2. Revisi terus, Pak. Kapan sikap Bapak direvisi?

"Gak usah ngeluh kalau dapat dosen pembimbing super ngeselin. Ujung-ujungnya juga makan hati terus"

XXX

Suasana di dalam mobil Rezvan hening. Audi yang mendapat tebengan dari Rezvan hanya bisa terdiam. Ia bingung harus membicarakan apa dengan Rezvan kecuali bimbingan tugas akhirnya.

Rezvan sendiri juga sibuk menyetir. Tidak ada musik yang diputar, menambah suasana senyap.

"Kamu kesulitan mengerjakan tugas akhir, Audi?" tanya Rezvan ketika mobil mereka terjebak macet.

Audi memperbaiki cara duduknya dan mengerling kepada Rezvan. Pandangan mata Rezvan lurus menatap ke depan, membuat Audi jadi bingung harus berbuat apa.

"Tidak, Pak," jawab Audi. Rezvan langsung menatap tajam Audi. Membuat gadis itu buru-buru mengganti jawabannya.

"Iya, Pak. Saya bingung dengan maksud Bapak."

"Kalau bingung, kenapa tidak tanya? Kamu malah diam saja dan melakukan kesalahan yang sama," kata Rezvan dengan nada tegas.

Audi menarik nafasnya. Ia menyiapkan mental berhadapan dengan segala omelan Rezvan yang menusuk hati itu. Ia merutuki dirinya yang mau-mau saja menebeng pada Rezvan hanya karena arah rumah mereka sama. Tahu begitu, dia lebih memilih diantar oleh Arlino saja.

"Saya mau berusaha sendiri dahulu, Pak," jawab Audi.

Rezvan tampak frustasi mendengar jawaban Audi. Audi merasa tidak ada yang salah dengan jawabannya. Bukankah hal baik jika kita berusaha lebih dahulu sebelum meminta bantuan?

"Kamu itu selain keras kepala juga tidak tahu diri, ya?"

Demi apapun, Audi rasanya ingin melemparkan diri keluar dari mobil Rezvan sekarang juga. Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut dosen pembimbingnya itu sangat manyakitkan. Audi tidak berusaha membalas atau menatap Rezvan.

"Kalau sudah tidak bisa, kamu bisa minta tolong saya. Memangnya kamu pernah meminta bantuan saya?"

Audi melongo. Ia menatap dosen pembimbingnya itu. Berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa seorang Rezvan Brata Dirgantara tidak sedang kerasukan atau bicara melantur.

Rezvan juga balas menatap Audi, tapi dengan pandangan yang sulit diartikan. Keadaan di dalam mobil juga gelap, Audi tidak bisa melihat dengan jelas.

"Iya, Pak?"

"Kamu budeg, ya?"

Baru saja Audi merasa bersyukur, ia langsung menyesal bertanya. Bagaimanapun juga Rezvan Brata itu tingkat nyinyirnya tidak bisa diukur bahkan dengan alat apapun.

Suasana kembali senyap. Barisan mobil yang terjebak macet sudah kembali berjalan. Audi hanya bisa berdoa dalam hati agar cepat sampai di rumahnya. Ia tidak tahan harus berlama-lama dengan malaikat maut macam Rezvan ini.

"Rumah kamu masuk ke perumahan itu?" tanya Rezvan, mengedikkan dagunya menunjuk gerbang perumahan di kiri jalan.

"Iya, Pak. Masuk situ," balas Audi.

Rezvan tampak ragu sebentar tapi kembali melajukan mobilnya.

Audi memberikan arahan menuju rumahnya. Melewati beberapa perempatan serta pertigaan. Rumah Audi memang agak sedikit masuk ke kawasan perumahan.

Mobil Rezvan tiba-tiba berhenti. Audi mencoba melihat apakah mereka berhenti di rumah yang tepat. Tapi Audi jauh lebih sadar kalau rumahnya masih lurus, tepatnya lima rumah dari tempat mereka berhenti sekarang ini.

