13. Boys be Ambitious

Kepintaran itu bukan segalanya jika sikap (attitude) kita kosong.

***

Telinga Rezvan panas ketika mendengar omongan orang sejak ia selesai bimbingan tadi dengan Audi. Gadis itu keluar dari ruangan Rezvan dengan muka sembab dan wajah berantakan, benar-benar menggambarkan ia baru saja menangis. Melihat penampilan salah satu mahasiswa sebegitu mengerikannya, para dosen yang lain serta staf otomatis menerka-nerka apa yang terjadi.

Dewa Dosen (kepala prodi teknik kimia) adalah salah satu dosen killer saja bisa dibuat takjub dengan cara Rezvan membimbing mahasiswanya. Sekejam-kejamnya dia, ia tak akan membiarkan mahasiswanya menangis saat konsultasi tugas akhir. Kalau menangis saat sidang, ia tidak mau tahu karena itu sudah tanggung jawab mahasiswa terhadap pekerjaannya.

"Pak Harun, saya rasa bapak harus bicara dengan Pak Rezvan," saran salah satu staf administrasi ketika melihat Audi keluar dari kantor dosen. Staf tersebut kasihan sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi.

Dewa Dosen alias Pak Harun mengangguk. Ia juga khawatir dengan berita simpang siur yang akan timbul jika orang lain di luar prodi teknik kimia mengetahui berita ini. Bisa hancur reputasi yang sudah susah payah dia bangun selama ini. Bisa-bisa tujuannya untuk memperoleh kursi di fakultas teknik lolos begitu saja dari tangannya.

Dengan aura mengancam, Dewa Dosen masuk ke ruangan Rezvan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia nyaris jantungan ketika melihat Rezvan jongkok di dekatnya, terdiam. Ia melihat banyak kertas-kertas yang berhamburan di lantai kantor Rezvan tersebut. Sebenarnya apa yang terjadi?

"Pak Rezvan, apa yang terjadi?" tanya Dewa Dosen tanpa basa-basi.

Rezvan yang menyadari kehadiran atasannya itu segera bangkit. Ia tampak seperti melihat hantu. Wajahnya yang tampan itu terlihat kelelahan di saat bersamaan.

"Oh, tidak ada apa-apa, Pak," jawab Rezvan sekenanya.

Kadang Dewa Dosen merasa kesal sekali jika bicara dengan Rezvan yang notabene adalah dosen juniornya ini. Entah karena alasan profesionalisme atau karena Rezvan adalah orang yang tidak peka, Dewa Dosen selalu sebal dengan cara bicara Rezvan.

"Semua orang sedang ribut karena salah satu mahasiswi bimbingan kamu begitu menarik perhatian," Dewa Dosen melihat ke sekeliling mereka dengan tatapan menyalahkan Rezvan. "Ditambah ruangan Anda terlihat sangat berantakan saat ini."

Rezvan menarik napas. Ia lelah. Rasanya ia ingin mengusir Dewa Dosen dari ruangannya. Tapi, sepertinya dirinya sendiri yang bakal ditendang keluar dari kampus ini jika ia nekat melakukannya.

"Nanti saya bicara dengan mahasiswi tersebut, Pak. Jangan khawatir. Masalah ruangan, ini kesalahan saya yang tidak berhati-hati tadi," kata Rezvan mencoba tenang.

Dewa Dosen tampak tidak puas dengan jawaban Rezvan tersebut. "Saya minta kamu selesaikan masalah ini sekarang. Sekarang!"

Dewa Dosen keluar dari ruangan Rezvan tanpa mau mendengarkan kata-kata Rezvan lagi. Rezvan sendiri sudah menahan diri untuk tidak menyumpahi atasannya itu.

Ia melihat ruangannya memang berantakan. Ia mengambil dan mengumpulkan kertas-kertas yang tadi dilempar Audi tepat ke mukanya. Ia tidak percaya selama 26 tahun hidupnya akan ada seseorang yang berbuat seperti itu kepadanya. Terlebih lagi dia adalah Audi, mahasiswinya sekaligus orang yang membuatnya gila selama ini.

