18. Kafe
"Saya boleh pegang, Pak? Apakah tangan palsu ini bisa melakukan aktifitas seperti layaknya tangan normal?" tanyaku pada lelaki itu. Pak Dev mundur beberapa langkah, saat aku mendekat hendak memegang tangan palsunya.
Kenapa bisa tidak terlihat seperti tangan palsu? Apa karena baju lengan panjang yang selalu ia kenakan, mampu menutupi seluruh tangannya? Pantas saja Pak Dev selalu menggendong Arjun dengan tangan kiri, tangan kanan tidak pernah ia gunakan untuk menggendong.
"Kamu tidak keberatan dengan kekurangan saya ini?" tanya lelaki itu padaku dengan wajah tidak enak.
"Kurang apa, Pak? Saya gak kurang apa-apa," balasku dengan polosnya. Dia malah tergelak, sambil menggelengkan kepala.
"Itu barusan kurang denger. Alias nggak mudeng," balas Pak Dev masih dengan tergelak. Aku terpesona dengan garis lengkung bibirnya yang begitu lebar. Ketampanan seorang lelaki dewasa, naik berkali-kali lipat saat sedang tertawa seperti ini. Hatiku seketika menghangat, dengan wajah merona.
"Kenapa? Naksir?" tanyanya sengaja menggodaku.
"Saya tambah cinta, jika Bapak selalu tertawa seperti ini. Lebih tampan dan terlihat sangat dewasa. Pakai bajunya, Pak. Jika terlalu lama berdiri di depan saya tanpa pakaian seperti ini, saya takut khilaf," ujarku sambil terkikik geli. Ya ampun, untunglah saat kami tengah berduaan seperti ini, tidak ada setan sebagai orang ketiga.
Ujiannya begitu berat, saat terjerat pesona lelaki dewasa. Kupandangi punggung Pak Dev yang menghilang di balik pintu kamar yang kini tertutup. Hatiku kembali menghangat. Ingin rasanya kupeluk tubuh kekar lelaki itu, tapi tidak mungkin. Jangan sampai dia mempunyai pikiran buruk padaku.
POV Devano
Aku tidak tahu, kapan terakhir kali senjataku ini bereaksi dengan cukup baik. Ini pasti salah. Tidak mungkin seorang Andini. Gadis seumuran anakku yang bisa membuat senjataku bereaksi. Kembali kutundukkan pandangan, memastikan keadaan di bawah sana. Benar saja, dia belum juga tidur, dan itu membuat jantungku berdetak dengan cepat.
"Tidak mungkin!" Lagi-lagi aku memungkiri rasa yang saat ini begitu lekat dalam diriku. Rasa yang sama saat aku bersama Aminarsih. Keduanya sungguh jauh berbeda dan akan sangat konyol jika dia kembali lagi beraksi setelah sangat lama tertidur. Sepertinya aku harus segera konsultasi ke dokter spesialisku. Hal seperti ini perlu dijelaskan oleh pakar kesehatan.
Ini pasti salah, bukan dengan Andini. Aku masih berharap, Andrea menaruh hati padaku, sehingga bisa lebih mudah untuk perlahan meninggalkan Andini.
Andini adalah gadis baik dan penuh pengertian. Jika suatu saat aku mengatakan bahwa perasaanku ini untuk Andrea, dia pasti dapat menerimanya dengan baik.
Kami pun menikmati sarapan seperti biasa. Hari ini dia menceritakan tugas beberapa dosen sudah dia kerjakan dengan baik dan tepat waktu, termasuk tugas dariku juga. Andini juga bercerita, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menahan kantuk saat jam kuliah berlangsung.
Hubungan ini ternyata membawa dampak positif untuk Andini. Aku tahu gadis ini pada dasarnya baik dan juga cerdas. Hanya saja rasa malasnya masih begitu kuat.
