17. Salah Satu Rahasia Devano

POV Andini

Setelah sepekan aku sembuh dari sakit, Pak Dev benar-benar berubah sikap menjadi lebih baik. Saat jam mata kuliahnya berlangsung dan aku ketiduran, dia tidak pernah lagi menegur atau komplain padaku. Walau hubungan ini masih sangat dirahasiakan, tetapi aku bersukur Pak Dev tidak lagi malas-malasan menjawab pesanku, walau singkat.

Kami juga kerap melakukan video call saat malam. Arjun tampak senang saat berbicara di depanku saat video call berlangsung. Pak Dev benar-benar sudah berubah dan lebih manis. Pernah sekali waktu, aku meminta lelaki itu memperlihatkan hubungan kami di depan orang banyak, tetapi dia menolak. Katanya, dia tidak mau jadi bahan ledekan mahasiswa. Apalagi statusnya saat ini adalah duda.

Untunglah, semua orang rumahku mengetahui bahwa Pak Dev adalah pacarku dan malam ini dia diminta papa untuk berkunjung ke rumah. Lelaki itu sempat ragu, namun kuyakinkan bahwa Papaku baik dan sedikit mengenal dirinya.

"Jadi ke rumahkan, Pak?"

Aku mengirimkan pesan padanya, tetapi belum dijawab. Bolak-balik kumemandang resah jam di dinding yang mulai berputar cukup cepat. Menanti kehadirannya, sekaligus balasan pesan darinya. Tidak mungkin dia ke rumahku naik ojek, bila membawa Arjun, pasti naik taksi online, tetapi kenapa pesanku belum juga dibaca?

"Andin, dipanggil Papa," seru Andrea yang kini tengah berdiri di depan pintu kamar. Aku menoleh, lalu mengangguk. Dengan lemas, aku berjalan menuju ruang keluarga, di mana Ibu dan Papa sedang duduk di sana sambil menonton televisi.

"Papa panggil Andin?" tanyaku pada papa.

"Iya. Mana Pak Dev? Bukannya Papa meminta dia kemari? Ini sudah hampir setengah sembilan malam. Kamu yakin'kan, dia mau kemari?" cecar Papaku sambil menatapku dengan tajam.

"Di kampus, kata Pak Dev iya, Pa. Gak tahu deh, kalau berubah pikiran," jawabku dengan lemas.

"Mungkin sedang sibuk, Pa. Namanya juga lagi ngajar, atau mungkin gak punya ongkos buat kemari. Andin, kamu telepon Pak Dev, bilang pesan saja taksi onlinenya, biar Ibu yang bayar di sini. Kasian juga kalau sampai tidak punya ongkos," sela ibuku dengan polosnya, hingga membuat kami semua yang ada di sana tergelak.

"Pinternya istriku," puji Anton sambil menahan tawa.

"Ya sudah, mungkin lelaki itu memang sedang ada keperluan. Lain waktu juga gak papa. Hanya saja, Papa mau mengingatkan kamu, jaga diri saat berpacaran dengan lelaki yang lebih dewasa, apalagi duda, karena mereka biasanya lebih agresif. Yah, kecuali dudanya bener, gak bengkok. Baru bisa menahan semua sifat agresifnya," terang Papaku menasehati.

"Tapi Andin tidak pernah lihat Pak Dev bawa selotif, Pa. Lagian selotif buat apaan?" tanyaku heran.

"Buat nutupin kuping kamu yang gak denger itu, Andin! Papa bilang agresif, tahu gak apa itu agresif?" Kali ini semua mata memandang pada ibuku. Wanita paruh baya yang masih saja semok sampai detik ini, membuat anak dan suaminya terpana dengan sanggahannya.

"Tahu gak?" tanya ibuku lagi dengan tak sabar.

"Agresif mah tahu, Bu," jawabku sambil mengangguk.

"Emang apaan?" tanya ibuku.

"Agresif itu, bila kita menemukan ide baru, lalu kita sampaikan kepada orang banyak."

"Ha ha ha ...." semua kembali tertawa. Termasuk aku yang benar-benar tak tahan dengan kepolosan sang ibu yang selalu saja mampu menghangatkan suasana rumah.

"Itu namanya inisiatif Sayang, bukan agresif," ujar Papaku membetulkan ucapan sang istri tercinta.

Begitulah keluarga kami sedari dahulu. Selalu saja penuh canda dan tawa, serta selalu duduk bersama jika salah satu diantara kami memiliki masalah. Yah, walau jujur saja. Diantara kami bertiga, yang paling sering didiskusikan permasalahannya adalah aku.

"Pa, Aleta tidur duluan ya," pamit saudara kembar sulungku sambil menguap beberapa kali. Disusul oleh Aleta, dan terakhir Ibu. Tersisa aku dan Papa saja di ruang televisi. Jam di dinding sudah pukul sepuluh malam, sudah pasti Pak Dev tidak datang. Jujur aku sedikit kecewa dengan janjinya yang sudah menyetujui untuk datang malam ini.

"Kamu belum ngantuk?" tanya Papa padaku.

