12. Saran Andrea

Aku sangat terkejut dengan info orang hilang yang dibagikan salah satu saudara Andini. Ada rasa khawatir menggelayut, saat tahu bahwa gadis itu tidak pulang ke rumah sejak semalam. Apalagi aku orang yang terakhir bertemu dengannya.

Apa ini ada kaitannya dengan lelaki semalam yang kami temui di restoran? Karena setelah dengannya, wajah Andini muram dan buru-buru mengajakku untuk keluar dari restoran. Sekarang apa yang harus aku lakukan, aku tidak tahu. Dengan jari gemetar, aku mengetik pesan inbox untuk saudara Andini lewat pesan facebook. Tidak, sepertinya aku harus segera ke rumah mahasiswiku itu untuk memberi penjelasan pada keluarganya.

Bubur ayam yang tadinya sudah ada dalam tenggorokanku mendadak tidak bisa kutelan. Rasa khawatir pada gadis itu lebih besar mengalahkan rasa laparku saat ini. Semoga tidak ada kejadian  buruk yang menimpanya saat ini.

“Mang, berapa?” tanyaku pada penjual bubur. Lelaki itu memandangku aneh, lalu menoleh pada mangkukku yang masih penuh.

“Buburnya tidak dimakan, Pak? Apakah tidak enak?” tanyanya dengan raut wajah tak nyaman.

“Bukan, Mang. Saya sedang ada keperluan, jadi buru-buru. Permisi, Kang. Ini uangnya,” kuberikan satu lembar uang sepuluh ribu padanya. Lalu aku keluar dari kios itu untuk memesan ojek online. Namun sayang, aku tidak tahu alamat rumah Andini, karena saat mengantarnya pulang waktu dari kampus, lewat aplikasi di ponselnya memesan taksi online. Keningku mengerut dalam, berpikir keras untuk mendapatkan alamat Andini darimana? 

“Bu Rita. Ah, iya. Semoga Bu Rita mengetahui alamat rumah Andini,” gumamku saat terpikirkan staf administrasi mahasiswa yang dipegang oleh Bu Rita. Dengan penuh optimis aku mengetik nomor ponsel Bu Rita. Awalnya ingin mengirimkan pesan saja, tetapi nanti lama dibalasnya. Hingga aku putuskan untuk menelepon saja.

“Halo, Bu Rita. Saya Pak Dev. Mau tanya, Bu. Mahasiswi semester empat atas nama Andini. Fakultas Ilmu Ekonomi dan bisnis, alamatnya di mana ya?”

“Oh, itu. sebentar Pak Dev saya cari dulu di laptop. Kebetulan saja lagi mengerjakan data mahasiswa ini. Tunggu ya?” 

“Baik, Bu. Terima kasih. Saya tidak tutup teleponnya ya,” kataku lagi dengan sedikit napas lega. Paling tidak ada orang yang bisa membantuku menemukan alamat Andini. 

“Ada, Pak. Di Perumahan Pesona Estate blok G nomor 14A. Pasar Minggu.”

“Baik Bu Rita, terima kasih banyak,” ucapku sebelum menutup telepon. Setelahnya, aku pun memesan ojek online sesuai alamat yang diberikan wanita itu. Ternyata cukup jauh juga. Kurang lebih setengah jam dari tempat aku berada.

Tak putus pandanganku memperhatikan jalanan yang aku lalui, berharap bertemu dengan Andini. Sebenarnya untuk apa aku lakukan semua ini? Padahal gadis itu bukanlah siapa-siapa. Hanya saja dia memang mahasiswa yang terakhir kali bertemu denganku, dan Andini pergi dengan meneteskan air mata. Terlalu lebay menurutku saat itu, tetapi aku tidak tahu apa yang membuatnya sampai sedih itu.

“Sudah sampai, Pak,” tegur pengemudi ojek online saat kami sudah tiba di depan rumah Andini. Aku tersentak dari lamunanku, lalu bergegas turun dan membayar ongkos ojek online sebesar empat puluh ribu. Kepalaku sedikit mengintip keadaan rumah dari balik pagar. Ada dua buah motor dan satu mobil sedan Toyota Nyaris putih terparkir rapi di garasi rumah Andini.

Gugup? Udah pasti. Belum pernah dalam perjalanan hidupku mengunjungi wanita ke rumahnya. Merekalah yang selalu mengejarku hingga hampir setiap hari bertandang ke rumahku. Itu dulu, saat masa jahiliyah menyelimuti hari-hariku. Bismillah, mau tidak mau aku harus masuk ke dalam sana untuk memberitahu keluarga Andini.

Teet!

Teet!

Aku memencet bel dua kali sambil menunggu dengan sabar untuk dibukakan pintu pagar. Seorang gadis muda yang wajahnya mirip Andini keluar dari dalam rumah dan menatap ke arahku dengan kening berkerut. Apakah ini Andini? Kenapa tidak bertemu semalam saja, tubuhnya langsung kurus seperti ini?

“Cari siapa, Pak?” tanyanya tanpa membuka pintu pagar.

“Maaf, kamu bukannya Andini?” tanyaku dengan heran.

“Bukan, Pak. Saya Andrea, kembaran Andini. Ada apa, Pak? Andini tidak ada,” katanya dengan wajah sedih. Pantaslah sangat mirip, ternyata Andini itu kembar. 

