terlihat dengan saya," kata Rezvan tampak lelah.
Audi mengangguk paham. Dalam bagian hatinya yang jahil, ia agak merasa geli bagaimana cara Rezvan curhat kepadanya. Jarang-jarang Rezvan mau membuka dirinya sebanyak ini kepada Audi. Ia rasa sebenarnya Rezvan adalah orang yang baik.
"Saya rasa Bapak jangan menyerah sekarang. Mungkin gadis itu belum melihat kesungguhan niat Bapak," Audi mencoba memberikan saran.
"Begitu menurut kamu?" Rezvan tiba-tiba merasa semangat kembali.
Audi mengangguk meyakinkan. "Bapak bisa mencari tahu kenapa gadis itu kelihatan ragu sama niat Bapak. Saya sarankan Bapak lebih aktif lagi. Misalnya, lebih perhatian atau lebih menjaganya. Biasanya cewek-cewek merasa nyaman, Pak. Tapi ingat, jangan berlebihan. Nanti malah ilfeel."
"Kalau gitu..."
Rezvan beralih memandang Audi dengan pandangan yang tidak bisa diartikan oleh Audi. Sedangkan Audi mengamati raut wajah Rezvan yang sedang berpikir keras.
"Audiar,kenapa kamu membuat batas itu di antara kita?"
To be Continued
Author's Note
Ayoo, ucapin selamat ulang tahun ke Pak Dosen hehe. Udah 26 ternyata wkwk
Ohya, kemarin ada yang minta visualisasi karakter. Aku pribadi gak akan menyediakan hehe. Soalnya karakter di cerita ini biar kalian para pembaca yang mengimajinasikannya. Aku hanya mengantarkan mereka agar bisa berkomunikasi dengan kalian (?). Jadi, silakan imajinasikan sendiri :*
Eh ya tapi, weekend kemarin aku lembur drama 'Nothing to Lose'. Ada yang ngikutin atau tahu drama korea ini? Ini ceritanya ga romansa melulu, jadi aku semangat banget lihatnya. Dan pas nonton drama ini di episode 1, aku kaget. Kenapa? Karena lead character cowoknya mirip banget sama Rezvan. Not physically, tapi dari sikap agak mirip gitu. Jadi sepanjang nonton iamjinasiku juga melayang kemana-mana wkwkwk
Sa Eui Hyun di sini kaya cetak birunya Rezvan. Gak mirip sama Rezvan tapi auranya bisa dibilang sama :'). Doi ekspresinya datar terus tapi kalau senyum bisa bikin khilaf huhu. Sekali lagi, terserah kalian mau membayangkan Rezvan itu seperti apa, ya. Jangan terpaku dengan pendapatku hehe.
Oke, terima kasih buat yang sempetin baca, kasih bintang, komen, menambahkan ke library, sama follow akun ini. ILY ( ̄▽ ̄)ノ. Dan jangan lupa baca cerita lain dari Alstoemeria, yaaa. Ceritanya bagus-bagus lo.
Kalau ada kritik dan saran (macam apa aja), kalian bisa komen di kalimat ini. Oke? Ngerti kan maksudku? Hehe. Kalau ada typo juga maafkan, aku nulis sambil ngantuk soalnya hehe.
See U Next Week
XOXO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top