21. Bagaimana Caranya....
Sebelum baca, ini aku kasih tempat buat hujat aku yang suka nelat ini 😂😂😂. Kalau sudah lega, silakan baca. Jangan lupa bahagia hari ini!
Zaman sekarang segalanya serba instan. Dikit-dikit lihat tutorial. Tapi ada yang tidak bisa pakai tutorial : Sayang.
***
Audi menatap matahari yang mulai kembali ke peraduannya dengan tatapan datar. Waktu memang terasa berjalan lambat sekali. Rasanya dia sepertinya sudah duduk selama satu jam, padahal ia baru saja mendudukkan pantatnya selama dua puluh menit.
"Kemana, sih?" gerutu Audi.
Ia berkali-kali membuka aplikasi chatting miliknya. Sesekali jemarinya dengan lincah memencet keyboard virtual itu dengan kesal. Dari dulu Audi benci sekali menunggu.
Coklat hangat yang dia pesan tadi sudah habis. Sama sekali tidak menyisakan apapun di gelasnya. Audi segera memanggil pelayan, memesan untuk kedua kalinya.
"Pesan satu jus apel, ya."
Pelayan tersebut mengangguk kemudian kembali meninggalkan Audi sendiri.
Audi merasa kesepian. Padahal di sekitarnya banyak pengunjung yang datang berdua atau beramai-ramai. Audi merasa menjadi seseorang yang aneh sendiri hanya karena duduk sendiri tanpa melakukan aktivitas berarti.
"Audi!"
Audi berdecak kesal. Bukan karena orang yang dia nanti selama ini akhirnya datang juga walau telat, tetapi karena kebiasaan orang itu yang sejak dahulu tidak berubah. Memanggil namanya dengan suara keras.
"Bisa ga sih manggilnya biasa aja," kata Audi kesal.
Orang yang sekarang duduk di hadapannya hanya meringis sambil minta maaf. "Lupa, Neng."
"Loh, Kak Elle mana?" tanya Audi sambil memandang Kenan heran.
"Lagi jagain Moni. Rewel dari pagi. Dia nitip minta maaf," jawab Kenan tak peduli. Kenan langsung menyeruput jus Audi tanpa minta izin terlebih dahulu, membuat si pemilik memilih diam saja menahan kesal.
Sudah hampir tiga tahun sejak pernikahan Kenan dan Elle. Dua tahun setelah menikah, hadirlah Harmoni Laut Biru alias Moni, keponakan perempuan Audi yang menggemaskan. Untungnya keluarga kecil Kenan itu memutuskan menetap di Indonesia sejak tiga bulan yang lalu. Meski mereka tinggal di daerah yang berbeda dengan Audi, Audi masih bisa mengunjungi Moni kapanpun.
"Moni sakit ya, Bang?" raut wajah Audi berubah khawatir.
Kenan mengangguk. "Demam gara-gara giginya mau tumbuh. Telat banget, sih. Tapi jadi kasihan kalau denger dia nangis," keluh Kenan.
"Kasihan Kak Elle juga pasti," ujar Audi penuh simpati.
"Iya, nih. Tiap nyusui sakit katanya. Kemarin sempet kusuruh berhenti. Biar Moni minum susu formula dulu. Tapi si Elle ngotot mau nyusui Moni pakai ASI eksklusif," kata Kenan dengan wajah pasrah.
Audi paham betul dengan ke-keraskepala-an Elle. Kalau iya, Elle akan iya. Tapi kalau sudah tidak, apapun alasannya Elle akan tetap tidak. Audi kadang bisa takjub bagaimana Bang Kenan-nya yang slengekan bisa bersatu dengan Elle yang keras kepala sampai muncul Harmoni yang sesuai namanya, membawa keharmonisan bagi keluarganya.
"Dari tadi dia belum datang?" Kenan mengedarkan pandangannya ke segala arah di kafe tersebut.
"Belum." Audi menggeleng. Dari tadi ia juga merasa gelisah dengan situasi seperti ini.
"Aduh, pergi jauh. Lama lagi, masih aja ngaret," omel Kenan tidak pada siapapun.
