8. Sembako untuk Devano
POV Devano
Aku merasa sangat beruntung bisa mengajar di fakultas ekonomi milik Opa Wijaya ini. Selain aku mengenal banyak staf yang tadinya pernah bekerja denganku, aku juga merasa nyaman dan diberi sedikit kelonggaran perihal Arjun yang ikut ke kampus bersamaku.
Walau bayarannya tidak banyak, tetapi cukup bagiku yang saat ini masih sendiri, serta lingkungan yang cukup nyaman bagiku.
Hari ini sungguh padat. Sedari pagi punggungku belum benar-benar bisa bersandar di kursi dan selera makanku menjadi buruk. Pagi tadi, aku hanya memasukkan sepotong roti bakar ke dalam mulut, dan minum segelas teh jahe. Sekarang, disaat jam sudah menunjukkan pukul sebelas, cacing di dalam perutku pun meronta minta diisi kembali.
Aku masih berada di kelas D anak semester dua. Tersisa dua puluh menit lagi jam baru akan usai. Mau tidak mau, sabar tidak sabar, aku harus bersabar menunggu, sambil terus mengajak Arjun bermain. Balita itu duduk nyaman di atas meja dosen sambil memainkan mainan bunyi-bunyian.
Tok
Tok
"Permisi, Pak," suara seorang wanita di balik pintu kelas. Aku yang fokus melihat ke deretan bangku mahasiswa, menoleh dan langsung berdiri untuk mengintip siapa yang mengetuk pintu, tetapi tidak terlihat.
Tok
Tok
"Permisi, Pak," serunya lagi dari balik pintu. Apakah mahasiswi yang terlambat? Gumamku.
"Masuk!" jawabku sambil menoleh sekilas, lalu duduk kembali di kursiku. Mataku membulat sempurna saat melihat mahasiswaku sedang menahan tawa sambil melirik ke arah pintu.
Tok
Tok
"Pak, boleh masuk gak? Kok gak jawab sih?" Aku pun menepuk kening dengan kuat. Siapa lagi pelakunya jikalau bukan Andini si wanita super. Super budeg. Dengan menahan kesal, aku bangun dari duduk dan langsung menggendong Arjun untuk membukakan pintu. Percuma aku berteriak masuk, karena kuping Andini pasti menangkap yang lain.
Klek
Pintu kubuka lebar.
"Ada apa?" tanyaku to the point.
"Ck, Refa lagi. Saya Andini, Pak," ujar gadis itu sambil memutar bola mata malasnya. Ingin sekali rasanya kuhipnotis saja bola mata dan kupingnya itu agar bisa sembuh seperti sedia kala.
"Iya, Andini. ADA APA?!" tanyaku dengan suara sangat keras, hingga mahasiswa di kelasku tergelak.
"Ini buat Bapak makan siang. Enak loh, buatan ibu saya," ujarnya sambil memberikan satu bungkus plastik putih padaku. Dengan senyum tipis aku menerima.
"Terima kasih," kataku sambil mengulum senyum.
"Nggak basi, Pak. Masih baru mateng kok," timpalnya lagi sesuai dengan keadaan telinganya.
"Yang bilang basi siapa? Saya katakan tengkiu, atau terima kasih." Dengan penuh penekanan intonasi dan beristigfar berkali-kali, aku mencoba mengoreksi ucapannya.
"Oh, terima kasih. He he he ... Sama-sama, Pak. Oh, iya. Ini ada lagi." Kali ini gadis itu memberikan satu buah ransel besar padaku. Ransel yang tadinya ia gendong di punggungnya, kini sudah berada di bawah kakiku.
"Mama," oceh Arjun tiba-tiba. Membuat aku menoleh ke arah balita itu, lalu berpindah pada Andini. Sepertinya Andini tak mendengar celoteh Arjun barusan.
"Ehm ... Ini apa?" tanyaku berusaha mengusir gugup.
