7. Di Atas Langit Masih Ada Langit, Pak.

Jadi orang jangan suka memandang rendah orang lain. Ingat, di atasmu masih ada langit.

***

"Kenapa saya baru sadar bapak menarik?"

"Iya, saya tahu," jawab Rezvan datar, seperti tidak peduli pada pertanyaan Audi barusan. "Ini kamu beneran gak luka, kan?"

Hati saya luka, Pak, batin Audi sedih. Rasanya ditolak pujiannya itu seperti ditolak cinta.

Rezvan membantu Audi berdiri. Ia mengulurkan tangannya.

"Pak, itu tangan bapak yang luka kayanya," kata Audi sambil menunjuk bagian tangan Rezvan yang sedikit lebam.

"Oh, iya," Rezvan tampak tidak kesakitan ataupun cemas melihat luka di tangannya. Dia malah berjalan menuju dapur dan mulai memasak.

Audi yang jantungnya berdetak tidak normal, memilih duduk di meja makan sambil mengamati Rezvan memasak. Ia ingin membantu tapi ada perasaan yang menahannya untuk dekat-dekat dengan Rezvan. Seperti ada alarm yang akan berbunyi kalau dia berada di radius tertentu dengan Rezvan.

Malam itu, mereka makan dalam diam. Rezvan bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun. Setelah makanpun tidak ada yang berubah dengan suasana canggung di antara mereka.

"Pak, saya izin mau masuk kamar dulu," pamit Audi ketika jam masih menunjukkan pukul 9 malam. "Bapak bisa tidur di kamar tamu yang di sana. Sudah saya siapkan, Pak," kata Audi sambil menunjuk salah satu kamar.

Rezvan mengangguk paham. "Saya masih mau lihat film. Bolehkan saya pinjam tivinya?"

"Bapak mau nonton film apa?" tanya Audi mendadak antusias.

"Gak tau, nih. Tadi saya minta film ke mahasiswa. Gak tau nih dia kasih film apa," kata Rezvan, mengeluarkan flash disk berwarna hitam dari saku celananya.

"Saya boleh ikut nonton?"

"Boleh aja. Lagian ini rumah kamu."

Audi dengan semangat mengambil flash disk dari tangan Rezvan dan mencolokkannya ke tv. Tak lupa Audi mengambil stok camilannya dari kamar. Ia duduk dengan manis di samping Rezvan yang sudah mengutak-atik televisi Audi.

"Filmnya gak aneh-aneh, kan?"

"Kamu pikir saya nonton apaan. Tapi gak tahu kalau mahasiswa saya kasih film yang aneh," jawab Rezvan disertai senyum kecil misterius.

"Nonton horor aja, ya."

Audi melonjak kaget. "Pak, plis. Saya takut sama begituan. Nonton komedi aja deh, Pak," Audi memohon kepada Rezvan.

"Kata kamu, lebih horor saya daripada film horor di bioskop," sindir Rezvan.

"Kok bapak bisa tahu?"

Audi rasanya malu sekali. Ia memang pernah marah-marah di depan teman-temannya saat pertama kali konsultasi dengan Rezvan. Ia bilang Rezvan yang diagung-agungkan mahasiswa itu lebih seram dari film horor di bioskop yang sering ia lihat bersama teman-temannya.

"Radar saya bekerja jauh lebih baik daripada kamu," jawab Rezvan enteng. "Pokoknya saya mau lihat horor. Kalau kamu gak mau lihat, yaudah pergi sana."

Ini yang tuan rumah siapa, sih? Kok Rezvan percaya diri sekali mengusir Audi. Mendadak Audi seperti ditantang oleh Rezvan. Harga dirinya yang selama ini diinjak-injak memberontak untuk bangkit. Siapa takut. Audi terima tantangannya.

"Saya ikutan. Saya gak takut," kata Audi mantap.

Rezvan melirik Audi yang sudah memeluk bantal dengan erat. Diam-diam ia tersenyum. "Kalau gak takut, kenapa muka kamu jadi lucu gitu?"

Audi tampak bingung sesaat, kemudian baru menyadari apa yang Rezvan ucapkan. Pelan-pelan, semburat merah muncul. Untung saja Rezvan tidak menyadari kondisi Audi yang juga tengah berjuang melawan serangan baper dari Rezvan.

Mereka berdua memutuskan menonton film horor Thailand berjudul 'Coming Soon'. Rezvan selain menjadi dosen yang tidak punya hati juga merangkap menjadi tetangga yang menyebalkan. Ia dengan tega mematikan lampu ruang keluarga dan hanya menyisakan penerangan dari televisi.

