15. Semua Belum Berakhir


Perjuangan itu bukan hanya dilihat dari susahnya saja, tapi juga dari hasil akhir yang tak terduga.

***

Seumur hidup Audi sama sekali tidak membayangkan kalau seperti ini rasanya bahagia yang sesungguhnya. Melihat ada tanda tangan yang sangat ia inginkan dibubuhkan di lembar pengajuan pendadaran tugas akhir.

Yup! Rezvan sudah meng-acc tugas akhirnya. Sekarang ia tinggal memperjuangkan tugas akhirnya dan maju konsultasi dosen pembimbing dua. Jujur saja Audi ingin sekali bersorak-sorak di ruangan Rezvan tadi.

"Senang?" tanya Rezvan geli ketika melihat Audi tak kunjung berhenti tersenyum.

Audi mengangguk. Ia menatap Rezvan penuh kagum. "Seneng banget, Pak. Saya gak nyangka bisa lulus juga dari tempat ini," jawab Audi girang.

Rezvan ikut senang juga. Menurutnya, Audi sudah memenuhi kualifikasi mahasiswa yang lolos dan siap pendadaran menurut versinya. Deila yang juga mahasiswi bimbingannya malah sudah mengajukan pendadaran. Tinggal menunggu persetujuan oleh Kaprodi dan menanti jadwal dari administrasi.

"Pokoknya kamu harus yakin dengan jawaban kamu. Salah atau keliru sedikit tidak masalah, yang penting tidak fatal. Sebagai mahasiswi bimbingan saya, kamu harus membawa nama baik saya juga sebagai dosen bimbingan kamu," terang Rezvan mulai serius.

Audi mengangguk paham. "Baik, Pak."

"Dosen pembimbing dua kamu Bu Indira?" Rezvan membalik mencari lembar pengesahan. Sekali lagi Audi mengangguk.

"Bu Indira sebagai pembimbing dua biasanya hanya melihat format tugas akhir kamu dan konsep dasar pengerjaan kamu saja," kata Rezvan. "Semoga kamu hanya sebentar bimbingan dengan beliau."

"Saya juga berharap seperti itu, Pak. Pokoknya saya tidak akan mengecewakan Bapak. Mohon bimbingannya sekali lagi, Pak," ujar Audi penuh semangat.

Rezvan tertawa kecil. "Baik. Sekalian bimbingan sebagai imam tidak?"

"Bapak apaan, sih," balas Audi malu-malu. Audi bangkit dari duduknya dan pamit keluar ruangan Rezvan.

"Audi?"

"Iya, Pak?"

"Kamu butuh bantuan saya untuk mengecek format tidak?" tanya Rezvan, ia sudah membuka laptopnya.

Audi menggeleng. "Tidak, Pak. Itu kan tugas saya. Permisi."

Selepas dari ruangan Rezvan, Audi segera berlari dengan cepat menuju tempat kedua sahabat micinnya berada. Dimana lagi kalau bukan di kantin teknik. Dari kejauhan, Audi bisa melihat siluet tubuh Arlino yang bongsor itu. Di sampingnya duduk gadis yang lumayan mencolok karena wajahnya yang peranakan bule itu termasuk kategori cantik.

"Oooy," panggil Audi ketika jaraknya tinggal beberapa meter dari Arlino dan Milla. "Gue ACC!"

Audi yang tak kuasa membendung rasa bahagianya langsung memeluk Milla dan Arlino bergantian. Kelakuan Audi tersebut menjadi tontonan gratis bagi anak-anak yang sedang nongkrong di kantin sambil berbisik-bisik.

"Wah, selamat, yaa. Akhirnya lo bisa nyusul gue," kata Arlino senang.

"Selamat, ya. Akhirnya lo lepas juga dari cengkeraman Si Bapak," bisik Milla senang juga.

"Terus lo mau maju pembimbing dua kapan?" tanya Arlino penasaran.

"Gue benerin dulu, nih, revisi dari Pak Rezvan. Terus cek lagi formatnya sama konsepnya udah bener apa belum," jawab Audi antusias.

"Wah, Bu Indira, kan? Ibunya kan sibuk, jadi ga begitu teliti banget, kok. Palingan maju dua atau tiga kali udah ACC lo mah. Mana lo rajin begitu," ujar Milla.

"Gue rencananya besok mau maju, nih. Kalau gue kebut maju doi sehari dua kali bisa ga, ya?" tanya Audi was-was.

"Lo kira minum obat, dua kali sehari," cerocos Arlino.

Arlino dan Milla tak habis pikir dengan Audi. Gadis itu bersemangat sekali sampai-sampai mereka berpikir kalau Audi itu bukan manusia melainkan robot. Kenapa Audi semangat sekali lulus, sih?

