22. Au Revoir
Satu, aku ucapkan 'Hai'. Dua, aku ucapkan 'selamat datang'. Tapi, aku tak ingin mengucapkan yang ketiga. Selamat tinggal.
***
Pertanyaan Rezvan masih terngiang-ngiang di telinga Audi bahkan ketika waktu telah berlalu cukup lama. Intensitas pertemuan mereka sudah tidak sesering dahulu. Bukan karena pertengkaran, Rezvan harus seminar ke luar negeri selama seminggu.
Pagi ini, perasaan Audi juga sedang tidak baik. Mulai dari bangun kesiangan, abang ojek yang nyasar ketika mengantarkannya ke kantor, sampai disemprot rekan kerjanya. Audi yang selalu menahan amarahnya kali ini tidak bisa menahannya lagi. Ia menangis di bilik kamar mandi kantornya, membuat orang-orang yang lewat menjadi ketakutan.
Untung saja sepulang kantor, Audi mendapatkan obatnya. Siapa lagi kalau bukan bapak dosen gantengnya.
"Masih kesel?" tanya seorang pria yang wajahnya sudah terpampang di layar laptop Audi.
Audi menggeleng.
"Udah puas marah-marahnya," jawab Audi dengan lega.
Rezvan tertawa. Meskipun mereka sedang dipisahkan jarak beribu-ribu mil, tetap saja Rezvan merasa dekat dengan Audi. Ia mendadak rindu dengan Audinya.
"Iya, marah-marahnya ke aku. Kamu balas dendam dulu aku marah-marahin?" sindir Rezvan.
Audi tertawa kecil. "Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Puas udah ngeluarin uneg-uneg dan balas dendam sama dosen rese."
"Glad to know that you are okay."
"Gak ngantuk? Gimana seminarnya lancar?" tanya Audi.
Ia merasa khawatir ketika melihat wajah lelah Rezvan. Wajah yang biasanya bersinar kini terlihat kusam dan tampak lelah. Audi tahu, walaupun Rezvan bilang kalau di sana dia hanya duduk santai menikmati seminar, sebenarnya banyak pikiran yang mendera pria itu.
"Ngantuk, sih. Tapi ngobrol sama cewek cantik bisa bikin aku segar kembali," kekeh Rezvan.
"Gombal. Bukannya di Spanyol banyak cewek cantik dan bohay? Tipe kamu banget ga, sih?" selidik Audi.
Rezvan tampak gelagapan.
"Sok tahu. Atas dasar apa coba kamu menyimpulkan hal kaya gitu?"
Audi mengangkat bahunya tanda tidak tahu. "Nebak aja. Biasanya bener."
"Denger ya, Audiar. Mau secantik apapun wanita lain, masih kalah sama kamu. Wonder woman aja kalah sama kamu. Kamu tahu joker sama Harley Quinn?"
Audi mengangguk. Siapa sih zaman sekarang yang tidak kenal mereka? Bahkan ketika dia masih kuliah dulu, pasangan eksentrik itu sangat terkenal. Rasanya ketika halloween tiba, banyak orang yang menyaru menjadi Harley Quinn, mantan dokter yang jatuh cinta dengan penjahat bernama Joker.
"Ibaratnya, aku itu Harley Quinn dan kamu adalah Joker," kata Rezvan dengan wajah serius.
"Kok kebalik?" alis Audi bertaut. Ia keheranan dengan analogi Rezvan yang berbeda dari orang kebanyakan.
"Karena cara aku jatuh ke kamu sama kaya cara Si Harley."
"Idih, ga kreatif," kata Audi geli. "Ingat gelar S3 kamu gak sepadan sama candaan kamu, Mas."
"Gelar S3 beda sama gelar yang bisa kamu kasih buat aku, Audi," ujar Rezvan tenang.
"Gelar dari aku? Apaan?" tanya Audi yang semakin dibuat heran oleh Rezvan.
"Gelar jadi imam kamu, lah. Apalagi coba."
