10. Ajari Saya Tentang Bapak


Bahkan orang yang putus asa sekalipun masih punya harapan tersisa di hatinya.

***

Mata Audi nyaris melotot melihat sosok yang lewat di depan matanya. Itu Anggara Satya, mantan gebetan Audi atau paling tidak begitulah yang Audi anggap. Audi lebih merasa malu daripada senang melihat cowok berpostur tinggi itu main ke fakultasnya.

Audi bertemu Anggara ketika ada festival budaya di kampusnya. Kebetulan Arlino kenal baik dengan Anggara. Sejak hari itu, Audi dan Anggara menjadi dekat. Awalnya, Audi merasa senang dengan perhatian Anggara. Ketika Audi sudah percaya diri kalau Anggara juga menyukainya, ternyata selama ini Anggara menyukai adik sepupu Audi yang merupakan adik tingkat Anggara. Sial. Selama ini Anggara sudah memanfaatkannya.

"Anggara!"

Ini lagi Arlino malah memanggil Anggara untuk mampir ke tempat mereka duduk. Rasanya Audi ingin melempar Arlino ke Kali Ciliwung atau melemparkannya ke kawah Merapi.

Anggara mendengar panggilan Arlino dan dengan senang hati menyusul ke tempat Audi setengah berlari. Audi mencoba menormalkan detak jantungnya sekaligus mengatur nafasnya.

"Halo, Lino. Lama gak jumpa," sapa Anggara riang. "Halo, Milla, ya?"

Milla mengangguk senang. Kalau Milla jangan ditanya juga, setiap lihat cowok ganteng, ia berubah sekalem mungkin. Dasar Mak Lampir jilid 2!

"Audiar, lama gak ketemu juga. Kamu kok jarang hubungi aku?" tanya Anggara sambil mengulurkan tangannya kepada Audi.

Ya kali gue hubungin lo, mana bisa move on gue, Nggar.

Audi mau tak mau menerima uluran tangan Anggara. Rasanya seperti ada aliran listrik ketika tangan mereka bersentuhan. Audi rasanya ingin kabur sekarang juga. Itu tangannya lembut banget yasalam, batin Audi heboh.

Anggara duduk di samping Arlino, yang mana berarti dia duduk berhadapan dengan Audi. Audi hanya berani melirik sekilas dan lebih memusatkan perhatian ke sekeliling kantin.

"Audi gak punya kuota, Nggar. Makanya gak bisa ngehubungin lo lagi," timpal Arlino.

"Sembarangan," ujar Audi kesal. "Ya ngapain ngehubungin kamu. Kan gak ada kepentingan," jawab Audi datar.

Anggara tertawa canggung. "Iya, juga, sih."

"Lo ngapain main ke teknik, Nggar?" tanya Milla penasaran. Audi juga penasaran. Kan Anggara anak Hukum, kenapa bisa nyasar ke fakultasnya?

"Oh, ini cewekku mau seminar proposal," jawab Anggara malu-malu.

"Wiih, sekarang gak sama Wilona? Sama siapa?" tanya Arlino. Sudah dipastikan dia akan mencari bahan gosip buat grup gosip unfaedah-nya itu.

Sebelum menjawab pertanyaan Arlino, Anggara agak melirik Audi dengan pandangan tidak enak. Ada hubungan tidak enak di antara mereka yang disadari atau tidak sudah jelas sekali terlihat. Wilona itu adik sepupu Audi yang sempat didekati Anggara. Audi sih masa bodoh, dia sudah tidak mau peduli dengan Anggara ini.

"Dulu cuma deket biasa aja sama Wilona. Cewek gue anak industri, kok. Namanya Ajeng. Kenal?"

Arlino dan Milla mengiyakan. Langsung saja ketiga orang itu larut dalam pembicaraan mengenai Anggara dan Ajeng. Audi memilih tidak ikut nimbrung dengan mereka. Rasanya sudah malas sekali tapi ia tak mau kentara sekali sebal dengan Anggara. Bagaimanapun Anggara pernah mengisi hatinya juga. Walaupun akhirnya sangat tragis.

Dari kejauhan, Audi melihat sosok yang sangat familiar yang berjalan menuju kantin teknik. Audi sempat kaget melihat sosok itu. Pasalnya, selama dia mengenal sosok itu, sosok itu tak pernah mau makan siang di kantin teknik. Sekarang, Audi bisa lihat sosok itu malah sedang bercanda dengan kawan-kawan dosennya.