Rezvan tersenyum ketika mengingat kata-kata yang sempat dilontarkan gadis itu. Rezvan yakin kalau gadis itu pada akhirnya tidak bisa kemana-mana lagi. Rezvan percaya kalau dia bisa mendapatkannya. Sekarang ia hanya perlu usaha semaksimal sekaligus seefisien mungkin untuk mendapatkan produk akhir.

***

Milla dan Arlino hanya bisa memandang heran Audi yang sedang menghabiskan botol kedua minuman isotonik di salah satu sudut di studio TA. Mereka berdua agak terkejut mendapati Audi sudah menangis tersedu-sedu di pojokan seperti gadis gila.

"Minumnya pelan-pelan, Di," kata Milla khawatir ketika sahabatnya itu nyaris tersedak.

Audi mengusap ujung bibirnya dengan ujung lengan kemejanya. Matanya sudah tidak merah tapi bengkak lumayan besar. Orang yang tidak tahu pasti mengira Audi habis ditonjok orang.

"Gue capek nangis. Untung ada kalian yang mau beliin ini," Audi mengangkat dua botol minuman yang sudah kosong. "Tengsin gue mau beli ini di kantin."

Arlino sudah mengerti tanpa Audi beritahu. Grup gosipnya cukup cepat dalam mengumpulkan informasi terbaru. Untung ada salah satu adik tingkatnya yang juga anggota grup gosip yang sedang berada di TKP. Kalau tidak, Arlino bisa ketinggalan.

"Emang lo ngapain bisa nangis gitu? Lo gak malu dilihatin orang-orang?" tanya Milla gemas.

"Setelah gue inget-inget lagi, gue malu," bisik Audi. Ia langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Arlino dan Milla hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah Audi yang konyol itu. Audi mungkin juga tidak sadar jika saat ini dia menjadi topik panas di jurusan. Bukan Cuma mahasiswanya saja yang hobi menggunjing, dosennya pun juga tak kalah cepat dalam mendapatkan bahan gosip.

"Kenapa pula lo pake gampar Si Bapak pake naskah lo, sih? Sayang kertasnya ga bisa dipakai lagi," protes Arlino sewot.

Biasanya, Arlino akan meminta kertas bekas naskah Audi. Halaman belakang naskah yang kosong dia manfaatkan lagi untuk mencetak naskah miliknya sendiri. Lumayan, hemat uang.

"Ini otak pikirannya cetek banget," gerutu Milla sambil mencubiti perut Arlino yang chubby itu.

"Itu perut gue, ogeb," seru Arlino tersinggung.

"Di, terus Si Bapak gimana? Ngambek?" tanya Milla mengabaikan protes Arlino.

Audi menggeleng lemah. "Gue bahkan gak inget udah ngomong apa. Pokoknya gue sebel banget sama dia saat itu. Kalau aja ada buku Perry, udah gue pake itu buat gampar muka dia yang songong itu."

"Awas, ntar Si Bapak pingsan lo kelimpungan sendiri," Arlino cekikikan. "Emang lo tega merusak wajah Si Bapak?"

Audi tambah cemberut mendengarnya. Kenapa sih teman-temannya hobi sekali mempermainkannya?

Sedang asyik-asyiknya mojok di sudut studio, mereka sampai tidak menyadari kalau ada orang yang masuk. Orang itu tampak kebingungan. Dia memang tidak pernah menyambangi tempat para mahasiswa mengerjakan tugas akhir ini.

"Audi ada di dalam tidak?" tanya orang tersebut.

Audi, Milla, dan Arlino yang berada agak jauh dari pintu masuk, masih bisa mendengar orang tersebut yang sepertinya sedang mencari Audi. Mereka bertiga lebih kaget lagi ketika melihat Rezvan sudah masuk dengan wajah penuh kebingungan.

"Audi ada di sini tidak?" tanya Rezvan sekali lagi.

Para mahasiswa yang sebelumnya fokus menatap laptop, sekarang mengarahkan pandangannya ke arah Rezvan.

"Sepertinya tadi ada di sini, Pak," jawab salah satu mahasiswa.

Beberapa mahasiswa lainnya juga mengiyakan sekaligus mencari-cari dimana sosok Audi yang tadi masuk ke dalam studio dengan heboh. Audi sendiri dan kedua sahabatnya memilih untuk tidak buka suara dan hanya diam saja di pojokan. Kebetulan tempatnya memang ditutupi rak buku yang lumayan tinggi.

