20. Sebuket Manis Rasa untuk Kamu
Buah dari hasil kerja keras itu manis.
***
Rasanya kalimat yang ingin Audi ucapkan tertahan di tenggorokannya. Matanya beralih menatap Dewa Dosen dan Rezvan. Dewa Dosen menatapnya penuh harap, menanti jawaban apa yang keluar dari mulut mahasiswi yang sedang jadi bahan perbincangan satu fakultas itu. Sedangkan Rezvan masih tampak tenang dan sama sekali tidak terlihat terganggu dengan pertanyaan Dewa Dosen tersebut.
"Saya... Saya..."
"Tentu saja saya selalu berusaha untuk membimbing mahasiswi saya yang kesulitan dalam mengerjakan tugas akhirnya. Dan saya rasa, hasil sidang Saudari Audiar ini cukup memuaskan. Bukankah sudah jelas?" sambar Rezvan.
"Saya setuju dengan Pak Rezvan. Saya rasa sidang kali ini termasuk memuaskan. Kamu sudah bekerja keras, Audi," tambah Bu Indira sambil tersenyum.
Audi tersenyum canggung. Terutama ketika tiba saatnya pengumuman hasil sidang. Audi diminta keluar ruangan selama 5 menit sementara para dosen sedang memutuskan apakah Audi layak lulus atau tidak.
Audi berdiri dengan gugup di luar ruang sidang. Ada perasaan lega telah menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa, tapi secara bersamaan dia sangat takut jika hasilnya tidak memuaskan. Walaupun ia sudah mati-matian belajar memahami tapi tetap saja masih ada yang kelewatan.
Waktu sudah berputar selama lima menit. Sambil berdoa dan menarik napas panjang, Audi berjalan masuk ke dalam ruang sidang kembali.
Ketika dia masuk, Rezvan tersenyum kecil. Tanpa sadar, hati Audi menjadi agak sedikit tenang. Ia kembali berdiri di depan keempat dosen. Dewa Dosen sudah menatapnya dengan tatapan datar. Audi gugup tapi ia mencoba mengontrol raut wajahnya agar selalu tersenyum.
"Kalau kamu gak bisa, senyum aja. Kalau kamu gugup atau panik, senyum aja. Insya Allah sidangnya lancar," kata seseorang yang sangat Audi sayangi. "Karena senyum kamu bisa membuat orang lain merasa lebih baik."
Tanpa sadar, Audi benar-benar tersenyum kala mengingatnya.
"Berdasarkan hasil diskusi kami mengenai hasil sidang Anda, kami memutuskan bahwa Saudari Audiar Shakeela Anaya..."
"Athaya, Bu," koreksi Audi.
"Athaya," ulang Bu Indira. "dinyatakan lulus dengan revisi. Revisi bisa dikonsultasikan kepada dosen pembimbing pertama selambat-lambatnya dua minggu dari hari ini."
Sudah tidak terbendung betapa bahagianya Audi. Ia ingin tertawa sekaligus menangis dalam waktu bersamaan. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Selamat, Audiar," kata Dewa Dosen. "Jangan lupa terus belajar dan implementasikan ilmu kamu dengan baik. Jaga nama jurusan dan almamater kita."
Audi mengangguk. "Iya, Pak. Terima kasih."
"Buktikan bahwa titel Sarjana Teknik yang kamu sandang memang pantas untuk kamu," tambah Pak Broto.
"Baik, Pak."
Setelah itu, keempat dosen tersebut beranjak dari duduknya dan keluar dari ruang sidang. Rezvan agak memperlambat jalannya agar bisa lebih lama dengan Audi.
"Selamat, ya. I'm proud of you, Sayang," bisik Rezvan bangga ketika hanya ada mereka berdua di ruangan tersebut.
"Makasih, Pak," bisik Audi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Eit!"
"Eh, Mas," ulang Audi sambil tertawa kecil.
"Saya tunggu revisian kamu, ya?" ucap Rezvan seraya mengelus rambut Audi.
"Waduh, saya takut dijahati lagi," balas Audi berpura-pura ketakutan.
Rezvan mengabaikan perkataan Audi dan meninggalkan gadis itu sendirian. Audi mengemasi barang-barangnya dan langsung keluar ruangan. Ia langsung disambut antusias oleh teman-teman satu angkatannya.
Mereka berbondong-bondong mengucapkan selamat serta memberikan Audi pelukan dan banyak hadiah. Jujur, Audi masih tidak bisa percaya kalau dia sudah menyelesaikan satu anak tangga dalam kehidupannya. Ia masih belum bisa percaya kalau dia baru saja sidang dan bisa lulus.
"Selamat, Audi. Akhirnya officially S.T., ya," ucap salah satu teman Audi.
"Makasih," balas Audi terharu.
"Akhirnya bisa lepas dari cengkraman Dewa Dosen."
"Revisiannya banyak ga, Di?"
"Gimana di dalem tadi?"
"Pasti deg-degan lah, secara Dewa Dosen loh yang nguji."
"Eh, kan ada Pak Rezvan."
"Ciee Audiiii."