"Gile lu ndro. Lo sebegitu ngebetnya lulus, ya?" tanya Milla heran.

"Istirahat dulu, lah. Sehari cukup. Dinginin tuh kepala lo yang mulai berasap," saran Arlino.

"Gak. Gue mau lulus segera. Nyusul kalian berdua yang bentar lagi pendadaran."

Mendengar hal itu, Arlino dan Milla jadi maklum. Mereka berdua juga sudah mengajukan jadwal sidang dan hanya tinggal menunggu jadwalnya saja.

"Mau kami bantu gak?" tawar Milla lembut.

"Iya, gue sama Milla gabut, nih," tukas Arlino.

Tiba-tiba, notifikasi ponsel Audi berbunyi. Buru-buru ia membuka ponselnya dan menemukan pesan dari Rezvan. Padahal baru saja dia dan Rezvan bertemu tadi.

Rezvan Brata

Cek email kamu

Sudah saya betulkan formatnya

Semangat maju Bu Indira, ya. Jangan lupa doa biar kita disegerakan

Audi kaget membaca pesan Rezvan, tapi langsung mengerutkan kening ketika membaca baris terakhir pesan pria itu. Bisa-bisanya dia sempat berpikir seperti itu. Jangan-jangan selama ini dia membantu Audi cepat lulus itu ada imbalannya. Dia nyaris lupa kalau Rezvan itu tidak mungkin melakukan apapun gratis. Audi jadi menyesali keputusannya.

Rezvan Brata

Ohya satu lagi

Jangan peluk-peluk cowok lain di depan umum

Kalau minta peluk, sama saya saja di rumah


Audi tewas.

Milla yang melihat sahabatnya itu sepertinya melamun, langsung menggoyang-goyangkan tubuh Audi. Arlino juga penasaran ingin melihat kira-kira hal apa yang dilihat Audi sampai Audi kelihatan bodoh itu. Audi yang menyadari segera mematikan layar ponselnya dan cepat-cepat dia masukan ke dalam tas.

"Di, lo gak kesambet setan kampus saking senengnya mau out dari sini, kan?" tanya Arlino cemas.

"Engga, lah. Amit-amit kalau kejadian," jawab Audi.

"Gapapa, Di. Setannya si Arlino, kok. Kasih aja sajen nasi goreng sama es kopi, dia pasti diem aja," ejek Milla.

Arlino melemparkan tisu bekasnya dan menatap garang Milla. "Kurang ajar lo, Mil. Nyamain gue sama spesies lo."

Audi mengabaikan pertengkaran konyol Milla dan Arlino yang sering terjadi itu. Audi rasanya ingin menyumpahi biar Milla dan Arlino berakhir menikah nanti. Tapi Audi ingat, Milla sedang dekat dengan adik tingkatnya yang tengil itu.

"Ohya, Di. Kita berdua sepakat buat menjadwalkan ulang sidang kita. Lo setuju, kan? Biar kita lulus bareng," kata Milla.

"Gue doakan semoga Bu Indira segera ACC, ya," sambung Arlino.

Audi hampir menangis kalau tidak ingat ini di tempat umum. Ia juga lupa dan nyaris saja memeluk Arlino saking terharunya. Kalau saja dia tidak ingat pria yang bibit posesifnya mulai kelihatan. Padahal seingat Audi, Rezvan sama sekali tidak mengikatnya dalam sebuah komitmen nyata. Tapi, dia mau-mau saja menuruti permintaan Rezvan yang kadang konyol itu. Audi tersenyum senang. Entah karena Rezvan atau karena tugas akhirnya hampir selesai.

***

Seperti perkiraan Rezvan, Bu Indira memang dosen yang tidak mau ribet. Ia cukup melihat apakah format penulisan naskah tugas akhir Audi sudah benar atau belum. Ada sih coretan-coretan pensil di naskahnya, tapi tidak separah yang dahulu dilakukan Rezvan. Bayangkan, kertasnya sampai bolong hanya karena dicoret menggunakan pensil.

"Kamu utilitas penyediaan airnya pakai sendiri? Tidak beli?" tanya Bu Indira dengan mata menelisik Audi.

"Iya, Bu. Setelah saya bandingkan, biaya pengolahan air sendiri lebih murah daripada beli di pihak lain," jawab Audi tenang dan lugas.

Bu Indira mengangguk paham. Bu Indira ini adalah salah satu dosen Teknik Kimia yang sudah setengah baya. Selalu memakai hijab dengan pola abstrak, kacamata yang menempel di ujung hidungnya, memiliki tatapan mata sayu tapi terkesan galak, dan suara yang mendayu-dayu. Kalau kata Rezvan, Bu Indira ini sekilas mirip Nyonya Puff di kartun Spongebob.

