10. Kencan Bagian 2

POV Devano

"Jadi, itu pacar kamu?" tanyaku pada Andini yang masih saja meringis meraba kepalanya.

"Bukan, Pak. Baru diajak makan doang. Saya berharap dia menyatakan perasaannya, tapi malah sudah punya pacar," omelnya dengan wajah sebal. Aku tak ingin menanggapi terlalu berlebihan, tetapi jujur anak jaman sekarang pada nekat dan berani, bahkan di tempat umum.

"Untung Bapak jadi Spiderman saya hari ini, kalau tidak, bisa botak saya dijambak wanita itu," tambahnya lagi sambil melirik keluar restoran. Jelas sekali wajahnya kecewa dan sedih, tetapi ia menutupinya.

Ada satu yang cukup membuatku heran, kenapa malam Minggu seperti ini, dia dapat berkomunikasi dengan baik? Biasanya, kepalaku pasti berasap saat berbincang dengannya.

"Sini, saya pangku Arjun!" pintanya sembari memberikan kedua tangannya. Aku pun berdiri untuk memberikan bayi gemas ini untuk dipangku oleh Andini.

"Eh ... Saya bukan mau pangku Bapak. Itu loh, Inspektur," ujarnya lagi dengan gugup. Seketika perasaanku mulai tidak enak, baru sebentar aku memuji dalam hati, dia sudah mulai gelay lagi.

"Siapa yang mau dipangku kamu? Ini saya mau berikan Arjun!" Dengan setengah kesal Arjun kuletakkan di pangkuannya.

"Arjun Sayang ... Nanti udah gede sama Kakak yaa?" godanya pada bayiku.

"Maaf, saya tidak menerima menantu seperti kamu," balasku sambil menahan tawa.

"Jangan dengerin Papa ya Arjun, kalau kamu cinta perjuangin aja," katanya lagi pada bayiku. Lagi-lagi Arjun tertawa-tawa sambil bertepuk tangan. Jika ada orang yang melihat kami seperti ini, tentulah pasti mereka mengira kami adalah pasangan ibu, anak, dan ayah.

Cinta? Entah sejak kapan aku merasakan apa yang namanya cinta. Sudah belasan tahun hati ini tak memikirkan hal itu. Pasti tak sembarangan wanita mau dengan mantan napi sepertiku. Apalagi jika mereka tahu, tangan kananku adalah palsu, bisa saja mereka ngeri dan tak mau berbincang lagi denganku.

Usiaku juga sudah tidak muda lagi. Jika sampai nanti tak ada yang mengurusku dan mau denganku, maka aku akan ke panti jompo saja. Tak mungkin aku menyusahkan Amira untuk merawatku. Gadis itu sudah melakukan hal banyak padaku. Salah satunya adalah membawaku berobat dan memberikan tangan palsu ini. Anak yang aku buang, malah mengangkat derajat ku di depan orang banyak. Tak pernah merasa malu dengan keadaanku yang serba cacat. Baik fisik, maupun kelakuan.

Kring
Kring

Ponselku berdering. Aku meraba saku celana hendak mengambil benda pipih itu dari dalam sana. Sekilas kulirik Andini yang tengah memberikan biskuit bayi pada Arjun.

["Halo assalamualaikum, Sayang. Tumben telepon ayah malam seperti ini?"]

["Wa'alaykumussalam. Lagi kangen, Yah. Ayah lagi apa? Lagi kencan ya?"]

["Ah, nggak. Lagi makan berdua saja dengan Arjun.]" Sontak Andini melotot ke arahku. Jelas sekali ia tidak suka dengan ucapanku barusan. Sungguh aneh, kenapa hal seperti ini telinganya jeli sekali mendengar ucapanku?

"Masa saya Ndak dihitung, Pak. Emangnya saya demit, gak keliatan?"

["Eh, Ayah lagi sama cewek ya? Siapa? Kenalin sama Mira dong."]

Aku lekas bangun dari kursiku dan sedikit menjauh dari Andini. Anak perempuanku bisa salah paham jika Andini selalu saja menyela ucapanku.

["Bukan, itu tadi ada mahasiswa Ayah. Gak sengaja ketemu di sini. Dia gendong Arjun. Cuma itu aja."]

["Yah, padahal Mira maunya saat ini Ayah lagi jalan sama cewek yang mau jadi istri Ayah. Menikah atuh Yah, nanti kalau Ayah sakit gak ada yang urusin bagaimana? Kalau Ayah kedinginan malam-malam gak ada yang peluk bagaimana? Masa kompor dibawa naik ke kasur biar anget."]

Aku tergelak mendengar ocehan Amira. Gadis itu selalu saja mampu membuatku tertawa bila berbincang dengannya. Ada saja lelucon yang ia utarakan agar aku bisa tertawa. Suatu  hal yang dulu tak pernah ada dalam hidupku.

"Pak, saya mules ini. Mau beobokeeker, boker! Nih, inspektur sama papa dulu ya!" tanpa menunggu persetujuanku, Andini menaruh Arjun di tangan kananku yang menganggur. Keningku berkerut tanda tak paham. Sambungan telepon dengan Amira pun masih terhubung.

"Apa itu boker?" tanyaku pada Andini.

"Ck, bukan joker, Pak. Tapi boker. Itu loh, yang merem melek, keringetan,  terus lega. Dah ya saya ke kamar mandi dulu!" Wow, otakku traveling entah ke mana saja.

Suara tawa Amira di seberang sana membuatku tersadar, bahwa kami masih tersambung.

["Ayah, siapa sih cewek itu? Lucu tahu. Ha ha ha ... Merem melek, terus lega. Dasar jorok! Ha ha ha ...."]

["Yah, kalau mahasiswinya jomlo, deketin aja. Kayaknya Ayah lebih cocok sama yang error daripada sama wanita normal."]

["Duh, dia bukan cuma error, tapi juga gaib. Nggaklah,Ayah gak mau sama cewek yang begitu. Lagian masih bocah kayak kamu."]

["Oh, masih muda dong. Dia masih Ting-Ting, dijamin masih Ting-ting."]

Aku pun tergelak lagi mendengar anak perempuanku tampak riang bernyanyi untukku.

["Namanya siapa, Yah?"]

["Eh, namanya ...."]

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top