Audi terdiam. Lagi-lagi Rezvan membahas hal seperti ini.
"Hahaha," Audi tertawa terpaksa. "Mas, di Spanyol udah jam 2 dini hari, kan? Udahan, ya? Semangat besok seminarnya."
Tampak wajah kecewa terlihat di wajah Rezvan, tapi dengan cerdiknya pria itu berhasil menutupinya dengan senyum yang menenangkan. Selalu begini, pikir Rezvan.
Audi menutup aplikasi Skype dan laptopnya. Ia menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya. Ia memang lega sudah menyalurkan rasa rindunya dan perasaan kesalnya kepada Rezvan. Kemudian dia sadar, ada perasaan tidak siap ketika Rezvan mengangkat topik itu ke permukaan.
Pernikahan.
Audi tahu, tidak banyak pria yang bersedia berada di sisi wanita yang sudah menolak lamaran pernikahan berkali-kali dan Rezvan menjadi sedikit pria yang mau tetap di sampingnya. Audi juga sadar jika ia terlalu lama seperti ini, bukan tidak mungkin Rezvan akan lelah dan berhenti. Audi memang tidak siap menikah, tapi dia juga tidak siap jika harus ditinggalkan oleh Rezvan.
Malam itu, pikiran Audi berkelana. Menelusuri seluruh perasaannya kepada Rezvan dan kenangan mereka berdua. Audi tidak mau kehilangan Rezvan. Namun, dia terlalu takut untuk melangkah lebih jauh.
***
"Lo harus lihat wajah Dewa Dosen ketika Pak Khalid nolak proposal proyeknya. Anjir, itu epik banget," ujar Arlino dengan semangat. "Setelah itu, Pak Khalid ngajar dengan suasana yang ayem banget. Kayanya dia girang banget hari itu."
Milla yang mendengarnya terkikik puas, sedangkan Audi hanya tersenyum kecil.
"Pasti puaslah Pak Khalid. Kaya gak inget aja zaman-zaman ketika dia kesel abis gara-gara proyek dia dihambat sama Dewa Dosen," tambah Milla.
"Inget, Dewa Dosen sudah bukan lagi Dewa Dosen," kata Audi mengingatkan.
"Oh iya, panggil Pak Harun aja, ya?"
"Aneh ga, sih, ternyata udah hampir tiga tahun kita lulus kuliah. Waktu cepet banget, ya?" Milla menatap kedua sahabatnya dengan tatapan antara haru dan senang.
Mereka bertiga kembali berkumpul di kafe langganan mereka saat kuliah dulu. Berkumpul seperti ini juga menjadi momen langka yang sudah mulai mereka rindukan. Audi sudah sibuk dengan pekerjaannya sebagai Account Engineer, Milla dengan pekerjaannya sebagai enterpreneur, sedangkan Arlino memilih melanjutkan pendidikan S2 di prodi yang sama dengan S1-nya dahulu.
"Aneh. Tapi gue seneng-seneng aja, tuh," jawab Arlino santai.
"Iyalah. Perut lo tuh semakin berkembang dengan baik. Sepertinya bayinya sehat, ya, Pak?" canda Audi.
"Sialan lo, Di. Ini bayi ga keluar walau udah lebih dari 9 bulan," balas Arlino, menanggapi candaan Audi.
"Bayi kudanil kali. Lo bukannya menyusut tapi malah berisi, No." Milla sampai geleng-geleng kepala melihat temannya satu itu semakin subur aja.
"Gue lebih bahagia menjalani S2 ini ketimbang waktu S1 dulu. Feel-nya beda," jelas Arlino dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan.
"Pak Rezvan tambah galak apa tambah lunak sama mahasiswa, No?" tanya Milla penasaran, matanya mengerling menggoda kepada Audi yang sudah mengalihkan perhatian ke arah rombongan yang baru datang ke kafe.
