14. Dari Saya, Untuk Kamu, Oleh Kita

Tidak ada yang salah dengan sebuah perasaan. Karena dengan begitu kita merasa istimewa.

***

Bagi Audi, pernikahan kakaknya, Elle, sangatlah mendadak. Dua minggu yang lalu, Kenan secara resmi datang ke rumah untuk melamar kakaknya itu didampingi oleh orang tua Kenan. Ayah Audi yang tidak bisa datang, hanya bisa menyaksikan lewat sambungan Skype.

Audi merasa terharu. Kenan sudah lama menyayangi Elle dan tak pernah sekalipun Kenan menunjukkannya kepada Elle.

"Laki-laki yang baik itu bukan yang hanya bisa menjanjikan. Tapi langsung bertindak dengan mendatangi ayahnya," begitu kata Kenan ketika Audi memaksanya untuk bercerita.

Spesies seperti Kenan itu sudah sangat jarang di dunia ini. Kalaupun ada, Audi tak yakin akan mendapatkan satu seperti Kenan. Kakaknya beruntung mendapatkan Kenan sebagai pendamping hidupnya. Walau Kenan terkesan seperti orang yang YOLO (you only live once), Kenan benar-benar orang yang bertanggung jawab dan tidak main-main. Tidak seperti orang di sampingnya yang sedari tadi berbisik-bisik di telinganya.

"Saya tidak menyangka saya dilangkahi Kenan."

"Padahal Kenan belum bisa lap ingusnya sendiri."

"Orang tua kamu yakin melepas Elle buat Kenan? Gak takut ditelantarkan?"

"Kasihan Elle."

"Bapak berisik!" desis Audi yang kesal dengan Rezvan yang dalam mode cerewet.

Audi yakin kalau Rezvan iri melihat sahabatnya itu sudah melepas masa lajang mendahului Rezvan. Audi hanya tidak tahu kalau jiwa kompetitif Rezvan juga berlaku untuk pernikahan.

"Saya tahu Bapak iri ditinggal nikah Bang Kenan," ejek Audi.

"Saya gak iri. Pernikahan itu bukan ajang balapan atau ajang iri dengki," balas Rezvan. "Lagipula saya hanya tinggal nunggu kamu lulus, kan?"

Rezvan menyeringai, membuat Audi buru-buru mengalihkan pandangan kembali ke prosesi akad nikah yang akan dimulai. Untung saja blush on yang dia pakai bisa menjadi tameng wajahnya yang pasti sudah kelewat merah. Dosennya ini kalau ngomong memang suka sembarangan!

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak mendampingi Elle? Harusnya kamu tidak di sini," tanya Rezvan dengan raut wajah bingung.

"Saya diusir Mama. Katanya duduk saja daripada mengganggu," jawab Audi, bibirnya sudah mencebik lucu.

Aduh, tahan, Van. Tahan.

"Bener kata Mama kamu. Bisa-bisa kamu mengacaukan akadnya. Mending kamu duduk di sini temani saya," kata Rezvan setengah mengejek setengah meminta.

Audi menatap dosennya itu dengan pandangan geli. Audi yakin kalau Rezvan bertingkah seperti ini di kampus -tidak bersikap seperti dosen killer, mahasiswi yang mengantri untuk dilamar mungkin bisa panjang sekali.

Prosesi akad nikah berjalan khidmad dan sederhana. Kenan dan Elle memilih keluarga dekat dan teman dekat untuk datang menyaksikan. Sedangkan untung rekan kerja ataupun kenalan kedua orang tua mereka, hanya diundang saat resepsi nanti malam.

Audi terharu ketika melihat Kenan bertukar pandangan dengan Elle. Kedua insan itu tampak bahagia. Audi juga berharap dia akan seberuntung kakaknya itu. Tapi sepertinya jalannya masih panjang.

"Van, ayok sini foto sama gue sama Elle," kata Kenan setengah berteriak.

Audi yang tahu akal bulus Kenan hanya diam saja. Harusnya saat ini mereka foto keluarga, Kenan, Elle, dan Audi. Audi hanya malu saja pada Rezvan.

"Engga ah. Kan foto keluarga," tolak Rezvan.

"Elah, ikut aja sini. Siapa tahu jadi keluarga beneran," kata Kenan tidak mau kalah.

"Udah foto aja, Mas. Masih banyak antriannya," desak seorang fotografer muda yang agaknya tidak sabar.

Kenan yang juga tidak sabar, segera menarik Rezvan agar berdiri di samping Elle. Elle hanya tertawa manis melihat interaksi tersebut. Dalam hati dia juga mengamini kata-kata Kenan. Siapa coba yang tidak mau punya adik ipar seperti Rezvan?