"Ini ada beberapa helai baju papa saya yang sudah tidak terpakai lagi. Masih bagus dan bermerk, Pak. Di dalamnya ada sembako juga. Minyak, gula, teh, dan mi instan," terangnya sambil membuka risleting tas ransel besar itu. Aku pun melihat dan benar saja, di dalamnya ada banyak barang, tetapi untuk apa? Lidahku mendadak kelu untuk bertanya.
"Oh, kamu bawa baju dan sembako untuk apa dan untuk siapa?" tanyaku dengan perasaan heran.
"Gini, Pak. Saya kan cerita kalau Bapak adalah dosen miskin atau biasa saya menyebutnya, jelata. Jadi, karena itu ibu saya menjadi iba dan membawakan ini semua untuk Bapak. Diterima ya, Pak?"
"Siapa yang dosen miskin?" tanyaku lagi semakin keheranan. Saat ini aku merasa alisku benar-benar menyatu, layaknya jalan yang tersambung, karena bingung dengan kelakuan Andini.
"Ish, Bapak jangan malu sama saya. Jujur aja, Pak. Saya tahu Bapak orang gak mampu. Makanya ke kampus naik sepeda. Ke kampus bawa bayi karena gak mampu bayar pembantu," bisiknya dengan tubuh yang semakin mendekat. Aku mulai merasa mual, saat mencium aroma balsam dari tubuh wanita ini.
"Andini, pertama-tama saya mau ucapkan terima kasih untuk kebaikan kamu dan ibu kamu, tapi saya bukan dosen jelata. Saya punya uang walau tak banyak. Saya ke kampus naik sepeda karena memang mau saya, bukan karena saya dosen jelata," balasku mencoba memberi pengertian padanya. Tangan kanan kusimpan di balik tubuh sambil mengepal kuat, berusaha menahan kesal.
"Eh iya, ngomong-ngomong soal uang, Ibu saya juga menitipkan ini untuk Bapak. Katanya buat nambahin beli susu inspektur." Satu buah amplop gadis itu berikan padaku. Satu tangannya lagi mencolek pipi Arjun.
"Udah, jangan pake malu, Pak. Gak boleh nolak rejeki. Kalau orang miskin itu gak boleh jaim, Pak. Nanti lapar. Ini, Pak. Terima semuanya ya!"
"Andini, bungkusan makanan ini saya terima, tapi semua barang ini kamu bawa pulang lagi ya. Baju saya masih banyak, sembako saya juga banyak," kataku dengan darah yang semakin mendidih.
"Minyak ada, Pak. Ini minyak!" Andini mengangkat botol minyak satu liter ke depan wajah Devano.
"Bukan minyak, tapi banyak. Ya Allah. Lelah banget ngomong sama kamu. Bisa mati berdiri saya! Udah sana balik ke kelas kamu!" usirku dengan mendorong tubuhnya menjauh dari depan kelas. Pintu kubanting dengan kuat, kemudian aku berjalan kembali untuk duduk di kursiku. Napasku naik turun menahan kesal.
"Mama ... Mama ...," oceh Arjun lagi sambil bertepuk tangan.
"Papa, kalau sempat punya istri begitu. Belum ijab kabul udah pasti kena stroke duluan!" bisikku pada Arjun yang kini malah tertawa cekikikan.
POV Andini
Udah tua, miskin, sok kaya pula. Makanya gak laku-laku. Orangnya gak jujur gitu. Kalau miskin ya miskin aja, gak usah malu mengaku kalau miskin dan butuh santunan. Ini dikasih santunan malah nolak. Aku terus saja menggerutu sepanjang siang di dalam kelas.
Susah payah aku membawa kembali tas ransel berisi banyak barang untuk Pak Devano, yang tidak mau lelaki tua itu terima.
Tring
Bunyi pesan masuk ke dalam ponselku. Dengan malas kuambil benda pipih itu dari dalam tas, lalu melihat siapa pengirimnya.
Dimas
Keningku berkerut saat mendapat pesan dari lelaki yang sepekan ini rajin mengirimkan pesan padaku.
Malam Minggu jalan sama gue yuk!
Akhirnya! Aku pun bersorak gembira dalam hati. Sepertinya ini tanda-tanda kejomloanku segera berakhir.
_Bersambung_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top