"Mungkin pesawatnya delay. Lagian perjalanan dari bandara ke sini ga sebentar," kata Audi mencoba berpikir positif. "Kenapa kita gak jemput dia di bandara aja?"
Kenan sudah berhasil menghabiskan segelas jus apel milik Audi. Ia menatap Audi dengan tatapan tidak percaya.
"Jadi cewek jangan usaha keras-keras kaya gitu. Udah diem aja, biar dia yang nyamperin kamu."
Audi terhenyak. Kalimat yang sama yang pernah dia dengar dahulu dari seseorang. Tiba-tiba ia merasa aneh.
"Elle sama kamu itu beda ya, Dek? Hidupmu penuh perjuangan, sedangkan Elle selalu diperjuangkan."
"Nyindir?"
Kenan menahan tawa. Kenyataan memang berbicara seperti itu. Audi memang seseorang yang tidak pernah berhenti berjuang. Bahkan hingga saat ini.
"Habis ini kamu gak bakalan merasa kesindir, kok," ujar Kenan penuh misteri.
Audi yang sebelumnya menatap galak Kenan sekaligus memperlihatkan wajah tersinggungnya langsung membatu tatkala matanya bertemu pandang dengan manik gelap nan teduh itu.
Dia berdiri di sana. Tangan kirinya bahkan masih memegang pegangan pintu kafe, tapi senyum dan pandangnya terasa dekat walau ia masih beberapa meter dari tempat Audi dan Kenan.
Rezvan segera mempercepat langkahnya ke arah tempat duduk Audi dan Kenan. Senyum kecil masih mengembang di bibirnya.
Tanpa basa-basi, Rezvan segera memeluk Audi yang masih membatu di tempatnya. Dari jarak sedekat ini, Rezvan bisa merasakan kehadiran Audi lebih nyata dibandingkan sebelumnya.
"Hey, miss you," bisik Rezvan.
"Eit, eit," Kenan segera bangkit dari duduknya dan memisahkan Rezvan dan Audi. Membuat kedua orang itu menatap Kenan dengan pandangan heran.
"Belum muhrim, Van. Sabar dikit napa, sih," protes Kenan, menyembunyikan Audi di belakang punggungnya.
"Apaan, sih? Orang Audinya biasa aja," balas Rezvan tidak terima.
"Sadar umur woy, udah nyaris kepala tiga masih berlagak kaya ABG jatuh cinta aja," sembur Kenan.
Kenan segera menyuruh Audi pindah duduk di sampingnya. Membiarkan Rezvan menempati tempat duduk Audi sebelumnya. Rezvan menatap Kenan dengan pandangan sebal. Ia sedang bahagia akhirnya ia bisa bertemu Audi tapi malah dipisahkan oleh Kenan yang pasti sudah tertawa penuh kemenangan dalam hati. Sialan kamu, Kenan!
"Lo telat," kata Kenan membuka pertemuan mereka sore itu. "Gak kasihan ada yang nungguin lo di sini dari tadi."
Rezvan melirik Audi yang malah sibuk dengan ponselnya. Ia sebenarnya tidak enak karena mengingkari janjinya walaupun itu hanya telat 30 menit.
"Dulu, ada yang kalau aku telat satu menit, nyeramahinnya sampai setengah jam sendiri," Audi berbicara dengan tenang.
Kenan yang mendengar penuturan Audi langsung melotot ke arah Rezvan. Rezvan sendiri memilih berpura-pura tidak tahu. Ia memilih untuk membaca majalah yang disediakan di dekat meja mereka.
"Sok tahu banget tuh orang, Dek," kata Kenan penuh penekanan. Tatapan lasernya masih belum bisa lepas dari sosok Rezvan yang sudah seperti badak karena kulit tebalnya.
"Emang," balas Audi ketus.
Rezvan berdehem. Ia tampak salah tingkah. Kenapa pula Audi harus mengingatkan sikapnya yang memang agak keterlaluan itu sekarang? Di hari-hari biasa Audi hanya akan anteng tanpa bersikap aneh-aneh. Ini pasti pengaruh dari Kenan, Rezvan yakin soal itu.