Arlino langsung memasang wajah kesal. Ia menatap datar Audi yang bahkan tidak menatap kedua sahabatnya. Padahal Milla dan Arlino sudah siap melihat bagaimana tanggapan Audi mengingat Audi jarang sekali buka-bukaan tentang hubungannya dengan dosen killer itu. Berita hubungan keduanya masih menjadi berita hangat di kalangan mahasiswa dan dosen walau sudah 3 tahun berlalu.
"Apaan. Orang minggu lalu gue habis disemprot gara-gara hasil penelitian gue jelek," adu Arlino. "Katanya penelitian gue ga layak masuk jurnal internasional kaya Scopus gitu. Bahkan dia bilang kalau penelitian gue gak layak masuk jurnal nasional. Sakit ga sih? Gue bela-belain tidur di lab gara-gara itu."
Milla tampak bersimpati. "Lah, kalau gak masuk jurnal internasional lo kagak bisa lulus dong?"
Arlino mengangguk. "Di, bilang ke Mas lo itu jangan galak-galak ke gue dong. Gue masih ada cewek yang harus segera gue halalin, nih."
"Ya bilang ke dia. Jangan lupa dikerjain yang bener tesisnya," balas Audi tidak peduli. Ia memainkan ponselnya tanpa memedulikan pandangan kesal kedua sahabatnya.
Suasana hening menyelimuti ketiganya walaupun suasana kafe sedang ramai-ramainya. Ada satu spot yang paling disukai Audi, Milla, ataupun Arlino dari kafe ini. Ada panggung kecil yang tersedia di kafe tersebut. Biasanya Kamis malam atau Minggu malam ada berbagai band indie yang mengisi panggung tersebut. Membawakan berbagai macam lagu dengan alunan yang khas dan menyenangkan.
Kebetulan sekali hari ini adalah hari Minggu. Mereka bertiga sepakat menanti penampilan band indie yang akan tampil.
"Minggu kemarin yang tampil keren banget. Satu almamater sama kita. Gila, anak muda zaman sekarang aktif banget, ya?" kata Milla kagum.
Audi dan Arlino mengangguk paham. "Beda banget sama kita yang cupu-cupu dan pemalas ini, ya? Boro-boro aktif di seni, ngerjain OTK 3 aja udah kaya zombie," kata Arlino.
Ketiganya tertawa dan larut dalam nostalgia masa kuliah mereka. Mulai dari tempat makan sampai gosip-gosip lawas kawan-kawan mereka. Kuliah merupakan salah satu masa-masa paling bahagia bagi mereka. Ingin rasanya diulang kembali ke saat dimana mereka bertiga bertemu dan memulai kisah bersama.
Mereka bertiga terpaksa harus menghentikan percakapan seru ketika orang-orang mulai berteriak antusias ke arah panggung. Milla yang semangat untuk melihat penampilan band indie langsung memutar punggungnya menatap panggung dengan antusias, sampai dia melihat sesuatu yang familiar.
"Guys, kayanya aku kenal yang di atas panggung itu," kata Milla agak keras karena suara penonton mulai riuh rendah, memenuhi setiap ruang di kafe itu.
Audi dan Arlino ikut mengarahkan pandangan ke arah yang sama dengan Milla. Jantung Audi rasanya hampir copot ketika melihat sosok di atas panggung tersebut. Sosok yang sudah diabaikan sejak kemarin lusa. Rezvan.
"Ngapain cowok lo di atas panggung, Di? Dia gak ada niat pengen nyanyi, kan?" tanya Arlino dengan tampang horor.
Audi jadi ikut merasa horor hanya dengan membayangkannya saja. "Gak tahu. Semoga aja dia Cuma bantuin ngangkat kabel."
"Kayanya engga, deh. Lihat!"
Pandangan ketiganya langsung terpusat pada Rezvan yang duduk di kursi di atas panggung, ditemani oleh salah satu laki-laki yang sudah siap dengan gitarnya. Dengan wajah gugup, Rezvan memegang mikrofon dan menatap ke seluruh penjuru ruangan. Rezvan langsung tersenyum ketika menemukan apa yang dia cari. Audi sampai heran bagaimana Rezvan menemukannya di tengah kerumunan penonton yang tiba-tiba sudah memenuhi kafe.