Audi mempersiapkan hati menonton horor. Biasanya kalau menonton horor di bioskop yang gelap, ia akan memeluk lengan Arlino atau Milla. Tapi sekarang dia hanya bisa memeluk bantal. Ia menatap jengkel Rezvan yang sudah duduk santai dengan pandangan fokus menatap layar televisi tanpa memperdulikan perasaan Audi yang campur aduk.

Film dimulai. Sejak awal film, aura gelap sudah terasa. Belum lagi adegan-adegan mengejutkan yang membuat jantung rasanya mau lepas. Bukan sekali dua kali Audi berteriak, nyaris sepanjang film Audi akan berteriak histeris. Hal ini membuat Rezvan berdecak kesal dan tidak sadar memarahi Audi.

"Gimana lagi, Pak. Saya takut. Itu hantunya gak pengertian banget," isak Audi. Ia sudah nyaris menangis hanya karena melihat film horor sialan itu.

"Kan saya ga paksa kamu buat ikutan lihat," ujar Rezvan kesal.

Kalau Audi jantungnya nyaris copot, Rezvan telinganya nyaris tuli. Audi ketika berteriak mungkin hampir sama seperti lumba-lumba yang tengah berkomunikasi. Ultrasonik.

"Saya bisa lebih ketakutan kalau di kamar sendirian sedangkan suara film yang bapak tonton terdengar sampai kamar saya," protes Audi tidak terima.

Rezvan mengalah. Ia menghela nafas. "Kamu boleh peluk tangan saya kalau takut," kata Rezvan sambil mengulurkan tangannya.

"Itu mah bapak yang kesenengan."

Tampaknya Audi harus menarik kata-katanya barusan. Tanpa sadar dia sudah memeluk tangan Rezvan. Rezvan memutar bola mata malas. Beginilah nasib kalau menonton horor dengan penakut level atas.

"Saya gak bakal nonton film itu lagi," kata Audi ketika film menampilkan kredit.

Rezvan yang membereskan sisa camilan tertawa mengejek. "Lagian saya gak yakin kamu bakal nonton horor lagi."

Audi menatap sebal dosennya itu. Ia berjanji ini adalah kali terakhirnya dia akan nonton film dengan Rezvan. Catat, film apapun. Kalau perlu ini adalah terakhir kalinya Rezvan menginjakkan kaki di rumahnya.

"Kamu berani tidur sendiri?" tanya Rezvan ketika dia berada di ambang pintu kamarnya.

"Beranilah, Pak. Memangnya saya harus tidur satu kamar sama bapak kalau saya ketakutan?" tanya Audi jengkel.

"Kalau saya gak keberatan," ucap Rezvan diikuti senyum mengejek yang sialnya terlihat tampan.

Audi tidak menjawab perkataan Rezvan itu dan segera menutup pintu kamarnya dengan keras. Rezvan tersenyum geli.

"Selamat malam, Audiar."

***

Audi yang sehabis shubuh tertidur, kembali terbangun karena suara ketokan di pintu rumahnya. Ia duduk di kasur, masih mencoba mengumpulkan nyawanya yang tercecer akibat ulah Rezvan semalam.

Audi berpikir sejenak. Kalau mamanya tidak mungkin sepagi ini bakal membuat keributan. Lagipula mamanya punya kunci rumah jadi tidak perlu menghebohkan diri pagi-pagi.

Handphone Audi berbunyi. Ada panggilan masuk dari kakaknya yang tinggal di luar negeri. Eleina. Tumben sekali kakaknya itu meneleponnya sepagi ini.

"Halo?"

"Di, bukain pintu, dong. Lo gak wasalam, kan?"

"Hah?"

"Bukain pintu!"

"Ngapain gue harus bukain pintu?" tanya Audi yang belum sepenuhnya sadar.

"Hufft..."

"Dek Audi yang manis, bukain pintu."

Terdengar suara laki-laki yang tidak asing di telinga Audi. Audi sepenuhnya sadar setelah mendengarnya. Ia langsung berlari keluar kamar menuju pintu depan rumah.

Begitu pintu terbuka, dua sosok sudah berdiri menanti dengan bawaan mereka, ransel dan koper. Audi segera memeluk sosok laki-laki yang tadi sudah membuatnya sadar.

"Kak Kenaaaan... Kangeeeen," seru Audi.

Laki-laki yang bernama Kenan itu membalas pelukan Audi.

"Wah, parah Si Audi. Masa yang dipeluk dan dikangenin Cuma Kenan aja."