"Apa sih. Lebay," kata Audi tersipu-sipu ketika teman-temannya menggodanya dengan Rezvan.
"Audiiii!!!"
Audi menoleh ke sumber suara. Milla. Berdiri dengan menggunakan pakaian hitam putih khas orang pendadaran yang sama dengannya. Ada selempangan 'Audrey Milla, S.T.' yang menggantung di bahunya. Milla tampak seperti toko bunga berjalan karena kedua tangannya penuh dengan berbagai macam buket bunga. Audi tidak heran, sih. Teman Milla cukup banyak.
"Milla!"
Audi segera menghampiri Milla dan memeluknya erat. Milla membalasnya dengan anggukan kepala yang antusias.
"Selamat, akhirnya lo keluar iduo-idup dari ruangan itu," kata Milla semangat. "Padahal gue sama Arlino udah siap antar lo ke rumah sakit kalau kenapa-napa selama sidang."
"Alay bet lo. Alhamdulillah, lo juga kelar juga. Selesai dari tadi?"
Milla mengangguk. "Gue bersyukur cuma sidang satu setengah jam kurang. Untungnya Bu Lala baik banget orangnya."
"Pantesan lo langsung foto-foto," ujar Audi sambil memandang gerombolan teman Milla yang menanti Milla. "Yaudah, foto sana dulu."
"No!" pekik Milla. "Gue mau foto sama sahabat gue dulu," kata Milla diiringi senyuman yang hangat. "Lo dan Arlino berhak buat mendapatkan prioritas pertama buat foto sama calon artis kaya gue."
"Songong!"
"Kuy, Arlino nunggu di sana. Giliran dia yang panik soalnya bentar lagi dia yang akan merasakan apa yang kita rasakan tadi. Haha."
Dan begitulah, sisa hari Audi dihabiskan untuk berfoto dengan Audi dan Milla serta teman-temannya yang datang hari ini. Audi dan Milla juga tetap setia menanti Arlino selesai sidang sampai sore hari. Hari ini, Arlino tampak tidka bersemangat. Ia sangat gugup apakah sidangnya lancar atau tidak.
Untung saja sore itu, ketika Arlino keluar dari ruang sidang, secercah senyum mengembang di wajah Arlino. Tak ayal Audi dan Milla langsung memeluk sahabat bongsor mereka dan mengucapkan selamat berkali-kali.
"Aduh, berasa artis gue hari ini," kata Arlino sambil mengusap peluhnya dengan ujung lengan kemejanya.
"Balada tukang gosip, kenalannya banyak," sindir Milla.
Audi tertawa mendengar kedua manusia itu sudah bisa saling bercanda. Menandakan kalau malam ini mereka akan bisa tidur nyenyak dan sejenak melupakan urusan kuliah.
Hari sudah hampir menjelang maghrib dan hanya ada Audi, Milla, dan Arlino di depan gedung teknik kimia. Mereka dikelilingi banyak hadiah serta bunga-bunga. Belum lagi tampang kucel ketiganya seakan mengundang tawa. Mereka bertiga memutuskan untuk duduk-duduk sebentar sembari mengumpulkan energi yang terkuras hari itu.
"Audi?"
Audi menoleh. Begitu pula dengan Arlino dan Milla yang duduk di sebelahnya. Ketiganya heran kenapa orang yang baru saja memanggil Audi belum pulang juga. Padahal nyaris semua dosen sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu.
"Kenapa, Mas?" Audi menghampiri Rezvan yang tampak tidak tenang.
"Bisa ikut saya sebentar?" tanya Rezvan ragu-ragu.
Audi mengernyitkan dahinya. Tumben Rezvan tampak gugup, tidak seperti biasanya yang selalu tenang dan agak menyebalkan. Apa ada masalah?
"Tunggu bentar, ya?"
Audi pamit kepada Milla dan Arlino sekaligus menitipkan barang-barangnya di mobil Arlino untuk sementara. Audi kemudian bergegas kembali kepada Rezvan.
"Kenapa gak dititipin sekalian ke mobilnya Pak Rezvan, ya? Kan pacarnya. Tetanggaan lagi," kata Arlino tidak percaya dengan cara kerja otak sahabatnya bernama Audiar itu.
"Muka lo udah pantes jadi orang suruhan," balas Milla kejam.
Arlino menatap Milla galak. Dari kejauhan ia bisa melihat Audi dan Rezvan berjalan menuju bagian lain dari gedung ini. Melihat bagaimana perbedaan tinggi keduanya yang terlihat lucu sekaligus melihat betapa serasinya mereka, Arlino tak bisa menahan senyumannya.
Paling engga, kali ini Audi bersama dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat, batin Arlino.
***
"Mau kemana, Mas?" tanya Audi yang mengekori Rezvan entah kemana.
Rezvan hanya membalasnya dengan gumaman tidak jelas. Ia berjalan semakin cepat menuju ke belakang gedung teknik kimia. Setahu Audi, itu adalah jalan menuju studio tugas akhir. Kenapa Rezvan mau ke sana?"
"Mau ke studio TA?" tanya Audi lagi.
Rezvan mengangguk.
