16. Karena Pelangi Tidak Hanya Punya Satu Warna


Syukuri hal sekecil apapun dan kau akan mendapatkan yang lebih besar.

***

"Saya ini apa di mata Mas Rezvan?"

Mungkin itu adalah kata-kata yang paling membuat seorang Rezvan Brata Dirgantara harus memutar otak lebih dari biasanya. Ia akan mudah menyelesaikan kalkulus atau hitungan rumit lainnya. Tapi, ia memang benar-benar tidak mengerti wanita itu seperti apa. Terutama jika di sampingnya saat ini adalah seseorang yang not a girl not a woman yet.

Rezvan tetap fokus menyetir mobil di jalanan yang semakin licin sekaligus berpikir keras bagaimana menyampaikan maksudnya agar si calon nyonya tidak salah paham dan kembali menolaknya.

"Kamu itu Audi," jawab Rezvan singkat.

Audi mendengus. Ia sendiri juga tahu namanya Audi dan tidak perlu diberitahu lagi. Ia pikir Rezvan sedang bercanda.

"Gak lucu."

Rezvan menoleh sebentar ke arah Audi. "Loh, saya gak bercanda. Kamu itu Audi. Dan makna Audi untuk Rezvan itu luas sekali."

"Audi itu gadis yang ceroboh, suka sekali membantah, suka tidak tahu diri. Belum lagi kerjaannya hanya merepotkan dan membuat pusing Rezvan saja," Audi yang mendengarnya hanya menunduk. Baru saja dia dilambungkan sekarang rasanya seperti dijatuhkan.

"Selain itu, Audi itu gadis yang bisa membuat Rezvan sadar bahwa yang sempurna tidak harus dikemas dalam sampul yang sempurna juga. Menemukan Audi seperti menemukan buku kesukaan Rezvan yang dibungkus kertas koran," kata Rezvan lembut.

"Perumpamaannya gitu banget," Audi merajuk. Rezvan tertawa kecil.

"Kamu mau dengar apa lagi? Eung?"

Audi menggigit bibirnya. Banyak hal yang ingin Audi dengar dari mulut Rezvan tapi ia terlalu takut. Takut nantinya jatuh terlalu dalam terhadap Rezvan.

"Emm... Kalau kamu penasaran kenapa saya bisa suka kamu, saya sudah jawab sebelumnya. Kalau kamu tanya saya serius sama kamu, saya jawab saya serius. Pake banget," ujar Rezvan penuh keyakinan, membuat hati Audi pelan-pelan menghangat.

"Apalagi yang kamu ragukan dari saya, Audiar?"

Audi juga tidak yakin. Sejauh ini ketakutannya hanya berdasar pada pandangan orang-orang. Ia terlalu takut itu mempengaruhi perasaan sebenarnya kepada Rezvan. Padahal saat awal dulu, dia sama sekali tidak bisa membayangkan bisa di posisinya seperti saat ini.

"Selama ini Bap-Mas Rezvan," Audi nyaris keceplosan. Rezvan sendiri sudah hampir muntab lagi. "Selama ini kan Mas cuma gombal saja. Sebagai cewek jujur saya merasa insecure."

Bukannya menjawab, Rezvan malah tertawa. Audi menatap pria yang lebih tua 4 tahun darinya itu dengan tatapan bingung. Memang dia lebih suka Rezvan yang seperti ini daripada Rezvan yang congkaknya mengalahkan Dewa Dosen itu.

"Aduh, Audi," Rezvan menghapus bulir air mata yang muncul karena banyak tertawa. "Kamu mau status? Seperti orang-orang? Ckck."

Anju, ngeselin -____-

"Oke, jadi kamu maunya kita meresmikan hubungan gitu? Pacaran maksud kamu?" tanya Rezvan tidak yakin. Ia bahkan masih senyum-senyum ke arah Audi yang menurutnya polos sekali.

"Ya.. gak gitu juga, sih," bisik Audi malu-malu.

Rezvan rasanya gemas sekali. Audi sekali lagi tidak mau mengakui perasaannya kepada Rezvan. Rezvan sendiri sudah yakin kalau gadis itu tidak akan lepas darinya.

