Ihda-'Asyaaraa

Sungguh demi apa pun ... hari Fiza tidak bisa lebih buruk lagi dari ini! Berurusan dengan orang lain adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Tidak bisakah pria itu bepura-pura tak melihatnya, lantas lekas-lekas menghilang dari hadapan Fiza? Kalau akal sehat Fiza tak mengingatkan akan adanya kemungkinan akibat dari tindakannya yang bisa saja malah mempersulit keadaannya sendiri, sudah dari tadi Fiza tendang saja pria itu agar mau menyingkir dan tidak bicara macam-macam.

Apa katanya? Kehidupan adalah game? Haha, Fiza bahkan tak tertarik untuk menjadi pemenangnya sama sekali. Memangnya, apa yang akan ia dapatkan kalau menang ataupun kalah? Semuanya akan tetap berakhir pada garis kematian, 'kan? Tidak ada gunanya. Pertanyaan konyol pria tersebut sukses menambah daftar omong kosong yang didengar Fiza hari ini. Dunia memang selalu menghadirkan hal-hal seperti itu, ya ... semu dan menjemukan.

Dengan keadaan badan yang masih tergeletak di atas trotoar, Fiza mendongakkan kepala untuk menatap sosok pria yang ditabraknya beberapa saat lalu. Pria muda, mungkin berkisar usia dua puluh atau menjelang tiga puluhan, berpakaian kaus putih yang dibungkus dengan jaket tebal berwarna hitam. Sekilas, atensi Fiza teralihkan pada tulisan KAI yang tercetak di kaus putihnya. KAI? Kereta Api Indonesia?

Pria di hadapannya ini mengenakan topi hitam yang diposisikan cukup rendah hingga menutupi sebagian besar wajahnya. Menyadari tak ada respons berarti dari Fiza---bahkan permintaan maaf pun tidak diterimanya---pria itu pun mengangkat kepalanya, balas menatap Fiza.

Tahi lalat di tengah-tengah dahi itu menjadi ciri khas yang langsung masuk ke dalam ingatan Fiza. Detik berikutnya, Fiza memalingkan muka, berharap lawan bicaranya mengerti bahwa ia sedang tidak ingin diganggu. Fiza bangkit berdiri, walaupun bagian bawah punggungnya masih terasa nyeri akibat membentur permukaan trotoar dengan cukup keras. Tanpa perlu mengucapkan beberapa patah kata untuk sekadar minta maaf maupun izin undur diri lebih dahulu, Fiza langsung mengambil langkah, melanjutkan perjalanan tanpa tujuannya.

Akan tetapi, pria aneh itu malah kembali bersuara. "Kau ...."

Aih. Apa lagi, sih? Orang-orang tidak bisa membisu walau sebentar saja, ya? Daripada harus mendengarkan segala hal yang hanya membuat suasana hatinya jauh lebih buruk lagi, Fiza pun mempercepat langkahnya. Lari, sebagaimana jalan keluar sekaligus solusi terakhir yang selalu dipilihnya selama ini. Lari, untuk ke sekian kali.

Sayup-sayup, Fiza mendengar ada gumaman tidak jelas dari arah belakangnya. Telanjur panik karena mengira bahwa pria asing itu mengikutinya, Fiza pun balik badan untuk berbelok dan menyeberangi jalan. Saking tergesanya, Fiza sampai tak menyadari adanya sebuah mobil boks putih berkecepatan tinggi yang melaju ke arahnya. Fiza tak begitu ingat seperti apa kejadiannya. Tahu-tahu, badan Fiza terpental jauh, kembali menghantam pijakan dan berguling beberapa kali.

Setelah badannya sudah berada dalam posisi diam, Fiza mencoba membuka mata. Akan tetapi, pandangannya malah memburam. Pemandangan petang menjelang malam yang kelabu, juga lampu mobil yang menyoroti tubuh kakunya di atas aspal ....

Entah karena kesadarannya mulai memudar atau bagaimana, Fiza seperti melihat ekor duyung yang sama seperti ekor duyung pada kotak paket misterius di kamar Kakek. Manik cokelat terang Fiza membuka-menutup perlahan-lahan, seolah tengah kebingungan di ambang batas dua sisi kehidupan. Sekujur tubuhnya dingin. Meski begitu, cairan merah yang menggenang di aspal membuat kepala Fiza terasa hangat. 

Aih ... apakah Fiza akan menemui kakeknya kembali?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top