Start to everything or end for something?🔥 33

Day 23

Sepanjang hari ini, tatapan Jisoo selalu kosong. Sesekali ia berkedip namun pandangannya tetap kosong. Ia duduk di kantin YG Kplus sendirian.

"Ayo berkencan, Jisoo-ah."

Setiap kali ia beraktivitas kata-kata itulah yang terputar dalam benaknya.
Mau makan, mau mandi, mau kuliah, bahkan saat kerjapun tetap memikirkan kalimat sakral itu.

"Bisa gila aku lama-lama."

Duar!

"Uhuk!" Jisoo menyemburkan minumannya dan terbatuk. "Uhuk. Uhuk."

"Ah, maaf, maaf." Jisoo menoleh. "Ah, aku temannya Rosé, Sung Kyung. Tadi aku tak tahu jika kau sedang menyeruput minuman. Mian."

"Ah, tidak apa-apa." Jisoo melemparkan senyumannya.

"Aku duduk, ya."

"Iya, silahkan."

Sung Kyung bertopang dagu sambil melihat Jisoo. "Wah, kupikir mereka melebih-lebihkan kecantikanmu. Tapi, ternyata kau benar-benar cantik, Jisoo-sshi."

"Iya? Ah, masih banyak yang lebih cantik dariku. Kau juga cantik."

Sung Kyung tersenyum. "Lalu, apa yang membuat gadis cantik sepertimu melamun sepanjang hari?" Jisoo mendongak. "Apa ada hal yang sedang mengganggumu?"

Gadis itu menggeleng. "Tidak ada."

"Pasti bohong. Jujur saja padaku. Jika kau teman yang disegani Rosé itu artinya kau juga teman yang kusegani."

"Rosé ... bilang begitu?"

Sung Kyung menggangguk. "Walaupun tidak secara langsung dan jelas. Tapi aku tahu maksudnya."

"Bukan apa-apa, kok. Ini bukan suatu masalah. Hanya ..."

"Apa?" Sung Kyung menaikkan alisnya.

"... aku sedikit bingung."

"Tentang?"

"Namja," ungkapnya lirih.

"Aigoo, kau melamun hanya karena namja? Apa ini? Apa kau ditolak olehnya?"

Jisoo menggeleng cepat. "Ani, aku justru baru saja ..."

"Ditembak?" Tepat sekali pertanyaan itu. Jisoo lantas mengangguk. Anggukan itu membuat Sung Kyung tertawa. "Wae? Kenapa kau jadi bingung? Bukankah itu hal bagus?"

"Ini terlalu mendadak. Aku jadi terkejut. Sebenarnya juga ... aku ..." Sung Kyung menatap Jisoo penasaran, "yang menembaknya duluan saat mabuk," ucapnya cepat. "Ah, malu sekali." Gadis itu menutupi mukanya. "Aku pasti sudah gila."

Tak jauh berbeda, pengakuan Jisoo membuat Sung Kyung terkejut. "Kau ... bisa minum? Dan, kau ... menembak dia saat mabuk? Woah ... daebak."

***

"Kemaren malam aku bertemu ibumu."

Lisa terhenyak. "Terus?"

"Aku tak mau menyuruhmu pulang. Tapi aku berhak bercerita bukan?"

"Lakukanlah," ujar Lisa sambil tetap fokus pada makanannya.

"Dia terlihat tidak sehat." Lisa terdiam. "Dia sehabis keluar dari rumah sakit. Kebetulan kemaren aku baru saja check up ke rumah sakit." Lisa menoleh. "Aku benar-benar tak ingin menyuruhmu pulang." Hanbin menatap lemah manik mata Lisa.

"Apa yang harus kulakukan?" gumamnya.

"Pulang saja, bodoh." Bobby tiba-tiba menyela pembicaraan. "Lagipula memangnya kau tak butuh baju ganti? Selama ini kau selalu saja pinjam baju adiknya Hanbin kan? Bagaimana jika tiba-tiba adiknya Hanbin datang dari Busan?"

Plak.

Hanbin memukul kepala Bobby. "Dasar gila. Bisa-bisanya kau mempermasalahkan hal yang bahkan tidak diketahui oleh adikku. Memangnya siapa kau? Kakaknya?"

"Geureu, aku adalah kakaknya. Kau lupa? Dia memanggilku oppa tersayang, tapi memanggilmu idiot menyebalkan."

"Mau mati kau?"

"Karena itulah pulang saja. Lagipula aku tidak menyuruhnya keluar dari dorm atau menetap dengan ibunya. Apakah pulang adalah suatu kesalahan?"

Apa yang diucapkan Bobby ada benarnya. Pulang bukanlah suatu kesalahan. Hanya saja, perasaan ketika hendak pulang itu merupakan masalah yang besar.

"Aku akan memikirkannya."

"Kenapa kau harus memikirkannya?" sahut Bobby cepat. "Harusnya kau lakukan saja, bodoh."

Plak.

"Yak! Sakit, bego!"

Lisa bangkit dari kursi kantin dan meninggalkan kedua temannya.

"Ini semua gara-gara kau. Mulut ini tidak ada remnya apa? Kenapa selalu selong sih?" omel Hanbin.

***

"Ini adalah data rekam medis nona dua tahun lalu."

Rosé menerima berkas itu. "Terimakasih, dokter. Tapi bolehkah saya bertanya andai tidak mengerti?"