"Ya sudah, mulai sekarang Audiar Shakeela Athaya pacarnya Rezvan Brata Dirgantara. Walau sebenarnya tanpa perlu embel-embel itu, kamu tetap saya lamar, kok," kata Rezvan dengan penuh percaya diri. Membuat Audi memukul pelan lengan Rezvan karena terlalu malu.

"Iya, deh. Terserah Bapak."

"Loh, lagi!"

"Eh, Mas!"

***

Karena hari sudah hampir gelap, Rezvan mengajak Audi makan dahulu sebelum pulang. Rencananya, Rezvan mau makan di restoran favoritnya, tapi Audi rupanya mau mampir ke toko buku sebentar karena ingin membeli buku dari penulis favoritnya. Jadilah, mereka berdua memutuskan pergi ke mall. Selain mereka bisa makan malam, Audi bisa langsung membeli buku di toko buku yang membuka cabang di mall tersebut.

"Audi, kita sholat maghrib dulu baru makan, ya?" tawar Rezvan ketika mereka akan turun dari mobil.

Audi mengangguk. Mereka berjalan menuju musholla mall yang rupanya sudah ramai orang yang ingin melaksanakan ibadah sholat maghrib. Di tengah kerumunan orang yang mengantri wudhu, Rezvan bahkan masih sempat-sempatnya mencari kepala Audi. Memastikan bahwa Audinya aman dan tidak hilang. Mungkin setelah sholat nanti, dia harus banyak-banyak berdoa kepada Tuhan agar selalu dilancarkan segala niat hatinya.

Selesai sholat, Rezvan menyusul Audi yang sedang memakai sepatunya. Ia mengambil sepatunya sendiri dan duduk di samping gadisnya itu. Ia melihat Audi agak kesusahan memakai kembali sepatunya.

"Kenapa?" tanya Rezvan heran.

"Ini agak susah masuknya. Hehe," jawab Audi sambil berjuang memaksa kakinya agar masuk. "Gak tahu kenapa, sekarang jadi susah masukinnya. Padahal talinya udah dikendorin. Kaos kaki juga pakenya ga tebel-tebel banget."

"Mungkin ukuran kamu sudah nambah," kata Rezvan menanggapi.

"Aduh, jangan, Mas. Kaki Audi udah gede jangan nambah gede lagi ukurannya. Nanti gak ada cantik-cantiknya," ujar Audi tidak terima.

"Saya terima kaki kamu apa adanya, kok. Menurut saya kaki kamu cantik," puji Rezvan.

Tanpa menunggu persetujuan Audi, Rezvan berjongkok di depannya dan membantu Audi memakai sepatunya. Tak lupa Rezvan juga mengikat sepatu Audi dengan cantik. Setelahnya, pria itu tersenyum ke arah Audi dan mengelus rambut Audi sebelum kembali berdiri.

Bagaimana Audi?

Ia sudah terlalu gugup dan malu. Bahkan ketika Rezvan tersenyum padanya, jantungnya dan rona pipinya sudah di luar kontrolnya.

"Jangan jalan di belakang saya. Kamu itu bukan pembantu saya," ujar Rezvan, memberikan isyarat agar Audi berjalan di sampingnya.

"Takut kalau ada yang lihat, Mas," jawab Audi yang matanya masih saja awas melihat ke sekelilingnya.

Perasaannya tidak enak jika menyangkut berduaan dengan Rezvan di tempat umum seperti ini. Apalagi teman-teman di kampusnya semua tahu bagaimana sikap Rezvan kepadanya selama ini. Kalau mereka tahu Audi dan Rezvan ternyata punya hubungan yang lebih jauh daripada itu, Audi tidak bisa membayangkan bakal seheboh apa satu fakultas nanti.

"Mau makan chinese food ga?" tanya Rezvan ketika mereka berdua melewati sederetan tempat makan yang berjejer menyajikan makanan yang menggoda selera.

"Boleh, Mas."

Mereka masuk ke salah satu restoran chinese food dan memilih duduk di salah satu sudutnya. Sembari menunggu makanan yang dipesan datang, Rezvan berusaha mengenal lebih jauh Audi. Lucu memang, dia sudah mendeklarasikan Audi sebagai miliknya tapi ia sendiri masih buta apa-apa tentang gadis itu. Salahkan Audi yang terlalu sayang untuk dilepaskan.

