7. Rencana
Halooo, aku update nih xixiixi
Gak henti-hentinya aku ngucapin makasih ke pembaca yang udah aktif vomment. Aku usahain update cepet ya temen-temen❤️
Kalian lebih suka baca di novel atau wattpad?
Kalo ada typo atau kesalahan penulisan, tolong dikoreksi, ya❤️
Part kali ini panjang guis xixixi
Kalian kalo baca cerita lebih suka on going atau end? Maaf ya survei mulu kek sensus penduduk
Happy reading!❤️🔥
"Enggak jadi," jawab Arjuna, lalu berdiri dari sofa. "Kalo gitu aku mau main dulu."
"Ya udah, hati-hati," balas Mahardika.
***
Selama lima belas menit perjalanan menuju hotel yang sudah ia booking untuk bersenang-senang dengan Dian, Arjuna sudah memikirkan betapa enaknya permainan nanti. Ia menyesal kenapa tidak dari dulu menjadikan Dian sebagai kekasih.
Tak terasa derap langkah pria itu sudah menapaki pintu depan kamar hotel. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah dibukakan pintu itu oleh Dian, Arjuna langsung masuk ke dalam, lalu menutupnya kembali.
Arjuna memeluk Dian. "Baby."
Dian terlihat antusias menyambut kedatangan Arjuna. Ia membalas pelukan Arjuna. "Hi, Arjuna! Aku kangen banget sama kamu."
Pria itu tersenyum tipis, lalu melepas pelukannya. Ia menunjuk bibir tebal nan menggoda miliknya. "Cium dulu," titahnya pada Dian.
Dengan senang hati, Dian meraba sekujur benda kenyal tersebut, mendekatkan bibirnya pada bibir Arjuna, memberikan sengatan listrik yang membuat darah keduanya berdesir.
Arjuna tersenyum senang. "Good girl. Coba kalo Kiara, mana mau dia cium aku."
Dian berdecak malas. "Malah ngomongin cewek lain."
"Iya, maaf. Maksudnya kamu lebih baik dari Kiara, bisa nurutin semua yang aku mau," ujar Arjuna sembari mengelus lembut surai Dian.
"Kalo sayang, harus totalitas, dong," balas Dian terlihat bangga dipuji Arjuna.
Arjuna menarik tangan Dian ke ranjang, mengajaknya duduk di sampingnya. "Oh, iya. Tadi kamu nunggu lama gak di sini?"
Dian menggeleng. "Enggak, sih. Tapi, kalopun aku harus nunggu lama, aku rela banget," tangan cewek itu mulai meraba perut sixpack Arjuna dengan tatapan menggoda, "asalkan kita jadi main."
Arjuna memejamkan mata, menikmati elusan tangan Dian di perutnya. "Aku suka cewek agresif kayak kamu," bisiknya. "Btw, tadi aku udah sebar videonya."
"Aku juga ikut komen tadi," ujar Dian.
Arjuna terkejut. "Serius?"
"Iya," jawab Dian. "Kasian, ya, dia di-bully."
Pria itu tertawa jahat. "Siapa suruh Papanya Kiara itu gak mau bayar tebusan?"
"Walaupun kita gak dapet uangnya Papanya Kiara, tapi kita tetep jadi dugem, 'kan?" tanya Dian, lalu naik ke pangkuan Arjuna.
Ia memeluk pinggang Dian agar lebih dekat dengannya. "Jelas, dong. Nanti kita ke sana."
"Sambil nunggu malem ..," Dian membuka baju Arjuna, "kita main dulu."
"What a naughty girl."
"I take it as a compliment, Baby."
***
Mita dan Avram akhirnya datang ke apartemen Sheila setelah mengambil pakaian, dompet, dan buku mata kuliah Kiara di rumahnya. Tadi, Mely terlihat diam-diam memberi semua barang itu pada mereka. Mely mencari spot yang tak terlihat CCTV di rumahnya agar tak ketahuan Krisna.
"Halo, Kiara," sapa Mita menaruh koper di dekat meja.
"Hai," balas Kiara tersenyum ramah.
"Lo tenang aja, Avram gak lihat CD sama BH lo, kok." Ucapan Mita membuat Kiara menahan malu, apalagi Avram seketika tersenyum mendengar ucapan cewek itu.
"Heh, Mita! Kebiasaan banget mulut lo asal ceplos," peringat Sheila peka terhadap perasaan Kiara.
"Enak tuh dijadiin telur ceplos," ungkap Mita berusaha mencairkan suasana.
"Telur ceplok, Anying!" seru Sheila.