Audi melepaskan pelukannya dari Kenan dan beralih memeluk kakak semata wayangnya, Eleina yang lebih suka dipanggil Elle. Ia juga rindu kakaknya, hanya saja dia lebih rindu dengan Kenan. Hehe.

Audi membantu dua orang yang baru sampai itu membawakan barang-barang ke dalam rumah. Untuk sekedar informasi, Kenan Saputra adalah teman kakaknya Audi yang sama-sama menempuh ilmu di Australia. Kenan sebenarnya lebih tua setahun daripada Eleina tapi mereka mengambil program waktu di tahun yang sama sehingga sekarang mereka teman satu angkatan.

"Audi, siapa yang datang?"

Ketiga pasang mata segera mengalihkan pandangan ke arah Rezvan yang baru bangun tidur. Audi bersumpah ingin sekali memfoto keadaan Rezvan saat ini dan menyebarkan fotonya pada Arlino dan Milla.

Rezvan sehabis bangun tidur ternyata tidak se-perfect tampilan dia di kampus. Rambut yang biasanya disisir rapi dan klimis, saat ini sudah mirip rambut singa yang mencuat kemana-mana. Belum lagi tatapan mata yang biasanya tajam dan tegas kini terlihat sayu. Anehnya, Rezvan terlihat tetap menarik walau hanya memakai kaos polos, kolor, dan keadaan muka yang jauh dari sempurna itu. Orang ganteng memang beda.

"Loh, kok ada Rezvan?" celetuk Kenan heran.

"Lo ngapain aja sama Rezvan, Di?" tanya Elle curiga.

Audi menepuk dahinya. Ia lupa dengan keberadaan Rezvan di rumah ini saking bahagianya bertemu dengan Kenan. Ia kemudian menjelaskan keadaan sebenarnya kepada dua orang yang penasaran itu.

"Bro, lama gak ketemu," Rezvan tanpa ragu memeluk Kenan dan dibalas pelukannya oleh Kenan.

"Semakin cakep bapak dosen kita ini," balas Kenan.

Mereka memutuskan sarapan bersama pagi itu. Kebetulan Rezvan juga tidak harus buru-buru karena jam mengajarnya masih pukul sepuluh. Ia juga ingin melepas rindu dengan sahabatnya itu.

"Ini gue panggil Rezvan doang gapapa, kan?" tanya Elle ragu kepada Rezvan.

"Wah, parah. Dia kakak kelas lo, El," kata Kenan memanas-manasi.

"Santai. Gapapa kok, El," balas Rezvan santai.

"Pak Rezvan kakak kelas Kak Elle?" tanya Audi bingung.

Ketiga manusia di hadapan Audi mengangguk. Fakta terbaru ia dapatkan. Audi yang sudah akrab dengan Kenan karena Kenan teman main kakaknya, sama sekali tidak tahu kalau Rezvan itu sahabat karib Kenan.

Dan Audi hanya bisa menatap bingung tiga orang tersebut yang mulai asyik bertukar kabar seputar Australia.



"Asal kamu tahu aja, Rezvan dulu gak sekaku itu, dek," kata Kenan yang masih fokus menyetir mobil.

Hari ini, Audi diantar Kenan ke kampus. Katanya, sekalian Kenan ingin melihat tempat kerja sahabatnya. Audi mengiyakan saja karena toh dia dapat tumpangan gratis. Bonus yang menyetir mirip dengan Nicholas Saputra. Audi saja baru sadar selain muka yang hampir mirip, namanya juga hampir sama. Kenan Saputra.

"Kok bisa jadi kaya prasasti gitu sih dia, Bang?" tanya Audi penasaran.

Kenan tertawa. Audi sampai harus menengok karena suara tawa Kenan tidak kalah menarik seperti pembawaannya yang riang. Beda sekali dengan dosen pembimbing Audi yang galaknya melebihi macan Asia.

"Habis diputusin pacar bule dia kayanya," jawab Kenan.

"What? Pak Rezvan pernah punya pacar, Bang? Bule lagi?" Audi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Tuh kan, kamu heran gitu dengernya. Biasa aja kali. Rezvan mah terkenal seantero Perth kayanya."

Audi tidak percaya. Rezvan pernah menyelamatkan negarakah sampai-sampai hidupnya mujur seperti itu? Sudah jadi dosen di usia muda, terkenal tampan dan pintar tidak hanya di kampus Audi saja tapi juga Perth. Minus sikap dia yang sudah jongkok sampai ke dasar, mungkin Audi juga sudah mengagumi Rezvan.

