8. Penembakan
Halo guys, aku update lagi xixixii. Maaf rada malem, soalnya aku tadi rada capek baru pulang dari tempat magang hehehe
Kalian punya mantan gak?
Bener gak sih istilah mantan terindah itu harusnya gak ada? Soalnya kalo terindah, kenapa harus jadi mantan?
Happy reading❤️🔥
Dor!
Suara lesatan peluru terdengar dari kediaman keluarga Krisna. Avram yang mendengar itu seketika mengintip dari jendela kamarnya. Benar saja, para warga di komplek ini langsung ke luar berhamburan memenuhi jalanan komplek. Pria itu mengambil sarung tangan tebal dan plastik klip di laci guna berjaga-jaga. Setelahnya, Avram keluar dari kamar, lalu ke jalanan komplek.
Avram mengedarkan pandangan ke sekeliling guna menemukan sang pelaku. Namun, sudah tak ada orang yang mencurigakan di sini.
"Ini ada apa, ya?" tanya dagang sayur yang biasa pakai motor gerobak keliling komplek.
"Jendela rumah Pak Krisna pecah, itu ada bekas peluru," sahut warga lainnya.
Avram tak ikut nimbrung di pembicaraan tersebut, ia menjalankan kaki ke dalam rumah Krisna untuk mengecek kondisi mereka. Krisna dan Mely terlihat shock, bahkan Mely sampai menangis. Sekarang Avram mengerti mengapa Krisna mengusir Kiara dan memintanya untuk menjaga anak semata wayangnya.
"Om dan Tante ada luka-luka?" tanya Avram khawatir akan kondisi mereka.
Krisna menggeleng sembari memeluk Mely yang tengah sesenggukan. "Enggak, Avram. Syukurnya kami gak ada luka sama sekali. Tapi, tadi ada surat isi darah yang bilang, 'Ini baru awalan, nanti bakal ada teror lanjutan.'"
Cowok itu mengangguk paham. "Pasti Arjuna yang ngelakuin ini," gumamnya. Ia berjalan ke jendela, mengeluarkan sarung tangan tebal yang tadi ia bawa dari saku, lalu memakainya. Avram mengambil peluru tersebut, diamatinya bentuk benda itu. "Ini peluru yang biasa dipake sama polisi, jenis pelurunya Browning Hi-Power. Tapi, saya yakin pelakunya bukan polisi."
Avram paham akan persenjataan karena ia tertarik akan jenis-jenis pistol. Ia sering membaca mengenai itu di internet.
"Pasti antara Arjuna atau Mahardika pelakunya," spekulasi Krisna.
Avram mengambil plastik klip yang ia simpan di saku celana, ditaruhnya peluru tersebut di dalam benda itu. Ia berjalan ke arah Krisna dan Mely. "Apa perlu Om dan Tante pindah dari sini?"
Krisna melepas pelukan Mely, ibu jari sang pria mengusap air mata kesedihan yang mengalir di pipi Mely. Atensinya kini beralih ke Avram. "Kalaupun saya pindah, mereka pasti bakal cari saya ke mana pun saya pergi. Jadi, saya lebih baik diam di sini dan menyewa bodyguard untuk menjaga keluarga kami."
"Apa tidak terlalu berbahaya, Om?" Avram khawatir.
Krisna menggeleng. "Tidak, Avram. Kamu jangan khawatir, tolong jaga Kiara, ya? Saya percayakan Kiara sama kamu."
"Baik, Om," jawab Avram.
"Avram, jangan lupa kasih dia makan yang enak." Kini Mely yang berbicara.
"Tenang, Tante. Saya udah minta tolong sama temen saya biar kasih Kiara makan yang enak," balas Avram sembari tersenyum tenang.
"Makasih banyak, ya, Avram. Teman-teman kamu juga baik sekali pada Kiara." Mely bersyukur bisa memiliki kenalan baik seperti Avram dan teman-temannya.
"Kasihan sebenarnya anak itu harus hidup tanpa harta dari saya. Akan tetapi, saya tak mau mereka melacak keberadaan Kiara dari kartu itu. Teknologi sekarang canggih, apa pun yang berkaitan dengan teknologi, kemungkinan besar bisa dilacak," ujar Krisna.
Mely seketika terbelalak. "Jadi itu tujuan kamu nggak ngasih Kiara pegang kartu?"
"Iya."
"Maaf, Mas. Kartunya aku udah kasih Kiara," ucap Mely penuh sesal.
Krisna sudah duga, pasti Mely akan melakukan hal itu. "Ya ampun, Mely ...."
"Perlu aku blokir kartunya?" tanya Mely, panik.
"Nanti saja, Mely. Kalau mereka sampai melacak keberadaan Kiara dengan cara menyadap kartu, kita lapor ke Polisi karena mereka sudah mengganggu privasi kita dan penyadapan ilegal," jelas Krisna.