"Selamat sore semua, saya Rezvan," beberapa penonton wanita langsung menatap Rezvan memuja. "Ini teman saya, Bima. Kami ingin menghibur kalian semua di sini dengan penampilan sederhana kami. Selamat menikmati," kata Rezvan dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya.
"Terutama untuk kamu yang saya nantikan keputusannya."
Dan seketika hati Audi mencelos.
Diikuti petikan gitar dari Bima.
Audi tidak pernah menyangka kalau suara Rezvan membuatnya gugup dan tenang di saat yang bersamaan.
You make me feel out of my element
Like I'm walkin' on broken glass
Like my worlds spinnin' in slow motion
And you're movin' too fast
Ini adalah ketika tatapan Rezvan tidak pernah lepas dari gadis itu. Seakan gadis itu adalah pusat gravitasinya.
Were you right, was I wrong
Were you weak, was I strong, yeah
Both of us broken
Caught in a moment
We lived and we loved
And we hurt and we joked, yeah
But the planets all aligned
When you looked into my eyes
And just like that
The chemicals react
The chemicals react
Perasaan yang sama yang Audi rasakan setiap Rezvan menatapnya tepat di kedua maniknya. Saat itulah perasaannya mulai campur aduk.
You make me feel out of my element
Like I'm drifting out to the sea
Like the tides pullin' me in deeper
Makin' it harder to breathe
Audi sudah siap jatuh, meluncur begitu saja tanpa pengaman. Karena dia yakin, akan ada satu orang yang siap menangkapnya ketika dia terjatuh nanti.
We cannot deny, how we feel inside
We cannot deny
Ingin seberapa banyak Audi menyangkal, ia tetap tidak bisa menutupi kebenaran.
Were you right, was I wrong
Were you weak, was I strong, yeah
Both of us broken
Caught in a moment
We lived and we loved
And we hurt and we joked, yeah
But the planets all aligned
When you looked into my eyes
And just like that
The chemicals react
The chemicals react
Kaleidoscope of colors
Turning hopes on fire, sun is burning
Shining down on both of us
Don't let us lose it (don't let us lose it...)
Were you right, was I wrong
Were you weak, was I strong, yeah
Both of us broken
Caught in a moment
We lived and we loved
And we hurt and we joked, yeah
We lived
We loved
We hurt
We joked
We're right
We're wrong
We're weak
We're strong
We lived to love
But the planets all aligned
When you looked into my eyes
And just like that
Watch the chemicals react
And just like that
The chemicals react
(The chemicals react)
Audi terpana. Bahkan siapapun yang mendengar juga mampu merasakan bagaimana perasaan pria itu. Dan Rezvan sukses mengantarkannya dengan baik.
Tanpa basa-basi, Rezvan segera menutup penampilannya dengan ucapan terima kasih kemudian menghilang ke belakang panggung. Beberapa penonton tampak kecewa melihat penampilan Rezvan yang sangat singkat. Selain karena suara Rezvan yang merdu, para wanita tampaknya kurang puas menikmati paras Rezvan yang menyegarkan mata itu.
Audi bangkit dari kursinya dan bergegas menyusul Rezvan. Milla dan Arlino tidak sempat menyadari kepergian Audi yang begitu cepat. Mereka berdua masih terhipnotis pesona lain dari dosennya itu.
Audi berjalan cepat melewati kerumunan penonton yang entah sejak kapan sudah memenuhi sekitar panggung. Penampilan Rezvan sudah selesai tapi Audi pun masih bisa merasakan bagaimana kharisma pria itu di sana. Audi yakin kalau Rezvan menjadi artis, ia akan terkenal dengan cepat. Tiba-tiba Audi benci memikirkan ide tersebut.