"Ingin tidur, tapi gak tahu bisa atau nggak. Pa, Andin mau tanya, menurut Papa lelaki yang serius menjalin hubungan dengan kita itu seperti apa? Andini selalu saja gagal pacaran," tanyaku pada papa.

"Bukan gagal, justru Tuhan memang sedang menjaga kamu sampai tiba waktunya untuk bertemu dengan lelaki yang tepat. Menikah tanpa pacaran malah lebih seru, seperti Papa dan Ibu. Walau sempat ada masalah, tetapi karena Tuhan sudah memberikan cinta tulus untuk Ibu dan Papa, maka sejauh apapun kami sempat berpisah, maka tetap akan dipertemukan. Fokus kamu sekarang kuliah. Jika ada dosen yang suka dengan kamu dan niat serius, pasti dia akan bicara secepatnya pada Papa. Jadi, santai saja pacarannya ya."

"Iya, Pa. Terima kasih nasihatnya. Andin akan ingat baik-baik pesan Papa." Kupeluk lelaki yang rambut putihnya mulai tumbuh banyak di kepala. Lelaki inilah yang selalu setia menasihatiku dengan caranya. Tidak perlu didengar oleh orang lain, cukup kami berdua. Karena menurut Papa, aku ini spesial.

"Andin tidur ya, Pa?" pamitku pada papa. Lelaki itu mengangguk, lalu tersenyum sangat hangat padaku.

Begitu masuk ke kamar, aku mengecek ponsel untuk melihat apakah ada balasan pesan dari Pak Dev. Ternyata ada dua pesan darinya. Satu pesan berisi kabar bahwa ia terpaksa tidak jadi datang ke rumahku dengan alasan Arjun sedang panas. Kubuka pesan selanjutnya yang berisi foto Pak Dev sedang ada di klinik membawa Arjun berobat.

Aku mengulas senyum. Bukan karena lelaki itu tak berniat serius padaku, tetapi memang dia sedang ada halangan saja, makanya tidak bisa datang ke rumahku. Cepat kuketik balasan pesannya.

"Tidak apa-apa, Pak. Nanti Andin bilang Papa. Bagaimana kabar Arjun? Apa sudah turun panasnya?"

"Terima kasih ya. Maafkan saya. Alhamdulillah Arjun sudah tidur habis saya kasih obat."

"Iya, Pak. Bapak istirahat saja. Jadi, saat Arjun terjaga, Bapak gak ngantuk."

"Terima kasih, Andin. Selamat malam pacarku. Selamat beristirahat."

Aku tersenyum senang membaca  kalimat terakhir pesan Pak Dev. Lelaki itu tak bisa ditebak sifatnya. Aku belum bisa membaca bahasa tubuh dan kebiasaannya. Apa karena kami jarang bersama? Di kampus juga bertemu biasa saja, tidak pernah mojok layaknya mahasiswa lainnya. Tak apalah, begini saja sudah sangat bersukur, ada yang perhatian dan suka padaku.

Segera kuberbaring sambil memeluk ponselku. Sebelum benar-benar terlelap, aku berdoa dalam hati semoga hubungan ini berlangsung lama dan selalu baik-baik saja.

Pagi hari, seperti biasanya aku kembali membuatkan sarapan untuk Pak Dev. Disaat semua orang masih bersiap untuk melaksanakan aktifitas, aku sudah rapi di depan pagar menunggu ojek online. Pagi ini, aku membuatkan bubur sehat untuk Arjun dan juga Pak Dev. Tadi Subuh, aku sudah pamit pada Ibu dan Papa, mengatakan alasan Pak Dev tidak bisa datang dan aku akan membawakan bubur untuk anak angkat lelaki itu.

Begitu sampai di rumah pacar dosenku itu, langsung saja kubuka pagar yang memang sedang tidak terkunci. Keadaan masih hening, mungkin karena bibik belum datang sepagi ini.

Tok
Tok

"Assalamualaikum, Pak, saya Andini," seruku saat membuka perlahan pintu rumahnya. Tak ada sahutan, aku memilih langsung masuk dan meletakkan papar bag berisi bubur di atas meja. Lekas kubuka agar uap panasnya tidak mengembun, lalu kutuangkan bubur ke dalam mangkuk.

"Andin, kapan datang?" tanya Pak Dev dengan suara setengah kaget. Aku menoleh, lalu mendapati lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk.

Ada sesuatu yang kulihat, hingga napasku sedikit tercekat.

"Pak, t-tangan Bapak itu, kenapa?" tanyaku sambil menunjuk tangan kanannya yang terlihat sangat aneh. Selama ini aku tidak pernah memperhatikan karena Pak Dev selalu memakai baju lengan panjang.

"Oh, ini ... mmm ... Tangan palsu saya."

"Ya Allah, j-jadi aslinya tangan kanan Bapak tidak ada?" tanyaku dengan dada berdebar.

"Iya. Tangan kanan saya diamputasi, sehingga saya memakai tangan palsu. Semoga kamu tidak keberatan dengan kekurangan saya ini."

Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top