"Carikan," perintah Rezvan.

Salah satu mahasiswa laki-laki berdiri dan mulai menelusuri studio. Ia berhasil menemukan Audi di pojokan studio.

"Di, dicari Pak Rezvan, tuh," kata teman Audi tersebut. Tak lupa ada pandangan heran ketika melihat tiga serangkai itu duduk diam di pojokan seperti tikus yang ketakutan.

"Oke. Bentar."

Audi berdiri dan segera menghampiri Rezvan. Rezvan sendiri mengamati ruangan dan para mahasiswanya -yang entah kenapa, jadi mendadak serius, dengan tatapan tertarik.

"Audi," bisik Rezvan ketika Audi sudah muncul di hadapannya. "Ikut saya."

Tatapan fokus para mahasiswa yang tadinya terpaku pada layar laptop, sekarang fokus kepada Rezvan dan Audi. Mereka tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika Rezvan menggandeng Audi keluar dari studio TA. Mereka langsung membicarakannya dengan antusias.

"Astaga, Audi masih hidup ga ya digandeng Pak Rezvan kaya gitu?" celoteh salah satu teman perempuan Audi.

"Lo pada lihat gak, genggaman tangannya Pak Rezvan posesif banget," timpal salah satu temannya.

Sepertinya drama Audi dan Rezvan siang itu tidak akan mudah tenggelam begitu saja.

***

Rezvan menyodorkan sekaleng minuman soda kepada Audi yang sudah dia buka segelnya. Ia kemudian duduk di samping gadis yang sedari tadi hanya menunduk. Audi bahkan hanya diam saja ketika Rezvan menyeret paksa gadis itu. Biasanya Audi akan protes jika Rezvan bertindak seenaknya seperti itu.

"Gak kamu minum?" tanya Rezvan ketika Audi hanya memegang kaleng soda itu.

"Bapak juga gak minum," jawab Audi yang lebih terdengar seperti bisikan.

Rezvan meminum sekaleng soda itu sampai habis. Ia kemudian meremas kaleng tersebut sampai penyok dan melemparkannya ke tempat sampah. "Sudah saya minum."

Audi meminum soda itu. Ia meletakkan kaleng yang masih banyak isinya itu di antara dia dan Rezvan. Ia masih belum berani menatap Rezvan padahal dosennya itu memandangnya dengan intens.

"Kamu kenapa?" tanya Rezvan penuh kekhawatiran.

"Saya gak kenapa-kenapa, Pak."

Rezvan menghembuskan napas kasar. Ia sudah hafal dengan kebiasaan Audi yang tidak pernah mau berterus terang kepadanya.

"Kalau kamu gak kenapa-kenapa, kenapa kamu keluar dari kantor dosen sambil menangis? Kamu tahu, semua dosen penasaran dengan tingkah ajaib kamu itu," omel Rezvan.

"Maaf," bisik Audi.

"Saya gak butuh maaf dari kamu. Saya butuh penjelasan kamu," kata Rezvan tidak sabar. "Ada yang salah dengan sikap saya terhadap kamu?"

Audi menoleh untuk melihat Rezvan. Pria itu terlihat frustasi. "Maksud Bapak?"

"Apakah sikap saya membuat kamu kesal?"

Audi tampak salah tingkah. Kalau boleh jujur, dia memang kesal dengan Rezvan.

"Padahal kamu yang menyuruh saya bersikap seperti dosen dan mahasiswa pada umumnya," ujar Rezvan. Tatapannya masih setia kepada satu objek yaitu Audi.

"Tapi menurut saya sikap Bapak tadi sama sekali tidak mencerminkan hal tersebut," jawab Audi. Ia mengerucutkan bibirnya.

Rezvan seperti disiram air dingin. Ia memang baru sadar kalau dia tadi seperti menganak tirikan Audi. Ia jadi agak merasa bersalah. Ia harusnya sadar kalau sikap Audi memang kadang kekanakan begitu juga dengan dirinya.

"Maaf, ya," kata Rezvan dengan lembut. "Saya tadi hanya ingin mengetes kamu saja."