"Sukurlah kalau kamu sudah lebih mandiri dalam tugas. Saya harap semua kamu lakukan bukan karena saya, tetapi karena untuk diri kamu sendiri," ujarku padanya sambil tersenyum.
"Pada awalnya, saya melakukan karena Bapak, tetapi semoga lama-kelamaan akan berubah menjadi motifasi untuk saya sendiri. Saya ingin memantaskan diri saya, jika suatu hari Pak Dev melamar saya." Andini langsung menunduk, setelah mengatakan hal yang membuat napasku terhenti sejenak.
"Masih jauh Andini. Kamu masih sangat muda. Kita jalani saja semuanya. Jika sudah jodoh tidak akan ke mana, jika belum jodoh, ya jangan sampai kecewa," ujarku lagi dengan senyuman tipis. Kulihat dia mengangguk, tanpa berani menoleh ke arahku lagi.
"Pak, nanti sore teman saya baru saja buka cafe dan saya diundang ke sana. Teman SMA, cewek. Bapak ada waktu gak?"
"Wah, sore jadwal saya bermain dengan Arjun. Kita pergi lain waktu ya. Bagaimana?"
"Oke, Pak. Tidak apa-apa." Andini tersenyum. Ia tidak pernah memprotes, jika aku tidak menyanggupi ajakannya. Ini entah sudah berapa kali aku menolak makan di luar bersamanya, karena aku tidak ingin ada yang memergoki kami. Aku belum siap.
Bibik pun sampai dan langsung membersihkan halaman depan. Arjun masih tidur dengan lelap. Aku dan Andini berangkat ke kampus setelah selesai sarapan. Aku mengendarai sepeda, sedangkan Andini berjalan kaki.
"Loh, Tuan gak bareng Non Andini?" tanya bibik saat melihatku baru saja mulai mengayuh sepeda.
"Pak Dev harus buru-buru sampai, Bik. Saya masih santai. Mari, Bik. Saya pamit ya," jawab Andini dengan suara riang. Aku pun menganggukkan kepala, lalu mulai mengayuh sepeda dengan pelan. Kesepakatan tentang hubungan kami yang tidak boleh diketahui oleh pihak kampus, tampaknya benar-benar dijaga oleh Andini. Bersyukurlah aku, ternyata selain kurang dengar dan kurang nyambung, Andini memiliki kelebihan lain, yaitu penurut.
Jam pertama sudah dimulai. Aku mengajar bukan di kelas Andini, melainkan di kelas yang lain, tetapi masih satu semester dengan Andini. Mahasiswa mendengarkan pemaparanku tentang ilmu ekonomi mikro. Semua dapat aku jelaskan sesuai dengan ilmu pengetahuan dan praktek langsung yang dahulu sudah menjadi bagian dari pekerjaanku sehari-hari.
Kuraba ponsel yang berada di saku, karena bergetar beberapa kali. Namun, karena aku masih fokus menjelaskan, getar itu kuabaikan. Dua puluh menit berlalu dan jam kuliah pun selesai. Segera aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku untuk melihat siapa yang mengirimkan pesan padaku.
Mataku terbuka lebar, saat nama Andrea tercantum di sana.
"Pak, ada waktu sebentar nanti sore? Kita ketemu di restoran XXX ya. Saya perlu bicara."
"Oke, dengan senang hati Tuan Putri."
Send
Sebuah pesan yang bagiku bagaikan angin surga. Andrea mengajakku bertemu di sebuah restoran. Tentu aku sanggupi. Kapan lagi peristiwa ini akan terulang lagi, jika aku menolak? Maka dari itu, lekas kulirik pesan pada Bibik, agar bersabar menunggu Arjun sampai aku pulang.
Pukul empat sore, aku sudah berada di gerbang kampus menunggu ojek online yang kupesan, untuk membawaku ke restoran. Tidak mungkin aku mengayuh sepeda ke sana, karena jaraknya cukup jauh.