"Di, terima kasih sama abang sini," bisik Kenan ketika sesi foto mereka selesai.

"Kenapa, Bang?" tanya Audi bingung. "Terima kasih karena udah mau jadi kakak ipar Audi?"

Kenan menatap Audi kesal. Ia tahu kalau adik iparnya ini lemotnya keterlaluan. Ia akhirnya mengusir Audi karena antrian tamu yang ingin berfoto sudah semakin mengular.

Audi yang ikutan kesal, akhirnya menghampiri ayahnya yang sedang berbicara dengan kawannya. Tanpa Audi sadari, Rezvan juga ikut mengekor di belakangnya.

Papa Audi adalah seorang pria lembut berusia lebih dari setengah abad. Sudah hampir sepuluh tahun ini, mereka hidup terpisah. Mama Audi memilih membesarkan anak-anaknya di Indonesia, walau hal tersebut berarti dia harus berpisah dengan suaminya. Ada kalanya dia pergi ke Belgia untuk menjenguk suaminya tersebut.

"Pa," panggil Audi, membuat pria dengan tubuh tegap itu menoleh menatap putrinya.

"Audi Sayang, sini. Kenalin ini Om Ares. Dia teman papa kuliah dulu," kata Papa Audi.

Audi bersalaman dengan teman papanya ini. Om Ares yang terlihat jauh lebih muda dari papanya ini mengamati Audi dengan teliti, sekali-kali dia tersenyum kebapakan.

"Anak kedua kamu, Han?" tanya Om Ares penuh minat. Papa Audi mengangguk. "Masih kuliah atau sudah lulus ini?"

"Masih kuliah dan mau lulus, Om," jawab Audi malu-malu. Ia mengeratkan pelukannya di lengan kokoh papanya.

"Manja seperti mamanya, ya?" celetuk Om Ares, membuat Papa Audi tertawa dan Audi semakin malu. "Kalau masih kuliah, berarti kamu sepantaran dengan Dian, ya?"

"Dian? Aldian anak kamu yang pemalu itu?" Papa Audi tampak mencoba mengingat-ngingat.

Om Ares mengangguk. "Sekarang sudah tidak malu-malu lagi. Sudah jauh melampaui papanya ini," kata Om Ares bangga.

"Gak kamu ajak, Res?"

"Dia lagi kerja. Gak boleh cuti," jawab Om Ares agak kecewa. "Padahal kalau bisa cuti, mau aku ajak ke sini. Siapa tahu cocok dengan anak kamu ini," kata Om Ares dengan nada menggoda.

Papa Audi tertawa, sedangkan Audi rasanya ingin melepaskan diri dari obrolan dengan bapak-bapak yang mulai menjurus ini. Dia menyesal menghampiri papanya.

Tiba-tiba, pundak Audi rasanya seperti ada yang mencolek. Ia menoleh dan menemukan Rezvan berdiri di sampingnya. Papa Audi dan Om Ares yang menyadari kehadiran Rezvan, juga tampak kaget.

"Audi, saya mau bicara," bisik Rezvan kepada Audi. "Om, Audi boleh saya pinjam?" tanya Rezvan kepada Papa Audi.

"Oh, boleh. Mau dipinjam buat apa? Kalau untuk menghabiskan makanan, boleh saja," Papa Audi tersenyum meledek.

Rezvan tampak salah tingkah. Papa Audi mengizinkan Rezvan membawa anak gadisnya itu. Entah kenapa dia seperti merasakan ada yang beda dengan dua orang tersebut. Papa Audi belum kenal Rezvan lama. Tapi, percakapan mereka semalam cukup membuat Papa Audi terkesan.

"Loh, itu siapa? Jangan-jangan anak kamu sudah ada calon?" Om Ares tampak panik.

Sedangkan Papa Audi hanya memberikan senyum misterius. "Entahlah."

***

Rezvan mengajak Audi makan dan duduk di salah satu meja yang sudah disediakan. Sekalian mereka berdua beristirahat. Maklum, acara akan dilanjut resepsi nanti malam. Jadi, Audi tentu saja harus betah berlama-lama memakai high heels yang menurutnya sangat menyiksa itu.

"Itu tadi siapa?" tanya Rezvan.

Pria yang hari ini tampil beda dari biasanya itu menyodorkan sepiring makanan berisi bermacam-macam lauk. Audi menerimanya dengan tatapan heran. Tumben sekali Rezvan baik hati padanya dan peka.

