11. Luka Andini
POV Devano
["Ish, cuma mahasiswa biasa, Sayang."]
["Ayah kok gitu? Siapa tahu dari mahasiswa biasa jadi luar biasa. Ayolah, Ayah pokoknya harus punya istri!"]
Perbincangan kami selalu seru dan memakan waktu yang panjang. Aku bahkan tak menyadari Arjun tertidur di pundakku dan Andini sudah kembali dari toilet dan bersabar menungguku di meja. Setelah mengucapkan salam, Amira pun menutup teleponnya. Aku kembali berjalan mendekati meja yang sudah tersedia aneka makanan di atasnya.
"Kamu gak pesan makanan? Pesan saja, nanti saya yang bayar," kataku pada Andini. Wanita itu mengangkat wajah, lalu kulihat ada air mata yang menganak sungai membasahi kedua pipinya.
"Loh, kamu kenapa?" tanyaku sedikit panik. Aki menarik kursi untuk duduk di sebelahnya.
"Lihatlah, Pak. Ini foto yang dibagikan dua saudara kembar saya. Ada yang dikasih hadiah boneka besar sama pacarnya. Ada yang diajak dinner romantis di sebuah restoran mewah. Ya Allah, saya malah malam minggunya dijambak Mak Lampir. Sungguh beruntung dua saudara saya dalam urusan percintaan,Pak. Tidak dengan saya. Eh, tapi saya beruntung ditemani dua malaikat. Yang satu malaikat penjaga surga, yang satu malaikat pencabut nyawa." Tunjuk Andini bergantian antara Arjun dan aku. Ya Tuhan, aku diperumpamakan dengan malaikat pencabut nyawa. Seseram itukah aku?
"Ck, ngapain punya pacar? Apa manfaatnya?" tanyaku penasaran. Anak jaman sekarang jika pacaran, bisa lebih hot daripada yang berumah tangga. Belum lagi panggilan mama papa yang membuat telinga panas dan perut serasa kembung. Tidak beda jauh denganku waktu jaman jahiliyah. Pokoknya kalau bisa tidak usah pacaran, langsung menikah saja.
"Pacaran itu manfaatnya banyak, Pak. Ada yang antar jemput kuliah, kayak ojol gitu. Ada yang traktir malam minggu. Ada yang dengerin kita curhat, ada yang perhatiin kita. Ada yang membuat kita senyum-senyum sendiri saat membaca pesan darinya. Pokoknya anulah, Pak. Emang Bapak gak pernah pacaran? Pantesan susah senyun." Cerita Andini panjang lebar membuatku hanya bisa menghela napas kasar sambil menggaruk kepala.
Alasan yang sangat konyol untuk anak seusia Andini. Harusnya dia bisa lebih dewasa bersikap dan tak sembarangan menaruh hati pada lelaki manapun. Baru diajak makan saja ya belum tentu mau dijadikan pacar bukan?
"Sudahlah. Kalau jodoh juga gak akan ke mana," ujarku akhirnya. Tak ada yang bisa aku sarankan perihal percintaan, karena aku pun gagal untuk urusan yang satu itu.
"Emang ke mana, Pak? Saya aja gak tahu," timpalnya dengan wajah polos. Mau tak mau, aku hanya mengulas senyum. Jika aku jawab lagi, maka nasi goreng seafood pesananku bisa berubah jadi nasi goreng setan karena terlalu emosi berbicara dengan Andini.
"Sini, biar Arjun sama saya. Bapak makan saja." Gadis itu mengambil Arjun yang terlelap, lalu menggendongnya dengan hati-hati. Beberapa waktu berlalu dan nasi dalam piringku pun tandas. Berikut satu gelas teh manis hangat. Sambil memainkan ponselnya, Andini dengan sabar memangku Arjun yang masih terlelap.
"Andini, kamu Andini'kan? Wah,udah punya anak? Kapan kamu nikah?" tegur seorang lelaki yang menghampiri kami di meja. Aku mengerutkan kening tanda tak paham. Sepertinya teman Andini ini salah paham pada kami.
Wajah Andini memucat. Dengan memaksakan senyumnya, gadis di depanku ini terlihat kaget dan tak nyaman.
"Kenalkan, ini Dev," ujar Andini memperkenalkanku. Bagai dihipnotis, aku pun tersenyum, lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Lelaki itu bersama seorang wanita cantik, tinggi, putih, dan sepertinya mengenakan seragam pramugari.
"Oh, iya. Ini calon istriku Flora," ujarnya memperkenalkan wanita yang berbanding tiga ratus enam puluh derajat dengan Andini. Kami pun bersalaman dan Andini masih sama kakunya.
"Pa, ayo pulang. Kasian Arjun kalau tidur gak nyaman gini," ajak Andini sambil menggerakkan kedua matanya, seperti memberi kode padaku.
"Oh, ayo!" Aku bangun dari duduk, lalu menggendong Arjun dengan tangan kiriku.
"Kami permisi dulu ya, Dam. Jangan lupa undang kalau menikah," ujar Andini dengan suara bergetar. Ia berjalan lebih dahulu, lalu aku menyusulnya. Begitu sampai di luar restoran, Andini menatapku dengan mata berair.