"Kalau untuk kebutuhan udara tekan, bagaimana kamu mencarinya?" Bu Indira melontarkan pertanyaan yang dimaksudkan untuk menguji Audi.

"Kebutuhan udara tekan dihitung dari jumlah valve yang digunakan dikalikan dengan koefisien yang ada di buku referensi, Bu," jawab Audi yakin.

Bu Indira mengangguk tanda setuju. "Untuk bagian yang lain seperti manajemen dan ekonomi teknik, saya percaya sama kamu."

Audi nyaris berteriak heboh ketika Bu Indira tanpa pikir panjang langsung menandatangani surat pengantar pendadaran. Ia bahkan ingin memeluk Bu Indira saat itu juga, tapi urung karena bisa-bisa dosen itu membatalkan keputusannya.

"Terima kasih, Bu. Nanti setelah dapat jadwal, saya akan memberitahu ibu."

Dengan langkah ringan, Audi bergegas menuju ke administrasi yang berada di ruangan sebelum kantor dosen. Ia segera mencari syarat-syarat pengumpulan berkas pendadaran.

Saking semangatnya, ia hampir tidak sadar akan menabrak Rezvan yang akan keluar ruangan. Sepertinya dosen muda itu akan pulang ke rumah. Audi tersenyum kikuk ketika Rezvan menatapnya heran.

"Kamu ngapain sore-sore masih di sini?" tanya Rezvan dengan suara dikecilkan.

Bagaimana pun juga, ini masih wilayah kampus. Banyak telinga di teknik kimia. Bahkan dinding pun ikut mendengarkan. Rezvan memberi isyarat Audi untuk mengikutinya keluar ruangan dan mencari tempat yang agak sepi.

"Kamu ngapain masih di sini?" ulang Rezvan.

"Habis maju Bu Indira, Pak. Saya pendadaran!" Audi menahan pekikannya, masih sangat bahagia dan tidak percaya.

Rezvan jadi geli sendiri melihat Audi bertingkah hiper seperti itu. Biasanya, Audi akan jaga sikap di depannya. Sebenarnya tanpa perlu bersikap seperti itu, Rezvan sudah tahu Audi itu gadis seperti apa. Radarnya jauh lebih bisa dipercaya.

"Selamat, ya. Kamu gak mau peluk saya?" Rezvan merentangkan tangannya lebar seraya meringis ke arah Audi.

Audi bergidik ngeri dan nyaris melemparkan kertas yang dipegangnya ini ke muka Rezvan untuk kedua kalinya. Untung dia masih ingat kalau kertas ini adalah kertas yang berharga, jauh lebih berharga daripada Rezvan sekarang.

"Bapak ngapain, sih? Gak tahu mau," ledek Audi.

"Daripada kamu peluk orang sembarangan, lebih baik peluk saya yang bukan Cuma orang sembarangan," tukas Rezvan.

"Bapak kan bukan siapa-siapa saya juga," kata Audi, sudah malas meladeni omongan Rezvan yang semakin menjurus saja.

"Kalau saat ini kamu mau, saya siap jadiin kamu siapa-siapa saya."

Pipi Audi merona tanpa disadari.

"Ssst, nanti ada yang dengar," kata Audi memperingatkan, matanya bergerak awas mengawasi sekitarnya. Takut ada orang iseng yang menguping. "Bapak ngebet banget sih pengen nikah. Sana sama orang lain saja," balas Audi agak emosi.

"Oke, saya gak goda kamu lagi," akhirnya Rezvan menyerah daripada dia ditinggal pergi.

Rezvan memaksa Audi untuk ikut pulang dengannya. Meski sudah menolak sekian kali dengan alasan etika dan sebagainya, Audi tak kuasa menolak tawaran Rezvan. Mungkin untuk kesekian kalinya pula, Audi harus terjebak berdua dengan Rezvan di dalam mobil. Seperti takdir saja.

Entah karena takdir atau kebetulan saja, begitu Audi masuk ke dalam mobil Rezvan (masih dengan mengendap-endap karena takut ketahuan), hujan turun dengan derasnya seperti dihuyurkan Tuhan dari langit ke bumi.

"Tuhkan, untung kamu nurut sama saya," ujar Rezvan sambil menghidupkan mobil dan kemudian mobil itu melaju di tengah hujan.

Audi mengerucutkan bibirnya kesal. "Tetap saja saya ngerasa gak enak, Pak. Kalau ketahuan bisa ruwet nanti."

Rezvan tertawa dan mulai meledek Audi macam-macam. Audi sendiri hanya diam saja karena sedang malas menanggapi Rezvan.

"Saya baru ingat. Kamu ini gak pernah mematuhi saya, ya?" tanya Rezvan tajam.

"Hah? Gimana, Pak?" tanya Audi balik, merasa kaget dan takut kalau dia telah melakukan suatu kesalahan menjelang sidangnya nanti.