"Temen papa, Pak. Saya juga baru lihat," jawab Audi sekenanya.

Audi mulai memakan makanannya tanpa menunggu jawaban Rezvan. Rezvan sendiri hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Audi yang sama sekali tidak membantunya itu. Ia juga mulai memakan makanannya dengan tenang.

"Mau diambilkan minum?" tanya Rezvan, menghentikan sejenak kegiatannya.

"Engga usah, Pak. Saya ambil sendiri saja."

"Tunggu di sini," kata Rezvan sambil menahan Audi agar tidak beranjak dari tempat duduknya.

Audi hanya memandang keheranan sosok Rezvan yang sudah menghilang di kerumunan. Beberapa saat kemudian Rezvan kembali membawa dua buah gelas di kedua tangannya. Ia meletakkan segelas jus jeruk dan segelas jus buah bit di hadapan Audi.

"Saya gak tahu kamu suka yang mana. Jadi, saya bawakan dua-duanya," jelas Rezvan.

Audi meminum jus jeruk yang dibawakan Rezvan tadi kemudian menyodorkan jus bitnya ke arah Rezvan. "Buat bapak."

"Audi, kamu yakin gak kenal dengan teman papa kamu tadi?" Rezvan tampak tidak tenang.

Audi menggeleng. "Saya baru ketemu hari ini, Pak."

"Oh."

"Kenapa memangnya, Pak?" tanya Audi penasaran. Masalahnya, Rezvan memang jarang terlihat penasaran seperti ini.

"Saya kira kamu juga kenal anaknya tadi," jawab Rezvan acuh.

"Ya terserah saya dong, Pak. Mau saya kenal anaknya atau engga. Kok Bapak kepo banget, sih?" gerutu Audi, agak tersulut.

Rezvan dan Audi kemudian saling diam. Entah apa yang mereka berdua pikirkan. Orang-orang masih berlalu-lalang di sekitar mereka. Audi pun akhirnya memainkan ponselnya untuk sekedar chatting dengan Milla atau Arlino yang katanya akan datang saat resepsi nanti. Arlino jelas yang paling semangat. Selain bisa sepuasnya makan-makanan enak, dia pasti berharap bisa bertemu dengan jodohnya di acara pernikahan. Terpuji sekali niat Arlino.

"Audi?"

Audi mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya. Berganti menatap Rezvan. "Ada apa?"

"Kamu gak penasaran kenapa saya bisa suka sama kamu?"

Audi menaikkan alisnya. Kadang ia tidak bisa menebak bagaimana jalan pikiran dosennya itu. Rezvan itu tidak seperti pria pada umumnya. Entah kenapa sikap dia selalu kontradiktif di mata Audi.

Audi meletakkan ponselnya di meja. Ia menarik napas panjang. Kadang ia terlalu malu untuk sekadar membahas atau berpikir macam-macam tentang hubungannya dengan Rezvan. Ia memang tidak berani mengatakan kalau dia jatuh hati pada pria 26 tahun tersebut, tapi ia juga tak menampik jika pelan-pelan ia mulai tertarik. Siapa sih yang tahan diperlakukan nano-nano oleh pria seperti Rezvan?

"Emm..."

"Mungkin agak aneh kalau seorang pria malah bertindak seperti apa yang saya lakukan ini," kata Rezvan pelan tapi pasti. "Tidak tahu kenapa rasanya saya selalu khawatir kalau saya tidak di dekat kamu."

Jantung Audi rasanya berhenti.

"Awalnya saya gak tahu kenapa saya bisa seperti ini sama kamu. Sejak saya kerja jadi dosen di situ, entah kenapa setiap melihat kamu saya sebal,"beber Rezvan dengan tenang.

Audi ingin mengguyur wajah tampan Rezvan dengan jus jeruk.

"Kamu memang tidak bodoh, tapi lemot," kata Rezvan, menatap tajam Audi. "Pokoknya tipe mahasiswi kaya kamu itu membuat saya selalu pusing dan naik darah."

Audi menunduk. Baru dia sadari kalau dia sudah lama tidak mendengar mulut tajam Rezvan beraksi.

"Tapi ada satu hal yang membuat saya kagum sama kamu."

Audi mendongakkan wajahnya. Rezvan tersenyum padanya. Biarpun dia seratus kali disuguhi senyum Rezvan itu, ia tidak yakin itu cukup. Ia suka jika Rezvan tersenyum.

"Kamu itu gigih. Saking gigihnya, saya tidak yakin ada mahasiswi yang rela didamprat dosennya berjam-jam seperti itu," ujar Rezvan. "Makanya perpaduan sikap bodoh kamu dan kegigihan kamu itu yang membuat saya tertarik."