"Terima kasih atas bantuannya, Pak. Saya pamit dulu."
"Loh, kamu mau ke mana?" tanyaku heran. Jelas sekali raut kesedihan Andini begitu dalam. Pasti gara-gara lelaki itu. Wajahnya bagai tak asing, tapi di mana aku pernah melihatnya, aku pun lupa.
"Saya mau pulang, Pak. Terima kasih," ujarnya lagi yang sudah berlari menjauh. Aku hanya bisa menghela napas kasar sambil mengangkat bahu. Sepertinya Andini dan lelaki di dalam sana memiliki hubungan yang rumit.
Begitu sampai di rumah dan bersiap untuk tidur, aku masih memikirkan Andini. Apakah mahasiswiku itu sudah sampai di rumah atau belum? Apakah dia baik-baik saja? Ingin sebenarnya aku memastikan keadaannya, tetapi aku juga tidak mau nanti Andini menganggapku terlalu perhatian. Tahulah wanita jaman sekarang yang mudah sekali terbawa perasaan.
Aku memutuskan untuk memejamkan mata, mengusir rasa khawatirku pada gadis itu. Aku teringat akan Amira yang mungkin seusianya yang sudah meraih kebahagiaan dengan orang yang dicinta, tetapi Andini sepertinya memiliki luka berat dalam urusan hati.
Suara tangisan Arjun membuatku membuka mata kembali. Dengan senang hati aku berbalik dan menatap wajah balita yang sibuk memasukkan jari ke dalam mulutnya, menandakan ia sangat kehausan.
Wajah Arjun mengerut sedih, mencoba meraih wajahku. Tangan kirinya terulur minta ditenangkan dan dipeluk. Tentu saja aku langsung duduk dan meraih Arjun dalam dekapanku. Menepuk-nepuk pundaknya dengan maksud menenangkan. Hingga rengekan balita itu akhirnya berhenti. Aku meraih tangan kecilnya yang montok-montok, lalu mengecupnya dengan pelan.
"Arjun haus ya? Ayo, temani Papa bikin susu di dapur." Aku turun dari ranjang sambil menggendong Arjun. Kami berjalan ke dapur untuk membuat susu formula yang biasa Arjun konsumsi. Suara petir tiba-tiba menggelegar. Arjun terlonjak kaget, tetapi tidak sampai menangis. Aku kembali mendekapnya, lalu berjalan cepat masuk kembali ke dalam kamar.
Suara guyuran hujan disertai petir membuatku teringat kembali akan Andini. Apakah dia sudah sampai di rumah? Sambil menunggui Arjun yang menyusu, aku pun mengganti pampersnya dan juga pakaiannya. Setelah itu aku mengambil ponsel dan membuka media sosial. Kuketik nama Andini dan mencari foto profil yang kiranya mirip dengan mahasiswiku itu.
Ketemu! Statusnya setengah jam yang lalu. Keningku berkerut saat foto yang diunggah Andini adalah langit malam yang tanpa bintang. Tak ada kata apapun yang ia tulis di sana, hanya berupa foto saja. Apa maksudnya? Aku pun tak tahu. Segera kututup kembali akun media sosial Andini, lalu berjalan turun dari ranjang untuk melihat keadaan di luar yang sedang turun hujan dengan sangat deras.
Kumatikan lampu, lalu naik kembali ke ranjang. Kuputuskan untuk tidur saja, karena Arjun sudah kembali terlelap. Soal Andini, aku rasa tak perlu berlebihan dalam mengkhawatirkannya. Tidak mungkin wanita seperti Andini nyasar di jalan, atau diculik orang jahat. Kuputuskan untuk besok saja mengirimkan pesan pada gadis itu.
Minggu pagi, aku pergi berolah raga dengan jalanan aspal yang masih basah. Arjun masih tidur saat aku berolah raga pagi ini. Ada bibik yang menungguinya, sehingga aku bisa lebih leluasa menikmati pagi yang masih basah dan terasa dingin.
Kuputuskan mampir di sebuah kios bubur ayam. Pagi ini, menikmati semangkuk bubur adalah pilihan yang tepat karena cuaca yang masih mendung.
"Bubur satu, Bang. Kacangnya yang banyak ya," pesanku pada tukang bubur. Sambil menunggu pesananku dihidangkan, aku pun kembali membuka pesan WA dan akun media sosial Andini. Mataku membulat sempurna saat ada info dibagikan di beranda gadis itu.
Info orang hilang. Bagi teman-teman yang tahu keberadaan Andini (saudara kembar saya) atau yang pernah melihatnya terakhir kali, harap menghubungi nomor WA 0813XXXXXX. Sejak semalam Andini tidak pulang. Terima kasih
****
Bersambung
Hayoloh, Andini ke mana?
Buat yang penasaran banget lanjutannya, bisa langsung beli ebooknya di google Play Store ya atau mau mampir ke KBM App juga bisa. Di sana juga sudah tayang sampai tamat. Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top