"Tuh. Lagi."

"Hah?"

"Hahehahe. Kamu itu dulu kan pernah saya bilang buat panggil saya Kak aja, instead of Bapak," kata Rezvan kesal. "Saya belum jadi bapak-bapak, Audi. Kecuali kalau kamu mau jadi Ibunya."

Izinkan Audi membenturkan Rezvan ke stir mobil karena Audi merasa Rezvan yang sekarang bukanlah Rezvan yang dulu. Sekarang, Rezvan akan menggodanya kalau ada waktu dan kesempatan. Mirip seperti kata Bang Napi, kejahatan itu ada karena kesempatan. Waspadalah!

"Kebiasaan, Pak. Lagian enak panggil Bapak daripada Kakak," jawab Audi.

"Panggil Kenan aja Bang, giliran saya Bapak. Padahal saya seumuran dia, lo," kata Rezvan menuntut.

Audi tertawa terbahak-bahak. Pertama kalinya dia melihat pria yang selalu terlihat sempurna di hadapan wanita dan orang lain ini cemburu dengan orang seperti Kenan yang notabene tidak jelas itu. Biasanya, Rezvan terlihat tidak peduli jika orang membandingkannya dengan orang lain. Tapi dengan Audi, hal kecilpun bisa jadi sangat kompetitif bagi seorang Rezvan.

"Terus Bapak mau dipanggil apa? Bang Rezvan gitu?" Audi menjulurkan lidahnya, bermaksud mengolok-olok Rezvan.

Rezvan mendelik sebal kepada Audi. Matanya fokus ke jalan, tapi otaknya fokus memikirkan hal lain.

"Emm... coba kamu panggil saya Mas, deh," pinta Rezvan.

"Mas?" ulang Audi takut salah dengar. Rezvan mengangguk. "Mas Rezvan, gitu?" Audi tampak tidak yakin.

"Yang natural coba," tuntut Rezvan.

Audi menarik napas. "Mas Rezvan?" ulangnya. Matanya mengamati sikap Rezvan.

"Jangan ragu. Yang biasa aja coba."

Audi mendengus mendengar pria itu banyak menuntut. "Mas Rezvan."

Senyum mengembang di wajah Rezvan. Sepertinya ia tampak puas saat ini.

"Bagus. Kalau gitu mulai sekarang, panggil saya Mas Rezvan kalau berdua. Oke?"

Audi mengangguk. Pipinya merona.

"Saya harap, panggilan itu akan terus kamu ucapkan, Audi. Mungkin bagi orang lain itu sepele, tapi entah kenapa bagi saya itu sangat mendebarkan dan saya suka mendengarnya," kata Rezvan lembut.

"Padahal biasa saja," bisik Audi, menahan malu dan jantung yang berdegup terus.

"Saya itu sayang sama kamu, Audiar. Sudah saya akui sendiri berulang kali. Kalau kamu anggap saya bercanda, saya mohon jangan mempercayainya. Kamu bisa percaya saya?"

Audi bimbang. Ia akui sekarang perasaannya tumbuh semakin cepat seiring kebersamaan mereka berdua. Banyak hal yang sudah mereka lalui selama ini. Tangis, amarah, rasa kesal, senang,bahkan jatuh hati pun pernah Audi rasakan jika bersama Rezvan. Tapi entah ada satu hal yang masih mengganjalnya hingga saat ini. Satu hal yang belum pernah Rezvan ucapkan secara gamblang di hadapannya. Sesuatu yang jika Rezvan ungkapkan, mungkin Audi bisa percaya kepadanya.

Dan Audi memilih untuk tidak memendamnya semakin lama. Sebelum dirinya digerogoti perasaan cinta kemudian Rezvan pergi begitu saja.

"Mas?" hanya memanggilnya saja, Audi sudah malu sekali.

"Apa?" sahut Rezvan dengan tampang sumringah.

"Saya ini apa di mata Mas Rezvan?"

To be Continued    


Author's Corner

Ecieee, udah romantis-romantis aje. Jomblo mah gigit jari doang -____-

Maaf yaa, baru update. Serius deh, kayanya aku perlu ganti jadwal update wkwk. Hari gak ganti, kok. Mungkin waktu aja ya. Jadi, Rabu dan Sabtu aku akan update malam. Kalau sabtu sepertinya bisa update siang atau sore, kok ^^

Maaf juga kalau gak sesuai ekspektasi atau apalah. Aku ngantuk bat nulis ini wkwk. Anyway, Audi mau sidang. Yeeey! Akhirnya lepas juga dari jerat Rezvan wkwk. 

Terima kasih buat yang sudah baca, kasih bintang, komen, dan follow POA. ILY.

See U Next Week

XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top