"Tapi, kalau keluarga Mahardika berperilaku sopan dan kooperatif saat diinterogasi Polisi, bisa saja, kan, dia dibebaskan?" tanya Mely.
Krisna tertawa miris. "Dibebaskan dengan alasan berperilaku sopan? Wah, konyol sekali hukum negeri ini."
"Jangan sampai hal itu terjadi pada kita, apalagi kita bukan selebgram," ungkap Mely tersenyum penuh arti.
"Yang saya khawatirkan adalah Kiara ingin menjadi panitia di acara kepanitiaan yang diadakan oleh HMJ Hukum," kata Avram pada mereka.
"Ya ampun, anak itu memang pintar dan tegas dalam memimpin divisi, tapi logikanya nggak pernah jalan di kehidupan sehari-hari," jawab Mely terheran-heran.
Krisna berdecak malas. "Maklum, anak kita bucin tolol," balasnya. "Avram, tolong kamu buat Kiara jatuh cinta sedalam-dalamnya supaya dia bisa cepat melupakan Arjuna. Saya yakin kamu juga sayang sama Kiara, kan?"
"Maaf, Om. Saya belum yakin kalau perasaan ini adalah perasaan cinta ke Kiara, tapi saya janji akan buat Kiara jatuh cinta sama saya."
"Nanti kalau anak saya sudah cinta kamu, tapi ternyata kamu gak sayang dia gimana?" tanya Mely terlihat was-was.
"Saya janji nggak bakal nyakitin Kiara," jawab Avram sedikit ragu. "Oh, iya. Om dan Tante sudah punya plan lain jika Kiara ketahuan oleh Arjuna? Entah kenapa feeling saya bilang kalo Kiara bakal ketahuan keberadaannya."
"Saya yakin memang bakal ketahuan, apalagi kartunya sudah diberikan ke Kiara. Oleh karena itu, saya titip Kiara ke kamu, saya juga nyewa bodyguard khusus buat Kiara dari jarak jauh."
"Maaf, Om, kalau saya lancang, tapi bukankah lebih gampang menjaga Kiara kalau Kiara bersama Om?" Avram tak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan oleh Krisna.
"Saya takut kalau kami dibunuh oleh mereka, Kiara juga ikut terbunuh. Makanya, saya pisahkan dia untuk sementara."
Jawaban itu membuat Avram tak bisa berkata-kata. Sedih rasanya keluarga Krisna terkena dampak dari kasus Papanya, tapi dia juga bersyukur keluarga Krisna sungguh baik kepadanya, walaupun orang-orang sudah menghakimi keluarganya.
Drrrt.
Suara dering ponsel Krisna bergetar di saku pria itu. Tangan kekar sang lelaki mengambil benda pipih dari saku, ditatapnya layar tersebut. Rupanya, Dita yang menelponnya.
"Halo, Bu Dita," ucap Krisna.
"Pak, kami memutuskan untuk pindah ke Bali saja, kami capek diteror terus oleh keluarga Mahardika."
Krisna terlihat panik. "Jam berapa pesawatnya berangkat, Bu?"
"Jam satu pagi nanti, Pak," jawabnya.
"Baiklah, kalau begitu nanti saya antar ke bandara, ya?" Krisna merasa ini menjadi tanggung jawabnya mengingat Dita diteror karena berada di pihaknya.
"Iya, Pak. Terima kasih atas kebaikannya selama ini."
"Sama-sama, Bu. Semoga Tuhan memberkati ibu."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya."
Bip.
Setelah itu, Krisna menaruh lagi benda pipih itu di sakunya. Ia kini menatap Avram. "Avram, Om dan Tante nanti ke bandara jam satu pagi. Kamu tolong jaga diri, ya, saya takut musuh mencari celah."
Avram mengangguk. "Siap, Om."
Sekarang giliran Avram yang ditelepon oleh seseorang. Ia mengambil ponsel tersebut di sakunya, lalu menerima panggilan itu dengan menekan tombol hijau yang ternyata dari Sheila.
Drrt.
"Avram, gue sama Mita mau latihan paduan suara, Kiara jadi sendiri di rumah."
"Ya udah, kalo gitu gue ke apartemen lo," kata Avram.
"Sip, hati-hati, Avram."
"Lo juga hati-hati, Sheila."
Bip.
"Om, Tante. Saya ijin pamit dulu, soalnya Kiara mau ditinggal latihan paduan suara sama temen saya," pamit Avram pada mereka.
"Oh, begitu. Titip Kiara, ya," jawab Mely tersenyum ramah.