"Ceplok itu bukannya orang ciuman, ya?" tanya Mita, membuat Kiara dan Avram saling lirik sebentar, lalu tertawa kecil.
"Itu cipok, Bangsat!" Sheila ngegas.
Mita hanya tertawa puas melihat Sheila terpancing emosi. Baginya, memuncaknya emosi Sheila adalah kebahagiaannya.
"Maklumin mereka, Kiara. Emang rada gila," ujar Avram.
Kiara cuma tersenyum canggung, bingung mau jawab apa.
"Tapi lo betah, kan, temenan sama kita?" tanya Mita.
"Kena karma gue kayaknya temenan sama kalian. Kalo bukan karena itu, gue gak bakal gabung jadi anak TBL," jawab Avram.
"TBL apaan? Tambal ban?" tanya Kiara penasaran.
"Takutz bangetz loch, Raa. Lo nanti gue undang, ye," tutur Sheila.
Kiara menggeleng. "Gak usah, deh. Takutnya nanti kalian gak bisa ngomongin rahasia yang seharusnya gue gak boleh tau."
"Dih, rahasia apaan coba? Gak ada yang penting omongan kita, mah," jawab Mita.
"Sama gak pentingnya kayak lo." Sheila mulai mencari perkara.
"Mulut lo kayak tai babi!" marah Mita.
Sheila tak mempedulikan omongan Mita, atensinya ia alihkan ke Kiara. "Kiara, ini dompet sama kartu lo, tadi Mama lo ngasih ini ke gue. Baju sama buku matkul udah ada di koper," katanya sembari memberikan dompet Kiara.
"Syukurlah." Ia menghela napas lega. "Makasih banyak, ya, temen-temen." Ucapan Kiara begitu tulus kepada mereka.
"Santuy aja," balas Sheila tersenyum pada Kiara.
"Ra, lo besok kuliah gak?" tanya Avram.
"Kayaknya engga, deh. Arjuna soalnya terakhir kali aku denger lagi ngancem Papa, aku takut nanti bakal ada kejadian buruk," jelas Kiara.
"Besok lo bakal dijagain sama temen gue. Mereka baik, lo tenang aja," tutur Avram.
"Mereka cowok?" tanya Kiara terlihat was-was.
Avram mengangguk. "Iya."
"Oh, oke ...."
"Gue jamin mereka gak bakal apa-apain lo." Avram mengacak gemas rambut Kiara. "Besok pulang dari kampus gue langsung ke sini."
Kiara hanya mengangguk, ia masih terpaku akan perlakuan Avram. Arjuna tak pernah berusaha melindunginya seperti Avram. Namun, membuka hati setelah dapat luka baru itu hal yang sulit, semua itu butuh waktu.
"Aduh, tangannya bisa aja, Bang Avram," goda Sheila.
"Diam," hardik Avram.
***
Arjuna tengah berjalan di lorong kampus, ia rencananya hendak mencari Dian ke kelas. Namun, netranya menangkap ketiga sosok yang sering mengejeknya di dekat parkiran. Oleh karena itu, ia menghampiri mereka.
Arjuna menepuk bahu Avram. "Lo hati-hati sama Kiara, dia cuma manfaatin lo karena gak bisa move on dari gue."
Sheila dan Mita hendak berdiri guna menantang Arjuna, namun Avram menyuruh mereka untuk diam.
Avram berdecih. "Omong kosong. Mungkin Kiara sekarang belum bisa move on dari lo, tapi lihat aja nanti, dia pasti bakal jadi milik gue."
"Jangan halu, Bro. Gak baik buat kesehatan mental," ejek Arjuna terkekeh sinis.
"Bukannya mental lo yang rusak tuh sampe nyebar video orang?" tanya Avram.
Lautan emosi mulai menguasai diri Arjuna. Tangannya refleks mencengkram kerah baju kemeja Avram. "Woi! Gue sama Kiara sama-sama mau ngelakuin itu, Bangsat!"
"Ih, ada orang gila ngamuk. TBL TBL TBL!" celetuk Sheila sok heboh.
Arjuna menatap tajam Sheila. "Gue cium lo di sini auto nangis."
"Dih, bibir obralan aja bangga, yang ada nanti bibir Sheila kena HIV," cibir Mita.
Arjuna tak merespon lagi cibiran mereka, rasanya terlalu malas berurusan dengan orang julid, pasti tak akan ada habisnya.
Avram terlihat tenang, lalu menurunkan tangan Arjuna yang mencengkram kerahnya. "Jangan kaget kalo suatu saat nanti lo ditampar sama Tuhan."
"Gue gak percaya Tuhan!" seru Arjuna.
