17. Ingin Lari dari Kenyataan


Berani menghadapi masalah berarti satu langkah menghadapi apa yang ada dan tiada

***

"Kenapa diam saja?" tanya Rezvan kepada Audi.

Saat ini mereka berdua sedang duduk santai di depan rumah Rezvan. Wajah Rezvan tidak berhenti menunjukkan kecemasan sejak kepulangan mereka dari mall tadi. Terutama sejak mereka berdua bertemu dengan Deila.

Audi menggeleng. Gadis itu hanya menunduk atau memainkan ponselnya sedari tadi. Rezvan menghembuskan napas untuk kesekian kali. Ia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan.

"Jangan diam saja, Audiar. Bicara. Saya bukan mentalis yang bisa tahu apa pikiran kamu," ujar Rezvan frustasi.

"Tamat riwayat saya hari ini, Mas," jawab Audi pelan. "Padahal sebentar lagi saya sidang."

Rezvan menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Audi dan mengelus punggung Audi agar gadis itu tenang.

"Mau nangis?" tanya Rezvan.

Audi menatap Rezvan bingung untuk sejenak, kemudian ia tak bisa membendung air matanya. Rezvan memeluk Audi dan dengan sabar menenangkan gadis labil tersebut. Sedangkan Audi terus menangis di pelukan Rezvan.

"Jangan ditahan. Keluarkan saja semua," bisik Rezvan tanpa berhenti menenangkan Audi. Ia bahkan sudah tidak peduli kemeja yang ia kenakan basah oleh air mata dan ingus Audi.

"Kalau karir Mas terhambat bagaimana coba?"

"Kenapa kamu harus mengkhawatirkan saya? Jangan pikirkan saya, Audi. Saya janji semua ini tidak akan berdampak pada kelulusan kamu," kata Rezvan dengan yakin. "Semua biar saya yang urus. Kamu hanya perlu belajar. Oke?"

Rezvan menghapus air mata Audi yang masih jatuh dengan ibu jarinya. Ia juga tersenyum menenangkan serta mengatakan banyak hal agar gadis itu tidak patah semangat. Daripada menyalahkan hubungan mereka, lebih baik sama-sama memperjuangkannya. Bukan hanya Audi yang ingin agar masalah ini tidak semakin membesar dan meluas, Rezvan pun menginginkan hal yang sama.

"Saya takut," cicit Audi.

"Kenapa harus takut kalau ada saya di samping kamu?"

***

Keesokan harinya, Audi tidak pernah menyangka jika kedua sahabatnya, Milla dan Arlino, akan rela datang pagi-pagi untuk menjemputnya. Yang membuat gugup dan salah tingkah, tidak ada tanda-tanda kalau mereka datang dengan suka rela. Milla sudah memasang wajah datar sedangkan Arlino menatapnya dengan tatapan menuntut. Jangan lupakan alisnya yang bertaut lucu.

"Pagi, Gaes," kata Audi kikuk ketika melihat dua sahabatnya sudah di depan pintu rumahnya.

"Pagi ini berangkat naik mobil gue," kata Arlino tegas.

"Eh? Kenapa?"

"Udah buru. Lelet lo," kata Milla tidak sabar, langsung menarik Audi masuk ke dalam mobil Arlino.

"Mil, duduk depan gih," pinta Arlino ketika Milla malah masuk dan duduk di kursi belakang.

"NO! Gue mau interogasi sahabat kita yang selalu berterus terang ini," sindir Milla tanpa tedeng aling-aling, membuat Audi bergidik ngeri.

"Di? Depan sini," kata Arlino.

Audi mengiyakan. Tapi Milla lebih cepat. Ia sudah menarik lengan Audi agar tetap di tempatnya sambil memelototinya sebelum Audi benar-benar keluar dari mobil. Nyali Audi sudah ciut kalau berhadapan dengan Milla yang marah seperti ini.

"Yaelah, gue berasa supir beneran ini," keluh Arlino. Dia mulai menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya.

Audi melirik takut ke arah Milla. Milla dalam mode marah seperti ini benar-benar setara tingkatnya dengan Dewa Dosen ketika ngamuk-ngamuk saat akreditasi prodi. Atau bisa disejajarkan dengan Rezvan ketika membimbing. Ah, Rezvan. Audi yakin ini ada hubungannya dengan Rezvan.

"Mil?" panggil Audi takut-takut. "Sakit," Audi meringis.

Milla melepaskan cengkeramannya dari lengan Audi yang sudah memerah. Pasti sakit. "Sorry."

