Sab-'Aa
Pernahkah kau menjadi penguasa mutlak dari puncak perbincangan teman sekelas? Begitulah yang dirasakan Fiza di setiap kegiatan pembelajaran, terutama pada mata pelajaran Matematika.
Fiza sudah menyadarinya sejak awal. Ia tidak sebodoh itu untuk berlagak tuli atau teramat berbaik sangka atas segala kalimat buruk yang jelas-jelas ditujukan kepadanya. Fiza tahu, kok. Hanya saja, Fiza merasa tak perlu membuang-buang waktunya untuk sekadar meladeni orang-orang yang hanya berpotensi mengacaukan fokusnya menjelang pelaksanaan olimpiade tingkat provinsi.
"Yang pintar itu banyak, tapi yang koar-koar cuma dia aja, deh. Waktu kelas sepuluh, aku sekelas sama anak-anak yang langganan olimpiade. Tapi enggak ada yang separah dia, tuh."
Jam istirahat tiba. Bisik-bisik gunjingan itu terdengar lebih kencang dari sebelumnya, mengingat suasana kelas yang cukup ramai karena Pak Prana hendak menutup pertemuan. Dahi Fiza mengernyit tak terima.
"Bagus, sih, aktif di kelas. Tapi terlepas dari tujuannya yang mulia ... bukannya lebih baik belajar memperbaiki attitude lebih dulu?"
Aku enggak dengar apa-apa, aku enggak dengar apa-apa ... Fiza terus memberikan sugesti pada benaknya sendiri. Ia tidak boleh terpancing emosi. Tidak ada gunanya membalas orang-orang itu. Tidak ada. Anggaplah nada sumbang itu seperti kaset rusak yang hanya menyumbang polusi suara. Fiza sudah memejamkan mata, salah satu tahapan yang akan dilaluinya ketika berusaha meredam amarah. Akan tetapi, percakapan teman sekelas dari bangku belakangnya itu malah tambah keras di telinga Fiza.
"Iyalah! Attitude nomor satu. Belajar sopan santun, menghargai orang lain ... lihat aja cara dia nyerobot jawabannya Sani pas ditanya Pak Prana tadi! Egois, seenaknya, selalu mau mendominasi. Memangnya dia siapa? Kalau cuma pintar doang, setan pun lebih pintar."
"Sialan!" umpat Fiza yang diiringi suara gebrakan. Mejanya terdorong hingga sejauh satu meter ke depan. Untunglah Pak Prana sudah keluar kelas sejak belasan detik yang lalu. Fiza balik badan, melotot sempurna pada Devia dan Rani, dua anak perempuan yang terhalang satu bangku di belakangnya.
Tidak ada reaksi berarti dari kedua anak itu. Setelah tampak sedikit kaget, Devia malah meloloskan tawa sinis. Salah satu sudut bibirnya terangkat. "Apa? Kenapa? Lagi menghujat diri sendiri?"
Oh, sial ... Fiza malah melanggar prinsipnya sendiri yang berniat untuk tidak terpancing emosi. Fiza sadar bahwa tindakan impulsifnya yang barusan ini tidak sepatutnya dilakukan. Akan tetapi, semua terlambat. Lebih baik sekalian saja Fiza ledakkan.
Anak perempuan itu menghampiri kedua lawan bicaranya perlahan-lahan. Dengan tampang garang, Fiza melancarkan intimidasi penuh. "Tolong. Enggak usah melampiaskan ketidakmampuan kalian dengan menjatuhkan orang yang kalian anggap lebih mampu. Kalian tahu apa soal attitude, di saat kalian sendiri beraninya cuma bicara di belakang?"
"Oooh, mau dengar dari depan?" Tak mau kalah, Devia balas menatap Fiza dengan tajam. "Kamu itu egois, Fiza. Aku enggak pernah mempermasalahkan orang-orang 'mampu' kayak kalian, tapi aku udah muak sama tingkah kamu yang selalu menjadikan 'rasa mampu' itu untuk jadi nomor satu, sampai enggak peduli walau tindakanmu melukai harga diri dan perasaan orang. Ingat? Hidup itu bukan tentang kamu seorang! Sekarang paham?"
Seisi kelas yang biasanya ricuh di jam istirahat begini, mendadak saja sunyi senyap. Kehidupan mereka seolah terserap seutuhnya oleh peristiwa saling bentak antara Fiza dan Devia. Mendapati tak ada respons sama sekali dari Fiza, Devia pun menarik pergelangan tangan Rani untuk keluar kelas. Tersisalah Fiza yang masih bergeming, mematung di posisinya.
Tangan di kedua sisi tubuh Fiza terkepal kuat. Fiza menunduk dalam, tetapi tatapan manik cokelat terang itu menyimpan bara amarah yang begitu besar.
Tenang, tenang ....
Fiza menarik napas panjang, membiarkan pasokan oksigen mengisi penuh paru-parunya untuk mengusir invasi dari emosi tak terkendali. Cukup sudah. Suasana hatinya tidak boleh memburuk, atau pembelajaran di jam selanjutnya tidak akan mau masuk ke dalam otak. Fiza harus bisa profesional dalam mengontrol diri. Harus.
Pada akhirnya, hingga bel pulang berbunyi di setiap penjuru Ruwada sekalipun, Fiza memang berhasil melewati jam pelajaran yang tersisa dengan tenang. Sayangnya, Fiza tak bisa lagi menahan segalanya ketika sampai di rumah, apalagi begitu mendengar omelan Ibu yang jadi tambah cerewet sejak Kakek meninggal dunia.
Dukung terus Doon-Yea Game di Wattpad dan KaryaKarsa, ya!
See u next page!>.<
Pssst! Ketemu Kakak-kakak kece di Isekai Project, yuk!
1. WindaZizty
Tersedot ke dunia lukisan yang mengancam nyawa?😱
2. Yellow-Chocolate
Pindah ke tubuh diri sendiri versi sempurna ... tapi dibenci semua orang?😱
3. Zeanisa_
Terjebak di dunia novel bareng cogan kutub utara, padahal harus balik lagi biar bisa nikah?😱
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top