Start for a little thing 🔥 34

Day 24

Derap langkah kaki gusar terdengar dari arah pintu masuk rumah sakit. Lelaki itu terus berlari, seolah telah mengenal tempat ini dengan baik, seolah kakinya telah memiliki tempat pemberhentian.

Srak.

Pintu kamar nomor 205 itu digeser kasar olehnya.

"150 joule! Mundur! Satu, dua, tiga!"

Lelaki itu berjalan mendekat dengan mata merahnya yang menatap pilu seseorang yang terbujur lemah di ranjang itu.

"200 joule! Satu, dua, tiga!"

Tubuh lelaki itu jatuh ke lantai.

"250 joule! Satu, dua, tiga!"

***

"Satu, dua, tiga. Oke, good."

Lisa berpose sesuai image bajunya. Swag and little sexy.

"Satu, dua, tiga. Oke ... pertahankan ... good. Selesai."

"Terimakasih banyak. Terimakasih." Lisa membungkuk pada seluruh kru yang ada.

Seorang lelaki datang menghampirinya. "Mau makan sesuatu? Aku akan membelikannya."

"Tidak. Aku sedang tidak lapar."

"Jangan seperti itu. Kau harus menjaga kesehatanmu, Lisa-ah."

"Oppa, sudahlah. Aku benar-benar tidak ada mood untuk makan," kesalnya. "Bagaimana aku bisa makan disaat seperti ini?" gerutunya lirih.

Manajer itu mendekatkan wajahnya pada Lisa, mencoba mencaru tahu asal perubahan mimik muka gadis itu. "Kau kenapa? Ada masalah?" Lisa menggeleng. "Katakan. Apa itu?"

Lisa terdiam, berpikir apakah ia harus menceritakannya atau tidak. Ia lantas menegakkan kepalanya memandang manajer itu. "Aku ini, apa hanya kau anggap sebagai manajermu saja? Kuijinkan kau memanggilku oppa karena aku menganggapmu sebagai adikku. Jadi, katakan, apa yang mengganggumu?"

"Begini ..."

***

"Selamat pagi," sapaan itu mengejutkan Jisoo.

Sebuah senyum cerah terarah padanya. Kim Jisoo mendadak mematung. Ada apa denganku? Dadaku? Jisoo berjalan cepat meninggalkan laki-laki itu.

"Hei," Jin menahan tangan gadis itu, "cuek sekali padaku?"

Jisoo menggeleng. "Aniya. Bukan begitu maksudku."

Jin menggandeng tangan Jisoo, membuat jantung gadis itu berdetak semakin tidak wajar. Otot-otot wajahnya mengeras. "Oppa, akan mengantarmu ke kelas." Pipi Jisoo memanas. "Khaja!"

***

Hari ini Rosé meminta libur dengan alasan sakit. Semua jadwalnya pun dibatalkan.

Gadis itu duduk di depan meja riasnya, menatap benda-benda yang akhir ini membuatnya pusing kepala. Pasalnya Rosé terus berusaha mengingat kejadian dua tahun silam namun hasilnya nihil. Yang ada kepalanya malah menjadi pusing.

Pertanyaan pertama. "Kenapa kantong plastik horor ini ada di mobilku?"

Pertanyaan kedua. "Kenapa ada surat di dashboard mobilku?"

Pertanyaan ketiga. "Kenapa pria itu menghilang?"

Pertanyaan keempat. "Kenapa aku tak bisa mengingat apapun sebelum kejadian itu?"

Ingatan yang tersisa di benaknya hanya tentang orangtuanya. Itupun ada juga yang sebagian menghilang.

"Argh!" Rosé mengobrak-abrik frustasi mejanya.

Harus kumulai darimana mengingatnya?

***

Kediaman Jeslyn Kim tampak ramai. Banyak tamu di halaman depan rumah. Kebanyakan adalah tamu Jeslyn sendiri.

Jennie melangkah masuk gerbang rumahnya diiringi tatapan para tamu. Risih. Tapi Jennie tetap harus melangkah masuk.

Di dalam rumah, telah berdiri ibu dari Jennie, Jeslyn, dengan gaun cream selututnya. Cantik. Gaun itu pasti desain ibunya sendiri.

Kenapa Jennie bisa datang di acara pertunangan mamanya?

Itu karena papanya.

"Mama mau nikah." Air mata Jennie turun deras. Berita ini sangat melukai hatinya. Tidak ada harapan lagi untuk keluarganya.

"Papa tahu, papa juga diundang." Jawaban itu semakin mengiris hati Jennie.

Ia begitu benci dengan keluarga ini. Mamanya yang selalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Papanya yang menceraikan mamanya secara tiba-tiba. Dirinya yang tidak memiliki saudara untuk saling menguatkan.

"Papa dataangg?" Nada bicara Jennie bergetar karena isak tangis.

"Papa harus datang. Lagipula, papa juga kangen kamu." Semakin deras saja air mata Jennie.

