1. Kalau boleh milih, bukan Bapak orangnya
"Lancar, Di?" tanya Milla ketika Audi baru saja keluar dari sebuah ruangan di kantor dosen.
Sejak pukul delapan pagi tadi, Milla dengan setia menunggu sahabatnya itu sampai selesai bimbingan skripsi. Wajah Milla yang sebelumnya cerah seperti matahari baru terbit, rupanya tidak bisa mencerahkan raut muka Audi.
"Lancar begimana," balas Audi. Ia melirik pintu yang baru saja dia masuki. "Gue sumpahin jomblo seumur hidup," desis Audi penuh dendam.
"Haha. Hati-hati, bisa balik tuh sumpah serapah lo," seloroh Milla, menarik sahabatnya keluar dari ruang dosen.
Mereka berdua berjalan menuju kantin.
Dua orang sahabat ini adalah mahasiswi Teknik Kimia semester akhir. Selayaknya mahasiswa tingkat akhir, mereka sudah tidak memiliki kelas seperti adik tingkat mereka. Sebagai gantinya, mereka mulai mengerjakan skripsi yang super duper susah.
"Gila, Mil. Gue begadang dua hari buat ngerjain. Gue bela-belain tuh baca buku tebel, eh malah dia seenaknya ngerevisi bagian yang lain," adu Audi. "Sinting tuh dosen."
"Udah-udah, nih. Makan dulu," Milla menyendokkan nasi goreng yang baru dipesan. Dia tahu Audi belum sarapan karena harus mengejar dosen bimbingan tercintanya itu.
"Gue juga pengen dosbing kaya dosbing lo, Mil," kata Audi sambil menatap nanar Milla.
Milla hanya tersenyum. Dia tahu kebiasaan sahabatnya ini.
"Dosbing gue enak, sih. Tapi jarang bisa ditemuin. Enakan Pak Rezvan yang ada setiap saat macam pacar aja," balas Milla, mencoba menyemangati Audi.
Audiar Shakeela Athaya sudah kehabisan stok semangat. Awalnya, dia tidak masalah mendapatkan Pak Rezvan sebagai dosen pembimbingnya. Kebanyakan dosen -kecuali Bu Lala (dosbing Milla), termasuk dosen killer. Pak Rezvan baru beberapa bulan menjadi dosen di kampus Audi. Kabarnya dia setelah lulus S1 di universitas nomor satu di Indonesia, langsung ditawari beasiswa S2 dan S3 langsung di Australia. Kalau ditotal S2 dan S3 Pak Rezvan hanya 3 tahun.
Audi pikir, Pak Rezvan itu tipe dosen yang asyik, yang selalu ngajak mahasiswanya diskusi ringan, dan suka mengerjakan membantu tugas mahasiswanya. Lagipula jarak usia mereka tidak terpaut terlalu jauh. Pak Rezvan baru berusia 25 tahun, sedangkan Audi masih 22 tahun. Mereka lebih cocok jadi kakak adik ketimbang dosen pembimbing dan mahasiswa.
"Di, udah denger gosip terbaru belum?" tanya Milla.
Milla ini walau kelihatan kalem, manis, gak neko-neko sebenarnya dia tuh sumber gosip di Tekkim.
"Apaan woy?" Audi mulai kepo. Ia menyendok nasi gorengnya banyak-banyak.
"Katanya Dewa Dosen bentrok lagi sama Pak Khalid," bisik Audi.
For your information, Dewa Dosen itu dosen tergalak kedua yang jadi ketua jurusan. Yang pertama? Tentu saja Bapak Rezvan Brata terhormat.
"Serius? Bukannya baru beberapa hari kemarin makan bareng, ya?"
"Iya. Terus kayanya Pak Khalid ini mau nyalonin jadi ketua jurusan tahun depan. Kelihatannya dia mau balas dendam sama Dewa Dosen, sih. Menurut gue."