"Gak percaya ah, Bang," kata Audi keras kepala. Ia masih tidak mau percaya.

"Dibilangin, kok. Rezvan kan lulus SMA baru 17 tahun, habis itu keterima undangan di universitas nomor satu Indonesia, lulus cuma 3 tahun 8 bulan. Belum lagi habis lulus ditawari beasiswa S2 dan S3," Audi kira Kenan akan berhenti mengoceh, "habis lulus kuliah dia sempat magang lagi di perusahaan minyak terkenal sebelum daftar jadi dosen di tempat kamu."

Tiba-tiba, Audi merasa seperti remahan rengginang. Audi sendiri yang mendengar segala prestasi akademik Rezvan saja sudah terheran-heran. Ia tidak bisa menampik kalau segala trait unggul Rezvan itu yang membuatnya tampak bodoh selama dibimbing Rezvan.

"Jenius..."

"Yup. Gimana gak banyak cewek kepincut? Dosen cewek aja banyak yang kagum sama dia. Kadang aku juga iri tahu," nada suara Kenan tampak sedih. "Makanya gak heran kalau selain akademik dia bagus, relationship dia juga termasuk realtionship goals kaya kata-kata kids jaman now."

Audi mencoba menghibur orang yang sudah dia anggap kakak itu. "Ih, menurut aku Bang Kenan yang terbaik. Pak Rezvan mah kalah jauh. Pokoknya Bang Kenan terbaik!"

Kenan tertawa kembali. Ia mengacak-acak rambut Audi. Rupanya mereka sudah hampir sampai di kampus Audi.

"Dek, ini nanti pada heboh gak temen-temen kamu?" tanya Kenan sebelum turun dari mobil.

"Heboh gimana, Bang?" Audi menatap Kenan bingung.

"Siapa tahu pacar kamu cemburu kalau lihat kamu turun sama cogan," jawab Kenan polos.

"Audi lagi gak punya pacar, Bang," ujar Audi malas. Meninggalkan Kenan duluan menuju gedung kampusnya.

"Loh yang terakhir dulu udah engga?" repet Kenan penasaran, ia berhasil menyusul Audi.

"Iya. Males. Dia tukang ngatur. Emangnya tukang parkir pake ngatur-ngatur segala ya kan, Bang?"

Seperti yang sudah Audi duga, semua mata mengikuti sosok Kenan begitu Kenan lewat di hadapan mahasiswa entah perempuan atau laki-laki. Audi tidak heran, sih. Pemandangan cowok seperti Kenan ini memang jarang di fakultas teknik. Kalaupun ada, pasti Cuma sedikit. Fakultas teknik memang banyak cowoknya, tapi gersang cowok bening. Ganteng-ganteng sih, tapi dalam sudut pandang yang berbeda 😊.

"Bang Kenan pulang dari sini langsung banyak fans kayanya," seloroh Audi ketika mereka berdua duduk di kantin teknik.

Kenan yang tampak antusias melihat ke segala penjuru kampus Audi, hanya tertawa kecil. Ia rupanya kangen dengan suasana kampus di Indonesia yang khas. Di sini hal sekecil apapun bisa menarik perhatian mata. Kalau di luar sana orang-orangnya sudah individualis, jadi kebanyakan tidak begitu peduli sekitarnya.

Audi memanfaatkan kesempatan yang ada. Ia segera mengeluarkan naskah tugas akhirnya dan menyodorkannya tepat di muka Kenan.

"Apa ini?" tanya Kenan bingung.

"Bantuin Audi koreksi tugas akhir Audi, hehe," pinta Audi sambil mengeluarkan jurus senyum manisnya.

Kenan menerima naskah Audi dan membacanya sekilas. Sekali-kali kepala Kenan mengangguk paham. Ia menopang dagu dengan tangan kanannya. Raut wajahnya biasa saja, tidak menunjukkan ada hal yang aneh. Kalau Rezvan, baru membaca baris pertama saja alisnya sudah naik satu senti. Kalau sudah merasa ada hawa kesalahan sekecil apapun, jurus nyinyirnya tak terbendung. Aduh, Audi jadi ingin dosen pembimbing seperti Kenan saja. Boleh tidak?

"Kerjaan kamu udah bagus, sih," kata Kenan setelah selesai mengoreksi naskah Audi. "Kalau menurutku, konsep kamu udah bener. Sumber referensi serta alasan juga jelas."

Audi bersorak girang. "Aku traktir bakso deh, Bang."