"Huaaa ... Hiks ... Hwaaa ..."

Ia benci dengan perempuan itu. Karena itulah ia datang kemari, untuk menunjukkan bahwa dia hidup dengan baik-baik tanpa ikut campurnya.

"Jennie-ah." Senyum perempuan itu mengembang ketika melihat anak sematawayangnya.

"Is she your daughter?" tanya lelaki di sampingnya.

"Yes, she is."

"So beautiful, like her mom." Liem tersenyum. "Hei, nice to meet you, Jennie." Lelaki itu mengulurkan tangannya.

Jennie tak meraih tangan itu. "I'm not glad to meet you, Mr. Liem Tyson."

"Jennie-ah apa yang kau-"

"No problem, honey. She just don't know me so well. Next time, maybe she will glad to meet me."

"Aku kemari hanya untuk memberi kalian hadiah ini." Jennie menyerahkan sebuah tas besar pada mamanya. "Juga, aku ingin mengambil beberapa bajuku." Gadis itu berlalu dari hadapan Jeslyn.

"Jennie-ah!"

Ia menoleh. "Nanti ku beritahu alamat dormku. Kirimkan saja undangan mama kesana. Aku terlalu sibuk untuk ikut campur urusan mama."

***

Manajer Lisa mengangguk mengerti. "Jadi kau kabur dari rumah karena marah dengan ibumu? Dan ini sudah hampir sebulan. Kata temanmu ibumu sakit, tapi kau tak bisa pulang. Begitu?" Lisa mengangguk.

"Hmm..." Sewon tengah berpikir, lalu tersenyum. "Ikut aku."

"Kemana?"

"Sudah ikut saja." Lisa menurut dan mengekori manajernya.

"Arraseo."

***

Seluruh mata menatap Jisoo penasaran. Gadis itu tak berani mendongak dan hanya tenggelam dengan bacaannya.

"Kau tak apa, Jisoo-sshi?" tanya Wonwoo khawatir. Jisoo mengangguk. "Serius?" Sekali lagi Jisoo mengangguk.

"Dasar rubah!" pekik Haemi tak tahan. "Bisa-bisanya kau berkencan dengan Kim Seok Jin!" Wonwoo memutar kepalanya. "Yak! Kim Jisoo!"
Mata Wonwoo membulat. "Kim Jisoo?" Ia menoleh ke arah Jisoo. "Memangnya siapa Kim Seok Jin?" tanyanya pada Jisoo. Gadis itu tak menjawab.

"BISA-BISANYA KAU BERKENCAN DENGAN ASDOS KITA!"

"ASDOS?" Wonwoo terkejut. "Jinjja?" Jisoo berdiri dari bangkunya dan berjalan keluar kelas. "Jisoo-sshi eodiga?"

Kim Seok Jin adalah pria idaman gadis sekampus karena dia tampan dan pintar. Tapi sekarang dia pacaran dengan Kim Jisoo, mahasiswi cantik dan pintar, hanya saja dijauhi banyak mahasiswi karena dia tidak bisa bergaul dan sebagian iri dengan hidupnya.

***

Apotik Kencana.

Lisa mendongak menatap tulisan besar itu. "Untuk apa oppa mengajakku kesini?"

"Beli obatlah."

Lisa memukul jidatnya. "Aigoo, oppa, kau ingin aku beli obat apa? Aku-"

"Untuk ibumu, Lisa," sela Sewon cepat.

"Ibuku?" Kening Lisa mengerut.

"Iya," jawab Sewon mantab. "Kita akan mengunjunginya hari ini. Kita mampir ke apotik lalu ke minimarket beli snack. Kalau perlu kita juga harus beli makanan untuk ibumu. Btw, apa makanan kesukaan ibumu?"

"Oppa," panggil Lisa.

"Hmm?"

"Aku bahkan tak tahu ibuku sakit apa," ujar Lisa.

Sewon terdiam. "Oh iya, benar juga, kau tak pulang ke rumah, ya?"

"Kita mau beli obat apa?"

"Ibumu," Lisa menaikkan alisnya, "pernah ada sakit apa gitu, Lis?" gadis itu menggeleng. "Tidak pernah sakit?"

"Bukan."

"Terus?"

"Aku tidak tahu. Aku baru tinggal di sini kurang lebih tiga tahun."

"Memangnya kenapa kalau baru tinggal di sini kurang lebih tiga tahun?" Sewon bingung.

"Ibu dan aku tidak pernah tinggal bersama. Aku sejak kecil tinggal dengan ayahku di Thailand. Sedangkan ibuku memutuskan kembali ke Korea Selatan, saat usiaku masih sepuluh tahun." Lisa mau tak mau harus menceritakannya pada Sewon. Karena sepertinya Sewon adalah oppa yang bisa dipercaya.

"Orangtuamu bercerai?" Sewon merasa tak enak hati. Ia membuat Lisa tak sengaja menceritakan masa lalunya.