Audi semakin jengkel karena tidak mendapatkan jawaban yang tepat seperti yang dia inginkan. Apa susahnya menjawab pertanyaan Audi barusan? Haruskah dia seperti para dosen penguji yang pertanyaannya membuat orang-orang berpikir agar Rezvan menjawabnya langsung?
Rezvan membuka pintu depan studio tugas akhir dengan pelan-pelan. Ia berbalik menghadap Audi dan tersenyum. "Setelah ini, kamu jangan ejek saya, ya? Apapun hal itu, terima saja tanpa banyak bertanya."
Audi semakin bingung.
Hah? Ngomong apa doi?
Audi kemudian masuk ke dalam studio tugas akhir yang gelap sekali. Ia takut dan nyaris berhenti jika saja ia tidak merasakan bagaimana tangan Rezvan menggenggam tangannya erat. Audi tersipu ketika membayangkan betapa pas tangannya dan tangan Rezvan. Audi bahkan bisa merasakan bagaimana ada aliran hangat yang ditransfer dari Rezvan kepada dirinya.
"Kok gelap?" tanya Audi hati-hati.
"Yeah, it is dark here. So, you can understand that I'll be by your side even though you're not be able to see me physically," gombal Rezvan. Ada nada bercanda di suaranya, membuat Audi nyaris memukul pelan lengan Rezvan.
"Berhenti gombal dong, Mas. Capek saya dengernya," keluh Audi.
Rezvan tertawa. "Habis ini kamu akan tahu kalau semuanya bukan Cuma candaan."
Sepersekian detik, Audi merasa seperti tidak berada di studio tugas akhir tapi berada di tempat lain. Rezvan sama sekali tidak memiliki kemampuan sihir, tetapi apa yang dilakukan pria itu mampu membuat Audi tersihir.
Di hadapannya ada banyak sekali bunga hydrangea. Bunga-bunga itu masih di dalam potnya. Tumbuh dengan cantiknya, dengan warnanya yang lembut itu. Audi tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"And this is for special lady," Rezvan menyodorkan sebuket bunga hydrangea berwarna biru lembut kepada Audi.
"Thank you. It's beautiful," puji Audi, menerima bunga dari Rezvan.
"Gak secantik kamu, kok. Mereka semua kalah cantik sama kamu," ujar Rezvan dengan senyum menggoda.
Audi tertawa kecil. Sempat-sempatnya Rezvan mencari kesempatan untuk memujinya.
"Hey, lihat ke sini, Audi."
Sama seperti tadi, Audi tidak sadar kalau Rezvan sudah membidiknya dengan kamera polaroid. Selembar kertas foto keluar dari kamera tersebut, menampilkan wajah Audi yang belum sadar kamera dan tampak menggelikan. Rezvan tertawa ketika melihatnya, membuat Audi sedikit kesal. Tahu begitu dia kan bisa bergaya dengan cantik alih-alih tampak konyol.
"Sini, buang aja," rengek Audi.
"Tidak boleh. Ini bagus. Sayang kalau dibuang," kata Rezvan sembari menyembunyikan hasil foto tadi di saku celananya.
"Kapan Mas nyiapin semua ini? Bukannya tadi sibuk?" tanya Audi. Tatapan matanya tidak bisa lepas dari bunga-bunga cantik di hadapannya ini.
"Tadi sehabis kamu sidang. Saya lupa gak kasih kado ke kamu. Berhubung saya gak tahu kamu suka bunga apa, saya pilih bunga favorit saya," terang Rezvan. "Saya berpikir kalau it was such a waste kalau kasih kamu banyak bunga potong. Mereka tidak bisa hidup lebih lama dan kenangan darinya akan cepat pudar."
Audi mendengarkan setiap penjelasan Rezvan dengan seksama.
"Jadi, saya pikir memberikan kamu bunga di pot yang bisa kamu rawat sampai bagus adalah ide yang tepat. Selain bisa mempercantik rumah kamu, kamu juga bisa ingat saya." Rezvan tersenyum, mengelus pipi halus Audi sambil menatap manik mata Audi.
"Kenapa Mas ingin saya mengingatnya?" tanya Audi penasaran. Matanya masih belum lepas dari tatapan dalam Rezvan.
"Saya memang tidak tahu bagaimana pria lain memanjakan wanitanya, Audi. Tapi saya selalu tahu bahwa saya punya cara sendiri untuk membahagiakan kamu," jawab Rezvan dalam.
Jantung Audi berdetak kencang. Setelah selama ini selalu bersama dengan Rezvan, melihat sisi yang berbeda darinya, sampai mengalami banyak kejadian aneh dengannya, Audi masih belum terbiasa dengan debaran jantungnya yang meningkat setiap bersama Rezvan.
"Bagaimana?" tanya Audi yang rasanya seperti terbius.
"Dengan membuat kita menjadi satu."
To be Continued
Author's Corner
haii, maaf aku telat update. Selain karena wifinya ngadat, kemarin aku ke kondangan temenku. Ga percaya dia udah nikah :"")
Terus ketemu dosen-dosen aku :').
Sekian.
Wkwkwk, jangan diabet ya baca Pak Dosen gombal kaya gitu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top