Audi langsung menatap Rezvan dengan tatapan kaget. Rezvan sendiri mulai senyum-senyum tidak jelas.

"Ternyata kalau saya bersikap seperti itu, respon kamu sesuai dengan yang saya harapkan," seringai Rezvan jahil.

"Bapak mempermainkan saya?" Audi tampak tidak terima.

Rezvan menggeleng. "Tidak. Saya selalu serius sama kamu. Saya hanya tidak tahu perasaan kamu yang sebenarnya pada saya. Kalau sekarang sepertinya saya sudah punya gambaran," kata Rezvan dengan penuh percaya diri.

"Saya gak seperti itu, Pak," Audi mengelak.

"Saya tidak percaya," goda Rezvan. "Ohya, Kenan meminta saya untuk fitting seragam pernikahan kakak kamu. Kamu mau ikut dengan saya?"

"Bapak sudah tahu kalau Bang Kenan mau menikah dengan kakak saya?" Audi malah bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Rezvan barusan.

Rezvan mengangguk. Ia bercerita kalau sebenarnya dia agak kesal karena Kenan sama sekali tidak memberitahu Rezvan sebagai teman terdekat sekaligus sahabatnya.

"Bang Kenan yang nyuruh saya buat gak cerita ke Bapak. Katanya biar Bang Kenan sendiri yang cerita," terang Audi.

Rezvan tampak terlihat semakin tidak terima. "Tapi saya jadi mikir yang aneh-aneh."

"Aneh-aneh bagaimana, Pak?" tanya Audi penasaran.

Rezvan menggeleng cepat. Ia bangkit dari duduknya. "Saya anggap kita sudah baikan dan urusan sudah selesai, ya? Saya juga minta maaf atas sikap saya selama ini. Kamu mau memaafkan?" mata Rezvan memancarkan tatapan penuh harap.

"Iya, Pak. Saya juga minta maaf karena suka berlebihan," jawab Audi malu-malu.

"Bagus," kata Rezvan tersenyum lembut. "Sekarang ambil barang-barang kamu lalu kita ke butik sama-sama," Rezvan mengusak rambut Audi dan berlalu meninggalkan gadis itu sendiri.

"Eh, tapi..."

Audi menatap punggung lebar Rezvan berlalu. Ia bingung dengan apa yang terjadi di antara mereka akhir-akhir ini. Tadi siang penuh drama, sekarang mereka sudah baikan seperti sebelumnya. Entah Audi merasa senang atau tidak. Yang jelas sekarang ada senyum yang berkembang di wajahnya yang manis itu.

***

"Audiar Shakeela dan Rezvan Brata, benar?" tanya salah satu pegawai butik ketika Audi dan Rezvan baru sampai.

"Benar," jawab Audi.

Pegawai tersebut kemudian mengantarkan Audi dan Rezvan naik ke lantai dua. Kebetulan Kenan sudah memberitahu pihak butik kalau dua orang tersebut akan fitting seragam. Pegawai butik tersebut menyuruh Audi dan Rezvan duduk sementara menunggu pemilik butik yang masih mengurus pelanggan lain.

"Mas Rezvan Brata?" seorang wanita memanggil nama Rezvan.

Wanita yang sepertinya berusia 20-an akhir itu masuk sambil membawa buku tebal dan meteran yang dikalungkan di lehernya. Wanita yang diketahui bernama Mbak Laras itu adalah pemilik butik tersebut. Rezvan yang namanya tadi dipanggil segera berdiri.

Ketika melihat Rezvan, Mbak Laras tampak agak sedikit terpesona. Buktinya, sedari tadi Mbak Laras tersenyum malu. "Masnya tinggi, ya?" tanya Mbak Laras ketika mencoba mengukur ukuran tubuh Rezvan.

Rezvan yang mendengarnya hanya tersenyum, membuat Mbak Laras semakin tersipu. Audi yang melihat itu entah kenapa menjadi malas. Ia memilih melihat-lihat katalog gaun dan baju pernikahan. Ia membolak-balikkan halaman dengan kekuatan yang berlebihan. Terkadang matanya awas mengamati Mbak Laras dan Rezvan yang kali ini tampak berbincang seru. Audi mendengus kesal.

