12. Bukan Rindu yang Berat, Pak.
Jangan menghitung anak ayam sebelum menetas.
***
Rezvan segera disambut dengan hangat oleh keluarga Kenan. Terutama Bundanya Kenan, beliau menatap Rezvan dengan penuh kagum.
"Rezvan sekarag sudah besar, ya. Semakin terlihat gagah saja," kata Bunda Kenan memuji.
Rezvan hanya tersenyum malu. Mungkin Rezvan akan menjadi bulan-bulanan Bunda Kenan kalau saja Kenan tidak segera menarik sahabatnya ini menuju ke kamarnya.
Rezvan yang sudah dipaksa masuk ke kamar Kenan, merasa asing. Ia sudah lama sekali tidak main ke rumah Kenan seperti masa remaja mereka yang selalu dihabiskan bersama. Rezvan duduk di kursi belajar Kenan sambil menunggu Kenan mengatakan hal yang sebenarnya.
"Mau ngomong apa?" Tanya Rezvan tanpa basa-basi.
"Sabar, dong."
Kenan keluar dari kamar, meninggalkan Rezvan sendirian. Rezvan sendiri sudah lelah dengan segala hal yang terjadi hari ini. Hatinya juga tidak tenang jika mengingat tentang Audi maupun sesuatu yang ingin diberitahukan oleh Kenan. Beberapa saat kemudian, Kenan kembali ke kamar dengan membawa jus jeruk dan beberapa camilan.
"Gak usah protes. Adanya cuma jus jeruk," ujar Kenan tegas ketika melihat gelagat Rezvan yang menyebalkan.
"Gue mau nanya kenapa malam-malam malah minum jus jeruk," balas Rezvan tidak terima.
"Biarin," Kenan menanggapi dengan santai. Ia duduk di atas kasurnya, duduk berhadapan dengan Rezvan.
Suasana sempat canggung ketika Kenan tidak mengatakan sepatah katapun. Rezvan dengan sabar menanti Kenan bicara. Ia belum siap mendengarkan segala sesuatu yang keluar dari mulut Kenan.
"Jadi, Van. Lo kira-kira ada waktu gak dalam minggu-minggu ini?" Tanya Kenan dengan nada hati-hati.
Kening Rezvan sedikit berkerut ketika mendengarnya. "Gue sibuk."
Kenan memberikan tatapan galaknya pada Rezvan. Membuat Rezvan kembali menjawab.
"Kayanya akhir pekan agak longgar. Kenapa?"
"Jadi..."
"Jadi?"
"Jadi, gue pengen minta lo datang ke butik minggu-minggu ini," kata Kenan dengan senyum lima jari yang tidak luntur.
"Butik? Lo buka butik?" Tanya Rezvan kebingungan. Setahunya, Kenan adalah insinyur sama sepertinya, bukan desainer atau sejenisnya.
Kenan rasanya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang masih dia simpan rapat dari Rezvan ini.
"Engga, lah. Gue pengen lo fitting seragam, Van."
Kerutan di kening Rezvan tampak semakin dalam. "Kenapa pula gue bikin seragam kaya anak sekolahan?"
"Rezvan, Rezvan. Lo memang mahasiswa teladan segala umat, tapi lama-lama gue gemes kalau lo pura-pura bego kaya gini," sindir Kenan, ia tertawa puas. "Atau ada yang mengganggu pikiran lo?"
Sepertinya Rezvan salah datang kepada Kenan dalam keadaan berantakan secara pikiran seperti ini, karena sahabatnya ini ternyata lebih peka dari penampilannya.
"Engga," balas Rezvan, tak ingin mengakui.
"Gue pengen lo fitting seragam," ulang Kenan. "Buat pernikahan."
"Pernikahan?" Rezvan takut salah dengar. "Siapa yang nikah?"
Jantung Rezvan rasanya ikut berdebar selama menanti jawaban Kenan. Kenan tampaknya juga sedang merangkai kalimat yang mudah dipahami. Rezvan jadi frustasi sendiri. Belum lagi pikirannya yang macam-macam itu.
"Gue," jawab Kenan singkat, padat, dan jelas.
"Hah?" Rezvan tampak sangat kaget. Ia menatap Kenan tidak percaya. "Lo?"
Kenan mengangguk semangat. Wajahnya tampak bersemu merah. Sepertinya ia benar-benar senang.
"Jangan bilang lo bakal nikah sama...." Rezvan menggantung kalimatnya. Ia takut berasumsi yang macam-macam. Lebih tepatnya ia tidak siap dengan jawaban Kenan jika jawaban itu sesuai dengan tebakannya.
"Iya, bener. Gue mau nikah sama Elle," jawab Kenan tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Aduh, ngagetin, ya?"
