'Isy-Roon
Mereka akan menguji kekuatan elemen masing-masing Mihraa-Boon. Pastikan kau jadi salah satu pemenang dan berhasil melaju ke fase selanjutnya.
Tiga detik, lima detik ....
Tidak ada yang terjadi. Entah di mana lokasi monster yang harus Fiza habisi. Apakah sebaiknya Fiza keluar elevator untuk memancing kemunculan mereka? Baiklah ... ide yang tidak terlalu buruk. Ketika Fiza keluar elevator dan menerima radar bahaya, Fiza tinggal masuk lagi ke dalam elevator. Ya. Seharusnya bisa berjalan dengan baik-baik saja.
Fiza menghela napas panjang, bermaksud mengisi ruang paru-parunya dengan kapasitas oksigen sebanyak mungkin. Ia belum memiliki gambaran mengenai monster yang akan ia hadapi. Segala kemungkinan buruk masih bergelayutan di kepala. Akan tetapi, entah seburuk apa pun keadaan nantinya, Fiza hanya bisa bertahan jika menggenggam ketenangan. Panik dan bertindak rusuh hanya akan merugikan dirinya sendiri.
Manik cokelat terang Fiza mengedari sekitar. Tangan kirinya mengeratkan cengkeraman pada senapan M-16 di pinggang Fiza. Anak perempuan itu masih bergeming di posisinya, berusaha mengatur deru napas dan detak jantung yang bertalu-talu dengan cepat. Oke, cukup. Mari sudahi semua ini.
Kaki berbalut sepatu hitam itu melangkah keluar elevator. Hal yang pertama kali meraih atensi Fiza adalah genangan air di dekat pijakannya. Ia sedang berada di dalam sebuah gua yang lembap. Persis ketika Fiza masih asyik mengamati sekelilingnya, elevator di balik punggung Fiza tiba-tiba saja menutup dan kembali naik ke atas, hilang ditelan kegelapan yang mengungkung.
"Tidak!" Tanpa bisa melakukan apa-apa, Fiza mengangkat tangan, bermaksud mencegah perginya elevator. Baiklah ... Fiza menarik senapannya. Tidak ada tempat sembunyi, sekarang.
Indra pendengaran Fiza menangkap suara deru mesin yang mendekat. Sepersekian detik kemudian, sekeliling Fiza dipenuhi elevator-elevator yang berdatangan dari balik kegelapan. Cahaya neon yang membungkus bagian atapnya berkedip-kedip ketika pintu elevator terbuka. Fiza langsung bersiaga. Apakah monsternya juga dikirim menggunakan elevator? Namun ... sebanyak ini! Apa tidak kurang ajar?
Lima belas detik menunggu dengan keringat dingin yang menjejaki pelipis, Fiza pun mengerutkan kening ketika mendapati yang keluar dari elevator bukanlah makhluk tinggi-besar berotot dengan tampang garang atau senjata mematikan, melainkan manusia-manusia yang berpenampilan tak jauh berbeda dari Fiza. Hal yang lebih rumitnya lagi; mereka sama-sama memasang raut kebingungan.
Kalau asumsi Fiza tidaklah keliru, mereka pasti Mihraa-Boon seperti Fiza. Itu pun kalau Doon-Yea Game memang tidak menyetel monster yang mereka bilang sebagai Jeen-Nee itu dengan kamuflase murahan begini. Iya. Monster tidak akan berpura-pura jadi pemain untuk sekadar mengelabui, 'kan? Begitu seluruh Mihraa-Boon keluar, elevator-elevator pergi ke tempatnya semula.
Semua orang menanti keheningan yang tidak berujung dengan berdiam diri di posisi masing-masing. Tidak ada yang berniat memulai percakapan maupun mengangkat senjata. Dalam diam, seluruh Mihraa-Boon di lubang gua itu saling mengamati satu sama lain, menganalisis segala kemungkinan, lalu memilih untuk menjejaki langkah yang dikiranya aman. Semua pemain menjaga jarak, sama-sama tak mau berurusan dengan risiko.
Tak tahan dengan situasi yang ada, seorang Mihraa-Boon dengan busur dan anak-anak panah yang diselempangkan di pundaknya memecah sunyi dengan kalimat singkat. "Halo ...."
Satu-dua detik kembali dilingkupi senyap, hingga pemain lain balas menyahut, "Kalian hendak menghabisi monster juga?"
Kepala-kepala mengangguk, mengiakan. Di saat situasinya sudah terasa lebih baik untuk memulai percakapan, dentuman kencang yang menggetarkan dinding gua itu sukses membungkam segalanya. Fiza mengokohkan langkah. Tidak ... jangan dulu senapan. Tangan kanannya meraba pegangan pedang yang tersampir di pinggang, bersiap menghunuskannya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Belum sempat indra penglihatan Fiza menangkap sosok monster yang tahu-tahu menyebar di dalam gua, beberapa Mihraa-Boon sudah tumbang lebih dulu, terkapar tak berdaya. Fiza menodongkan pedang. Manik cokelat terangnya terus mondar-mandir untuk memantau sekitar. Kericuhan terjadi di sana-sini.
Di saat itulah Fiza melihatnya. Sosok tak jauh berbeda dengan manusia pada umumnya, tetapi memiliki mata merah yang menyala di tengah kegelapan. Belum sempat Fiza bereaksi, monster itu memanjangkan lengannya untuk menyerang Fiza. Fiza mengelak, tetapi ia tidak siap dengan kemampuan Jeen-Nee yang memiliki otot elastis sehingga bisa merenggang seperti karet.
Tiga kuku Jeen-Nee sempat bersentuhan dengan pipi Fiza. Akan tetapi, Fiza tidak menyangka cakaran tipis itu sukses merobek kulit pipinya hingga mengeluarkan cairan merah darah yang segar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top