"Pak?"

"Turun kamu," perintah Rezvan tanpa memandang Audi.

Audi tidak merasa tersinggung 'diusir' oleh Rezvan. Yang membuatnya mematung adalah Rezvan yang ikut melepas belt-nya. Audi menatap Rezvan dengan tatapan penuh tanya.

Mereka berdua akhirnya turun dari mobil. Tapi Audi masih tidak beranjak dari tempatnya berdiri, membuat Rezvan heran.

"Terima kasih, Pak. Tapi kenapa Bapak ikut turun, ya?" Audi mencoba bertanya sesopan mungkin.

Audi tidak mudah percaya begitu saja dengan kebaikan yang Rezvan berikan cuma-cuma. Ia sudah diajarkan oleh ibunya agar tidak punya hutang budi. Apalagi dengan orang seperti Rezvan ini.

"Ini rumah saya," kata Rezvan, menunjuk rumah di sebelah kanannya.

"APA??!"

Rezvan menatap Audi jengkel.

"Gak perlu teriak-teriak. Ini sudah malam," kata Rezvan malas.

"Bu-bukan. Rumah Bapak di sini?" tanya Audi dengan tatapan tidak percaya. "juga?"

Rezvan mengangguk. Ia memencet tombol kunci mobilnya.

"Rumah kamu itu, kan?" kali ini Rezvan menunjuk rumah Audi dengan tepat. "Sebaiknya kamu segera pulang. Mama kamu pasti khawatir anaknya belum pulang."

Rezvan membuka gerbang rumahnya dan masuk. Meninggalkan Audi yang terpaku tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja dia alami.

Ya Tuhan, Audi punya dosa apa sampai harus terikat dengan Rezvan, ratap Audi.

***

Suara tawa terdengar dari ujung koridor gedung Teknik Kimia lantai dua. Ada tiga serangkai yang duduk-duduk santai di depan laboratorium komputer. Dua orang dari mereka tertawa terpingkal-pingkal. Sedangkan satu orang yang lain tampak cemberut melihat kedua sahabatnya itu tertawa di atas penderitaannya.

"Gila lo, Di. Si Bapak itu ternyata tetangga lo?" Arlino bertanya untuk kesekian kalinya.

Audi hanya memelototi cowok putih gembul itu. Batinnya tersiksa setiap mendengar fakta itu diucapkan. Apalagi oleh kedua sahabatnya yang tidak berperasaan ini.

"Wah, jodoh itu sama Si Bapak. Pepet terus, Di," goda Milla dengan semangat.

Audi hanya diam sambil memakan jajannya dengan penuh emosi. Dia menyesal menceritakan kejadian semalam dimana Rezvan mengantarnya dan berakhir dengan mereka adalah tetangga.

"Sejak kapan Si Bapak jadi tetangga lo?" tanya Arlino, menghapus sisa air matanya.

"Perasaan setiap kita datang main ke rumah lo, kita gak lihat Si Bapak," tambah Milla.

"Kaya gak tahu aja lo, Mil. Si Bapak milih belajar di kamarnya, lah. Mana mau dia ketemu sama anak kemarin sore kaya kita," kata Arlino dengan muka sok.

"Sinting lo," hina Audi. "Kata Mama, mereka udah lama jadi tetangga kami. Udah jalan lima tahun apa, ya?" kata Audi tidak yakin.

"Cuma Rezvan baru pindah beberapa bulan yang lalu. Mama gak tahu alasannya apa," tambah Audi.

"Emangnya keluarga mereka jarang kelihatan, ya?"

"Engga juga, sih. Aku pernah tahu mamanya Rezvan. Dia bendahara ibu PKK gitu. Kalau papanya aku belum pernah lihat. Kata Mama, papanya Rezvan sibuk kerja di luar."

"Wah, lengkap banget informasi yang lo dapet dalam semalam," goda Arlino. "Status Si Bapak apaan, Di?"