"Tuhan juga gak percaya bisa nyiptain manusia bangsat kayak lo," balas Avram.
***
"Nanti gue telpon lagi," ujar Kiara ketika melihat kedatangan Avram.
"...."
Kiara pun mematikan sambungan ponselnya guna memutus percakapan tersebut. Entah siapa yang dia telepon.
"Kiara," panggil Avram.
"Eh, Avram," sapa Kiara tersenyum ramah.
"Temen-temen gue mana?" tanya Avram mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar apartemen Sheila.
"Mereka ke minimarket bentar beli minum," jawab Kiara.
Avram mengangguk paham. Ia menaruh sekotak pizza di atas meja, lalu duduk di sofa depan meja. "Lo udah makan?"
"Belum," jawab Kiara, lalu duduk di hadapan Avram. "Tapi, gue udah sarapan, kok."
Avram berdecak malas. "Ini udah sore, Kiara. Lo harus makan sekarang."
"Lo harusnya gak usah repot-repot bawain gue pizza, Avram." Kiara merasa tak enak hati, ia takut menjadi beban. Sudah menumpang di rumah orang, dibelikan makanan pula.
"Santai aja, elah," balas Avram. "Sorry, Kiara, bukannya mau ngungkit luka hati, tapi lo yakin tetep mau ikut kepanitiaan yang diadain sama HMJ?"
"Tetep, Avram. Gue udah dikasih tugas, mau gak mau gue harus ngelakuin itu," ungkap gadis berambut panjang tersebut.
Avram rasanya ingin marah mendengar jawaban Kiara. Ia khawatir kalau gadis itu ke kampus, Kiara akan di-bully oleh mahasiswa di sana. "Di saat kayak gini, lo harusnya mikirin diri sendiri ketimbang orang lain. Orang lain aja gak mikirin lo kayak gimana. Coba, deh, gue tanya sama lo, emangnya ketua HMJ ada nanyain lo setelah kejadian kemarin?"
Kiara termenung mendengar penuturan Avram. Sebenarnya yang Avram bilang ada benarnya. Akan tetapi, ia merasa harus bertanggung jawab atas tugas yang sudah diberikan untuknya.
"Enggak, 'kan? Gak usah lo buang-buang energi buat orang yang gak sayang sama lo," kata Avram.
"Emangnya siapa yang sayang sama gue? Bahkan, orang tua gue ngusir gue dari rumah."
"Gue," jawab Avram.
"Lo?" tanya Kiara mengerut heran.
"Gue sayang sama lo." Di dalam hati, Avram merutuki jawaban bodoh yang meluncur dari bibirnya.
"Hah?" Ini antara Kiara yang bodoh atau tak peka akan perasaan Avram.
"Sayang sebagai sesama manusia yang harus saling menolong satu sama lain," kilah Avram.
Tiba-tiba, Andro dan Dimas datang membawa sekresek minuman. "Jiah, udah dateng, nih, Bos."
"Bos, Bas, Bos. Kalian ngapain tinggalin Kiara? Nanti dia kenapa-napa gimana?" tanya Avram bertubi-tubi.
"Waduh, khawatir beneran apa nggak, nih?" Andro menatap Avram penuh arti.
"Beneran, lah, Setan!" seru Avram.
"Gue mau beliin Kiara minum yang seger-seger," jawab Dimas.
"Gue gak dibeliin?" tanya Avram dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
"Dibeliin juga, kok. Tapi, lo bayar, ya?" ungkap Andro.
"Iya, gue bayar, sekalian sama harga diri lo," jawab Avram.
"Sange, dong, Vram," kata Andro.
"Santai, woi," koreksi Dimas.
Kiara terlihat menahan tawa ketika menyimak percakapan mereka. Ia sebelumnya tak pernah mempunyai teman seasyik mereka.
"Kalo mau ketawa, ketawa aja, Ra. Avram sengaja ngomong gitu supaya lo ketawa, biasanya dia gak seberisik ini," ujar Andro peka akan ekspresi Kiara.
"Oh, ya?" tanya Kiara antusias.
Avram paling tak suka saat Andro sengaja mengujinya. Sepertinya, Andro memang benar-benar penasaran apakah dirinya sungguhan sayang dengan Kiara atau tidak. "Gue kebelet, minggir!"
"Jiah, salting," goda Dimas.
***
Di kamar hotel, terdapat dua sejoli yang tengah terbaring di ranjang berwarna putih. Dian bersandar di dada Arjuna, sedangkan cowok itu mengelus kepala Dian sembari keduanya memakai selimut.
"Arjuna," panggil Dian pada Arjuna.