"Kamu ada sesuatu yang mau dimakan ga?" tanya Rezvan.

"Engga, kok," jawab Audi. "Mas, boleh duduk samping kamu ga? Rasanya aneh makan berdua hadap-hadapan kaya gini."

Rezvan tanpa dua kali berpikir langsung mengiyakan. Kapan lagi dia bisa sedekat ini dengan Audi, belum lagi Audi sendiri yang mengusulkan. Rezvan menepuk-nepuk tempat di sampingnya yang langsung diduduki oleh Audi.

"Lebih suka seperti ini, ya?" tanya Rezvan yang tidak bisa menyembunyikan kesenangannya.

Audi mengangguk. "Rasanya aneh. Saya kalau makan belepotan, malu dilihat."

"Kan dulu sudah sering makan berhadapan. Apa yang perlu dipikirkan coba," ujar Rezvan geleng-geleng. "Toh besok kalau jadi istri saya, rasa malu itu harus dibuang jauh-jauh, lo," goda Rezvan.

"Mulutnya lo," kata Audi sambil mencubit lengan Rezvan gemas.

Satu hal yang Rezvan pelajari dari Audi. Ketika sudah dekat seperti ini, Audi tidak segan-segan melakukan skinship dengannya. Aduh, sekarang Rezvan yang harus malu-malu tidak jelas. Sepertinya dia kena karma karena selalu menggoda Audi.

Makanan mereka berdua datang. Mata Audi sempat menangkap kalau pelayang wanita yang membawakan makanan mereka sepertinya diam-diam terpesona dengan Rezvan. Belum lagi ketika Rezvan mengucapkan terima kasih ditambah senyuman pria itu, pelayan wanita itu langsung tersipu malu.

Audi yang melihat itu tidak merasa cemburu. Baginya, semua orang berhak bersikap seperti Rezvan tadi. Mengucapkan terima kasih itu adalah hal kecil yang bisa menghangatkan perasaan orang lain. Asalkan Rezvan tidak main mata atau main hati di belakangnya. Bisa-bisa dia tidak hanya melempar Rezvan dengan naskah tugas akhirnya tapi dengan satu seri buku Perry's Chemical Engineers Handbook yang tebalnya lebih dari 2000 halaman itu.

"Aaaa~"

Audi yang sedang melamun, membuka mulutnya ketika Rezvan menyodorkan dimsum ke mulutnya.

"Enak?" tanya Rezvan dengan pandangan mata penuh perhatian.

Audi mengangguk.

Rasanya ia tidak sanggup menghabiskan seluruh makanan mereka malam ini. Audi sudah kenyang dengan gombalan dan sikap manis Rezvan kepadanya. Dengan malu-malu, Audi juga menyuapi Rezvan dengan sup tahu yang masih panas.

"Kalau kaya gini, saya pasti nambah berat badannya," celoteh Rezvan dengan mulut masih mengunyah makanan.

"Kenapa?"

"Soalnya makan disuapi kamu ternyata lebih enak. Saya ketagihan makan terus ini," kata Rezvan, membuat Audi salah tingkah.

"Mas ini di kampus kaya singa PMS, sekarang kaya bayi besar," sindir Audi, masih menyuapi Rezvan.

Rezvan mengangguk. Ia menunjuk makanan mana yang ingin Audi suapi kepadanya. Mungkin bagi orang lain, hal ini sangat manis. Belum lagi untuk pasangan yang masih hangat-hangatnya. Bagi Audi, ini semua tidak lebih seperti mengurus anak sendiri. Dengan mantan sebelumnya, Audi tidak pernah melakukan hal seperti ini. Hanya dengan Rezvan dia melakukan hal konyol seperti ini.

"Kenyangnya," kata Rezvan, menepuk-nepuk perutnya yang sudah diisi oleh Bu Audiar. "Kamu masih lapar?"

"Udah kenyang. Lihat Mas makan udah kenyang," balas Audi cuek. Ia lebih memilih membersihkan sisa-sisa makanan.