Suasana mobil kembali hening. Audi sesekali melirik ke arah Milla yang wajahnya sudah sedatar jalan tol. Audi tidak benar-benar tahu ekspresi Arlino karena ia hanya bisa melihat mata Arlino dari kaca spion.

"Kalian kenapa, sih?" tanya Audi memberanikan diri memulai percakapan.

Audi bisa mendengar dengusan Milla. Ia sudah yakin kalau Milla benar-benar marah.

"Bisa kamu jelaskan tentang hubungan kamu dengan Bapak Dosen kita tercinta, Audiar?" tanya Milla penuh penekanan.

Audi meneguk saliva kasar. Akhirnya, saatnya pun tiba. Audi tahu ia tidak bisa menutupi lagi hubungannya dengan Rezvan terutama di depan sahabat-sahabatnya.

"Ya gitu," jawab Audi tidak yakin, menatap takut-takut ke arah Milla.

"Jawab yang bener," tuntut Milla. Audi bisa melihat ada dua tanduk yang muncul di atas kepada Milla.

Audi menyiapkan mental dan hatinya. Ini bukan hal yang mudah tetapi juga tidak mungkin lagi dia elak.

"Kami pacaran."

Ciit.

"ARLINO! SEKALI LAGI LO NGEREM MENDADAK, GUE SUNAT LO LAGI!" bentak Milla.

Arlino yang mendengar ancaman Milla juga ikut ketakutan. Ia meminta maaf berulang kali, baik kepada Milla dan Audi maupun kepada pengguna jalan yang ikutan menghujatnya.

Audi masih tetap diam. Ia bisa merasakan kalau tatapan Audi kian intens. Jantungnya juga mulai berdetak kencang, mengalahkan detakan saat momen-momen bersama Rezvan.

"Pacaran?" ulang Arlino. "Kamu sama Si Bapak pacaran?"

Audi mengangguk. Arlino speechless.

"Udah berapa lama?" tanya Milla dingin.

Audi menggigit bibirnya gugup. "Baru aja, sih."

"Dan lo ga bilang sama kita?" tanya Arlino dengan nada kecewa.

"Bukannya gak mau bilang, sih. Gue Cuma pengen mencari saat yang pas aja. Kalian tahu, hubungan gue sama Si Bapak ini rentan banget," kata Audi membela diri.

"Saat yang tepat itu ketika hampi satu jurusan tahu gitu?"

"Maksud lo, No?" tanya Audi bingung.

Setahunya hanya Deila yang mengetahui langsung kejadian tersebut. Ia bahkan lupa tidak menanyakan dari siapa Milla dan Arlino bisa tahu berita itu bukan dari mulut Audi tapi orang lain. Kecuali orang lain itu tidak lain adalah Deila sendiri.

"Rumor hubungan lo sama Si Bapak udah nyebar satu jurusan, Di. Makanya kami pengen konfirmasi kebenarannya dari lo," jelas Arlino. "Eh, ternyata bener."

Hati Audi mencelos setelah mendengar ada kekecewaan yang tersirat dari kata-kata Arlino barusan. Rasanya Audi sudah jahat sekali tidak bisa berterus terang kepada mereka. Padahal, mereka berdua selalu ada saat senang maupun susah.

"Maafin gue, Mil, No. Gue hanya takut," bisik Audi.

"Lo ga perlu minta maaf, Di. Lo hanya perlu menjelaskan. Biar kita berdua bisa bantu lo ketika lo ada masalah nanti," kata Arlino.

"Tapi nyatanya, lo juga ga bisa menjelaskan sama kami. Yaudah, sih," kata Milla sinis.

Audi langsung memeluk Milla erat walau Milla sama sekali tidak membalas pelukannya atau berusaha melepaskan diri. Milla hanya diam saja. Bukti bahwa Milla benar-benar kecewa padanya.

"Maafin gue, Mil. Gue salah gak ngomong sama kalian," kata Audi. Air matanya mulai kembali jatuh.

"Plis, ngomong. Gue ga mau lo diem aja kaya gini, Mil," lanjut Audi, menatap sahabatnya itu dalam. Sedangkan Milla mengabaikannya dan menatap lurus jalanan di depannya.

"Ya, gini. Rasanya orang yang deket sama lo ga mau ngomong apa-apa tuh," kata Milla dengan judes.

Audi tidak bisa membendung tangisnya. Ia terus memohon maaf dan semakin erat memeluk Milla. Milla yang merasa risih tidak dapat melepaskan pelukan Audi. Arlino yang fokus menyetir mobil hanya bisa memandang penuh simpati drama persahabatan mereka itu. Ia tahu kalau ini juga bukan sepenuhnya salah Audi.