Kenan bangkit dari duduknya.
"Kalian melepas kangen dulu, deh. Aku mau beliin titipan Elle dulu," kata Kenan, kemudian berlalu.
Kalau tidak ingat ini tempat umum, Rezvan pasti langsung menarik Audi seperti yang ia lakukan tadi. Sayangnya saat ini kondisi perasaan Audi tidak terlalu baik. Bertahun-tahun mengenal Audi membuat Rezvan sedikit demi sedikit paham dengan Audi. Dan ia akan terus belajar tentang Audi.
"Masih ngambek?" tanya Rezvan, ia pindah duduk di samping Audi sehingga Audi samar-samar bisa mencium wangi after shave Rezvan.
Kangen.
Tapi gengsi.
"Kaya anak kecil aja ngambek," jawab Audi masih dengan nada ketus.
Rezvan menangkup wajah Audi. Pipi Audi menggembung karena Rezvan menangkup erat wajah Audi. Rezvan menggerakkan kepala Audi pelan disertai ekspresi wajah yang kebingungan.
"Dilihat dari manapun kamu masih seperti anak kecil," kata Rezvan setelah hampir satu menit mengamati wajah Audi hingga si pemilik wajah bersemu merah.
"Aku udah dua puluh lima tahun lo, Mas," kata Audi tidak terima. "Ini masuknya wanita dewasa."
"Terserah, deh," jawab Rezvan. "Dua puluh lima itu udah lewat dua puluh tahun tapi belum tiga puluh tahun. Dibilang dewasa juga dewasa tanggung," Rezvan terkekeh.
"Dua puluh lima tahun itu biasanya udah banyak yang nikah, lo. Orang kalau nikah itu kan berarti dewasa secara mental." Audi mulai berpidato di samping Rezvan yang menatapnya penuh minat.
"Zaman sekarang juga belum umur dua puluh lima aja udah nikah. Sadar ga sih, Mas, standard dewasa kita itu udah berubah. Beda banget sama zaman dulu," celoteh Audi. "Aku tuh suka kesel kalau ada orang yang nanya, 'Kapan Audi nikah?', 'Kapan nyusul Elle?', atau 'Audi gak bosen kerja terus?'. Kesel ga sih?"
Rezvan mendengarkan segala keluh kesah Audi dengan sabar. Sesekali senyum kebapakan merekah. Ia jadi teringat ketika berada di usia yang sama dengan Audi, ia juga sering mendapat pertanyaan seperti itu. Sayangnya, Rezvan yang dulu seakan tidak peduli dan memilih tidak menanggapi omong kosong itu.
"Terus kamu maunya apa?" tanya Rezvan dengan sabar.
"Hmm?" Audi menatap Rezvan bingung.
"Kamu gak mau dibilang anak kecil. Standard kedewasaan saat ini tuh pernikahan. Tapi, kamu kesel kalau ditanyain mau nikah kapan," Rezvan menyimpulkan satu-satu dari pernyataan Audi tadi. "Kamu kode minta dilamar apa gimana, sih?"
Tepat sasaran. Justru hal itu membuat Audi jadi salah tingkah. Pipinya kembali bersemu merah.
"Engga, kok," elak Audi.
Rezvan tertawa. "Iya, iya. Aku tungguin kamu sampai kamu siap."
***
"Gimana? Enak seminar di Londonnya?" tanya Audi ketika mereka baru saja tiba di rumah Rezvan.
"Enak. Gratis soalnya," kekeh Rezvan, meletakkan jas yang tadi dia pakai di sofa begitu saja.
Audi yang melihatnya langsung tanggap, mengambil jas itu dan menggantungnya di gantungan jas di samping pintu. Kadang dia tidak habis pikir bagaimana seorang Rezvan hanya dalam kurun waktu tiga tahun bisa tampak berbeda dari Rezvan yang dahulu dibayangkannya.
