13. Pacar Pura-pura

POV Devano

Aku merasa sedikit aneh dengan ide yang diberikan oleh Andrea. Jujur, untuk urusan cinta aku tak pernah mau mencoba-coba, apalagi usiaku yang sudah tidak muda. Namun, untuk membantu Andini sedikit terhibur dan lebih baik kondisi kejiwaannya, maka sepertinya aku harus mencobanya. Hitung-hitung aku jadi bisa dekat juga dengan Andrea.

Kulirik jam di dinding sudah pukul tiga sore. Aku baru sampai dari mencari Andini yang belum juga pulang. Arjun sedang bermain bersama bibik di depan, sehingga aku bisa beristirahat sebentar, sebelum kembali bertugas menjaga Arjun.

Drt
Drt

Ponselku bergetar. Ada nama Andrea di sana. Tentu saja aku berharap kabar baik yang ia sampaikan kali ini.

"Halo, assalamualaikum. Ya, Andrea."

"Andini sudah pulang, Pak. Ternyata dia pergi ke rumah nenek dan kami tidak diperbolehkan untuk tahu. Terima kasih, Pak. Oh iya, semoga ide yang saya sampaikan tadi pagi, bisa Bapak pikirkan kembali. Semoga Bapak setuju."

"Baiklah, akan saya pikirkan. Kalau saya setuju, saya akan kabari kamu ya."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak."

Telepon pun terputus. Aku tersenyum senang mendengar suara Andrea yang jauh berbeda dengan Andini. Maka dari itu, aku sempat tidak percaya bahwa mahasiswiku itu memiliki suara bagus, karena untuk berbicara di telepon saja suaranya bak kaleng rombeng. Bagaimana jadinya jika dia benar menjadi pacar aki-aki tua sepertiku? Belum tentu juga dia mau. Kalau dia tidak mau, maka akan lebih mudah. Maka aku bisa mendekati Andrea.

Senin pagi yang sibuk dan untungnya, jam pertamaku dimulai pukul sepuluh pagi, dan itu langsung masuk di kelas Andini. Aku berharap dia masuk kelas, sehingga aku bisa memulai rencana yang seperti Andrea sampaikan.

Ya, aku sudah setuju untuk menjadi lelaki yang nampak menyukai Andini. Setelah itu, aku akan berlakon membuat banyak hal yang tidak disukai olehnya, sehingga akhirnya dia yang meninggalkanku, bukan aku yang meninggalkannya. Karena sepanjang perjalanan cinta Andini, dialah yang selalu diputuskan oleh pacar-pacarnya. Aku cukup iba juga. Tak apalah aku membantu Andini, karena aku jadi bisa lebih dekat dengan Andrea.

Kukayuh sepeda menuju kampus. Hari ini Arjun bisa ditinggal oleh bibik karena badannya sedikit hangat. Untunglah bibik mau, karena aku berjanji pulang tidak terlalu sore. Setelah parkir di area khusus dosen, aku pun berjalan melewati lorong kampus, menuju kelas Andini. Satu menit lagi jam akan dimulai dan kulihat kelas Andini sudah tak ada dosen.

"Pagi, semua," sapaku ramah pada seluruh penghuni kelas.

"Pagi, Pak," jawab mereka serempak.

"Inspektur tidak dibawa, Pak?" pertanyaan itu keluar dari mahasiswi yang sempat hilang kemarin. Aku menoleh, lalu tersenyum sambil menggeleng. Sekilas kuperhatikan wajahnya yang masih nampak murung, tetapi ia berusaha baik-baik saja.

"Baik, kita mulai presentasi kelompok hari ini. Silakan, siapa yang mau maju lebih dahulu," kataku pada anak-anak di kelas.

Sekelompok mahasiswa yang berjumlah lima orang maju sambil menarik kursi. Masing-masing mereka membawa buku catatan di tangannya. Acara presentasi pun dimulai. Pembukaan, pemaparan pokok masalah, hingga penyelesaian.

Diskusi berlangsung seru karena semua mahasiswa aktif. Kecuali Andini. Lagi-lagi dia tertidur di kursinya sambil sesekali menggaruk rambutnya yang kusut masai. Sekarang aku tahu, apa yang membuat para lelaki memutuskan Andini. Sikapnya yang sembarangan dan jorok, belum lagi efek pendengaran dan tulalitnya yang super minta ampun. Pastilah lelaki berpikir ulang untuk berpacaran dengannya.