Arlino tidak mengajak Audi langsung ke kampus. Alih-alih ke kampus, Arlino dan Milla mengajak Audi makan ke kafe langganan mereka. Bukan kafe yang sering mereka tongkrongi.

Di kafe tersebut, Audi menjelaskan seluruh ceritanya dengan Rezvan. Termasuk bagaimana perasaannya yang sebenarnya terhadap pria tersebut. Milla yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh, pelan-pelan mulai melunak. Ia bahkan tidak segan-segan mengomentari Rezvan. Sedangkan Arlino lebih banyak diam.

"Gitu..." kata Audi mengakhiri ceritanya.

"So sweet," bisik Milla kagum. Ia tak menyangka jika dosennya yang terkenal galak dan kejam bisa tampil berbeda di hadapan Audi.

"Hebat lo, Di. Membuat seorang Rezvan Brata tunduk," puji Arlino.

"Ya tapi kenapa tuh cewek kecentilan bisa-bisanya dengan tega, nih, membocorkan sesuatu yang privasi?" tuntut Milla penuh emosi.

Audi tidak bisa menutupi jika Milla dan Deila terkenal tidak akur. Mereka tidak pernah bertengkar secara frontal, tapi lebih sering saling menyindir. Kalau tidak salah, semua berawal ketika Milla dan Deila masih aktif berorganisasi di departemen yang sama. Audi tidak paham jelasnya seperti apa karena Milla selalu emosi kalau mengingatnya.

"Padahal urusan dia aja bukan," tambah Arlino.

"Kayanya si nenek lampir itu belum puas bikin perkara sama gue. Sekarang malah nyari gara-gara sama sahabat gue," kali ini Milla benar-benar emosi.

"Udah, udah. Lagian kita bentar lagi lulus. Udah gak perlu ngurusin Deila," kata Audi mencoba menenangkan.

Milla mendelik. Arlino terkesiap. "Engga bisa!" sahut mereka berdua berbarengan.

"Cewek kaya dia harus diberi pelajaran," kata Milla.

"Niatnya Deila udah jelek dari sononya. Mana terima gue, sahabat gue diginiin. Ye gak, Mil?" kata Arlino berapi-api.

Milla mengangguk.

Audi hanya bisa menatap kedua sahabatnya itu penuh rasa terima kasih sekaligus was-was. Takut kalau kedua sahabatnya itu punya rencana yang tidak bisa dipikirkan oleh Audi.

"Ohya, hari ini baby lo udah kasih kabar belum? Harusnya doi udah di kampus, sih," ujar Arlino sambil melihat jam tangannya.

Audi bergidik geli ketika Arlino mengucapkan kata baby. Rezvan tidak pantas dipanggil seperti itu walaupun dia seorang bayi besar!

"Entahlah. Sejak kemarin, gue belum buka hape, nih," balas Audi.

"Buruan cek. Siapa tahu penting," desak Milla.

Tanpa disuruh dua kali, Audi mengambil ponselnya. Ia kaget ketika mendapati ada 47 panggilan tidak terjawab dan hampir 30 pesan masuk. Audi sendiri baru sadar kalau ponselnya berada di mode silent. Jangan tanya siapa orang yang bisa melakukan hal menakjubkan seperti itu.

Audi membuka salah satu pesan masuk.

Rezvan Brata

Tolong, kalau kamu lihat pesan ini segera telpon saya.

"Dia minta gue telpon dia," kata Audi memberikan informasi kepada Milla dan Arlino.

"Buruan telpon!"

Audi menelpon Rezvan. Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua juga tidak diangkat.

"Doi ngajar ga, sih?" tanya Audi tidak yakin.

Arlino mengangkat bahunya tanda tak mengerti.

"Halo?" suara dari seberang akhirnya terdengar juga.

"Halo, Mas."

Milla dan Arlino terkikik geli ketika Audi memanggil Rezvan dengan panggilan yang berbeda. Bahkan mereka menggoda Audi tanpa bersuara, membuat Audi risih saja.

"Kamu dimana?"

"Di kafe. Sama Milla, sama Arlino."

"Kamu gak apa-apa, kan?" suara Rezvan terdengar cemas.

Audi mengangguk walaupun Rezvan tidak bisa melihatnya. "Sejauh ini baik-baik saja. Mas gimana?"

Rezvan terdengar lelah di seberang sana. Tanpa disadari, Audi bisa membayangkan wajah Rezvan yang lesu dan lelah.

"Kacau di sini. Tapi, saya yakin bisa handle masalah ini."

"Beneran gak papa?" kali ini Audi merasa sangat khawatir.