Ketika sudah sampai di kantin teknik, Rezvan sempat bertukar pandang dengan Audi sebelum Audi mengalihkan perhatiannya kepada Arlino yang sedang asyik bercerita. Rasanya jantung Audi tidak akan sehat sejak hari itu, mengingat sudah tiga kali ia dibuat sport jantung.

"Pak, duduk sini saja, ya?" terdengar suara Rezvan sedang bertanya kepada kawan-kawannya.

"Boleh, Van. Saya pesan makanan dulu. kamu mau makan apa?" kali ini suara Pak Khalid terdengar.

"Nanti saja, saya pesan sendiri."

Audi melirik lewat ekor matanya. Rezvan duduk di meja di samping mejanya. Belum lagi dia sengaja duduk di bangku yang berlawanan dengan bangku yang diduduki Audi, sehingga mereka bisa saja bertukar pandangan.

Mati gue.

"Audi?" panggil Rezvan.

Bukan hanya Audi yang menoleh kaget, tapi juga ketiga teman Audi menoleh menatap Rezvan. Semacam reflek.

"Iya, Pak?" Audi mencoba bicara senormal mungkin. Padahal dia gugup setengah mati.

"Kira-kira makanan yang enak di sini apa, ya? Saya baru pertama kali makan di sini," tanya Rezvan.

Jangan tanya bagaimana respon yang diberikan Audi. Ia kaget. Belum lagi wajah Arlino dan Milla menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Dalam hati, mereka meledek Audi habis-habisan.

Wah, ditanyain calon imam, nih. Asyiiik, batin Arlino girang.

Ya Allah, ini Pak Rezvan kesambet apa? Senyumannya... Audi sehat, gak?, pikir Milla heboh.

"B-baksonya... enak, Pak," jawab Audi sekenanya. Toh, kenyataan kok bakso Mang Asep enak.

Rezvan mengangguk paham sambil tersenyum. "Kalian berdua sudah makan?" pertanyaan Rezvan ditujukan pada Arlino dan Milla.

"Belum, Pak," jawab Arlino.

"Ini mau pesan, Pak. Hehe," jawab Milla, tanpa aba-aba dia langsung meluncur memesan nasi goreng kantin.

"Sudah makan, Audi?" tanya Rezvan dengan suara pelan tapi masih bisa didengar.

Audi mengangguk.

"Ohya, kamu siapa, ya? Saya gak pernah lihat kamu di kelas saya," kali ini Anggara menjadi korban Rezvan.

Anggara sontak saja jadi kelimpungan. "Saya bukan mahasiswa teknik kimia, Pak. Saya anak hukum."

"Oh, pantas saya tidak tahu. Main-main rupanya ke teknik."

"Iya, Pak," Anggara tampak canggung.

"Iya, Pak. Biasa mengunjungi gebetannya," goda Arlino, membuat Audi, Anggara, dan Rezvan memberikan pandangan kaget.

"Siapa gebetannya?" tanya Rezvan tajam. Sepertinya ada alarm tidak kasat mata dalam dirinya, pertanda bahaya.

"Audi, Pak," dengan polosnya Arlino menunjuk Audi.

Pandangan tajam Rezvan langsung menusuk Audi. Rasanya Audi ingin menghilangkan diri saja kemana saja asal tidak dekat-dekat dengan Rezvan. Sepertinya bukan hanya Audi yang merasakan hawa aneh menguar dari Rezvan, tapi Anggara dan Arlino juga.

"Oh, bukan, kok. Saya cuma temennya Audi," sergah Anggara.

Sakit, bor. Dianggep temen doang 😊.

"Oh."

"Kalau gitu aku pamit, No, Di," pamit Anggara kepada Arlino dan Audi. Ia sepertinya tidak betah merasakan hawa aneh di sampingnya. "Permisi, Pak."

Rezvan hanya mengangguk. Arlino kemudian tersenyum kecut ke arah Audi yang hanya diam saja. Para dosen sudah kembali dari memesan makanan. Mereka langsung ngobrol dengan hebohnya. Kumpulan bapak-bapak rupanya juga tidak bisa dijauhkan dari menggosip. Audi bisa melihat kalau Rezvan tampak tidak bersemangat. Bahkan setelah makanan Rezvan dan dosen-dosen datang, wajah Rezvan tetap dalam mode gahar. Audi jadi takut ia melakukan kesalahan pada dosennya itu. Padahal, pagi tadi Rezvan tampak berbeda.