Rezvan masih menjadi dosen di kampus Audi dulu. Bahkan sekarang dia menjadi bendahara jurusan di bawah pimpinan Pak Khalid sebagai ketua prodi yang baru. Bayangkan betapa telitinya Rezvan dalam mengatur uang jurusan. Yang Audi dengar, Rezvan tidak mau menerima laporan dana dengan nominal sisa nol rupiah begitu saja. Dia harus tahu digunakan untuk apa saja uang yang selalu digunakan oleh mahasiswa untuk urusan organisasi dan acara-acara jurusan. Berkat hal itu, Rezvan semakin dicap sebagai dosen killer di jurusan Audi.
Sudah hampir tiga bulan ini Audi dan Rezvan tidak bertemu. Urusan pekerjaan menjadi alasan keduanya. Rezvan yang sibuk mengajar dan mengikuti seminar di dalam maupun luar negeri dan Audi yang sibuk ke luar kota karena tuntutan pekerjaannya sebagai konsultan Water Treatment.
"Mama kemana?" tanya Audi ketika dia melihat kalau rumah Rezvan kosong, sama sekali tidak ada orang kecuali mereka berdua.
"Tadi katanya arisan. Sejak pensiun, beliau jadi sering arisan ga jelas gitu," kata Rezvan terdengar lelah.
"Mama kamu mama-mama sosialita, sih. Beda sama Mamaku yang sekarang jadi bandar Toplesware," kikik Audi, geli karena Mamanya saat ini punya aktivitas baru sebagai penggiat wadah makanan sehat.
"Harusnya ibu-ibu kan begitu. Punya aktivitas bermanfaat instead of nongkrong di restoran mahal sambil gosip. Aduh, Mama aku harus tobat kayanya."
"Gapapa. Kan duit dia sendiri," kata Audi membela calon ibu mertuanya.
Rezvan bergumam tidak jelas dan langsung meninggalkan Audi untuk mandi. Audi yang sendirian memilih untuk masuk ke ruang kerja Rezvan. Ia masih ingat bagaimana mereka dulu sering menghabiskan waktu berdua di sini.
Rezvan yang selalu serius menatap laptop dan Audi yang konsentrasinya terbelah antara tugas akhir dengan budak kerja rodi Rezvan. Ia masih ingat bagaimana Rezvan memarahinya karena salah memberi nilai di salah satu hasil ujian mahasiswa. Harusnya ia hanya memberi nilai lima puluh, tapi Audi salah menulis menjadi enam puluh. Kalau saja Rezvan tidak melihatnya, mahasiswa tersebut pasti bebas dari bayangan ujian remidial karena batas nilainya enam puluh pas.
Audi tidak sadar jika sudah hampir tiga tahun berjalan. Ia yang awalnya merasa sial mendapat dosen seperti Rezvan sebagai dosen pembimbingnya, lama-lama merasa kalau itu adalah hal yang patut disyukuri. Dia tiga tahun yang lalu adalah dia yang kekanak-kanakan. Padahal dunia luar saja dia belum paham. Inilah problematika anak zaman sekarang. Idealisme adalah harga mati.
Dering ponsel menyadarkan Audi dari lamunannya akan masa lalu. Ia melihat caller id yang tercantum nama Elle. Tumben kakaknya bawel tersebut meneleponnya.
"Halo?"
"Dimana?"
Audi berdecak kesal dalam hati. Another straightforward person exists.
"Di rumah Mas Rezvan."
"Ngapain lo di situ?". Terdengar suara Elle naik satu oktaf.
"Gak ngapa-ngapain. Orang habis pulang dari nongkrong di kafe. Kenapa Kak?"
Ada jeda sebelum Audi mendengar helaan napas dari Elle.
"Tadi Kenan telpon. Temen dia -yang sekaligus temen baik gue juga, pingsan di kantornya. And it happened kalau dia kayanya kena kanker. Parahnya dia gak tahu kalau dia punya riwayat sakit parah kaya gitu."
"Ok. Terus gue harus apa?"
"Jagain Moni, ya. Kenan gak berani jagain temen gue sendirian karena temen gue itu cewek. Jadi, Kenan nyuruh gue jagain dia bareng-bareng."
"Hmmm..."