"Hm?" sahut Arjuna.
"Aku kebayang, deh, gimana sedihnya Kiara sekarang. Pasti dia lagi nangis-nangis kayak ibu-ibu di drama azab," ungkap Dian tersenyum puas.
Arjuna tersenyum penuh arti. "Aku bakal buat dia lebih menderita lagi."
"Apa rencana kamu selanjutnya, Arjuna?" tanya Dian penasaran.
"Aku bakal teror Kiara selama seminggu sambil cari tahu teror apa yang bisa bikin mental Kiara makin terguncang."
"Besok kamu mau teror dia kayak gimana?"
Tawaan sinis terdengar dari bibir Arjuna. "Tembak jendela rumahnya, lalu kirim surat pake tulisan darah ayam."
"Wow, kayak film action ala Barat." Dian berdecak kagum.
"Mentang-mentang kamu SMA di Amerika, kamu jadi ingetnya Barat. Padahal, film Asia juga ada yang kayak gitu," ungkap Arjuna mengacak gemas surai Dian.
"Maklum, aku dari kecil sampe SMA tinggal di Amerika. Bahasa Indonesia-ku aja baru semester ini fasihnya, logatnya juga udah gak bule kayak dulu," jawabnya.
Dian dulu memang sekolah di luar negeri, ia pindah ke Indonesia karena Papa dan Mamanya memintanya untuk berkuliah di Indonesia supaya kenal dengan negara sendiri.
Pasalnya, perempuan itu dari kecil tak fasih berbahasa Indonesia. Selain itu, kehidupan di sana tergolong bebas, tak heran jika Dian senang bermain ke club atau gaya pacarannya ala couple western.
"Kalaupun kamu pake logat bule dan gak fasih bahasa Indonesia kayak dulu, aku tetep cinta, kok." Arjuna merayu Dian.
Dian tertawa kecil. "Halah, kamu bisa aja."
"Bisa, dong. Apa, sih, yang enggak buat kamu?"
***
Dita—istri Almarhum Deddy dan anaknya—Satria yang berumur dua tahun datang ke rumah Krisna dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat panik. Ia menekan bel rumah itu dengan cepat.
Krisna datang ke depan guna membuka pintu rumahnya. Ketika melihat kedatangan mereka, ia langsung menyuruhnya masuk.
Fyi, ketika pembunuhan itu terjadi, ia tahu bahwa bukan Derry Barata pelakunya, melainkan orang suruhan Mahardika yang membunuh suaminya. Mahardika memang sempat berkoalisi dengan Deddy dalam pemilihan Gubernur. Namun, Dita tahu betul bahwa pria culas tersebut akan melakukan apa saja demi keuntungan pribadi.
Ia tak terima Mahardika bisa hidup bebas, sedangkan Derry harus menanggung perbuatan yang tak ia perbuat. Oleh karena itu, ia diserang terus oleh Mahardika agar tak bersaksi di pengadilan.
"Pak Krisna, tolong kami. Kami diancam lagi oleh keluarga Mahardika," ujar Dita.
"Bagaimana dengan pengacara yang saya kirim untuk kalian?" tanya Krisna.
"Katanya beliau mundur karena diancam terus, bahkan kemarin beliau diserempet oleh orang suruhan keluarga Mahardika," ungkap Dita terlihat sedih.
"Kurang ajar! Kalau begitu, Ibu dan anak Ibu tinggal di tempat lain untuk sementara."
"Tapi ... bagaimana dengan sekolah anak saya, Pak?" tanya Dita.
"Ibu tenang saja, saya akan bantu mengurus kepindahannya. Anak ibu mending home schooling saja. Nanti saya bantu biayanya." Krisna memberikan solusi.
"Tidak usah, Pak. Biar saya saja yang bayar, uang tabungan Pak Deddy masih ada sisa, kok. Saya juga jualan martabak manis tiap malam di pasar, masih cukup untuk biaya hidup kami," jawab Dita. Dita memang dari dulu senang berjualan martabak, walaupun Deddy kaya, tapi rasanya dia gabut kalau diam di rumah saja.
"Baiklah. Kalau perlu apa-apa, Ibu telpon saya atau Bu Mely, ya?"
"Iya, Pak. Maaf saya belum bisa bantu banyak untuk membebaskan Pak Derry." Dita merasa bersalah.
Krisna tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Bu. Saya juga mengerti bagaimana kondisi Ibu."
***
Dor!
—————————————————
112 vote dan 250 komen aku update yaa
Spam apa aja di sini
Spam emot kesukaan kalian
Spam "Avram" di sini
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top