"Silahkan."

Rosépun melihat-lihat data rekam medisnya. "Dokter, apa mungkin, saya mengidap amnesia?"

"Hmm?"

Rosé menutup berkas data rekam medisnya dan menatap dokter tersebut. "Saya, apakah saya ada riwayat amnesia?"

"Sepertinya nona belum membaca kesimpulannya."

"Sebenarnya, saya tak cukup mengerti dengan hal-hal semacam ini."

"Ah," dokter itu menggangguk mengerti, "kalau begitu biarkan saya saja yang menjelaskannya. Jadi begini ..."

Rosé mendengarkan segala ulasan sang dokter dari hasil data rekam medisnya.

"Jadi, saya memang kehilangan separuh ingatan saya, dok? Akibat dari benturan keras di kepala bagian kanan saya?"

"Iya nona."

"Lalu ... apa dokter tahu, siapa orang yang membawa saya kesini dua tahun silam?" Dokter itu mengerutkan keningnya. "Maksud saya, kan dulu saya kecelakaan, pasti ada seseorang yang membawa saya ke rumah sakit ini." Bicara Rosé perlahan semakin pelan.

Dokter itu mencoba memutar kembali memorinya. "Saya tidak tahu namanya, tapi wajahnya, saya rasa masih bisa mengingatnya. Tapi, sejak kecelakaan itu, dia menghilang dari rumah sakit. Padahal lelaki itu ingin diwawancarai polisi."

Menghilang? - Rosé

"Lelaki itu?" gumam Rosé.

"Iya, geu namja."

Rosé keluar dari ruangan dokter tersebut. Tak banyak informasi yang ia dapatkan selain informasi perihal hilangnya separuh ingatannya. Dokter menganjurkan padanya agar tidak mencoba mengingat kembali memori yang telah hilang. Karena sebagian besar akan menimbulkan efek yang buruk terhadal kondisi mental pasien itu sendiri, sebab yang hilang itu biasanya ialah memori buruk.

Tapi ini tidak akan selesai bila aku tidak menemukan ingatanku yang hilang itu. - Rosé.

"Rosé-sshi." Seseorang menepuk bahunya.

"Bagai ... mana kau tahu aku disini?"

"Apa kau baru saja bertemu dokter itu?"

Rosé mengangguk. "Hmm."

"Lalu, dia bilang apa?"

"Ada." Rosé tersenyum.

"Tentu saja," ujar Jimin tiba-tiba. "Kau pasti tidak percaya padaku. Iya kan?"

"Hmm?"

"Kau tidak menceritakannya padaku karena kau tidak mempercayaiku. Benar kan?"

"Ani. Kenapa juga harus kuceritakan padamu-ani-aku tidak bermaksud begitu."

"Arraseo, aku hanya bercanda. Kenapa kau mendadak merasa bersalah?"

"Mian."

"Jika kau melukaiku atau menyakitiku, barulah minta maaf. Jangan minta maaf jika tidak melakukan kesalahan apapun."

***

Ting Tung ...

"Hallo?"

"..."

"Iya, saya sendiri. Siapa, ya?"

"..."

"Liem Tyson? Tidak. Aku tidak pernah mendengar namamu."

"..."

Jennie menghela gusar napasnya. "Ah, begitu rupanya. Maaf, saya tutup." Gadis itu langsung menutup telepon tersebut.

Tangannya mengepal erat. Kepalanya tertunduk.

Bug!

Ia memukul keras meja rias itu, "Argghh!!" lalu mengobrak-abrik seluruh alat make-up yang ada.

Seoyi membuka pintu ruang rias beberapa detik setelah mendengar bunyi gaduh itu.

"Waegeureu?"

Jennie tidak menjawab, ia hanya tertunduk lesu.

"Ibuku, akan menikah lagi." Itulah kalimat yang keluar dari mulutnya usai membisu selama beberapa menit.

Seoyi tidak bisa berkata apa-apa.

Matanya menjadi panas dan bulir air menetes perlahan dari sudut matanya. "Wae?"

***

Lisa meninggalkan sekolah dan berakhir dengan berdiri layaknya orang bodoh di depan rumahnya sendiri. Ia enggan melangkah masuk.

***

"Lalu, jawaban apa yang kau berikan padanya?"

Jisoo menenggelamkan wajahnya ke dalam siku tanganya yang tertempel pada meja. "Mungkin aku sudah gila."

"Apa sih? Kau menerimanya atau menolaknya?"

"Yes."

"Yes?" Sung Kyung mengernyit.

***

Rosé berjalan menghampiri mobilnya. Ketika hendak masuk mobil, Jimin menahan pintu mobil itu.

"Aku saja yang menyetir."

"Ah, tidak perlu Jimin-sshi. Aku baik-baik saja."

"Aku hanya ingin melakukannya. Bolehkan?"

Manik mata itu tersenyum pada Rosé, yang pada akhirnya membuat gadis itu mengangguk setuju.

***

Apa ini adalah awal untuk segala hal?

Atau

Ini adalah akhir untuk beberapa hal?

***

-TBC-

***

Rindu?

Rindu cerita ini?

Mianhae ...

Maddi lagi merangkainya supaya indah. Hehe.

Silahkan bayangkan sendiri kapal mana yang akan karam dan berlabuh.

Oke, Maddi gak mau banyak cakap.

See you 😙😙😙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top