"Ga heran, sih. Pak Khalid proyek penelitiannya sering dihambat sama Dewa Dosen," gumam Audi.
"Eh, ghibahin siapa, nih?" tiba-tiba salah satu manusia satu spesies dengan Audi dan Milla datang. Arlino.
"Muka lo seneng banget, No?" tanya Milla ketika melihat muka Arlino yang putih bersih itu semakin bersinar bagai disinari cahaya surga.
"Hehe, gue acc dong. Lanjut bab ketiga," kata Arlino bangga.
Milla yang mendengarnya Cuma tersenyum kecil, sedangkan Audi mukanya udah ga bisa ditebak. Arlino yang melirik raut muka Milla mulai peka sama sekitar.
"Di, lo belum acc?" tanya Arlino, muka dia sudah panik.
Audi menggelengkan kepalanya. Arlino memperlihatkan wajah panik.
"Kayanya lo bisa-bisa telat lulus gara-gara Pak Rezvan."
"Makasih udah ngasih tau, No," sarkas Audi. Milla menahan tawa.
Arlino tampak berpikir.
"Di, mending lo sepik-sepik sama si bapak, deh," usul Arlino ini rupanya membuat Audi nyaris menyemburkan nasi gorengnya.
"Kayanya gue mending pindah jurusan daripada terlibat hal-hal aneh sama si bapak," semprot Audi.
Arlino hanya bisa menggelengkan kepalanya, prihatin.
***
"Ini persamaannya kamu udah yakin?" Pak Rezvan menanyakan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
"Iya, Pak," dan Audi juga jawab dengan jawaban yang sama.
"Aduh, kamu itu gimana, sih. Kuliah berapa tahun?"
Anjir, mulai nih mulai kambuh nyinyirnya, batin Audi.
"Mau empat, Pak. Bentar lagi," balas Audi.
Pak Rezvan menghela nafas. Menghadapi mahasiswa model Audi ini rupanya cukup menghabiskan kesabarannya.
"Kamu belajar Teknik Reaksi Kimia, kan? Masa mekanisme gampang gini aja ga bisa?" semprot Pak Rezvan.
Audi yang dari tadi hanya menunduk melihat pekerjaannya dilempar-lempar di meja sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya.
"Kamu yakin mau lulus jadi sarjana? Hah," sindir Pak Rezvan tanpa ampun.
Maunya sih gitu, Pak. Sekalian biar Bapak gak perlu ketemu saya lagi, balas Audi dalam hati.
"Sini, pensil kamu mana," kata Pak Rezvan, merebut pensil yang bahkan belum sempat diberikan oleh Audi.
Audi rasanya menangis dalam hati melihat Pak Rezvan mencoret-coret hampir separuh persamaan yang sudah susah-susah dia turunkan. Belum lagi usaha dia bertanya ke teman-temannya.
"Revisi lagi. Kalau besok belum beres, terpaksa kamu kerjain dari awal bab," perintah Pak Rezvan tanpa ampun.
Audi ingin sekali menangis saat ini. Tapi urung. Malu kalau Pak Rezvan tahu Audi sudah tidak kuat dibimbing oleh beliau.
Pak Rezvan menatap Audi tanpa ekspresi. Ia tahu kalau murid bimbingannya itu pusing setengah mati menghadapi permintaannya yang neko-neko.
"Permisi, Pak," bisik Audi tanpa semangat, meninggalkan ruangan dosen tercintanya
***
"Van, kamu gak terlalu berlebihan apa seperti itu pada dia?" tanya Bu Lala yang kebetulan ada di ruangan itu. Menyaksikan adegan sadis dari awal hingga akhir.
Rezvan menghela nafasnya. Sudah berulang kali sikapnya dipertanyakan oleh kebanyakan rekan dosennya.
"Tidak kok, Bu," jawab Rezvan singkat. Ia malas menghadapi ocehan rekannya yang tidak terlalu penting.
