Hurt 🔥 30

Day 21 (Lanjutan)

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya dulu pernah dirawat disini karena suatu kecelakaan. Nama saya Roséanne Park atau Park Chaeyoung. Tapi saya lupa nama dokter yang menangani saya, suster bisa tolong carikan data pasien dua tahun yang lalu, maksudnya data saya."

"Sebenarnya tidak boleh membocorkan data pasien, tapi berhubung pasiennya adalah agasshi sendiri, maka bisa."

Rosé tersenyum. "Terimakasih, suster."

"Silahkan tunggu. Nanti saya antarkan berkasnya."

"Terimakasih banyak, suster."

Jimin menghela napasnya. "Kupikir kau sakit, ternyata ..."

"Siapa suruh juga selalu memotong pembicaraan setiap kali aku ingin menjelaskan?"

"Ah, mianhae."

"Cham ..." Rosé mendengus.

Mereka sama-sama menunggu di kursi yang tersedia.

"Hmm, Rosé-sshi apa kau sudah lama bekerja di YGKplus?"

"Eoh? Oh, sudah empat tahunan, sejak masih SMA," jawabnya seraya tersenyum.

"Lumayan lama."

"Ne," balas Rosé. "Jimin-sshi sendiri sejak kapan menggeluti fotografi?"

"Aku sudah suka fotografi semenjak kecil. Tapi baru benar-benar belajar saat menginjak kelas tiga SMP." Rosè ber-ah-ria.

"Roséanne Park!"

"Saya!" Rosé mengangkat tangan.

"Ah, ini data yang agasshi minta."

"Ne, ghamsahamnida."

***

"Kita harus bicara. Ikut aku." Tatapan tajam dilayangkan pada manik mata Bambam. "Kau kejar Lisa, Bob."

"Baiklah."

Hanbin berjalan mendahului Bambam.

Bug!

Hanbin melayangkan tinjunya ketika mereka telah sampai di belakang sekolah.

Bambam mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Ia hendak melayangkan tinju balik pada Hanbin tapi sayang meleset.

Bug!

Hanbin kembali dapat meninju Bambam hingga membuat laki-laki itu tersungkur di paving.

"Kenapa kau selalu mempercayai jika pendapatmu itu adalah benar? Bangsat!"

Bambam menatap Hanbin. "Karena memang benar."

"Itulah bedanya kau denganku. Kau itu selalu menganggap semua yang kau lakukan itu benar dan yang lainnya salah. Kau tidak pernah memahami situasi orang lain, dan hanya peduli dengan pendapat pribadimu. Kau bahkan tidak pernah bertanya apa alasannya, lalu apa kau berhak membuatnya seperti itu?"

Bug!

Bambam menendang kaki Hanbin. "Kalau kau memang temannya, maka kau akan menjaganya bukan menjerumuskannya. Kau akan menyadarkan apa yang telah dilakukannya adalah salah bukan mendukung keputusannya. Brengsek!"

"Tahu apa kau tentang keputusannya?!" Hanbin perlahan bangkit. "Apa kau tahu semenderita apa dia selama ini? Apa kau pernah tanya alasan dia melakukan ini? Apa kau pernah memahaminya walaupun hanya sekali?"

"Dia tertekan. Dia sejak kecil tinggal bersama ayahnya bukan ibunya. Bukankah kau seharusnya lebih tahu itu dibanding aku?!" tambah Hanbin.

"Kau tahu kenapa dia tertekan?" Bambam masih terdiam. "Itu karena tidak ada satupun orang di sekitarnya yang memahaminya. Tidak sekalipun ibunya sendiri."

"Dia berjalan sendiri dan hidup sendiri walaupun ada ribuan manusia di dekatnya. Dia kesepian. Dia mencoba mencari cara menghilangkan kekosongan hatinya. Aku tahu, aku tahu jika keputusannya salah. Tapi jika aku menghalangi keputusannya, dia benar-benar akan kesepian di dunia ini."

"Bukankah setidaknya ada satu orang saja yang harus disinya?"

"KENAPA KAU BAHKAN TIDAK BISA MEMAHAMINYA? BAJINGAN!"

Bug!

"Inilah alasan kenapa dia membencimu. Sahabatnya..."

Bug!

"...sekaligus cinta pertamanya."

"Betapa hancurnya dia. Ditinggal ayahnya untuk selamanya. Tak pernah dapat kasih sayang dari ibunya. Dan sahabat sekaligus cinta pertamanya ... menghianati dirinya."