"Aduh, antrinya lama banget. Mana ibunya lupa ngasih micin. Jadi, gue nunggu lagi, deh," Milla curhat.

"Mil, berdua, ya?" tanya Arlino dengan tatapan memohon.

"Ye, dasar ga modal. Badan aja bongsor, dompet lo tipis," hina Milla.

"Maklum, duitnya buat beli bensin mobil. Bentar lagi limit," kata Arlino. Ia sudah siap dengan sendok bakso milik Audi tadi kemudian mulai ikut makan nasi goreng Milla.

Milla dan Audi hanya geleng-geleng melihat kebiasaan Arlino yang fakir dan suka minta-minta makanan Audi dan Milla. Mereka berdua tidak masalah, sih. Toh, Arlino juga dengan baik hati suka menebengi mereka berdua pulang pergi selama ini.

"Nih, gue baik lagian. Gue beliin es teh buat kalian berdua," kata Audi, meletakkan tiga botol teh botol yang tadi dia beli.

"Makasih, beb," kata Arlino dengan raut wajah bahagia.

"Ciee, lagi seneng, kan? Habis dipandangi daritadi sama Si Bapak," bisik Milla di telinga Audi.

"Apa, sih," Audi mengelak.

Gara-gara perkataan Milla barusan, Audi melirik Rezvan. Audi sempat membeku. Rezvan memang sedang memandanginya dengan pandangan yang susah diartikan. Audi bisa merasakan kalau pipinya agak memanas. Bahkan hampir setengah menit mereka dua beradu pandang.

"Rezvan, kamu lihat apa, sih? Kok gak kedip sama sekali?" tanya Pak Haris, menyadarkan Audi dan Rezvan.

Audi menunduk karena nyaris tertangkap sedang memandangi Rezvan.

"Ooh... tadi ada kucing lucu yang duduk di bangku sebelah sana, Pak," jawab Rezvan. Ia kemudian melanjutkan makan setelah Pak Haris ber-oh ria.

"Suka kucing kamu, Van? Saya punya banyak di rumah," timpal Pak Khalid.

"Suka, Pak. Apalagi kalau kucingnya bisa bersemu merah jambu pipinya," ujar Rezvan yang langsung membuat para dosen tertawa terpingkal-pingkal. Rezvan sendiri juga tersenyum.

"Bisa aja kamu, Van."

"Anju, lo disamaain sama kucing. Eh, gapapa orang katanya lucu," bisik Milla menahan tawa.

"Apa, sih."

Boleh tidak Audi merasa melambung saat ini?


Audi bergegas menuju halaman depan gedung kampusnya. Sebentar lagi abang ojek pesanannya akan sampai. Audi agak buru-buru karena ini sudah jam empat lebih. Ia mengutuk dirinya yang tadi sempat tertidur di studio tugas akhir setelah makan siang. Rencananya ia akan melanjutkan tugas akhirnya, tapi ia malah ketiduran karena tidak bisa berpikir. Gara-gara siapa coba? Rezvan.

Arlino dan Milla sudah pulang setelah makan siang tadi, jadi Audi tidak bisa meminta Arlino mengantarkannya. Semua teman-temannya juga sedang serius mengerjakan tugas akhir di studio, dia tidak berani mengganggu.

Audi menunggu abang ojek sambil duduk di kursi depan gedung prodinya. Ia duduk dengan mata masih mengantuk. Tidur terlalu sore memang bisa membuat kita disorientasi. Kalau tidak lelah, Audi juga tidak akan tidur jam segini.

"Audi, kamu ngapain di sini?"

Audi menoleh ketika ada orang yang memanggilnya. Sialnya, ternyata itu Bapak Rezvan Terhormat.

"Oh, Pak Rezvan. Saya lagi nunggu ojek pesenan saya," jawab Audi belum sepenuhnya sadar.

Rezvan mengamati wajah Audi dengan teliti. Keningnya mengernyit. "Kamu kenapa? Sakit?"

"Engga, Pak. Saya baru bangun tidur," jawab Audi polos.

Saat ini, dirinya sedang tidak peduli dengan Rezvan atau apa saja. Ia hanya ingin sampai rumah dan merebahkan diri di kasur sambil menunggu masakan mamanya.

Sedangkan Rezvan tampak shock. Baru kali ini ia mendengar ada mahasiswa akhir yang tidur di kampus sampai sore hari. Aneh-aneh saja, batin Rezvan.

"Ya sudah, kamu sama saya saja. Kan rumah kita dekat," tawar Rezvan.