Rezvan tertawa kecil. Ia beranjak untuk membayar pesanan mereka kemudian melanjutkan tujuan selanjutnya. Tapi sebelumnya, Rezvan menarik tangan Audi untuk mampir ke salah satu toko sepatu. Rezvan mengabaikan pertanyaan Audi yang bingung diajak ke toko sepatu.

"Ngapain ke sini?" tanya Audi untuk kesekian kalinya.

"Kan Audi minta ke toko buku," ucap Audi ketika Rezvan masih mengabaikannya.

Pria itu menarik Audi ke arah sepatu sneakers khusus wanita. Tanpa melepaskan tangan Audi, pria itu mengamati sepatu-sepatu yang berjejer rapi di rak. Audi juga ikut melihat-lihat. Banyak sekali sepatu yang menurutnya lucu, tapi ia harus sabar menunggu sampai bulan depan agar bisa membeli satu. Pengeluarannya bulan ini sudah mendekati batasnya karena dia harus bolak-balik fotokopi hal-hal kecil.

"Coba yang ini," Rezvan menyodorkan sebuah sepatu berbahan kulit sintetis berwarna nude yang cantik kepada Audi. "Menurut perkiraan saya, ukuran kaki kamu pasti 40."

Dengan ragu-ragu, Audi menerima sepatu dari Rezvan itu. Ia duduk di bangku kecil kemudian mencobanya. Sesuai perkiraan Rezvan, ukuran sepatu itu pas sekali di kaki Audi. Audi juga tidak merasa sesak ketika memakainya.

"Gimana? Pas, gak?" tanya Rezvan.

"Pas, kok. Ukurannya juga pas, Mas," jawab Audi.

"Kalau gitu kamu pilih model apa aja yang kamu suka."

"Audi gak bawa duit lebih, Mas," kata Audi panik. Sebenarnya ada sepatu yang menarik hatinya, tapi mengingat dompetnya sudah meraung-raung, ia mengurungkan niatnya. Padahal, ia bisa saja minta Papa atau Mamanya untuk membelikan.

"Kalau gitu, Mas beliin sesuai selera, Mas. Kamu harus pakai," kata Rezvan tegas. "Tidak ada penolakan!" titah Rezvan ketika melihat Audi akan menolak pemberiannya.

Tanpa menunggu persetujuan Audi, Rezvan langsung menghampiri pelayan toko untuk mengambilkan sepatu yang belum dipajang. Audi yang merasa tidak enak, hanya mengekori Rezvan.

Ia tahu kalau sepatu memang tidak seberapa. Tapi dia bukan gadis yang selalu minta dibelikan apa-apa oleh pacarnya. Ia terbiasa hidup mandiri dan membeli barang-barang kesukaannya dengan uang tabungan atau hasil kerjanya sendiri.

"Aduh, ngerepotin, Mas. Makasih, ya," kata Audi masih merasa tidak enak.

Rezvan tersenyum kemudian mengacak-acak rambut Audi. "Kamu itu punya pacar kaya dimanfaatin kek. Kaya yang lagi trend itu."

Audi merengut mendengarnya. "Kan aku bukan cewek kaya gitu!" protes Audi.

"Iya, iya," Rezvan berusaha menenangkan Audi yang mulai ngambek. "Makanya Mas sayang sama kamu. Soalnya nemuin orang kaya kamu itu susah. Gak ada malah. Cuma Audinya Rezvan aja soalnya."

Audi terkena serangan jantung lama-lama mendengar gombalan Rezvan yang makin aneh-aneh saja. Sampai ia sadar ada satu hal yang terlupakan oleh mereka.

"Mas, sepatunya mana?" tanya Audi menatap Rezvan bergantian dengan tangan Rezvan yang tidak membawa apapun.

"Loh? Bukannya kamu bawa?" Rezvan balas bertanya.

"Kayanya ketinggalan di tokonya, deh," kata Audi geli.

"Ya ampun! Maafin Mas, lupa bawanya. Kamu tunggu sini dulu. Jangan kemana-mana," kata Rezvan yang langsung berlari kembali ke toko sepatu tadi.

Audi menatap punggung Rezvan sambil tersenyum geli. Siapa bilang Rezvan sempurna? Prianya itu juga sama seperti manusia kebanyakan yang mudah lupa. Sekali lagi, Audi tidak sadar ada satu hal lagi yang akan terjadi.