"Andini, cuci muka sana!" tegurku saat mendekat pada mejanya. Ia terlonjak kaget sambil menggosok kedua matanya.

"Iya. Saya ke kamar mandi dulu, Pak. Maaf." Dia keluar dari kursinya sambil menunduk. Tidak sedikit pun ia melihat ke arahku. Mungkin saja karena kondisi hatinya yang sedang sedih. Paling tidak saat ini dia sudah kembali ke rumah dan bisa masuk kuliah. Itu sudah lebih baik, daripada dia benar-benar hilang entah di mana.

Jam yang cukup padat. Setelah dari kelas Andini, aku masih mengisi dua kelas lagi. Pukul dua siang baru selesai dan kini aku sedang menikmati makan siang yang hampir terlambat, di kantin. Kepalaku menoleh ke kanan-ke kiri, mencoba mencari keberadaan Andini. Siapa tahu ia nongkrong di kantin siang ini.

Betul saja, dari kejauhan aku melihat Andini dan seorang teman wanitanya yang persis duduk di sebelah Andini saat di kelas. Kalau tidak salah, namanya Tuti. Mereka berjalan menuju kantin tanpa berbincang. Nampak Tuti mengajak Andini berbincang, tetapi ekspresi Andini biasa saja.

Mereka duduk di kursi yang tidak jauh dariku. Kuputuskan segera menghabiskan makan siangku, lalu berjalan mendekat pada meja Andini. Gadis itu nampak tengah makan bekal yang dia bawa dari rumah, ditemani segelas jus jeruk.

"Halo, Andini. Halo, Tuti. Boleh saya duduk di sini?" ijinku pada keduanya.

"Eh, Pak Dev. Ayo, Pak. Silakan duduk," ujar Tuti mempersilakan ku duduk. Aku duduk dan sangat bingung mau memulai pembicaraan dari mana.

"Tapi maaf, Pak. Saya harus balik duluan. Bapak ngobrol sama Andini saja ya," kata Tuti nampak terburu-buru.

"Oh iya. Hati-hati di jalan," kataku pada Tuti. Dia pun berpamitan pada Andin. Tampak senyum yang dipaksakan dari seorang Andini, tetapi itu lebih baik karena sepertinya kondisi hati gadis ini mulai membaik.

Tuti berjalan meninggalkan kami berdua di meja paling pojok di kantin. Andini masih menyantap siomay bumbu kacang yang sepertinya sangat sedap. Aroma bumbu kacangnya membuat lidahku tergelitik ingin mencicipi.

"Bapak mau? Ini, saya masih ada satu box lagi." Dia pun mengeluarkan box makan berwarna merah dari dalam tasnya. Lalu ia berikan padaku.

"Terima kasih. Kamu kemarin dari mana saja? Semua orang mencarimu," ujarku dengan suara pelan.

"Gak kemana-mana, Pak. Hanya menginap di rumah nenek. Saya butuh waktu untuk sendiri," jawabnya dengan suara datar.

"Gara-gara lelaki itu. Adam'kan namanya?"

"Bapak tahu dari mana?" Kali ini ia cukup serius memperhatikanku. Sendok siomay ia letakkan di dalam mangkuk dengan kedua tangan berada di atas meja.

"Tahu dong," jawabku.

"Bapak dukun?"

"Bukan. Saya dosen."

"Kalau bukan dukun, dari mana Bapak tahu nama lelaki itu? Pasti Bapak dukun yang menyamar jadi dosen. Ya'kan?" Aku tentu saja tergelak mendengar pertanyaannya yang konyol.

"Saya tahu saja. Menurut saya, kamu itu harus move on dari lelaki yang tidak menghargai kamu. Lupakan dan temukan lelaki lain yang mungkin menyukai kamu. Seperti saya mungkin."

Huk!
Huk!
Huk!

Andini terbatuk. Cepat aku memberikan gelas berisi jus jeruk untuk dia minum. Setelah batuknya reda, aku yang mendadak horor ditatap seperti ini olehnya.

"M-maksud Bapak, Bapak menyukai saya? B-betul begitu, Pak?" tanyanya dengan gugup. Wajahnya kulihat merona karena malu. Semoga ini berjalan mulus dan Andini tidak pernah tahu jikalau aku hanya berpura-pura saja.

"Iya. Saya menyukai kamu. Kamu mau jadi pacar saya?" tanyaku sambil menatap wajahnya.

Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top