'Asyaa-Raa

Deru mesin kendaraan terdengar membelah sunyi jalanan. Walau berada di kawasan jalan raya yang cukup besar, banyaknya kendaraan yang melintas di sekitar sini terbilang tidak terlalu ramai. Langkah kaki Fiza menapaki trotoar di pinggir jalan tanpa mengurangi kecepatannya sedikit pun. Satu-dua orang berpapasan dengan Fiza.

Entah ada di mana ujung perjalanan ini ... Fiza sendiri tak tahu titik pemberhentiannya.

"Kakek kenapa, sih, selalu keras sama Fiza?" Suatu hari ketika usia Fiza sudah cukup untuk mencerna dan membahasakan ketidaksukaannya, Fiza pernah menanyakan alasan yang melatarbelakangi didikan Kakek. "Fiza sebandel apa, sih? Walaupun bangun siang, Fiza tetap salat, kok. Ayah-Ibu aja enggak pernah marah. Kenapa Kakek sampai segitunya? Apalagi Fiza masih kecil banget, waktu itu."

Tidak. Jangan mengira hubungan Kakek dan Fiza terbilang dekat hanya karena anak perempuan itu bisa bertanya dengan leluasa. Karena pada kenyataannya, butuh bertahun-tahun bagi Fiza mengumpulkan keberanian untuk akhirnya bersuara. Kala itu, tak ada riak sedikit pun pada raut muka sang kakek. Pria dengan usia yang tak lagi muda tersebut terus mempertahankan tampang tegasnya.

"Kakek ingin mendidik kamu agar tidak terlalu berorientasi pada dunia, Fiza. Dunia itu sementara. Kalau kau mengejar hal duniawi, hanya keterbatasan kata 'sementara' yang bisa kau dapatkan. Kakek mau kamu sadar pentingnya akhirat, Fiza ... akhirat itu tujuan kita."

Pada waktu-waktu berikutnya, Fiza kembali menanyakan hal yang sama. Namun, jawaban yang ia dapatkan pun tetap sama. Akhirat, akhirat, dan akhirat.

Benar. Tidak ada secuil pun hal yang keliru dari perkataan kakeknya saat itu. Hanya saja ... seiring bergantinya hari demi hari, Fiza terus menimbun berjuta kesal, penat, muak, juga kebenciannya pada segala hal tentang Kakek. Puncaknya adalah ketika Kakek memarahi Fiza yang mendahulukan belajar matematika daripada memenuhi panggilan-Nya untuk segera mendirikan salat.

Selama ini, Fiza masih bisa menahan diri karena yang sedang dihadapi Fiza adalah kakeknya sendiri. Akan tetapi, emosi Fiza langsung membludak ketika mendapati aturan ketat Kakek mulai mengusik hal yang paling Fiza sukai; matematika.

Manik cokelat terang yang mulai berair itu mengedarkan pandangan ke sekeliling jalanan yang cukup sepi. Langkahnya masih berpacu tanpa arah. Kepalanya telanjur penuh oleh suara-suara bising dari masa lalu.

Kalau dipikir lagi, masalah salat dan matematika itu menjadi titik balik Fiza untuk mulai memberontak pada perintah Kakek. Muak dengan jawaban Kakek yang selalu saja menyebut akhirat, Fiza pun bertekad sejak saat itu. Fiza akan menorehkan prestasi di bidang matematika yang notabenenya merupakan ilmu dunia, kemudian menjadi orang hebat dan membuktikan pada sang kakek bahwa Fiza bisa unggul tanpa perlu berlebihan mengejar akhirat.

Sayangnya ... sebelum berkesempatan membuktikan itu semua, Kakek malah lebih dulu pamit dari dunia. Yah ... setidaknya pria lanjut usia itu bisa lebih cepat menemui akhirat yang sangat dicintainya.

Meski begitu, meski belenggu terbesar Fiza sudah membumi dengan tanah, ternyata tetap saja tidak ada yang akan mengerti Fiza. Ibu, Ayah, teman-temannya ... semua sama saja. Setetes cairan bening menjejaki pipi Fiza. Ketika pandangan anak perempuan itu memburam, badannya mendadak saja terpental ke belakang karena menghantam sesuatu yang kokoh.

Ketika badan Fiza terempas ke trotoar, terdengar suara berat seorang pria yang tak sengaja ditabraknya. "Jika kehidupan adalah game ... apa yang akan kamu lakukan untuk jadi pemenangnya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top