Audi akhirnya menemukan sosok Rezvan yang sedang asyik berbicara dengan pemilik kafe bersama Bima, rekannya tadi bernyanyi. Sejenak Audi tampak ragu untuk mendekati Rezvan. Sampai pada akhirnya, Rezvan tak sengaja melihat ke arahnya.
Rezvan tampak pamit. Dengan langkah cepat, Rezvan menuju ke arah Audi. Senyumnya masih belum hilang, malah semakin lebar seiring langkahnya menuju ke Audi.
"Hai," sapa Rezvan ketika ia sudah berdiri menjulang di hadapan Audi.
"Hai."
"Gimana suka?" tanya Rezvan.
Audi mengangguk. Tipikal seorang Rezvan, tidak pernah mau berbasa-basi menanyakan bagaimana kabarnya selama ditinggal Rezvan ke luar negeri selama seminggu. Ketika Audi bertanya, pasti jawaban Rezvan selalu sama.
"Gak perlu aku tanya hal sepele kaya gitu. Karena kamu pasti baik-baik saja. Karena seorang Rezvan tidak akan pernah membiarkan Audi sedih dan kesepian."
Audi selalu berpikir kalau kata-kata itu tidak ada maknanya. Ia tidak benar baik-baik saja. Tapi kini Audi sadar makna kata-kata itu. Bukan baik-baik dalam arti sesungguhnya, tapi baik-baik secara perasaan. Audi memang tidak pernah merasa cemburu atau cemas ketika jauh dari Rezvan.
"Kamu tahu, aku harus latihan lama banget buat menampilkan sesuatu kaya tadi. Aku rela-relain gak latihan presentasi seminar. Kamu harus tanggung jawab," protes Rezvan.
"Kan kamu sendiri yang melakukan itu, Mas. Mana pernah aku nyuruh," bela Audi, mengelap keringat Rezvan yang menetes di dahi pria itu dengan ujung lengan bajunya.
"Kotor, Sayang," sergah Rezvan.
"Gapapa. Ini gak seberapa sama usaha kamu buat curhat di depan panggung kaya tadi," goda Audi.
Rezvan tersenyum malu.
"Aku ada oleh-oleh dari Spanyol, nih. Mau lihat?" tawar Rezvan dengan wajah berseri-seri.
Audi yang penasaran mengangguk. Ia tidak berharap Rezvan membawakannya buah tangan, tapi Audi juga tidak bisa menyangkal kalau dia suka kejutan dan hadiah. Siapa yang tidak suka, sih?
Rezvan merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel dari tangannya. Audi menatap heran. Dengan tenang Rezvan mengotak-atik ponselnya. Audi jadi semakin penasaran dengan 'oleh-oleh' apa yang dibawa Rezvan jauh-jauh dari tanah Eropa sana.
"Kamu lihat sini," Rezvan menyerahkan ponselnya kepada Audi.
Audi bingung sejenak. Sebuah video dimainkan.
Awal video dibuka dengan pemandangan jalanan ramai khas kota-kota besar di Eropa. Pikiran Audi dipenuhi banyak pertanyaan ketika melihat suasana di video itu tidak seperti di Spanyol. Lebih ke arah suasana khas Belgia atau Belanda.
Audi tersentak kaget ketika melihat wajah papanya muncul di video tersebut. Tersenyum hangat seperti ketika Audi menceritakan segala keluh kesahnya. Tiba-tiba dia rindu papanya.
"Halo, Om. Udah siap?"
Audi bisa mendengar suara Rezvan walaupun di video tersebut tidak ada sosok Rezvan. Karena Rezvan sendiri yang mengambil video tersebut.
"Aduh, Om gugup, nih," celetuk Papa Audi.
Suara Rezvan tertawa terdengar. Rezvan mulai menenangkan Papa Audi yang tampak pucat karena gugup. Audi ikut tersenyum ketika papanya tertawa canggung karena dirinya direkam oleh kamera.
"Ehem," Papa Audi mulai mencari kepercayaan diri. "Halo, Audiar, anak papa yang paling cengeng. Gimana kabarnya? Papa baik-baik aja di sini. Doakan segera kembali ke Indonesia, ya?"