"Audi?"

Audi menoleh menatap orang yang tadi memanggilnya. Rasanya Audi ingin menenggelamkan diri atau berlari manjauhinya. Orang tersebut adalah orang terakhir yang ingin ia temui hari ini. Keringat dingin mulai membasahi tubuh Audi padahal keadaan di sekitarnya cukup dingin.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Deila keheranan.

"Hai, Dei. Lo lagi jalan-jalan juga?" tanya Audi berusaha menutupi kegugupannya.

Pikirannya tidak tenang. Dia berharap Rezvan tidak muncul saat itu juga. Bisa-bisa hidupnya berada di ujung tanduk. Sekali Deila tahu hubungannya denga Rezvan, sisa hidup dan nasib sidangnya akan terancam.

"Iya, capek nyiapin sidang," jawab Deila dengan bangga. "Denger-denger lo juga mau sidang, ya?"

"Iya," balas Audi kaku.

"Gak nyangka gue lo cepet juga nyusul gue, ya? Selamat," kata Deila dengan suara dibuat-buat.

Daripada ucapan selamat, itu semua lebih seperti basa-basi saja. Audi ingin segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Rezvan sejenak sampai Deila hilang dari pandangan.

"Lo lagi nunggu seseorang?" tanya Deila ketika melihat gelagat Audi yang mencurigakan.

"Engga, kok," elak Audi. "Gue kebelet pipis. Duluan, ya?"

"Eh.." Deila menahan tangan Audi. "Kenapa lo aneh bang- Pak Rezvan?"

Audi melihat arah tatapan Deila berpindah darinya ke arah belakang punggungnya. Tanpa perlu dia menebak, sudah pasti itu Rezvan. Saat dia ikutan mengikuti arah pandang Deila, sosok tegap Rezvan terlihat.

Selamat tinggal dunia, batin Audi pasrah.

"Ngapain Pak Rezvan juga di sini?" tanya Deila heran.

Rezvan semakin mendekat dan Audi tidak bisa melepaskan pegangan tangan Deila dari dirinya. Rasanya ia ingin meneriaki Rezvan agar berpindah haluan ke arah lain. Tapi pria itu terlalu sibuk membawa belanjaan dan mengecek nota dengan serius.

Buset, ngelihat apa sih doi sampai serius kek gitu. Woy, Mas! Di sini lebih serius keadaannya. Plis, peka.

"Ketinggalan beneran. Tapi, kok harganya aneh, ya? Tadi saya ga bayar segini, lo," suara Rezvan tetap terdengar jelas walaupun pria itu masih 10 meter darinya. "Kayanya kita balik lagi ke sana deh, Audi Sayang."

Anju, sejak kapan dia panggil gue sayang? Pengen gue getok kepalanya biar kaya Patrick Star aja.

"Sayang?" ulang Deila.

Audi langsung membeku ketika Deila melemparkan pandang menyelidik dan tidak suka ke arahnya. Belum lagi Audi harus meringis karena ia merasakan kuku tajam Deila menusuk kulit tangannya.

Rasanya Audi ingin kabur saja. Ia panik sekali. Ia juga mengutuk kenapa Rezvan kalau jalan tidak lihat ke depan tapi malah menekuri nota sepatu sialan itu.

Akhirnya mata Rezvan bisa lepas dari nota sepatu sialan itu dan langsung disambut Deila yang menatapnya dengan tatapan menuntut. Rezvan ikut terdiam ketika tahu ia terlibat situasi yang rumit ini.

"Deila?" Rezvan kelihatan kikuk ketika menyapa Deila.

"Bapak sama Audi ngapain jalan berdua?" tanya Deila dengan suara mengancam. "Sayang? Huh."

To be Continued


Author's Corner

Haii, selamat malam Mingyu eh Minggu. Mblo, jangan baper baca ini yaa ( ͡° ͜ʖ ͡°). 

Kayanya abis ini nge-drama deh mereka.

Terima kasih juga karena berkat kalian work aku ini pernah #32 di Chicklit :'))

See U on Next Wednesday

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top