Audi tidak meladeni pertanyaan Arlino barusan. Karena dia tahu kalau sahabatnya yang satu ini cuma mau menggodanya dengan menjodohkannya dengan Rezvan.

"Mana gue tahu. Gue ga peduli. Yang penting gue cepet lulus dari tempat ini."


Setelah selesai mengerjakan revisinya di laboratorium komputer, Audi langsung bergegas menuju kantor Rezvan. Ia kembali mengecek jam dan jadwal dosen pembimbingnya itu. Kosong. Tidak ada kelas.

Audi menarik nafas sekali, sekaligus menyemangati dirinya sendiri. Ia pasti bisa.

Audi menarik gagang pintu ruangan Rezvan. Ia melirik ke dalam untuk memastikan Rezvan tidak sibuk.

"Bagus. Kamu teruskan bab selanjutnya," Audi mendengar Rezvan berbicara dengan seseorang. "Kalau kamu kerjakan seperti ini, lebih baik lagi."

Entah kenapa, Audi tiba-tiba kesal. Rezvan sedang membimbing seorang mahasiswi. Audi kenal siapa teman satu dosen bimbingannya ini.

"Pak, kalau yang ini apakah boleh saya tambahkan informasi dari website lain?" tanya mahasiswi itu.

Audi mendengus. Ia tidak suka cara Deila, temannya itu, berbicara. Agak seperti suara kegenitan. Begitulah yang dipikirkan oleh Audi.

"Boleh saja. Kamu tanggap juga ternyata," puji Rezvan.

Audi rasanya ingin melempar seluruh kertas yang dipegangnya ini ke muka Rezvan. Coba saja kalau dia melakukan hal yang sama dengan Deila. Pasti bukan pujian yang dia terima, tapi segala jenis sindiran. Percaya saja, Audi sudah pernah melakukan yang tadi Deila lakukan. Dan percaya lagi saja bahwa respon yang didapat tidak seberuntung Deila.

"Audi," rupanya Rezvan menyadari kedatangan Audi. "kamu lanjutkan saja seperti tadi. Besok maju ke saya lagi," kata Rezvan kepada Deila.

Sebelum keluar dari ruangan, Audi yakin sekali, kalau Deila tersenyum mengejek kepadanya. Biar saja gadis licik itu, Audi lebih peduli pada apa yang akan dia hadapi kali ini. Siapa tahu setelah Deila konsultasi dengan Rezvan, mood Rezvan sedikit membaik.

"Pak, ini sudah saya revisi kembali," kata Audi, menyerahkan kertas revisiannya ke hadapan Rezvan.

Rezvan mengecek sekilas pekerjaan Audi. Tidak bisa ditebak apakah Rezvan akan membentaknya atau berbaik hati untuk pertama kalinya padanya.

Rezvan menghela nafas kasar. Ia melemparkan kertas revisian Audi begitu saja ke meja. Audi sudah bersiap-siap jika Rezvan ingin memarahinya. Lagipula dia sudah hafal semua itu.

"Ada yang salah, Pak?" tanya Audi hati-hati. Rezvan yang memejamkan mata dan mengurut pangkal hidungnya, langsung menatap Audi tajam.

"Salah? Ini berantakan," Rezvan menunjuk kertas revisian itu dengan emosi. "Kamu itu bodoh atau apa, sih."

Untuk pertama kalinya, Audi menangis di hadapan Rezvan.


To Be Continued


Author's Corner

Selamat Tahun Baru kawan-kawan! Gak kerasa udah hari ketiga di bulan Januari ini. Semoga resolusi tahun kemarin terlaksana semua yaa dan resolusi tahun ini bisa berjalan dengan baik.

Terima kasih buat yang udah baca, komen, kasih bintang, dan nambah cerita ini ke library kalian :')

Aku tahu cerita ini masih jauh dari kata sempurna. Ke depannya aku akan lebih berusaha lagi buat cerita ini lebih baik.

Happy reading!!!

XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top