"Tidak. Sampai ayahku wafat, beliau masihlah suami sah dari ibuku dan sebaliknya."

"Lalu kenapa?"

Lisa menggeleng. "Aku tidak tahu alasannya. Yang kudengar, ibu sedang ada bisnis besar di sini. Sedangkan ayahku tak bisa meninggalkan Thailand karena nenekku sakit-sakitan."

"Kau tidak ikut ibumu?"

"Aku tidak bisa berbahasa Korea saat kecil," jawabnya.

"Ah, jadi begitu rupanya."

Lisapun memutuskan untuk membeli vitamin dibanding obat, karena ia tidak tahu ibunya sakit apa. Ia juga mampir ke sebuah kedai, memesan Bulgogi kesukaan ibunya.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di kediaman Jung Hyo In, ibunya Lisa.

***

Jennie melangkah keluar kamarnya dengan satu koper.

"Aku kembalikan kartu kredit mama." Jennie memberikan kartu kredit yang diblokir itu pada mamanya. "Aku sudah memiliki kartu kredit sendiri, berkat mama."

"Apa kau harus melakukan ini pada mama?"

"Apa mama harus bertanya seperti itu padaku?"

"Jennie!"

"Aku ada kerjaan satu jam lagi. Jadi, silahkan mama nikmati pestanya dengan bahagia." Jennie menekan kata 'bahagia'.

Ia keluar dari rumah yang membuat gerah itu. Lama-lama disana sekujur tubuhnya akan terbakar.

***

Lisa menggigiti kuku jemarinya.

Untuk apa aku pulang?

"Kita balik ke kantor saja, oppa. Sepertinya ibuku tidak ada di rumah." Lisa berbalik menuju mobil.

Sewon menahan bahunya dan membalikkan tubuh Lisa. "Sudah terlanjur kesini, bawa makanan juga, sayang kalau tidak masuk."

Ting Tung!

Sewon memencet bel rumah tersebut.

Sial, kenapa dipencet sih?

Lisa tampaknya masih enggan masuk ke dalam rumahnya.

"Siapa ya?"

Sewon mendorong kepala Lisa ke kamera depan gerbang.

"Lisa-ah! Tunggu sebentar!"

Terdengar suara langkah kaki seribu dari dalam. Kemudian pintu gerbang itupun terbuka.

"Lisa-ah!" Perempuan paruh baya itu langsung memeluk putrinya. "Oemma mianhaeyo. Jeongmal mianhae."

***

Jisoo duduk sambil menutupi wajahnya. Terdengar isakan kecil keluar dari mulutnya.

Duar!

Gadis itu terlonjak kaget.

"Urro?" tanya lelaki yang mengejutkan Jisoo itu.

"Ani." Jisoo lekas mengusap mata basahnya.

"Geotjimal." Lelaki itu duduk di samping Jisoo. "Waegeureu?"

"Tidak ada." Jisoo menggeleng. "Apa kau kesini mencari Bu Dosen?"

"Apa kau kesini karena dibully temanmu?" tanya balik Bobby.

Pertanyaan itu membungkam mulut Jisoo.

"Memangnya seperti apa mereka itu? Apa yang kali ini mereka katakan padamu?"

Jisoo terdiam. Hal ini semakin menguatkan alasan dibalik perempuan itu menangis.

"Kau tenang saja, noona. Aku akan membereskan mereka. Siapa namanya? Kasih tahu padaku."

"Tidak-"

"Lee Haemi. Anak jurusan Ekonomi semester dua." Seseorang tiba-tiba menjawab pertanyaan Bobby. Keduanya menoleh.

Kim Seok Jin.

"Apa yang akan kau lakukan pada gadis itu, biarkan saja aku yang melakukannya." Kening Bobby mengerut. "Aku adalah namjachingu-nya." Seok Jin menunjuk Jisoo.

Laki-laki itu terkejut, sangat terkejut. "Pacar?"

-TBC-

***

Jika kalian bertanya kemana perginya Maddi, sekarang Maddi kasih tahu.

Jadi begini, sebagian dari kalian yang baca berandaku pasti tahu kalau aku punya dua akun, nah, aku lagi hype banget nulis Teenfiction di sana. Belum ku publish sih, tapi rencana akan di publish setelah aku selesai nulis sampai 10 chapter, dan sekarang sudah chapter 3.

Kenapa kok jadi nulis Teenfiction?

- Sebenarnya dari sebelum nulis Fanfict, aku adalah penulis Teenfict, hanya saja ceritanya selalu ku unplublish karena kekurangan imajinasi dan pembaca.

Terus gimana nasib fanfictnya?

- Masih, aku masih di fanfict tenang aja. Tapi mungkin sering kutinggal, karena gantian, selama ini kan fokus sama fanfict terus.

Jadi, maaf kalau cerita sering telat update.

Oke, itu aja sih.

See you 😙😙😙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top