Audi cepat-cepat menolak. "Engga, Pak. Makasih. Saya sudah pesan. Kasihan abang ojeknya.

"Kamu bayar aja, tapi kamu naik mobil saya. Kan sama aja," kata Rezvan enteng.

Audi berpikir sejenak. Enak sih diantar Rezvan, kan naik mobil. Tapi, kalau mengingat segala hal yang sudah dilakukan Rezvan, Audi agak merasa tidak nyaman.

"Engga, Pak. Merepotkan nanti," tolak Audi halus.

Rezvan tampak kesal. "Kamu itu kebiasaan, ya. Tolong dihilangkan sikap tidak tahu dirinya itu."

Astaga, ini beneran cowok yang naksir gue, kan? Kok gue masih merasa ga percaya.

Audi langsung tersadar seratus persen setelah mendengar sindiran Rezvan yang sudah lama tidak dia dengar. Agak aneh memang, tapi Audi merasa bernostalgia saja.

Sesuai perintah Bapak Rezvan yang tidak bisa dibantah, begitu abang ojek pesanan Audi sampai, Audi langsung membayar tanpa naik. Si Abang senang-senang saja. Setelah itu, Audi langsung ditarik Rezvan masuk ke mobilnya. Audi pikir, Rezvan tidak perlu menariknya. Ia bisa jalan sendiri, kok.

Setelah duduk, Audi masih sempat melihat ke segala arah dengan wajah khawatir. Hal ini, membuat Rezvan bertanya-tanya.

"Kamu ngapain?" tanya Rezvan ketika menghidupkan mesin mobilnya.

"Saya takut ada mahasiswa yang lihat, Pak," jawab Audi masih dengan pandangan waspada.

"Memangnya kenapa kalau ada yang lihat?" tanya Rezvan tak peduli.

Mobil meluncur dengan kecepatan sedang. Audi menatap Rezvan dengan tatapan tidak percaya. Dosennya itu rupanya tidak tahu apa akibat dari sikapnya selama ini. Padahal sikapnya itu bisa membuat baik dirinya maupun Audi kena gunjingan seumur hidup.

"Akan muncul gosip tidak sedaplah, Pak," jawab Audi tidak sabar. "Bapak mau kena gosip miring sama saya?"

"Saya mau-mau aja," ujar Rezvan, masih dengan nada tidak peduli. Ia fokus menyetir tanpa memandang Audi yang panik sendiri.

"Saya yang gak mau," ucap Audi. Ia melipat tangannya di dada. Ia kesal sekarang.

"Kenapa ga mau?" kali ini Rezvan memandang Audi heran.

Lampu merah dan barisan panjang mobil menunjukkan kalau ada kemacetan parah.

"Karena..." Audi jadi bingung sendiri.

"Karena kamu mahasiswa saya, sedangkan saya ini dosen pembimbing kamu?"

Audi mengangguk.

Rezvan menghela nafas. Ia pikir ini saat yang tepat mumpung mereka bisa bicara bebas berdua saja. Banyak pikiran yang juga mendera Rezvan belakangan ini. Ia tidak bisa melupakan tugasnya sebagai seorang dosen yang bertugas mendidik generasi penerus bangsa.

"Sejujurnya saya juga kepikiran itu, Audiar," kata Rezvan. "Tapi saya juga manusia biasa. Saya tidak bisa menyuruh hati saya untuk mencintai atau berhenti mencintai orang. Ini alamiah."

"Saya tahu kamu pasti gak nyaman. Tapi, kalau kamu juga mau berusaha, saya yakin kita bisa melewati semua ini."

"Kenapa Bapak bicara seperti itu seolah-olah saya juga punya perasaan yang sama dengan Bapak?" tanya Audi tidak terima.

Rezvan tersenyum menggoda. "Saya sudah niat dari awal kalau saya akan membuat kamu cinta sama saya. Catat, cinta bukan suka. Perhitungan saya gak pernah salah, lo."

Audi menelan ludah. Sial. Ini dosennya perayu ulung rupanya.

"Usia saya sama Bapak terpaut lumayan jauh. Saya ini masih bocah sedangkan Bapak sudah dewasa," kata Audi, ia mencoba mencari alasan agar Rezvan berhenti.

"Empat tahun itu tidak banyak. Jarak usia ideal, kan? Kedewasaan itu akan berkembang terus, jangan khawatir."

"Saya ini gak secantik tipe cewek-cewek Bapak."

"Saya mencari pasangan yang menurut saya bisa melengkapi saya. Bukan yang cantik, Audiar."