Pikiran Rezvan mendadak berhenti. Aliran darahnya juga seakan berhenti selama beberapa saat. Dirinya lega sekaligus kaget dalam waktu yang bersamaan. Jadi, selama ini Kenan dan Audi tidak memiliki hubungan romantis, begitu?
"Terus Audi?" Tanya Rezvan dengan wajah diliputi kekagetan dan kebingungan.
Kenan masih belum bisa berhenti tersenyum. "Kan Elle kakaknya Audi. Berhubungan karena saudara. Gue bener, kan?"
Rupanya selama ini Kenan memang memiliki ketertarikan dengan Elle. Menghabiskan waktu yang tidak sedikit di luar negeri selama menimba ilmu, membuat keduanya tidak hanya dekat sebagai teman masa kecil, tapi lebih dari itu. Tidak ada kata cinta di antara mereka. Bahkan Kenan juga sama sekali tidak mengutarakan perasaannya kepada Elle secara terang-terangan.
Sebelum kembali ke Indonesia, Kenan rupanya sempat melakukan kontak rutin dengan ayah Elle yang bekerja di kedutaan besar Belgia via Skype. Niat hati Kenan ingin memohon izin menyunting Elle menjadi pendampingnya seumur hidup. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ayah Elle menyetujui. Beliau akan mengurus izin cuti, kembali ke Indonesia. Kenan diminta untuk menyiapkan segala keperluan pernikahan dan akan dibantu Mama Elle.
Kenan juga sudah melamar Elle secara resmi dua minggu yang lalu. Di saat mereka sedang membahas tema untuk tesis mereka yang akan datang.
"Lamaran lo gak ada romantis-romantisnya," hina Rezvan setelah mendengar cerita Kenan tentang prosesi lamaran dan seterusnya.
"Loh, romantis itu kalau sudah halal. Ngerjain tesis berdua, pusing berdua, bahagia berdua. Lo sih pas ngerjain tesis sendirian doang ditemenin laptop sama professor tua," kata Kenan tidak mau kalah.
Rezvan tampak malas menanggapi ocehan Kenan yang sama sekali tidak penting itu. "Oke, kasih alamat butiknya. Ntar gue datang."
"Gue sama Elle pengen keluarga dekat saling kembaran bajunya. Kaya sarimbit gitu. Nah, baju lo udah disamain desainnya," kata Kenan.
"Konsep macam apa itu? Kalau jomblo gimana?" tanya Rezvan.
"Makanya cari sana," tawa Kenan sekali lagi lepas. "Engga, engga. Kebetulan hampir semua keluarga kami pas. Cuma satu yang kurang, makanya disamain sama lo aja gitu."
Rezvan jadi curiga dengan sikap Kenan.
"Sama siapa?"
"Audi, lah. Gue bisa lihat dari mata lo kalau lo ngebet banget pengen sama dia," kata Kenan tepat sasaran. Membuat Rezvan mati kutu.
Sejelas itukah perasaanku?
***
Audi selama ini tidak pernah menganggap hidupnya mudah, mulus, lancar seperti jalan tol. Setiap kali dia terlibat sesuatu, pasti ada saja halangan yang menghadang. Waktu pertama kali ia mengerjakan tugas akhir, hadangan terbesarnya adalah Rezvan sebagai dosen pembimbing. Bukannya membimbing, di awal-awal mungkin Rezvan bisa dibilang menjatuhkan mentalnya. Setiap hari ia hampir menggerutu tentang betapa jahatnya dosen satu itu kepada Milla dan Arlino.
Kini hadangannya masih sama, Rezvan. Tapi dalam konteks yang berbeda. Rezvan sudah tidak seteremperamen sebelumnya, tapi sikap dosennya itu membuat Audi jadi salah tingkah. Dan kali ini ia tidak tahu harus menghadapi dosennya itu seperti apa.
"Di, gue yang maju duluan, ya?" tanya Deila yang duduk di sampingnya, sama-sama menunggu jadwal konsultasi.
Ini hari Kamis. Mereka berdua memperoleh jadwal konsultasi siang. Hal ini membuat Audi tidak bisa menyalip Deila. Kalau pagi hari, Audi sudah siap sedia menyalip Deila sehingga ia tidak perlu berlama-lama berdua dengan dosennya itu. Rezvan tidak akan bisa menahannya jika tidak ada kesempatan.
"Kan siapa cepat dia dapat. Gue udah duduk di depan ruang dosen ini dari sejam yang lalu," Audi tidak mau kalah. "Gue duluan!"
"Sejak kapan ada peraturan kaya gitu? Biasanya gue duluan," seloroh Deila, sama-sama tidak mau kalah.
Audi bertekad dia tidak boleh mendapat jadwal konsultasi terakhir. Sudah dipastikan Rezvan akan menghabisinya.
"Biasanya juga gue yang datang duluan."