"Dan malah jatuh cinta," bisik Rezvan, mendekatkan kepalanya ke arah Audi.

Audi jadi gugup mendengar semua itu. "Tapi itu semua klise, Pak. Alasan Bapak tidak masuk akal."

"Jatuh cinta mana ada yang masuk akal, Audiar. Ketika kamu jatuh cinta, semua rasanya menjadi benar. Mau kamu sudah berumur atau masih bocah, yang namanya jatuh cinta itu tidak bisa dikontrol dan tidak masuk akal," Rezvan memandang Audi intens sambil bersandar pada sandaran kursi.

Audi menggigit bibirnya karena terlalu gugup dan kaget.

"Saya pernah bilang ke kamu kalau saya tidak butuh perempuan yang cantik, kan?" Audi mengangguk. "Bagi saya, kamu itu sudah melengkapi separuh hidup saya."

Astaga, ini Si Bapak gak main-main ngalusnya.

"Karena kalau ingin melengkapi seluruh hidup saya, saya ingin kamu menemani saya sampai tua nanti," Rezvan mengakhirinya dengan senyuman yang bisa membuat nyawa semua wanita yang melihatnya berada di ujung tanduk. "Kamu mau?"

Audi tidak paham apakah ini sejenis lamaran atau bukan. Ia sudah khatam melihat drama korea dari segala jenis genre. Tapi, ia tidak bisa menemukan tujuan sebenarnya Rezvan bersikap seperti ini kepadanya.

"Pak..." cicit Audi.

Rezvan tertawa kecil. "Kalau kamu mau, saat ini juga saya bilang sama ayah kamu. Tidak perlu terburu-buru, kok. Saya siap menunggu kamu siap."

"Tapi, Pak..."

"Kalau kamu takut dengan status kita sebagai dosen dan mahasiswa bimbingan saat ini, mari kita selesaikan tugas akhir kamu sebaik mungkin. Semakin cepat kamu sidang, semakin cepat rencana saya terwujud," terang Rezvan dengan lembut.

Audi menatap tidak percaya dosennya itu. Tanpa sadar dia malah meracau. "Ini lamaran bukan, Pak?"

"Hahaha. Kalau kamu mau menganggapnya seperti itu, silakan. Yang jelas, saya juga akan melakukan hal yang sama seperti yang Kenan lakukan untuk Elle," kata Rezvan.

Audi yakin tampangnya sekarang tidak ada cantik-cantiknya. Ia menutup wajahnya karena malu ditatap oleh Rezvan. Pria itu tidak berhenti melakukan kontak mata dengannya walau berapa kalipun dia putuskan.

"Saya... saya belum cinta sama Bapak," bisik Audi nyaris tidak terdengar karena teredam tangannya.

"Apa?" tanya Rezvan.

"Saya belum cinta sama Bapak," ulang Audi.

Rezvan tampak berpikir beberapa detik. Ia mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Audi. Audi bisa merasakan sengatan listrik. Ini pertama kalinya mereka kontak fisik, sebelumnya mana sudi Rezvan berjabat tangan dengannya.

"Kan saya sudah bilang dulu," kata Rezvan sabar. "Biar saya yang usaha, kamu cukup diam saja."

Tingkat kegugupan Audi sudah tidak bisa diukur lagi. Ia terlalu gugup sampai takut kalau tangannya berkeringat dan mengotori tangan Rezvan.

"Ohya. Dan jangan berdekatan dengan pria lain. Saya tidak suka," titah Rezvan dengan tegas.

To be Continued


Author's Corner

Aaaa gue baper!!!!

Mohon maafkan aku yang mangkir dari kewajiban update hari sabtu. Ehehe, udahlah alasannya ga penting. Pokoknya aku minta maaf yaa. 

Aduh, sisain cowok satu kaya Rezvan, dong. T___T /plak/. Baper karena kemarin malam bahas kado nikahan temen satu koloni. Tidak menyangka saya dilangkahi sodara-sodara. Tapi aku ikut seneng, kok. Pernikahan itu bukan langkah mudah, lo. Harus matang dan tulus. Iye, kan?

Thank you for reading, giving vote & comment, and following POA. I'm so grateful. ILY  ( ̄▽ ̄)ノ. Sekali lagi aku minta maaf kalau part ini tidak sesuai ekspektasi kalian karena aku harus stick to draft. Ehehehe.

See U on Wednesday

XOXO





Kayanya Dosbing sudah mencium bau-bau ending /smirk/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top