Bab 8

Love dulu buat part ini ♥️

Jangan lupa follow vote and Coment 💜

Komen disetiap part-nya.. tolong tag juga temen-temen kalian biar ikut bucin 🤣🤣

Follow juga Instagram aku @wgulla_ agar dapet info dari cerita ini

****

Yola mencuri pandang ke arah Arsha. Mereka sekarang berada di dalam bioskop, anehnya Arsha memilih tempat duduk paling depan. Bukan hanya itu Arsha juga memilih film kartun Frozen untuk mereka tonton. Kebanyakan pengunjung bioskop berisi keluarga yang terdiri ayah, ibu dan anak. Yola merasa tersesat berada disini. Bahkan ada yang terang-terangan menatap mereka aneh.

Arsha nampak aneh, pria itu menonton tanpa ekspresi. Pandangannya lurus ke depan, disaat ada adegan lucu pria itu hanya mengernyitkan kening. Yola jadi penasaran apa yang sedang dipikirkan pria itu. Kenapa juga harus nonton kartun?

"Pak?"

"Iya."

"Bapak suka nonton Frozen ya?" tanya Yola.

"Tidak." Kening Yola berkerut mendengar jawaban Arsha. Terus kenapa malah nonton ini kalau tidak suka. Aneh..

"Kalau bapak tidak suka ngapain nonton ini?"

"Kamu yang suka."

Deg!

Darimana Arsha tahu itu. Jujur Yola sangat menyukai film-film kartun Disney princess. Bagaimana dosennya ini bisa tahu? Padahal Yola tidak memberitahu.

"Di cerita kamu part 27, disana tertulis kamu ingin menonton film Frozen bersama Arshaka." Ujar Arsha sambil menatap Yola. Di tengah gelapnya ruangan membuat pipi Yola merona. Untung saja Arsha tidak bisa melihat ekspresinya sekarang.

Apa itu artinya sedang berusaha mewujudkan khayalannya di wattpad? Namun di lain sisi Yola malu, karena menggunakan Arsha sebagai wujud kehaluanya di dunia wattpad. Ia jadi ingin tahu apa yang Arsha pikirkan. Apa pria itu tidak marah namanya dipakai? Yola hanya diam tanpa berani bertanya. Ia takut menerima kenyataan buruk.

Yola kembali menatap layar yang menayangkan manusia salju sedang bernyanyi. Nampak begitu lucu dan menggemaskan. Arsha masih betah dalam posisi diamnya, pria itu terlihat begitu dingin. Hanya berbicara disaat ingin atau ketika Yola memulai pembicaraan.

"Pak..." panggil Yola.

"Iya." Jawab Arsha tanpa menoleh. Pria itu fokus menonton. Katanya tidak suka tapi kok nonton?

"Bapak mirip deh sama Olaf." Ujar Yola sambil menunjuk sosok manusia salju di layar bioskop.

"Mirip apanya?" Kening Arsha berkerut bingung. Ia lebih tampan dari pada si snowman jelas ia tidak terima disamakan.

"Sama-sama dingin." Yola menyampaikan hal yang dipendamnya. Jujur ia agak canggung duduk berdua dengan Arsha yang sama sekali tidak mengajaknya bicara. Pria itu seperti membentengi jarak diantara mereka. Ia merasa tidak nyaman.

"Dingin? Kamu kebanyakan halu kayaknya. Coba pegang tangan saya, hangatkan?" Tiba-tiba Arsha menggenggam tangan Yola erat. Sontak hal itu membuat Yola salah tingkah. Tangannya bergetar bahkan dinginnya AC di ruangan tidak terasa berkat sentuhan Arsha. Sialnya lagi Arsha tidak berniat melepaskan genggaman itu darinya. Pria itu kembali menonton tanpa mempedulikan Yola yang sudah BAPER berkepanjangan.

***

Selesai menonton film, mereka sholat Maghrib di mushola. Yola menatap Arsha yang berdiri di sampingnya. Pria itu bilang akan membicarakan kontrak sambil makan. Mereka sedang mencari tempat makan.

"Mau beli boneka?" tanya Arsha di tengah keheningan.

"Eh- nggak usah repot-repot pak." Yola tidak enak sungguh. Cukup ia dibayarkan nonton bioskop dan makan jangan ada yang lain.

Arsha mengabaikan penolakan Yola. Pria itu menarik tangan Yola membawanya masuk ke dalam dengan paksa. Ia hanya ingin Yola mempunyai kesan yang indah jalan dengannya. Ia juga tidak ingin dikenal sebagai orang yang pelit.

"Pilih yang kamu suka!" Yola meringis mendengarnya. Ia bergerak kaku melihat berbagai boneka. Andai saja yang mengajaknya bukan Arsha tapi Vivi atau ibunya. Yola pasti tidak akan ragu memilih semua boneka.

"Ini aja pak." Yola mengambil boneka salju yang nampak lucu.