"Di, tolong, ya. Ini TA gue udah mau kelar. Tinggal ngerjain bab ekonomi terus habis itu gue sidang," ujar Deila dengan nada pamer. "Bab lo kan lebih lama dibahasnya daripada gue."
Anju, mentang-mentang pinter terus lo nyerobot gue -___-
Audi tidak bisa membalas perkataan Deila karena tiba-tiba saja Rezvan keluar dar ruang dosen. Tatapan Rezvan mengarah bergantian dari Deila ke Audi. Audi sempat gugup ketika pandangan dingin Rezvan beradu dengan miliknya. Rasanya Audi tidak siap untuk menghadapi Rezvan. Tapi, kalau tidak dihadapi maka tugas akhirnya tidak akan pernah selesai. Ia harus kuat!
"Kenapa kalian ribut-ribut? Memangnya ini pasar malam?" wajah Rezvan sama sekali tidak berubah, datar seperti lantai prodi teknik kimia.
Deila langsung bertingkah manis. Ia tersenyum pasrah, seolah-olah dia merasa dirugikan. Audi kadang muak dengan sikap Deila yang berubah manis di hadapan Rezvan hanya untuk menarik perhatiannya. Dasar rubah!
"Ini, Pak. Saya meminta Audi untuk bertukar urutan konsultasi. Saya ingin maju pertama karena ada urusan mendadak setelah ini. Tapi sepertinya Audi tidak bersedia," kata Deila sedih.
Audi menatap Deila tidak percaya. Berani sekali gadis itu mengarang cerita mengada-ada seperti itu. Audi lebih terluka setelah melihat pandangan Rezvan kepadanya seperti membenarkan penyataan Deila.
"Kalian berdua masuk ruangan saya. Jangan membuat saya malu dengan pertengkaran sepele seperti itu," kata Rezvan dingin.
Rezvan kembali masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh Audi dan Deila yang sudah bertukar pandang dendam satu sama lain.
"Deila, kamu konsultasi pertama. Biar nona yang tidak bisa membaca situasi ini duduk menunggu," perintah Rezvan. "Belajar memahami juga tidak ada salahnya, kan?"
Deila mengangguk semangat, diam-diam ia mengejek Audi yang sudah jelek di mata Rezvan. Rezvan membalasnya dengan senyuman kecil. Audi yang mendengar perkataan Rezvan hanya bisa mendengus kesal. Rasanya hatinya sakit diperlakukan berbeda dengan Deila.
Sementara Deila berkonsultasi dengan Rezvan, Audi duduk di sofa yang ada di ruangan Rezvan. Ia menatap Rezvan dengan perasaan yang campur aduk. Ada perasaan kesal karena dia dianak tirikan padahal dirinya juga sama-sama pejuang tugas akhir seperti Deila. Di lain sisi, ada perasaan sakit yang berbeda. Terutama ketika tatapan es Rezvan tertuju padanya.
Apakah karena gue menolaknya?
Kalau dia serius dan mau berjuang, gue juga bisa luluh :(
Tanpa Audi sadari, Deila sudah selesai berkonsultasi dengan Rezvan. Gadis rubah itu sudah pamit sambil memberikan senyum mengejeknya kepada Audi. Seolah-olah memberitahu Audi kalau gadis itu akan kembali menjadi upik abu di mata Rezvan.
Dengan langkah berat, Audi memulai konsultasinya dengan Rezvan. Ia menyerahkan naskah yang sudah ia kerjakan untuk dicek oleh Rezvan. Sesekali mata Audi memang tidak bisa lepas dari sosok di depannya yang sedang serius membaca baris per baris pekerjaannya.
Suasana ruangan menjadi sangat sepi. Berbeda ketika Deila konsultasi, penuh percakapan dan diselingi guyonan ringan. Sepertinya Rezvan benar-benar membuktikan perkataannya pada Audi tempo hari. Rezvan akan bersikap layaknya dosen pada umumnya.
Tanpa belas kasihan, Rezvan mencoret beberapa bagian. Ada yang dia lingkari dengan lingkaran besar (yang menurut Audi tidak perlu, karena berlebihan), ada yang diberi tanda tanya besar, dan ada beberapa yang dia beri komentar. Audi hanya diam mengamati.
Setelah selesai, Rezvan melemparkan pekerjaan Audi ke atas meja. Rezvan hanya diam saja, tanpa memberikan komentar maupun sindiran seperti biasanya. Rezvan duduk bersandar pada kursinya, tak lupa tangan kanannya menggosok-gosok dagu. Audi bingung untuk beberapa saat.
"Sudah, Pak?" tanya Audi pada akhirnya.
Rezvan mengangguk.
Audi mengambil pekerjaannya dan mengecek semua koreksi dari Rezvan. Kebanyakan koreksi pada salah ketik atau bagian yang terlihat ambigu. Ada tanda besar di beberapa halaman, membuat Audi juga bertanya-tanya apa gerangan arti tanda tanya besar itu?