"Iya, Pa," bisik Audi, mencoba menahan air matanya.
"Hari ini Belgia cerah. Entah kenapa cuacanya mendukung sekali untuk jalan-jalan santai seperti ini. Apalagi ditemani anak ganteng ini." Papa Audi tampak menepuk pundak Rezvan.
"Ngomong-ngomong soal anak ganteng ini, Papa awalnya bingung ketika dia bela-belain mampir Belgia dari Spanyol Cuma buat ngobrol santai sama Papa," Papa Audi mulai bercerita. "Dia bilang dia lagi jatuh cinta sama seseorang dalam waktu yang lama. Mereka sudah punya status sementara, tapi si anak ganteng ini ga terima. Dia maunya lebih. Emang maruk dia," sindir Papa Audi.
Terdengar suara Rezvan tertawa malu-malu.
"Papa awalnya gak ngerti. Tapi sekarang Papa paham sama dia, sama keluh kesah dia. Dan papa salut ada anak ganteng kaya dia yang berani datang langsung ke papa menyampaikan tujuannya," jelas Papa Audi. "Walau dia bukan yang pertama."
"Yang pertama kakak ipar kamu, Audi," bisik Rezvan tepat di telinga Audi, membuat Audi menahan napas sesaat.
"Tapi papa salut ketika dia dengan berani mengatakan tujuan dia menemui papa. Papa udah punya perasaan gak enak. Udang di balik batu. Ternyata bener, Audiar." Papa Audi menampilkan wajah kaget yang tampak canggung. "Dia bilang dia mau ambil anak papa yang paling berharga."
Kali ini Audi menyempatkan diri melirik Rezvan yang sudah senyum-senyum tidak jelas.
"Tapi dia tadi ngeles dikit. Dia bilang dia gak akan buat kamu sedih. Setiap hari bahagia. Mungkin dulu-dulu dia pernah bikin kamu sakit, makanya dia mau ganti semua hari sedih kamu sama hari bahagia bareng dia."
"Papa Cuma ingin Audiar bahagia sama siapapun pilihan kamu. Dan dia berhasil membujuk Papa. Bakat dia kayanya jadi sales promotion boy," celetuk Papa Audi diiringi tawa. "Maaf, Audiar. Papa rela lepasin kamu buat dia. Papa juga ingin kamu bahagia dan papa lihat dia gak pernah mengingkari janjinya. Kamu mau?"
Audi mencoba mencerna semua kalimat dari papanya tadi. Bulir-bulir air mata sudah membasahi pipinya. Entah air mata kebahagian atau kerinduan akan papanya.
Rezvan mengambil ponselnya dari tangan Audi. Ia memegang kedua pundak Audi dan menatap gadis itu dengan tatapan yang Audi tidak bisa artikan.
"Jadi, kali ini kamu mau jawab apa, Audiar?"
Audi terdiam.
Ia tahu dia sudah terlalu lama berdiri di tempat yang sama tanpa beranjak. Mungkin sudah waktunya dia pergi. Berjalan ke antah berantah. Kali ini tidak sendirian, karena dia yakin ada orang yang akan tetap berjalan beriringan dengannya dalam segala kemungkinan.
"Tapi aku takut," bisik Audi, tidak berani menatap mata tajam Rezvan.
Rezvan mengangkat dagu Audi agar gadis itu menatapnya. Rezvan bisa berbicara kalau memang ada ketakutan dan keraguan di mata coklat itu. Ia kembali tersenyum menenangkan.
"Maka takutlah. Karena dengan begitu kehadiran aku di sisi kamu bisa lebih terasa. Berdua lebih baik daripada sendiri, bukan?"
Audi akhirnya tersenyum kecil. Perasaannya sedikit demi sedikit mulai tenang. Ia hanya berharap keputusan yang diambilnya nanti tidak salah.