"Kamu beneran suka sama snowman?"

"Suka banget, Pak." senyum disudut bibir Arsha mengembang. Itu tandanya Yola menyukainya bukan, mengingat tadi di dalam bioskop Yola berkata jika dirinya mirip Snowman.

"Ada lagi yang mau kamu beli?" Yola menggeleng dengan cepat. Ia bukan siapa-siapa Arsha, ia tidak ingin di cap matre karena memanfaatkan kesempatan ini. Dibelikan boneka saja Yola merasa tidak enak apalagi yang lain-lain.

"Baiklah kita bayar dulu, setelah itu kita makan." Yola mengangguk, ia mengikuti Arsha ke kasir untuk membayar boneka tersebut. Semoga saja harganya tidak mahal kalau sampai di atas seratus ribu Yola bisa-bisa mati mendadak. Tidak lucu bukan sehari jalan sama Arsha menghabiskan uang pria itu begitu banyak.

***

Arsha memilih restoran Jepang untuk makan mereka. Yola jadi teringat salah satu adegannya dengan Arsha yang kebetulan juga makan di restoran Jepang. Mimpinya seperti menjadi kenyataan. Apakah pria itu mengajaknya makan disini karena novel yang ia tulis? Jujur seumur hidup Yola belum pernah makan di restoran Jepang. Bagi anak kos sepertinya lebih baik uangnya disimpan dari pada dihabiskan untuk membeli makanan mahal yang hanya sekali habis.

"Bapak yakin makan disini?"

Arsha tidak menjawab pria itu malah sibuk mencari tempat duduk. Yola mengekor, sepertinya Arsha tidak suka diajak bicara. Pria itu lebih suka berbicara kalau memang dirasanya penting.

"Kamu bisa pesan apa aja yang kamu mau." Perintah Arsha, ketika Yola duduk di hadapan Arsha.

"Saya samain aja sama bapak." Yola takut nanti menu yang ia pilih harganya mahal. Lebih baik Arsha aja yang memilih, lagipula pria itu yang mentraktirnya bukan?

Kemudian Arsha memanggil pelayan dan menyebutkan beberapa makanan yang mereka pesan.

"Pak ini jadikan kita ngomongin kontrak Penerbitan?" Jujur Yola ragu, karena ia tidak melihat Arsha membawa tas atau kertas perjanjian untuk di tanda tanganinya nanti.

"Tentu saja."

"Boleh saya lihat surat kontraknya pak?"

"Belum saya print." Balas Arsha santai. Mata Yola melotot mendengar itu. Lalu untuk apa mereka kesini kalau tidak membahas kontrak.

"Terus ini gimana pak? Katanya kita mau bahas kontrak."

"Besok datang ke kantor penerbit saya untuk kelanjutannya. Sementara saya akan kirim draft kontrak ke email kamu." Besok weekend jadi hari yang tepat untuk mereka bertemu. Arsha tidak memiliki jadwal di kampus. Yola mendesah mendengarnya, itu tandanya ia harus bertemu Arsha lagi. Kenapa dosennya ini tidak praktis sama sekali? Apa Arsha tidak bosan melihatnya setiap hari?

"Iya pak." Yola tidak busa menolak. Ia takut jika ia protes Arsha akan mempersulit skripsinya. Jadi nurut aja kata dosen. Namun masalahnya hari Yola tidak akan siap jika terus-menerus di dekat Arsha. Yola pasti bakal baper.

"Saya suka tulisan kamu."

Yola terkejut mendengar perkataan spontan Arsha. Ia menatap pria itu malu-malu. Baru kali ini ada cowok yang suka tulisannya. Biasanya mereka lebih suka fisiknya. Pipi Yola merona, siapasih yang tidak bangga tulisannya disukai oleh dosen sekelas Arsha.

"Makasih pak."

"Alurnya menarik beda dari tulisan yang saya baca. Biasanya cerita mahasiswa dosen itu karena perjodohan atau skripsi tapi kamu berani ambil tema tentang Karya tulis ilmiah." Jadi cerita yang Yola tulis tentang mahasiswi yang kesulitan dana untuk pergi presentasi ke Inggris mewakili kampus. Kampus hanya memberikan dana hanya untuk 1 orang, padahal dalam satu tim ada 3 orang. Mahasiswa tersebut juga mencari sponsor ke perusahaan. Namun ternyata juga tidak mencukupi. Dan Yola sebagai karakter utama tersebut nekat meminta dana ke Arsha sebagai dosen paling kaya di Universitas. Lalu Arsha mengiyakan, dengan syarat Yola harus menikah dengannya. Namun ada konflik lain, dimana Yola mengalami kecelakaan dan lupa ingatan. Yola tidak mengenali suaminya. Dokter juga menyarankan agar tidak memaksa ingatan Yola, karena akan menyebabkan sakit kepala yang luar biasa. Dari situlah mereka berpisah dan dipertemukan kembali Dengan Arsha sebagai dosen pembimbing.