"Siap, Tante," balas Avram. Ia bergegas pergi dari rumah keluarga Krisna. Ia menundukkan sedikit badannya kepada Mely dan Krisna. "Mari, Om, Tante."
"Mari," jawab mereka serempak.
***
Setelah lima belas menit perjalanan, Avram akhirnya sampai apartemen Sheila. Ia merogoh ponsel guna menelepon Kiara agar dibukakan pintu ruangan apartemen.
"Kiara, tolong bukain pintu, ini Avram."
"Oke, Avram."
Bip.
"Silakan masuk," ujar Kiara seraya membukakan pintu untuk Avram. Ia terlihat membawa buku, tapi tak terlihat sampulnya karena ia lipat.
Avram mengangguk. "Makasih, Ra." Lalu berjalan ke dalam apartemen. Sesampainya di sana, ia duduk di sofa panjang depan televisi.
Kiara menutup pintu, langkahnya berjalan ke tempat Avram duduk. Ia turut duduk di samping Avram. "Lo mau minum apa?" tawar Kiara.
"Gak usah repot-repot, Ra. Santai aja." Pandangan Avram beralih ke buku yang Kiara lipat. "Btw, lo lagi baca apa?"
"Oh, ini buku Hukum Agraria, gue baca-baca dikit biar gak lupa sama pelajaran," jawab Kiara memperlihatkan sampul buku itu.
"Lo suka belajar Hukum Agraria?" tanya Avram membuka topik pembicaraan.
"Enggak, sih, sebenernya. Gue kurang suka Hukum Agraria, mendingan Hukum Pidana, soalnya seru analisa kasus kejahatan, berasa jadi detektif dadakan," ungkap Kiara.
"Setuju, Ra. Gue yang males belajar aja lebih demen belajar Hukum Acara Pidana, bahkan lebih enak tes lisan. Ya gak, sih?" Avram terlihat excited membahas topik kali ini.
"Iya, jelasinnya juga lebih enak kalo lisan dibanding nulis. Selain itu, jadi tau kasus kejahatan, terutama di Indonesia. Yang paling banyak dipake di kelas gue kalo tes lisan mah kasus pelecehan, dengernya kasian banget."
"Lo harusnya kasian juga sama diri sendiri karena lo ngalamin hal yang sama." Beberapa saat kemudian, Avram merutuki ucapan bodohnya seraya menampar bibirnya. "S-sorry, gue gak bermaksud."
Kiara tersenyum maklum, ia paham bahwa Avram sebenarnya khawatir kepadanya. "Gue ngerti, kok, Vram. Gue sebenernya kasihan sama diri sendiri, tapi untung aja orang di sekitar gue pada nyadarin gue, walaupun caranya beda-beda."
"Maaf, Kiara ...."
"Selow, ih. Apaan coba pake minta maaf segala?"
"Makasih, ya, udah dimaafin." Avram tersenyum senang.
Kiara mengangguk. "Gue mau nanya sesuatu, tapi rada sensitif. Boleh gak, Vram?"
"It depends on your question."
"Gue selama ini gak pernah berani nanya, tapi gue penasaran gimana kronologi pembunuhan Pak Deddy itu? Kok bisa Papa lo yang dituduh?"
———————-
Spam apa aja di sini
Spam "Kiara" in here bestie❤️
Masih kesel gak sama Arjuna?
Suka sama Avram atau masih belum terlalu kenal sama karakternya?
200 komen dan 120 vote aku update yaa
Fyi baru keinget, di sini mumpung bahas sopan dalam persidangan. Jadi, sopan itu bisa meringankan hukuman, bukan membebaskan kayak salah satu selebgram itu. That's why aku heran kenapa bisa bebas, (tapi mungkin karena tuntutan 1 tahun penjara jadi bebas? Ga tau lah yaa, tapi tetep heran🤣) bukan hanya meringankan kayak yg nabrak itu. Itu pun dia divonis maksimal 5 tahun di pasal itu, tapi dia dapet 4,5 tahun itu udah WAH banget.
Kalo ada yg nanya, kenapa ga dihukum seumur hidup? Ya karena tuntutannya cuma satu pasal dan hukuman maksimalnya 5 tahun, kalo lewat dari 5 tahun kan ga mungkin ya. Jadi, aku rasa pihak yg berwenang sudah adil dalam memberikan keputusan. Soalnya banyak bgt yang "digoreng" sama media, sampe2 blg "miris hukum Indonesia." Apalagi dia blm pernah dihukum sebelumnya, jadinya ringan. Padahal, kalo yg kasus nabrak itu yaa emang segitu wkwkwk
Jadi informasi aja ya guis, aku gemes soalnya wkwkwk. Sebenernya seru kuliah Hukum, tapi kalo disuruh hitung warisan aku mager, apalagi hukum Islam yg warisan, susah bgt😩
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top