Kenan tidak bisa menahan senyum gemasnya pada Audi, kembali mengusak kepala Audi. "Mau deh aku gantiin Rezvan jadi dosen kamu biar dapet bakso gratis tiap selesai bimbingan."

"Dasar, ada maunya juga."

Audi minta diajarin beberapa hal oleh Kenan sembari menunggu jadwal konsultasinya setelah makan siang. Kenan dengan senang hati membagikan ilmunya. Toh, dia setelah lulus S2 juga ingin jadi dosen. Jadi, hitung-hitung belajar menghadapi mahasiswa lewat Audi.

"Oh, Audi ngerti. Jadi, harus diginiin dulu, ya?" tanya Audi sambil membuat coretan di kertasnya.

"Iya. Terutama kalau kamu pakai proses kaya di tugas akhir kamu. Ini menurut penelitian lebih efisien, sih."

"Oke sip, Bang," Audi tampak senang. "Bang, gih lulus terus jadi dosen Audi."

"Aku jadi dosen di sini pun kamu udah lulus," jawab Kenan.

Audi ber-oh ria. Audi melirik jam tangannya. Sebentar lagi dia harus segera menemui Rezvan tepat waktu. Harap catat, tepat waktu. Semenit telat saja, Rezvan bisa dua puluh menit ceramah tentang menghargai waktu dan sebagainya.

"Bang, aku konsul sama Pak Rezvan dulu, ya?"

"Oke. Nanti abang tunggu di mobil, ya?" Audi mengangguk kemudian berlari menuju gedung prodinya.

Audi merapikan penampilannya sebelum masuk ke ruangan Rezvan. Biarpun dia tidak secantik Deila di mata Rezvan, dia juga mau usaha terlihat 'mending'. Audi masuk setelah ia dipersilakan masuk oleh Rezvan.

Audi duduk di seberang Rezvan. Rezvan siang ini terlihat normal dibandingkan tadi pagi. Ia sudah kembali dalam mode dosen. Kali ini Audi agak percaya diri menyerahkan tugas akhirnya untuk dicek Rezvan. Semua berkat ilmu yang sudah diajarkan kilat oleh Kenan. Terbekatilah Kenan Saputra.

Rezvan meneliti naskah Audi dengan seksama. Tangan kanannya sudah siap memegang pensil, bersiap-siap jika sewaktu-waktu ada tanda-tanda kesalahan.

"Kamu dekat dengan Kenan, ya?" tanya Rezvan tanpa menatap Audi.

"Deket banget, Pak. Kayanya dari kecil udah nempel sama dia. Hehe," jawab Audi mencoba mencairkan suasana tapi gagal karena Rezvan tampak tidak tertarik.

"Kenapa Kenan gak pernah cerita tentang kamu ke saya?"

Perlu ya, Pak?

Audi bingung mau menjawab apa. Sepertinya tidak penting informasi tentang dirinya untuk disebarkan kepada teman-teman Kenan. Audi bukan artis atau orang yang perlu diperhatikan, bukan?

"Karena itu berarti Kenan gak mau berbagi tentang kamu sama saya."


To Be Continued


Author's Corner

Hayoo, Rezvan kenapa tuh?

Ohya, itu film 'Coming Soon' yang habis ditonton Rezvan sama Audi wajib banget kalian lihat. Ada yang pernah nonton? Itu film horor paling kampret yang pernah aku lihat. Aku yang ga takut sama begituan, harus rela jerit-jerit sama temenku bertiga di kosan siang-siang wkwkwk. Suspense thriller horror-nya dapet banget. Dari awal nonton udah pacu jantung. Gak mau deh aku nonton lagi wkwkwk

Anyway, terima kasih buat yang sempetin baca, kasih bintang, komen, masukin ke library, dan follow akun ini. Aku seneng banget bacain komen kalian terus bales satu-satu (kalau ada yang belum, maapin aku yaa kadang ga kelihatan atau akunya yang ga baca :')). Terima kasih juga buat yang kasih kritik dan saran. :*

Untuk karakter Rezvan yang kejam itu cuma buat hiburan aja, kok wkwk. Di dunia nyata dosen kejam gak sesadis dia. Eh, ada sih. Tapi wujudnya beda wkwkwk

Aku buka segmen Q&A, nih. Siapa tahu ada yang mau nanya-nanya. Oke?

- Rezvan 

- Audi

- Kenan

- Milla

- Arlino

- HappinessLee_ aka Veni (siapa tahu ada yang nanya. Siapa tahu wkwkwk)

Ntar yang jawab mereka sendiri, kok. Aku gak bakal ngerecokin wkwkwk

Happy reading and see u next week!

XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top