"Terinspirasi dari kisah temen saya pak yang nggak jadi presentasi karena masalah dana."

"Saya suka cerita itu karena mengingatkan waktu saya kuliah dulu. Saya suka sekali presentasi karya tulis ilmiah, lomba debat, dan pertukaran pelajar. Bahkan saya hampir tidak pernah masuk kelas." Arsha mengingat masa-masa itu. Dosennya sampai heran karena setiap namanya diabsen pasti tidak ada dan alasannya tidak masuk adalah lomba ke luar negeri. Sampai dosennya pernah mengirimnya pesan kamu nggak bosen keliling dunia terus.

"Beneran pak? Jadi bapak bolosnya banyak dong?"

"Ya, paling saya cuma masuk di awal, tengah dan akhir mata kuliah. Lagipula dosen-dosen memakluminya bahkan langsung memberikan nilai A. Mungkin karena saya pulang bawa piala dan mendali coba kalau tidak hahaha..." Yola takjub ia belum pernah tahu masalah ini. Ia memandang Arsha baru kali ini ia melihat dosennya tertawa. Jadi begini cara orang pinter tertawa. Padahal menurut Yola tidak ada yang lucu sama sekali.

"Bukan hanya itu saya juga dibebaskan skripsi." Yola melotot seketika. Bagaimana bisa begitu? Sungguh tidak adil. Pantas saja dosennya ini selalu menyiksa setiap bimbingan. Lah Arsha sendiri tidak pernah membuat skripsi. Mama hikss tolong Yola..

"Waktu itu saya menang PKM tingkat Nasional mewakili UGM dan saya juga menjadi MAWAPRES tingkat Nasional yang diadakan Kemenristekdikti."

"Mawapres?" Yola hanya tahu perihal PKM tapi tidak tahu Mawapres. PKM itu Pekan Kreatifitas Mahasiswa jadi nanti semacam membuat proposal penelitian dan pengabdian sesuai tema yang ditentukan, proposal yang lolos bakal didanai.

"Singkatan dari Mahasiwa Berprestasi. Jadi nanti ada ajang pemilihan gitu, bukan hanya dilihat dari IPK aja tapi juga prestasi seperti lomba, karya dan pengabdian terus nanti kita diadu argument juga." Yola tambah insecure saat tahu jika Arshaka adalah Mahasiswa Berprestasi tingkat Nasional. Bisa dikatakan Arsha adalah mahasiswa terpandai se-Indonesia. Kalau dibandingkan dengan dirinya tentu saja jauh. Boro-boro Nasional sekelas aja tidak bisa ia raih.

"Saya baru tahu pak ada Mawapres."

"Di kampus kita nggak ada kayak gitu. Biasanya khusus buat PTN. Saya perwakilan dari UGM."

Meski PTS memungkinkan untuk ikut. Tapi tidak semua bisa daftar, biasanya ada beberapa persyaratan khusus seperti universitas yang memang berada di bawah kementerian ristek Dikti. Bahkan PTKIN seperti UIN/IAIN tidak bisa ikut karena berada di bawah kementerian agama.

"Oh pantes."

"Makannya saya takjub sama kamu yang bisa nulis novel sambil kuliah. Saya baru nemu mahasiswa seperti kamu yang berani mem-publish karyanya tanpa malu dan juga kamu konsisten sekali nulisnya nggak peduli mau dibaca apa enggak sama orang." Yola terdiam mendengar pujian dari dosennya. Padahal dulu teman-temannya selalu mengejek hobi menulisnya mereka bilang percuma ngabisin waktu, kuota dan pikiran.

"Di jurusan kita belum ada yang menjadi penulis buku seperti Tere-liye, Dee Lestari, Pramoedya dan lain-lain. Jadi saya berharap kamu bisa menjadi seperti mereka." Yola terdiam mendengar itu, baru kali ini ia melihat Arsha selembut ini.

"Iya pak semoga bisa Aamiin..." Yola juga mengharapkan hal itu. Apalagi ia sangat menyukai Tere-liye.

"Kamu tahu Yola, salah satu quote di novel kamu yang paling saya suka?" Yola menggelengkan kepalanya, ia terlalu malu untuk mengingat kata-kata gombal yang ditulisnya sendiri.

"Izinkan aku menjadi tulang punggungmu, dan maukah kamu menjadi menjadi tulang rusuk untukku?" ucap Arsha sambil menatap Yola.

Deg! Kalau begini bagaimana Yola tidak BAPER hiks... Sadar Yola ini bukan sungguhan. Arsha hanya mengatakan apa yang ia baca.

***

Gimana part ini?

Sebelum Next Vote dulu ya ♥️

Lapak Wajib Bar-bar

SPAM ♥️

SPAM 🔥

SPAM "AKU SUKA ARSHAKA" Buat yg mau tau kelanjutannya



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top