16. Manis, Asam, Asin
POV Devano
Kenapa aku tidak tahu jika Andini datang ke rumah? Hatiku tiba-tiba saja tidak enak. Kupandangi bungkusan makanan yang dibawakan oleh gadis itu. Ada secarik kertas terselip di bawah box makanan. Kuambil dan kukenali itu sebagai tulisannya.
Sedang pergi ya, Pak? Selamat mencicipi sarapan buatan saya.
Aku semakin tidak enak setelah membaca tulisannya. Apakah tadi dia lama menunggu di depan sana? Sungguh perasaan ini tidak enak jadinya. Kuputuskan mengambil ponsel yang ada di dalam kamar, lalu kuhubungi nomor Andini. Masih pukul tujuh, harusnya belum mulai jam kuliah, karena jam pertama biasanya pukul tujuh tiga puluh. Namun, belum diangkat. Ke mana dia?
Kuputuskan untuk langsung mengirimkan pesan saja. Khawatir dia merasa diabaikan.
Terima kasih sarapannya. Kamu di mana sekarang? Nanti siang saya traktir ya.
Setelah mengirimkan pesan pada Andini, aku langsung bersiap untuk ke kampus. Jika gadis itu belum juga membalas pesan, maka akan aku datangi saja ke kelasnya.
Sengaja lebih cepat kukayuh pedal sepeda, agar segera sampai di kampus. Jam pertama akan segera dimulai dan aku tidak boleh terlambat. Acara mengajar berjalan dengan lancar hingga pukul sebelas lebih lima belas menit. Segera kubuka ponsel untuk melihat balasan pesan dari Andini, tetapi pesanku hanya ceklis satu, itu tandanya internetnya tidak aktif.
"Johan, saya minta tolong kamu panggilkan Andini kelas C. Minta dia ke ruangan saya," titahku pada Johan. Ketua kelas yang satu tingkat dengan kelas Andini.
"Baik, Pak." Sepeninggal pemuda itu, aku langsung beranjak menuju ruanganku. Lumayan, istirahat satu jam setengah sebelum mulai mengajar lagi, pukul satu tiga puluh siang ini.
Lima belas menit berlalu, tetapi baik Andini ataupun Johan belum juga muncul ke ruanganku. Sungguh membuatku tak sabar rasanya. Kembali kuhubungi nomor Andini, tetapi tidak aktif juga.
"Apa mungkin dia ngambek? Ck, wanita itu memang aneh. Apalagi masih bocah seperti Andini."
Tok
Tok
"Permisi, Pak. Andini pulang, katanya pingsan di kelas," ujar Johan memberitahuku.
"Oh, begitu. Baik, Jo. Terima kasih ya."
Sejak berita yang disampaikan Johan tadi siang, aku tak fokus mengajar hingga sore. Bibik tidak bisa menunggui Arjun lebih dari jam lima. Maka dari itu, aku tidak bisa mengunjungi Andini, karena harus pulang cepat untuk menjaga Arjun. Kuputuskan untuk menelepon Andrea saja, jika ponsel Andini juga belum ada kabar.
POV Andini
Dua hari bangun Subuh. Repot menyiapkan makanan untuk pacar, hingga aku sendiri lupa sarapan. Alhasil asam lambungku naik dan sekarang terbaring lemas di ranjang. Untunglah, Abu;teman sekelasku mau mengantar pulang dengan mobilnya. Dokter mengatakan agar aku tidak boleh telat makan, dan harus beristirahat cukup.
"Lu kenapa?" Aleta masuk ke dalam kamarku sambil membawakan nampan berisi bubur ayam.
"Gue sakit," jawabku lemah.
"Telat Mulu sih makannya. Ini, makan dulu," ujar Aleta padaku. Ia meletakkan nampan itu di atas meja, lalu ikut duduk di ranjang bersamaku.
"Masih lemas, nanti saja," kataku lagi dengan malas. Melihat bentuk bubur itu saja aku merasa enneg, apalagi harus memakannya.
"Makan, nanti pacar kamu sedih loh, kalau bubur kirimannya gak dimakan," kata Aleta lagi sambil tersenyum.
"Hah? Pacar? Pacar siapa?" tanyaku heran.
"Duh, pikun! Pacar lu Andin, masa pacar gue ngirim bubur buar elu. Ini dari Pak Dev. Dosen cool yang sekarang udah jadi pacar lu," ujar Aleta sambil memutar bola mata malasnya.
Benarkah ini dari Pak Dev? Hatiku seketika membuncah senang. Tulang-belulang yang tadi terasa begitu lunak, sekarang mulai segar dan bertenaga kembali. Pelan aku mencoba duduk, tentu dibantu oleh Aleta. Dengan bersandar di punggung ranjang, aku mengambil mangkuk dan mulai menyiapkan bubur ke dalam mulut ini.