“Begini, semalam saya bertemu dengan Andini tanpa sengaja di sebuah restoran.’

“Oh, gitu. Emangnya Bapak siapa?” tanyanya lagi dengan rasa penasaran.

“Saya dosennya –Pak Dev,” jawabku memperkenalkan diri. 

Di sinilah aku berada. Di dalam ruang tamu keluarga Andini. Ada ibu, dan dua saudara kembarnya. Ya, ternyata Andini itu kembar tiga dan gadis itu adalah bungsu yang terakhir keluar dari rahim ibunya. Mereka mendengarkanku cerita dengan tenang, dari awal sampai akhirnya aku berpisah dengan Andini di depan restoran. Tak ada yang kurahasiakan, termasuk perihal rambut Andini yang dijambak oleh wanita –pacar dari lelaki yang mengajaknya makan malam.

“Jadi, kedatangan Bapak kemari mau apa?” tanya ibu dari Andini dengan berlinang air mata.

“Eh … mau apa ya?” aku mendadak kebingungan saat terlontar pertanyaan seperti itu. 

“Begini, Bu. Saya merasa ….”

“Sejak kapan saya nikah sama Bapak kamu? Jangan panggil ibu. Sepertinya kita seumuran,” protes ibu dari Andini membuatku menahan tawa.

“Ah, iya Mbak. Jadi, saya kemari karena merasa bertanggung jawab atas hilangnya Andini, Mbak,” terangku dengan wajah penuh penyesalan.

“Apa? Memangnya sudah berapa bulan anak saya hamil? Gak mungkin Andini hamil anak aki-aki. Saya tidak percaya!”

“Ibuu!” pekik dua saudara kembar Andini memperingatkan ibunya. Aku semakin tak paham. Apa iya Andini hamil? Duh, aku merasa darahku mulai beranjak naik.

“Maaf, Pak. Jika Bapak mengenal Andini dengan baik, maka ini adalah versi tuanya. Jadi, harap maklum saja ya, Pak. Ibu emang suka salah paham, jika tidak dijelaskan dengan baik. Persis banget dengan Andini, adik kami. Jadi, siapa lelaki yang ia temui semalam dan membuat dia ingin segera pergi dari restoran, Pak. Barangkali kami tahu,” ujar Andrea padaku. Saudara kembar Andini ini terlihat lebih dewasa dan lebih cantik. Coba dia saja yang jadi mahasiswiku, pasti aku ikhlas dan rido direpotkan olehnya setiap hari.

“Pak.”

“Eh, maaf. Nama lelaki itu Adam dan pacar wanitanya yang memakai seragam pramugari dan sepertinya lebih dewasa, bernama Flora,” terangku membuat dua saudara kembar Andini seperti sedang menahan kesal.

“Ya ampun. Adam lagi. Lelaki itu memang bajingan! Berulang kali dia mengajak saudara saya untuk balikan, maka berulang kali juga dia memutuskan Andini. Sekarang, dia malah berpacaran dengan seorang pramugari yang sudah pasti usianya lebih tua dari Adam. Sungguh keterlaluan!” umpat Andrea dengan kesal. Sekarang aku paham, kenapa Andini sesedih itu semalam? Ternyata karena perasaannya yang dipermainkan oleh lelaki seperti Adam.

Kenangan jaman aku muda kembali membayang. Ternyata sekecewa ini wanita dan keluarganya yang aku permainkan. Bahkan ada sebagian dari mereka yang membalas perbuatanku dengan menjebakku. Melihat Andini dan keluarganya membuatku iba. Jika dahulu aku sangat tak peduli dengan hal sepele seperti ini. Namun kini, aku iba pada Andini. Semoga dia tidak melakukan hal konyol di luar sana.

“Saya akan bantu cari Andini. Bisa tolong berikan alamat tempat Andini biasa berkumpul?” tanyaku pada kedua saudara kembarnya. Mereka saling pandang satu sama lain, lalu keduanya mengangguk.

“Begini, Pak. Kebiasaan Andini memang sedikit aneh. Jika sedang sedih, maka Andini akan mencari tempat orang yang sedang pesta pernikahan dan menyanyi di sana,” terang Aleta yang sejak tadi diam saja.

“Hah? Andini menyanyi di pesta pernikahan? Emangnya bisa? Pelaminan gak akan rubuh jika dia bernyayi?” tanyaku dengan polosnya. Kedua saudara kembar Andini tergelak sambil menutup mulut.

“Pak, Andini itu bukan Giant-nya di film Doraemon yang jika bernyanyi, pasti semua yang ada di dekatnya akan hancur. Meskipun dia istimewa, tetapi dia adalah saudara kembar kami yang paling luar biasa. Sebentar,” Andrea yang tadi duduk di depanku, kini bangkit dan memilih duduk di dekatku.

“Bapak jomlo gak?” tanyanya sambil berbisik dan aku mengangguk.

“Mau gak Pak, jadi pacar pura-pura Andini? Kasian saudara kembar saya, Pak. Plis … jika Andini ketemu, Bapak mau ya jadi pacar Andini? Pura-pura juga gak papa. Bantu saudara saya, Pak. Bagaimana?”

Bersambung 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top