Ojek pun sampai dan aku langsung naik ke atasnya. Duduk dengan dada berdebar, menanti pertemuan dengan Andrea. Sungguh tak bisa aku menepis rasa sukaku pada saudara Andini itu. Jika saja Andini adalah Andrea, maka aku akan sangat beruntung.
"Pak, sudah sampai," seru pengemudi ojek padaku.
"Eh, iya." Aku langsung turun sambil membuka helem. Lalu kuberikan uang dua puluh lima ribu rupiah pada lelaki itu.
"Ambil saja kembaliannya, Mas," kataku sambil tersenyum.
"Pak Dev, sini!" teriak suara seorang wanita yang tengah berdiri sambil melambaikan tangan padaku. Dia adalah Andrea. Dengan rambut hitam tergerainya, yang dihiaskan jepit rambut cantik. Baju terusan motif bunga-bunga terpasang begitu pas di tubuhnya. Benar-benar gadis yang feminin.
"Maaf saya lama. Kamu sudah pesan makanan?" tanyaku sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Baru lima menit, Pak. Udah pesan juga, soalnya haus," jawabnya dengan senyuman yang sama manisnya dengan milik Andini. Pelayan datang sambil membawakan buku menu. Aku memesan kopi susu krimer dengan pisang bakar. Sedangkan Andrea memesan nasi goreng seafood.
"Ada apa kamu panggil saya ke sini? Apakah kamu punya masalah?" tanyaku langsung, tanpa berbasa-basi.
"Mmm ... tidak ada, Pak. Pacar saya sedang sibuk sekali dan saya butuh teman curhat. Saya harap, Pak Dev mau mendengarkan saya."
"Oh, seperti itu. Tentu saja saya dengan senang hati mendengarkan curhat dari kamu," jawabku dengan memaksakan senyum. Ternyata hanya karena pacarnya sibuk dan dia kesepian. Sungguh kekanakan sekali. Namun tidak apa, aku sangat senang bisa duduk berdua seperti ini dengan Andrea.
"Mmm ... Soal waktu itu. Bapak yakin menyukai saya? Saya kan minta Bapak untuk mendekati Andini, biar dia tidak sedih. Kenapa Pak Dev malah menyukai saya?"
"Perasaan tidak bisa dipaksakan, Andrea. Saya sudah berusaha mengikuti saran kamu, tetapi saya tidak bisa menganggap Andini sebagai wanita yang saya sukai. Gadis itu tidak lebih hanya sebagai mahasiswa saja. Sekeras apapun saya mencoba, tetap tidak bisa. Saya juga heran, kenapa saya malah menyukai kamu?" Kuberanikan diri memegang tangan Andrea.
Prang!
Spontan aku dan dan Andrea menoleh saat pelayan menjatuhkan nampan yang aku yakini adalah pesanan kami.
"Pesanan saya ya? Lain kali kamu harus hati-hati. Saya tidak mau bayar dua kali ya? Kamu yang harus ganti semua dari awal!" ketusku pada pelayan wanita yang sibuk mengumpulkan remahan makanan sambil menunduk.
"Andini, ya Allah. Kamu gak papa?" tanya seorang pria yang berlari menghampiri pelayan itu.
"Tidak apa-apa," jawabnya dengan suara bergetar. Pelan gadis itu dengan mengangkat wajahnya, lalu tersenyum kaku pada kami berdua. Aku melotot tak percaya, begitu pun Andrea. Pelayan yang bernama Andini, adalah kembaran dari Andrea. Gadis yang pura-pura aku sukai.
"Maaf ya, Pak. Makanannya akan segera saya ganti," ujarnya lalu segera berlari masuk ke dalam.
Bersambung-
Saat menuliskan akhir part ini, hati saya bagaikan diremas. Ikut merasakan kekecewaan Andini.
Ada yang sama? Versi lengkapnya sudah tersedia di google Play Store ya. Di KBM App juga sudah tayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top