"Saya tahu kamu pintar. Tapi, sebaiknya sebagai dosen pembimbing, kamu lebih banyak membimbing dia," saran Bu Lala.
Rezvan sudah mafhum untuk kesekian kalinya. Ia menghela nafas sebelum menjawabnya.
"Saya bimbing dia, kok. Bahkan saya diperlakukan lebih parah oleh dosen pembimbing saya," kata Rezvan.
Ia keluar dari ruang sidang dan meninggalkan Bu Lala yang hanya bisa menggelengkan kepala. Kesekian kalinya dia sudah paham watak dosen termuda di jurusannya ini.
***
Audi menegak habis segelas sodanya. Tepukan riuh dari Milla dan Arlino serta serangkaian ucapan penyemangat yang mereka lontarkan.
Sore ini, Audi, Milla, dan Arlino memutuskan untuk mengerjakan tugas akhir di salah satu kafe yang buka 24 jam. Audi yang mengusulkan karena dia harus menyelesaikan revisi dari Pak Rezvan.
"Gila, kuat banget lo, Di," puji Arlino ketika melihat Audi langsung tancap gas membuka laptop dan mulai menghitung.
"Besok kudu dikumpulin, No. Jadi, doi semangat tuh buat ngerjain tugas dari Si Bapak," tambah Milla.
Arlino hanya manggut-manggut. Ia kemudian ikut mengeluarkan laptopnya dan mengerjakan tugasnya. Milla yang terlihat paling santai. Dia sudah menyelesaikan babnya. Dewi keberuntungan juga berpihak pada Milla karena dosen pembimbingnya libur satu minggu untuk dinas ke luar negeri.
"Astaga, gue capek banget," keluh Audi setelah tiga puluh menit.
Dia mengerjakan revisi tanpa berhenti. Ia menatap ke sekeliling kafe yang mulai ramai. Maklum ini sudah pukul tujuh lewat. Orang-orang butuh makan malam.
Pandangan Audi berhenti pada satu sosok yang baru saja keluar dari mobil. Jarak tempat duduknya dengan tempat parkir tidak terlalu jauh sehingga dia bisa dengan jelas melihat siapa orang yang baru saja keluar dari mobil.
"Anjir! Si Rezvan!" Audi nyaris berteriak.
Milla dan Arlino langsung menghentikan kegiatan mereka dan mengikuti arah pandangan Audi. Sama seperti Audi, respon mereka sangat kaget.
"Ngapain Si Bapak ke sini?" bisik Arlino tidak percaya.
"Waduh, Si Bapak gaul juga," celoteh Milla.
Mulut Audi masih membentuk O sempurna. Bayangkan, kehidupan dia rasanya berputar pada sosok Rezvan seorang. Dari pagi sampai malam.
"Cabut, yuk. Gue masih pengen tidur nyenyak," ajak Audi.
Mereka bertiga mengemasi barang-barang dengan panik. Dalam hati, mereka berdoa semoga tidak berpapasan dengan dosen paling menyebalkan itu. Dalam hati Audi terutama, dia ingin agar dia ditelan bumi saja. Bertemu Rezvan di kafe seperti ini adalah skenario terburuk, apalagi tadi pagi dia habis disemprot tanpa ampun oleh Rezvan.
Mereka bertiga berjalan mengendap-endap keluar kafe. Hingga sebuah suara menghentikan langkah kaki mereka.
"Loh, Audi," suara Rezvan Brata terdengar menusuk telinga mereka. "kamu gak ngerjain revisi?"
To Be Continued
Author's Corner
Gimana chapter 1? Apakah menggugah selera? Hehehe
Aku nulis ini di sela-sela kegiatan menganggurku. Terinspirasi dari pengalaman pribadi punya dosen pembimbing masih muda yang suka nyindiri aku :') sama dosen penguji yang ngeselin abis.
Cerita ini akan update setiap hari Rabu yaa. Don't forget to read, comment, and vote! Thank you and happy reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top