"Ini gue perjalanan ke rumah. Mama ada ga, sih? Dari tadi gue telpon tapi teralihkan terus."
"Mama pergi ke rumah bude, Kak. Yaudah, biar nanti Moni Audi yang jagain. Tapi besok pagi-pagi harus lo ambil. Besok gue ada meeting sama client."
"Sip. Minta Rezvan suruh nginep rumah aja. Siapa tahu kalau Moni rewel dan butuh gue."
"Iya."
Elle langsung mematikan sambungan. Audi menatap ponselnya seakan tidak percaya. Bagaimana caranya mengurus bayi? Oke, Audi memang sering bermain bersama Moni. Itupun selalu ada ibunya.
"Kok tegang gitu kenapa?" tiba-tiba Rezvan sudah muncul di samping Audi.
Wangi sabun strawberry tercium dari Rezvan. Sebenarnya terlalu manis untuk ukuran cowok tulen seperti Rezvan. Audi menunjukkan wajah cemas.
"Kak Elle minta buat jagain Moni," ujar Audi resah. "Gimana caranya?"
Rezvan ikut berpikir. Dia tidak begitu menyukai anak kecil. Selain karena merepotkan, Rezvan sama sekali tidak mengerti anak kecil walaupun ia pernah mengalami yang namanya menjadi anak kecil.
"Bentar aku lihat youtube dulu." Rezvan membuka laptopnya dan mulai menjelajah di dunia maya.
Audi yang ikut penasaran akhirnya juga duduk di sebelah Rezvan dan ikut menonton video dengan seksama. Selama menanti Elle datang, sudah hampir empat video cara mengasuh bayi yang mereka lihat.
Rezvan menghela napas.
"Susah, ya punya anak. Besok-besok kita jangan punya anak banyak-banyak, Audi," celoteh Rezvan.
"Tergantung yang buat nanti gimana," bisik Audi, menahan malu.
"Kan ada yang namanya alat kontrasepsi. Belajar sana," sindir Rezvan.
Audi memukul lengan Rezvan dengan bantal sofa. Kesal karena selalu saja ia terlihat bodoh di mata pria yang sekarang hampir berusia tiga puluh tahun itu.
"Lihat aja nanti. Huffft."
Suara klakson mobil mengagetkan keduanya. Membuat Rezvan merutuki siapa pun itu. Audi sudah menduga kalau itu Elle. Elle dan Kenan sama-sama bukan manusia normal yang menyapa dengan cara yang halus dan terhormat.
Dengan sigap, Audi dan Rezvan berlari menuju ke arah Elle. Elle sudah mengeluarkan stroller dan banyak tas bayi bermotif lucu-lucu. Rezvan yang buta soal perlengkapan bayi hanya menurut saja ketika Elle menyuruhnya untuk memasukkan semua barang-barang ke dalam rumah Rezvan.
"Jagain Moni. Jangan pacaran mulu, Audi," kata Elle dengan nada mengancam. Ia menatap Rezvan tajam seakan-akan Rezvan akan melakukan hal jahat kepada adiknya.
"Tenang, El. Paling engga kita bisalah gendong dan kasih makan Moni," balas Rezvan menyakinkan.
Elle tampak bimbang.
"Moni Sayang, Mama pergi dulu, ya. Baik-baik sama Om dan Tante, ya?" Elle bermonolog sambil terus mengecupi wajah Moni yang digendong Audi.
Selanjutnya Elle pergi, meninggalkan dua manusia yang kebingungan. Audi menggendong Moni sambil sesekali mengajaknya berbicara. Bayi menggemaskan itu benar-benar perpaduan Kenan dan Elle. Matanya mirip dengan Elle, besar dan bercahaya. Sedangkan hidung dan bibirnya mirip dengan Kenan. Dari yang selama ini Audi amati, Moni lebih cenderung mewarisi gen Kenan yang easy going. Untung saja, Moni sudah pintar sejak kecil.
"Masuk, yuk," ajak Rezvan, yang ikut kagum melihat bayi mungil itu.
Rezvan langsung mengeluarkan kasur lipat dan menggelarnya di ruang tengah. Ia juga tak lupa menyiapkan perlengkapan tidur Moni yang sudah dibawakan oleh Elle.