"Huum. Cukup dengar suara kamu sedang baik-baik saja membuat hati saya hangat," Rezvan tertawa kecil.

Sial, lagi tertimpa masalah gini masih sempat-sempatnya gembel.

"Tobat, Mas. Inget di sana banyak telinga yang waspada."

"I know. But you know, I can't resist to say I miss you."

Audi juga ingin berlari menuju ke kampus dan memeluk Rezvan. Sayangnya, itu tidak akan terjadi kalau ia ingin lulus dengan selamat dan dengan reputasi yang baik.

"Iya, iya," balas Audi malas. Kalau sudah mulai kejunya, Audi lebih baik diam kalau tidak ingin Rezvan semakin menjadi-jadi.

"Habis ini saya dipanggil Pak Harun."

"Kenapa kok bisa dipanggil Dewa Dosen?" Audi jadi panik setelah mendengarnya.

Milla dan Arlino yang ikut mendengar kata 'Dewa Dosen' disebut segera pasang telinga. Pokoknya segala hal yang sudah menyangkut Dewa Dosen itu pasti merupakan hal yang sangat penting dan besar. Seorang Rezvan dipanggil Dewa Dosen adalah hal baru di benak mereka. Sebelumnya, selalu Dewa Dosen yang menghampiri Rezvan. Itu pun bukan masalah yang besar.

"Hahaha. Kalian itu suka memberi julukan pada dosen-dosen, ya? Kalau kalian panggil saya apa?" Rezvan tampak penasaran.

Audi memilih diam. Mana mungkin dia memberitahu Rezvan nama julukannya di kalangan mahasiswanya. Bisa-bisa mahasiswanya disidang satu-satu oleh Rezvan. Kan tidak mungkin Audi memberitahu nama julukan Rezvan dari yang bagus seperti : Yang Mulia, Yang Terhormat, Baginda Dosen ; sampai yang jahat seperti : Dosblo (Dosen jomblo), malaikat maut, maupun Respan (Resiko Jangka Panjang, karena kalau berurusan dengan beliau urusannya malah semakin panjang).

"Panggil sayang aja," kata Audi menanggapi. Milla dan Arlino menahan tawa mendengar percakapan absurd pasangan yang tengah dimabuk asmara tersebut.

Rezvan tertawa. "Memangnya kamu rela saya dipanggil sayang sama cewek-cewek lain. Kamu tahu kan sepanjang apa antrian penggemar saya?" goda Rezvan.

"Saya tutup telponnya," Audi mulai ngambek.

"Eh, iya maaf, Nyonya. Gak akan saya ulangi lagi."

"Hmmm..."

"Audi? Pokoknya sementara waktu ini, kamu jangan ke kampus dulu. Saya takut itu mempengaruhi mental kamu sebelum sidang. Saya gak akan menutup-nutupi keadaan di hadapan kamu. Kamu bisa mengerti?"

"Iya, bisa."

"Pokoknya nanti kalau kamu ditanya oleh dosen siapapun, kamu harus jawab sesuai perintah saya. Nanti saya kasih tahu. Oke?"

"Oke," jawab Audi datar.

"Semua jadwal sidang kamu, termasuk dosen penguji dan ruangan sidang, bisa saya beritahukan kepada kamu secara langsung. Biar kamu gak usah keluyuran di kampus."

"Siap, Mas."

"Ohya, satu lagi," sela Rezvan ketika Audi akan menutup telponnya.

"Tadi, saya ditanya sama Bu Lala tentang hubungan kita."

"Terus dijawab apa?"

"Saya jawab kalau kamu tunangan saya. Makanya besok-besok kalau ditanya, kamu harus jawab seperti itu, oke?"

"Ok-bentar. Tunangan?!"

"Yup, Audi Sayang. Lebih mudah menghadapinya dengan status yang baru," kata Rezvan riang.

Fix. Audi ingin lari dari kenyataan saja.

To be Continued    


Author's Corner

Haii, bagaimana minggu ini? Apakah semakin baik? Buat aku sendiri, syukurlah baik-baik saja :).

Anyway, ceritanya tambah absurd ga sih? Huhuhu aku gak tahu harus apalagi :'(

Aku tambah geli lihat Rezvan makin keju kaya gitu. Iyuuuh, minta disambit pake sayang emang hnng.

Terima kasih buat yang sempetin baca, kasih bintang, komentar, dan follow POA. ILYSM.

Ohya, apa sih alasan kalian masih baca cerita aku?

Kalau masih, ada kritik atau saran tak?

Thank You <3

See U on Saturday

XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top