"Maksud tanda tanya besar ini apa?" tanya Audi sekali lagi sambil menunjuk salah satu tanda tanya besar di halaman naskahnya.
"Saya sudah menuliskannya. Bisa dilihat, kan?" ujar Rezvan dengan nada bosan.
Audi baru sadar ada sederet kata-kata yang dituliskan dengan huruf kecil tapi rapi di pinggir bawah kertas. Audi mengangguk paham. Ia memandang Rezvan tidak yakin.
"Kenapa masih di sini? Kamu betah?" tanya Rezvan tidak sabar.
Audi serba salah.
Tidak ada gertakan, tidak ada komentar panjang lebar dan ceramah, bahkan tidak ada sosok Rezvan yang baru ia ketahui beberapa minggu ini. Rasanya ada yang hilang. Audi tidak sadar sebelumnya, namun kini ia sepenuhnya sadar.
Audi memutuskan menatap Rezvan. Audi sempat ingin mengalihkan pandangannya dari pria itu ketika Rezvan sendiri juga tengah menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Audi bimbang. Jantungnya juga tidak bisa diajak bekerja sama. Jantung mungil di balik tulang rusuk bagian kirinya itu terus bertalu-talu.
"Kenapa masih di sini?" tanya Rezvan sekali lagi.
Audi masih bergeming. Rezvan menghela napas panjang kemudian memutuskan membuka laptopnya. Sepenuhnya mengabaikan keberadaan Audi yang sudah seperti patung di hadapannya.
Bagi Audi, ia merasa ini semua tidak adil. Semua perlakuan Rezvan kepadanya itu sangat egois. Rezvan sama sekali tidak menyediakan waktu bagi Audi untuk mengerti, memahami apa yang terjadi di antara mereka. Audi memang belum sepenuhnya siap, tapi bukan berarti dia tidak bisa membalas perasaan Rezvan kepadanya. Ia hanya takut.
"Saya harap kamu tidak lupa pintu keluar ruangan ini," kata Rezvan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Audi berdiri dari duduknya dan segera berjalan menuju pintu keluar tanpa mengucapkan sepatah katapun, termasuk ucapan terima kasih. Ia sedang kalut. Belum sampai setengah jalan, Audi berhenti. Tangannya erat memegang naskah tugas akhirnya. Ada sesuatu yang dia tahan untuk tidak jatuh.
Audi berbalik menghadap kembali ke arah Rezvan. Ia menarik napas. Belum ada hitungan detik, naskah yang tadi berada di genggaman Audi sudah meluncur bebas menabrak wajah serius Rezvan. Audi melemparkan naskah tugas akhirnya dan tepat mengenai sasaran. Rezvan langsung membelalak kaget dilempar kertas oleh mahasiswinya sendiri.
"Saya gak tahu kalau rasanya sesakit ini diperlakukan seenaknya oleh bapak," kata Audi dengan suara menahan tangis dan amarah. Audi kemudian berjongkok sambil menutupi wajahnya yang langsung basah oleh air mata.
Rezvan bagaikan diam membatu ketika melihat Audi mulai menangis sesenggukan. Ia baru tersadar setelah hampir satu menit. Ia segera bangkit dan berjalan ke arah Audi. Rezvan berusaha membuat Audi menatapnya.
"Saya gak mau bapak bersikap seperti itu kepada saya," kata Audi lirih ketika menemukan sepasang mata yang menatapnya khawatir.
To be Continued
Author's Corner
Teman-teman, aku minta maaf, ya? Baru bisa update Minggu dini hari T___T
Kemarin aku sibuk dari pagi sampai malem, jadi baru ngetik tadi tengah malam haha (biarin w sok sibuk ya? wkwk). Semoga ini selanjutnya aku gak telat update ya hehe. Kebetulan Notebook-ku kebawa di mobil ayah, posisiku juga lagi di luar kota. Jadilah, aku harus pinjem laptop sepupu buat ngetik dan update. Makanya telat banget, biasanya sudah ngetik dan tinggal up aja kok.
Anyway, yang berharap ada cinta segitiga Rezvan-Audi-Kenan, maap... itu semua hanya angan-angan kalian wkwkwk. Dari awal engga aku rencanain Kenan jadi pengganggu di antara mereka /evil smirk/
Kalau ada typo, mohon maklumi ya. Ini mata saya udah kecil tinggal 5 watt lagi hehe. kasih tahu aja kalau ada yang typo, OK?
Terima kasih buat yang nyempetin baca, kasih bintang berlebih, komentar, dan follow akun ini. ILY. Aku suka baca komentar kalian kok :') Penyemangatku dalam melanjutkan cerita absurd ini hehe
See U next Wednesday!
XOXO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top