"Mbak Audiar?" kali ini suara Mbak Laras terdengar memanggilnya.

Audi meletakkan katalog gaun dan berdiri menghampiri Mbak Laras. Rezvan sudah kembali duduk ke tempat mereka semula. Mbak Laras dengan hati-hati mengukur tubuh Audi sambil menanyakan macam-macam hal. Audi bisa menyimpulkan kalau Mbak Laras ini orang yang supel.

"Mbak Audi adiknya calon mempelai, ya?" tanya Mbak Laras, mengukur bahu Audi kemudian menuliskan angkanya di buku tebal yang dia bawa.

"Iya, Mbak," jawab Audi singkat.

"Dari pihak Mas Kenan apa calonnya?" kali ini Mbak Laras mengukur panjang lengan Audi.

"Saya adik calonnya Mas Kenan. Kok Mbak bisa kenal Mas Kenan?" tanya Audi.

Mbak Laras ganti mengukur lingkar dada Audi. "Eh, besar juga, ya?" celetuk Mbak Laras membuat Audi tersipu malu dan reflek menoleh ke arah Rezvan, takut Rezvan mendengarnya.

"Oh, adiknya Mbak Elle, ya? Saya ini dulu temannya Mas Kenan. Dikenalin temen, sih," ujar Mbak Laras tampak bernostalgia.

Selama mengukur Audi, Mbak Laras banyak berceloteh tentang hubungannya dengan Kenan dari pertama kenal sampai sekarang sudah mau menikah. Mbak Laras sendiri sudah menikah dan memilih membuka butik sendiri yang lumayan terkenal.

"Itu calonnya Mbak Audi kecapekan kayanya. Sampai ketiduran," Mbak Laras cekikikan sambil menunjuk arah belakang Audi.

"Calon?" Audi bertanya-tanya. Calon apa?

"Tadi kata Mas Rezvan, Mbak Audi ini calonnya gitu. Saya gak heran, sih. Soalnya kemarin Mas Kenan minta bajunya mbak sama masnya disamain. Mbaknya masih kuliah, ya?" cerocos Mbak Laras antusias.

"Eh?"

Audi yakin wajahnya saat ini terlihat bodoh sekali. Ia sama sekali belum paham. Maklum, Audi ini agak lemot.

"Gapapa, Mbak. Saya sama suami saya jaraknya juga agak jauh, kok. Malah enak Mbak Audi nanti. Lulus kuliah langsung dilamar sama Mas Rezvan. Mas Rezvan kayanya udah dewasa dan mapan gitu," Mbak Laras masih belum berhenti mengoceh.

"Eh??"

"Ganteng juga. Beruntung banget Mbak Audi, tuh. Mana masnya kelihatan sayang banget sama mbak," kali ini Mbak Laras senyum-senyum ke arah Audi.

Eh, ini mbaknya ngomong apa, sih? Gue gak paham.

Mbak Laras menulis sesuatu di buku tebalnya. "Udah selesai, Mbak. Nanti bajunya dikirim lewat Mas Kenan, ya? Saya tunggu pesanan baju pengantin dari Mbak Audi, ya? Terima kasih."

Tanpa berbicara lagi, Mbak Laras segera keluar sambil membawa buku tebalnya. Meninggal Audi berdiri dengan terbengong-bengong dengan Rezvan sendirian. Ia masih mencerna pembicaraannya dengan penjahit ceriwis tersebut.

"Kamu gak pengen mengamini kata-kata Mbaknya tadi? Bagus lo doanya," seru Rezvan.

Audi segera menoleh menatap Rezvan yang rupanya sudah terbangun. Ia menemukan pria itu tengah tersenyum padanya. Rasanya dunia Audi berhenti saat itu juga.

To be Continued


Author's Corner

Haloo, maaf telat banget update-nya ehehehe. Kalau kurang seru maklumin aja ya, ini yang nulis lagi tydack seru :"" (?)

Baiklah saya tidak akan banyak nulis wkwk. Terima kasih buat yang udah sempetin baca, kasih bintang, komen, dan follow POA. ILY ( ̄▽ ̄)ノ. Sekali lagi, kalau ada kritik dan saran, segeralah DM aku. 

See U on Saturday

XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top