"Memangnya saya pantas buat Bapak?" tanya Audi.

"Iya. Saya anggap kamu wanita yang pantas saya perjuangkan," ujar Rezvan sambil tersenyum.

Barisan mobil mulai bergerak. Sejujurnya, hati Audi saat ini sedang bimbang. Kenapa Rezvan harus membuatnya dalam situasi seperti ini?

"Saya berterima kasih kalau Bapak suka sama saya. Saya merasa beruntung. Tapi saya belum punya perasaan yang sama dengan Bapak," Audi mencoba terdengar tidak menyakiti hati dosennya itu.

Bagaimanapun, pasti rasanya sakit ditolak. Audi memahaminya. Jadi, dia harap Rezvan berhenti dan mengerti dengan posisinya saat ini. Terlalu sulit dijabarkan dengan kata-kata.

Rezvan menepikan mobil dan mematikan mesin. Ia menarik nafas sebelum menatap Audi dengan pandangan memohon. Tanpa sadar, Audi juga menatap mata teduh itu.

"Kan saya sudah bilang, biar saya yang usaha. Saya tahu posisi kamu dan saya juga tidak bisa mempertaruhkan posisi saya. Kamu cukup diam saja di tempat kamu sambil menunggu saya menghampiri kamu," kali ini Rezvan tersenyum lembut. "Saya benar-benar tidak bisa kehilangan kamu, Audiar."

Aduh, bentar gue mau pingsan dulu.

Audi terdiam. Ia tidak tahu harus merespon apa. Rezvan jauh keras kepala daripada yang Audi kira.

"Saya akan bantu kamu lulus cepat. Saya dosen pembimbing I kamu, jadi kamu jangan khawatir. Semua keputusan saya yang buat," alih-alih tenang, Audi malah semakin khawatir.

"Bukannya itu nepotisme ya , Pak?" tanya Audi mulai panik.

"Loh, nepotisme itu kalau ada hubungan. Atau kamu mau mempercepat hubungan kita?"

Shit.

"Jadi, istri saya misalnya," goda Rezvan.

Double shits.

Audi ingin sekali melemparkan diri keluar dari mobil Rezvan. Makin kesini, omongan Rezvan semakin ngawur saja. Ia bahkan tidak yakin apakah Rezvan yang berada di sampingnya ini adalah dosen yang dia sumpahi selama ini karena jahat kepadanya. Eh, sekarang masih jahat. Hati Audi jadi korbannya.

"Apa, sih."

"Kamu tahu, kamu itu lucu kalau tersipu-sipu. Bikin saya gemas," ujar Rezvan sambil mengacak-acak rambut Audi.

Audi memukul tangan Rezvan yang berani menyentuhnya itu. Untung saja, Rezvan tidak tersinggung atau marah. Bagaimanapun, semua sikap Rezvan yang terlalu banyak kejunya itu bisa membuat tembok Audi runtuh. Dia belum siap.

"Bapak jangan muji saya seperti itu. Nanti Deila marah sama saya," sindir Audi.

"Deila berani memarahi kamu?" tanya Rezvan, sepertinya ia jadi kesal.

Audi buru-buru meluruskan. "Maksud saya, kalau Bapak hanya baik ke saya, nanti dia merasa curiga."

Padahal dulu lo yang suka marahin gue. Semprul.

Rezvan mengangguk paham. "Ooh... kalau begitu kamu setuju dengan perkataan saya tadi? Memulai yang baru dengan saya?" tanya Rezvan penuh harap.

Audi mengangkat bahunya tanda tak tahu. Rezvan mendesah lelah. Kembali menghidupkan mesin mobilnya dengan agak kasar.

"You're torturing me, Audiar," keluh Rezvan.

Audi mengarahkan pandangan ke jendela di sampingnya. Diam-diam ia tersenyum kecil.

To be Continued    


Author's Corner

Jeng jeng jeng, update-nya hari Sabtu teman-teman. Sesuai voting yang kemarin sudah aku buat. 

Ohya, kalau kalian jadi Audi dan ketemu cowok kaya Rezvan, apa yang kalian lakukan? Gimana perasaan kalian?

Special thanks for berrynies yang sudah bantu kasih ide dan saran. ILY ( ̄▽ ̄)ノ. Terima kasih juga buat yang sudah sempetin baca, kasih bintang, dan komentar. Kalau ada kritik dan saran, dm aku aja yaaa hehe.

See U next week!

XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top