Bambam terkulai lemas. Matanya nanar.

***

Jennie memandangi ponselnya.

123 missed call.

Eomma.

"Apa dia hanya peduli denganku ketika membutuhkanku?" Setitik cairan bening luruh dari sudut mata Jennie.

Ia mulai menekan nomor yanhmg ia hafal.

Panggilan telepon berhasil tersambung.

"Appa ..."

Sebenci apapun Jennie dengan ayahnya, tetapi ia tetap tidak bisa lari kemanapun saat ini, kecuali pada ayahnya.

"Appa ... hiks ... hiks ...huaaa ..."

Malam ini Jennie membiarkan jendela kamarnya terbuka. Dingin masuk membekukan kulit gadis itu.

"Hiks ... Hiks ..." ia hanya menangis tanpa berucap apapun.

Hatinya terluka. "Huaaa ..." Sangat sakit. Apa aku ini benar-benar anaknya?

***

Lisa tidak pulang ke dorm. Ia pergi menenangkan diri ke club. Bagaimana bisa?

"Oppa!"

Oppa?

"Kwon Ji Young oppa!" Lelaki itu tersenyum.

Lelaki itu adalah kakak sepupunya Lisa. Club ini miliknya.

"Yak! Kenapa kau datang kemari?"

Lisa bergelayut manja pada lengan laki-laki itu. "Tentu saja untuk," 'tok' dia membuat bunyi serta isyarat untuk minum.

"Andwae." Ji Young menggeleng. "Kau masih di bawah umur."

Lisa cemberut. "Jebalyo, sekali saja. Aku ingin mabuk berat saat ini."

"Wae? Apa kau ada masalah?"

"Banyak. Makanya, bolehlah, ya?" Lisa mengedip-kedipkan matanya.

"Aish! Menjijikkan. Ada apa dengan aegyo-mu itu? Arraseo. Tapi hanya boleh satu botol saja."

Lisa mengangguk. "Yaudah tidak apa."

"Jangan kasih tahu teman-temanku, ya, oppa." Ji Young tidak menyahut tapi langsung pergi meninggalkan gadis itu. Sekilas ia tampak bicara pada bartende yang ada, mungkin mengatakan porsi alkohol yang boleh diberikan pada Lisa.

***

Jisoo telah berada di rumahnya.

"Ada apa aboeji?"

Bug!

Lelaki paruh baya itu membanting majalah fashion di meja depan Jisoo. "Apa ini? Jelaskan apa maksud foto ini?"

"Iya itu aku." Jisoo mengambil majalah yang dibanting ayahnya. "Memangnya kenapa jika ini aku?"

"Jisoo-ah ..." ibunya mulai panik saat mendengar ucapan Jisoo. Tidak pernah gadis itu membalas perkataan orang tuanya seperti ini. "Ada apa denganmu?"

"Aku baik-baik saja, umma, seharusnya umma tanya itu ke aboeji. Ada apa aboeji?"

"Cepat bereskan barang-barangmu dari dorm itu dan pulang ke rumah. Semakin dibiarkan, kau semakin melunjak saja."

"Shireoyeo! Aku memiliki hakku untuk memilih tempat tinggalku, appa." Kali ini ia memanggilnya tidak formal. "Aku sudah duapuluhsatu tahun. Aku memiliki hidupku sendiri. Aku tidak suka appa atur-atur."

"Oh, sekarang kau mulai berani menentang aboeji? Siapa yang membuatmu seperti ini? Karena kau bergaul dengan anak kos di dorm itu kan?"

"Jangan mencari kambing hitam," sela Jisoo. "Kesalahannya ada pada diri ayah sendiri."

"Nega?"

"Aku tahu aku anak tunggal disini, tapi aboeji lupa jika anak tunggalpun juga seorang manusia." Dada Jisoo mencoba menstabilkan napasnya yang keluar-masuk. "Manusia juga punya hak memilih hidup yang dia mau-"

Plak!

Jisoo lantas memegangi pipinya. "Woah ..." gadis itu tersenyum sinis. "Woah, cham ... begini rupanya." Gadis berambut hitam itupun menyahut tas dan mantelnya lalu pergi keluar dari rumah besar itu.

"Aku tak butuh persetujuan appa untuk melakukan apapun yang kumau. Selama sudah cukup hidupku sebagai manequin appa," ujarnya sebelum benar-benar berlalu dari hadapan kedua orangtuanya.

Diam-diam ia menitikan air mata. Diam-diam ia memijat-mijat dada kirinya. Diam-diam ia merasakan tercekik di lehernya. Bibirnya bergetar. "Aku ... berhasil ..." suaranya bergetar.