"Aku gak akan kasih kamu cincin sekarang. Karena ketika kamu berkata 'iya', bukan hanya cincin yang bisa aku kasih ke kamu. Semua milikku adalah milikmu. Bahkan semua mimpi yang aku punya, itu adalah bagian dari kamu," kata Rezvan tenang. "Cukup bilang 'Iya', semuanya milik kamu, Audiar."
Audi masih menatap mata teduh yang sekaligus tajam itu. Ia tahu, ia pernah membenci sosok di hadapannya. Kemudian dia menyadari kalau bukan hanya dia yang berubah, tapi juga Rezvan. Semua tidak pernah dibayangkan, bagaimana yang tidak mungkin menjadi mungkin. Yang tadinya tidak ada menjadi ada. Lalu apa yang Audi takutkan?
"Kamu beneran cinta aku?"
Rezvan tidak menertawakan pertanyaan Audi ataupun mengolok-oloknya. Justru dengan sabarnya Rezvan mengatakan banyak hal yang menenangkan hati Audi.
"Kalau gak cinta, mana mau aku nungguin jawaban kamu selama 3 tahun? Soal ujian aja bisa dikerjain dalam waktu singkat, tapi soal dari aku baru bisa kamu kerjakan sekarang," kata Rezvan. "So, kamu mau temani dosen killer kamu ini kemana-mana? Sampai mau memisahkan? Sampai ada replika kamu atau aku nanti?" tanya Rezvan dengan agak geli.
Audi tidak bisa menahan tawanya. Ia tahu ini bukan lamaran paling manis yang pernah ada. Bukan lamaran impiannya juga. Tapi entah mengapa, lamaran ini jauh lebih menyakinkan dan penuh perasaan. Semuanya terasa berharga.
"Emmm...."
Wajah Rezvan harap-harap cemas ketika menanti jawaban dari Audi. Dia takut ditolak untuk kesekian kalinya. Bisa-bisa dia jadi bujang lapuk karena Audi.
"Yes, I do."
THE END
Author's Corner
Finally, final stage!
Pertama-tama, aku ingin mengucapkan permintaan maaf atas keterlambatan dan segala alasan yang aku buat ehehe. Serius, dua minggu ini kerjaan aku numpuk kaya dosa aku :'). Untung aja hari ini agak selow, bahkan tiga puluh menit sebelum pulang kerja udah gak ada kerjaan. Jadilah, aku menuntaskan hutangku hehe. Terima kasih juga sudah berlapang dada menerima segala kekurangan karya aku. Makasih juga buat yang sudah menyempatkan diri membantu aku memperbaiki kesalah aku yaa. Serius bakal kangen komentar kalian yang ga jelas itu hahaha /canda :'"/
Kedua, aku ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih buat yang sudah mau baca, kasih bintang, ataupun kasih komentar di karya aku. Itu apresiasi yang sangat sangat berharga buat aku :'). Doakan ya aku biar punya buku suatu saat lagi /ngarep banget hahaha/. Makanya, aku pengen banget belajar nulis yang lebih baik lagi.
Ketiga, aku mau terima kasih buat berrynies , RVasilevsky , sama kkumisoo sebagai sahabat penulis aku yang sudah dukung aku. Semoga suatu saat mimpi-mimpi kita jadi nyata. Amiin.
Keempat, terima kasih buat Rezvan dan Audi yang sudah hadir dalam salah satu fase hidup aku. Kalian karakter yang meninggalkan kesan terdalam buat aku. :') Semoga ke depannya kita bisa sama-sama lagi.
Kelima, apa yaa... Buat yang kepo lagu itu, itu lagunya aly & aj 'Chemicals React'. Kids jaman old pasti tahu haha /ketahuan udah berumur/. Serius seminggu terakhir ini aku seneng banget sama lagu itu, sama lagunya zac efron yang Rewrite the Star. Keduanya jadi sumber inspirasi aku.
See U on my next story. Jangan lupa baca 'Cheeky Writer'. Aku maksa /evil smirk/
Bye!
XOXO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top