"Ini Moni mau nginep di sini berapa tahun, sih? Bawaannya banyak banget," keluh Rezvan ketika ia terpaksa membuka satu per satu tas bayi Moni hanya untuk mencari bantal bayi.
Audi terkekeh geli melihat tingkah Rezvan yang kebingungan itu. "Perlengkapan bayi emang banyak, Mas. Coba dicari di tas biru itu. Biasanya Kak Elle nyimpen popok cadangan sama bantal di situ," ujar Audi sambil menunjuk tas biru dengan dagunya.
Rezvan menurut. Ia berhasil menemukan bantal yang sama-sama mungil itu. Ia mencium bantal tersebut sekilas lalu tersenyum.
"Bau bayi."
Sekali lagi Audi tersenyum melihat tingkah Rezvan yang tak pernah diperlihatkan di hadapan orang lain selain dirinya.
"Enak, kan? Makanya aku suka banget nyiumin Moni," kata Audi gemas, menghujani Moni dengan ciuman. Bayi itu tergelak senang disayangi oleh Tantenya.
Rezvan takjub melihat bagaimana Moni tertawa. Sensasi mendengar gelak tawa bayi itu tak bisa digambarkan. Manusia di dunia ini semua pernah menjadi makhluk lemah yang suci bernama bayi. Dan Rezvan semakin tidak bisa percaya kalau Moni ini adalah anak dari sahabatnya yang slengekan bernama Kenan.
"Mas mau coba gendong Moni?" tawar Audi.
"Ah, enggak. Aku gak bisa gendong bayi. Takut jatuh," kata Rezvan menolak. Ia menatap Audi takut.
"Sini aku bantuin. Belajar buat gendong anak kamu besok."
Audi menyuruh Rezvan berpose seperti orang menggendong. Rezvan menurut. Dengan pelan dan hati-hati, Audi meletakkan Moni di gendongan Rezvan. Audi menahan tawanya ketika melihat Rezvan sampai harus menahan napas ketika Moni sudah berada di gendongannya.
"Moni, ini Om Rezvan. Ayo, sapa dia," kata Audi mencoba mengajak komunikasi Moni.
Moni menatap wajah Rezvan dengan bingung. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan Rezvan. Tapi, untung saja Moni tidak menangis ketika digendong orang asing. Bayi berusia sebelas bulan itu menyentuh dagu Rezvan dengan tangannya yang mungil. Rezvan merasakan betapa lembutnya kulit bayi itu.
"Halo, Moni Cantik. Kenalin aku Om Rezvan, calon om kamu," kata Rezvan.
"Aaaaa..." kata Moni.
"Wah, dia respon tuh," pekik Audi senang.
Rezvan ikut tersenyum.
"Lihat, Moni aja bisa jawab ketika aku tanya. Masa kamu ga jawab-jawab ketika aku udah tanya berkali-kali," kata Rezvan dengan nada sedih. Ia pura-pura cemberut dan berakhir dicubit oleh Moni yang gemas.
Audi tidak tahu harus membalas perkataan Rezvan tadi.
"Tanya apa, sih? Hahaha," Audi tertawa memaksa.
"Kapan kamu siap, Audi? Sudah hampir tiga tahun saya nungguin kamu, lo," ujar Rezvan santai.
To be Continued
Aku tahu ceritanya makin ga jelas 😂😂😂 Satu bab lagi tamat yaa? Hmm tidak terasa.
Penasaran sama Moni?
Halo, Om dan Tante. Aku Harmoni Laut Biru alias Moni.
Lucu, ya? Gemas aku sama bayi tuh. Sudah bisa ditebak umur-umur segini tuh pengennya nikah sama punya bayi hahaha.g
Aku masih seneng berkarir, kok :')
Ohya, jangan lupa baca Cheeky Writer ya kalau senggang. Kalau engga, baca aja gapapa. Siapa tahu suka. Ehe.
Udah ah gak mau panjang-panjang curhatnya. Ntar aku dihujat. Bhaay
XOXO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top