Akhirnya, Jisoo berhasil menyuarakan apa yang telah ia pendam selama duapuluhsatu tahun hidupnya di dunia ini. Lega tapi juga sakit. "Hiks ... Hiks ... Hiks ..." ia memukul dada kirinya.

Kakinya terus berjalan gusar. Sesekali ia juga berlari sambil mengusap sudut matanya yang basah. Malam ini dingin. Dingin sekali. Namun ia terus berjalan, entah kemana.

***

"Bintanggg ... di-langit, maalaam ... i-ni indah seekaali ..." ucapan Lisa bergelayut dan mulai tidak jelas.

Kwon Ji Young duduk di sampingnya sambil bertopang dagu melihat adik sepupunya itu. "Kali ini apa kau membunuh seseorang? Terakhir kali kau kesini karena kau membuat bonyok para namja. Dasar gadis gila."
"AA ... ku? Hmm ..." Lisa menarik senyum tipis dan menggeleng. "Ani." Ia menunjuk dirinya. "Akuu..." ia tersenyum, " ...yang dibunuh. Xixixi."

"Aish! Sepertinya kau sudah sangat mabuk." Ji Young mulai mengeluarkan ponselnya.

"Yak! Datanglah ke club, sekarang!"

"..."

"Jangan banyak tanya, cepat datang!"

Ji Young tak butuh basa-basi dengan teman-temannya Lisa.

Ketika Ji Young hendak pergi, Lisa tiba-tiba menahan tangannya. "Oppa!" panggilnya.

"Mwo?"

"Saranghae."

"Michin yeoja."

"Neomu ... neomu ... saranghae." Ia mempoutkan bibirnya berusaha tampak imut.

"Jijik. Untung adek sepupu."

Beberapa menit kemudian, muncul seseorang yag begitu akrab dengan Ji Young.

"Hyung! Lisa!" Belum-belum, lelaki itu sudah teriak-teriak.

"Hmm? Nuguu?"

Hanbin menarik tangan Lisa. "Hyung, aku akan mengantarnya pulang."

"Iya, iya, hati-hati." Ji Young telah mengenal Hanbin sejak masih SD, dia adalah hobae-nya saat itu. Ji Young juga sering bertemu Hanbin karena Lisa, sehingga ia mempercayai laki-laki itu. Hanbin sendiri telah beberapa kali menyeret pulang Lisa dari clubnya seperti ini.

"Lepaskan aku ... ubin." Hanbin tak merespon racauan Lisa. "Ubin ... uuu ... lepaskan akuuu ..." racauan itu semakin menjadi-jadi.

***

Rosé telah mendapat informasi siapa dokter yang menanganinya saat kecelakaan dua tahun yang lalu. Sayangnya, dokter itu kini tengah melakukan perjalanan liburan ke Belgia bersama keluarganya.

Rosé meletakkan kembali berkas-berkas datanya ke dalam laci mejanya.

"Untuk bisa mendapat rekam medis, agasshi harus mendapat ijin dari sang dokter terlebih dahulu. Prosedurnya seperti itu, agasshi."

Gadis itu menghela napasnya. "Kapan aku bisa mendapatkan rekam medisku?"

Di kamar ini, ia sendiri. Suasana saat ia berada di apartemen muncul lagi. Sepi.

"Kenapa belum ada yang pulang?" gumamnya.

Ia tidak tahu saja, Jennie sudah berada di kamar dan tengah menangis tersedu-sedu.

-TBC-

***

Kenapa para orangtua selalu merasa benar dan tak membiarkan anak-anaknya berpendapat?

Yah, beberapa orangtua memang seperti itu, karena mereka sayang, tapi kasih sayang yang mereka tunjukkan itu salah.

Sayang seharusnya tidak membebani dan tidak mengekang? Sayang itu cukup awasi dan lindungi. Biarkan anak berpendapat, jika salah baru boleh benarkan. Bukan malah membuat para anak setuju dengan pendapat orangtua.

Haih ... tiba-tiba saja kepikiran hal ini.

Semoga kelak, jika kalian telah memiliki anak, kalian semua tidak buta terhadap pendapat anak kalian. Jangan terlalu mengatur dan ikut campur urusan anak kalian.

Hahaha.

Ini hanyalah pendapat Maddi sih, pendapat dari kacamata seorang anak.

Anak juga manusia. Punya rasa punya hati.

Yaudah, see you 😙😙😙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top