Rasa enneg dan pusing juga berangsur hilang. Bubur pemberian Pak Dev ternyata adalah obat paling ampuh untuk sakitku saat ini. Aleta masih berdiam diri pada posisinya, sambil memperhatikanku.
"Pacar kamu cuek, karena dia pria dewasa. Buktinya, dia kirim bubur saat kamu sakit. Jadi, mulai sekarang, belajar bersikap dewasa ya. Kalau pria dewasa, biasanya tidak suka jika kita mengganggunya dengan pesan alay. Biasa saja. Jika dia tidak berkirim pesan, kita tidak perlu ngambek, karena sudah bukan masanya lagi bersikap seperti ABG. Saran gue, lu harus ngimbangin pacar dewasa lu, Din. Bisa'kan?"
"Ditimbanginnya pake apa?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Timbangan sayur?" lanjutku masih tak paham panjang kali lebar ucapan Aleta.
"Timbangan kuping yang banyak batu gioknya!" jawab Aleta dengan wajah masam.
"Emang kuping ditimbang? Buat apaan?" tanyaku lagi masih dengan raut wajah yang sama.
"Buat naik haji, Din. Udah ah, cape gue ngobrol sama elu. Nih, yang jelas, lu gak boleh bersikap kekanakan dengan Pak Dev. Harus elegan dan sedikit jual mahal. Gak usah bawain sarapan ke rumahnya lagi. Keenakan banget!"
"Memang kata Pak Dev enak kok," sahutku tidak mau kalah.
"Bukan enak itu! Ish, au ah!" Aleta meninggalkanku di kamar. Walau tak sepenuhnya paham, tetapi aku mencoba menangkap maksud baik yang disampaikan oleh saudara kembar tengahku itu. Hanya dialah yang selalu memberikan tausiyah padaku sejak dahulu, terutama soal percintaan. Yah, walau semua usulnya tak selalu sukses diterapkan padaku, tetapi aku akui dia yang paling care dari Andrea.
Kuambil ponsel, lalu kunyalakan. Karena sudah full charge. Ada banyak pesan masuk dari teman kelasku, Tuti, Abu, Siska, dan ada juga pesan dari Pak Dev. Satu per satu aku membalas pesan dari mereka, dan untuk Pak Dev, aku tidak langsung membalas pesannya. Di kepalaku memikirkan harus mengirimkan pesan seperti apa yang elegan pada lelaki itu.
Terima kasih buburnya, Pacar. Sudah saya habiskan, berikut sendok dan mangkuknya.
Send
Aku sangat berharap Pak Dev membalas pesanku. Karena bagaimanapun aku sangat senang dan kupastikan besok langsung bisa sembuh, jika dia Sudi mengirimkan pesan dan menanyakan bagaimana keadaanku.
Sukurlah. Makan yang banyak dan jangan telat makan lagi ya. Nanti kalau kamu sakit, saya dan Arjun sedih.
Pesan yang sangat manis menurutku. Lelaki itu sungguh aneh. Kemarin dia sangat galak menegurku soal tidur di kelas, tapi hari ini dia bersikap sangat manis. Apakah aku harus sakit setiap hari, biar dapat perhatian darinya? Ya ampun, senangnya.
Iya, Pak Dev Sayang. Terima kasih banyak. Besok saya akan makan tepat waktu. Arjun sedang apa?
Saya telepon ya? Video call.
Saya lagi jelek, Pak.
Bukannya emang jelek. He he he ... Gak papa. Malah bagus, apa adanya.
Kring
Kring
Aku terlonjak kaget, saat lelaki itu benar-benar menghubungiku via video call. Kurapikan asal rambutku yang sangat berantakan, lalu segera menggeser tombol terima. Aku tersenyum, dia pun tersenyum. Di pangkuannya ada Arjun yang juga ikut tersenyum padaku. Bahkan balita yang beberapa hari lagi berusia tujuh bulan itu hendak meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam mulut.
Rasanya senang sekali bisa melihat wajah pria dewasa itu saat ini. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta pada Pak Dev. Bolehkah seperti ini? Apakah lelaki ini juga sama sepertiku? Ya Tuhan, aku terus berharap dan berdoa, keadaan manis seperti ini berlangsung lama.
Bersambung
Semoga ya, Andini. Berharap kamu tidak dikecewakan oleh Devano.
Ebooknya sudah tersedia di google Play Store ya. Yang penasaran dengan lanjutannya, silakan langsung mampir ke sana ya. Di KBM app juga sudah tayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top