Khamsaa-'Asyaaraa
Gelap. Suram. Kelam. Ketika kedua manik cokelat terang itu terbuka perlahan-lahan, tak ada hal apa pun yang bisa dilihat Fiza selain gulita tanpa dasar. Telunjuk Fiza bergerak, menciptakan perubahan posisi dalam satuan milimeter saja. Fiza mati rasa. Sepasang tangan dan kakinya seakan mengambang di udara. Oh, keadaan ini ... jauh lebih tepat jika dianalogikan seperti sedang menyelam di samudera tanpa dasar.
Lautan dalam yang tak terukur ketinggiannya ini ... Fiza serasa ditelan semesta secara bulat-bulat. Tidak ada jalan pulang, tidak ada pilihan untuk kembali. Kehidupan di dalam air ini memenuhi indra pendengaran Fiza dengan kebisuan yang bising. Semu, jemu, dan tak tentu. Fiza ingin mengakhiri segalanya sesegera mungkin. Sudahlah. Tidak ada lagi yang perlu ia lakukan. Mau apa lagi? Menunggu air surut, lalu berharap adanya uluran tangan yang akan menariknya ke daratan?
Kerlip dalam netra cokelat terang itu meredup. Ia tak ragu maupun bimbang untuk menuju ambang batas ketiadaan. Sejak awal, Fiza memang merasa bahwa sebaiknya ia tak pernah memulai sama sekali. Kedua indra penglihatan Fiza memejam erat, bersedia untuk merengkuh datangnya Sang Akhir. Fiza terus tenggelam hingga ke bagian dalam air. Ia sudah begitu jauh dari atmosfer di atas permukaan, pasokan oksigen di kantung paru-parunya pun tinggal sedikit lagi. Seluruh unsur kehidupan Fiza sudah siap direnggut ....
Akan tetapi, Fiza tak merasa kehabisan napas sama sekali. Tidak ada sesak, sesal, maupun keinginan untuk menyelamatkan diri. Fiza hanya ingin terdiam ... tak peduli walau buas lautan menerkam hingga membuat Fiza selamanya bungkam. Fiza membiarkan dinginnya air menjadi pasukan yang berarak-arak mengantarkan tubuhnya yang kaku menuju batas ketiadaan makna.
Meski begitu, nyatanya Fiza tidak pernah benar-benar dibiarkan semesta untuk mengakhiri segalanya sampai di sini.
Temperatur yang cukup hangat mendadak saja muncul dari ujung jari Fiza, lalu menjalar ke bagian lengan, pundak, hingga seluruh badan. Kedua mata Fiza sontak terbuka lebar-lebar. Tidak. Ini bukan garis finis yang ada dalam guratan takdirnya. Bukan ... bukan yang ini.
Bagaikan mesin usang yang baru saja diberikan inti energi untuk menghidupkannya walau sudah tak dipakai dalam waktu yang lama, kehidupan Fiza yang nyaris padam itu kembali memercikkan setitik pendar. Cahaya itu berpijar, menyelimuti sekujur tubuh Fiza. Pada momen tersebut, barulah memori Fiza teringat pada apa yang telah dilaluinya setelah kecelakaan mobil boks putih. Kubus futuristik, hologram transparan, Doon-Yea Game, tubuh diliputi kabut, makhluk aneh yang mengaku sebagai NPC dan hendak memberikan Fiza kesempatan untuk memilih avatar terbaiknya ....
Seiring dengan berseliwerannya berjuta informasi yang sempat menghilang dari kepala Fiza, seluruh sendi kehidupan anak perempuan itu berangsur-angsur membaik, persis seperti suatu program yang di-restart. Ketika hendak mencapai tingkat tertingginya di seratus persen, semuanya kembali normal. Fiza kehabisan napas sebagaimana seharusnya. Tangan itu bahkan menggapai-gapai udara kosong di atasnya. Iya. Fiza memang tak sabar ingin mengakhiri hidup sedari tadi, tetapi tak kunjung bisa. Kini, ketika kesempatannya terbuka lebar, Fiza malah kehilangan keinginan itu.
Kalau saja dirinya diberi kesempatan untuk hidup kembali ....
"Dunia ini ...." Bisikan tak tuntas yang singgah di telinganya itu membuat Fiza berhenti berkedip di dalam air. " ... untuk kembali."
Detik berikutnya, Fiza mendapati nyala api keluar dari telapak tangan, menjilat-jilat air di sekelilingnya. Tak tahan dengan silaunya, Fiza pun menutup mata, lalu menggenggam erat tangan kanannya. Berhasil. Kobaran api itu lenyap seketika. Namun, pada saat yang sama, tubuh Fiza terpental jauh-jauh oleh energi tak kasat mata.
Kompleksitas persimpangan kehidupan ....
Perlu waktu yang cukup lama hingga akhirnya kedua manik cokelat terang Fiza kembali membuka, tetapi bukan lagi dasar air yang dilihatnya. Fiza mengedarkan pandangan ke sekeliling, terus menjelajahi ruangan kubus yang masih begitu familiar di ingatannya, tempat terakhir kali yang ada di rekaman memorinya sebelum Fiza terbangun di dalam air. Mimpi sajakah? Itu terasa nyata sekali! Bahkan Fiza belum bisa mengendalikan deru napasnya dengan baik.
Dari pojok ruangan, suara ketukan konstan di lantai mengiringi langkah Mun-Syii yang datang menghampiri Fiza dengan tablet berbahan hologram transparan dalam genggaman. Dehaman singkat Mun-Syii sukses menyita perhatian Fiza. "Ini hasil tes nukleat Anda, Mihraa-Boon Pi." Data dan grafik rumit yang keluar dari ujung jari Mun-Syii kini melayang di udara, terpampang tepat di hadapan Fiza.
Sama sekali belum sempat menganalisisnya lebih jauh, seluruh tampilan data tadi malah berbaur menjadi satu-kesatuan, membentuk gabungan dua huruf yang begitu asing di mata Fiza.
FS? Fiza Syauqi?
Ketika Fiza masih bertanya-tanya, Mun-Syii menjawab lebih dahulu. "Benar. Anda golongan FS, The Fire of Syaja'ah. Mari, biar saya antarkan menuju koleksi terbaik untuk seorang pengendali api seperti Anda."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top