SHATTVA DAN SHANTI
Ditulis oleh firefliesip
Nun jauh di utara, terdapat sebuah kota kecil yang ditinggalkan tepat di kaki gunung. Sebagian besar bangunan kota itu masih kokoh dan beberapa sudah rusak termakan lumut. Ada kisah mistis menyelimuti kota itu, yang membuat orang-orang tidak berani mendekat ke sana. Penduduk sekitar menyebutnya kota hantu. Ada juga yang mengatakan kota itu dikutuk oleh Dewa. Akan tetapi, ketika ada seseorang yang memiliki nyali untuk memasukinya, semua yang sudah dikatakan penduduk sekitar ternyata keliru.
Di perbatasan, terdapat gapura tua berdiri di jalan setapak. Hanya saja, itu bukanlah gapura biasa. Ada benteng sihir tidak kasatmata yang mengelilingi seluruh penjuru kota, menyembunyikan keramaian kota yang tidak bisa dilihat manusia luar. Kota itu bernama Magi. Kota Magi seperti kota-kota lain pada umumnya. Ada bangunan, kendaraan yang berhilir mudik di jalanan, lampu-lampu, dan penduduk. Namun, satu hal yang membedakan kota Magi dengan kota di dunia luar. Sihir.
Hampir seluruh penduduk kota Magi memiliki sihirnya masing-masing. Seluruh keseharian mereka tidak lepas dari mantra dan pengendalian. Memasak dengan sihir, mencuci pakaian dengan sihir, dan bahkan kendaraan penduduk kota Magi berupa sapu dan karpet terbang. Meskipun penduduk kota Magi juga manusia, mereka berbeda dengan manusia dari dunia luar. Mereka menganggap sihir adalah segalanya. Siapa pun yang tidak bisa menggunakan sihir akan dianggap lemah dan harus pergi dari kota ini.
"Yajuh!" seru seorang gadis dalam keheningan kamarnya. "Tidak bisa. Kalau begitu, agni! Kenapa tidak muncul api? Hm ... mungkin api bukan sihir khususku. Baiklah, aku akan coba ... nirada! Mungkin bukan air. Darani! Tidak berhasil. Oh, oh, coba kalau ... bayu! Ah, kenapa aku tidak bisa menggunakan sihir?"
"Apa yang kamu lakukan di larut malam begini, Sara?"
Suara lembut penuh keibuan itu menyentakkan gadis bernama Sara. Kedua mata Sara membulat sempurna begitu melihat ibunya berdiri di ambang pintu dan memperhatikannya sejak tadi dengan seulas senyum terpahat halus di wajahnya. "Ibu? Sejak kapan Ibu di sini?"
Ibu mengetukkan jari telunjuknya di dagu tanpa melunturkan senyuman. "Sejak anak kesayangan Ibu mengucapkan mantra pertamanya."
Wajah Sara berubah takut. Ibunya pasti sudah berada di sana sejak tadi, mengamatinya berlatih mantra. Habislah Sara. Ibu pasti marah setelah ini. "Maafkan aku, Bu. Seharusnya aku sudah tidur sejak tadi. Ibu pasti marah, kan, karena Sara tidak menuruti perkataan Ibu."
Alih-alih memarahi anak semata wayangnya, Ibu Sara berjalan ke arah kasur dan duduk di samping Sara. Tangannya mengusap lembut puncak kepala Sara. "Tentu tidak, Sayang. Ibu tidak pernah marah pada Sara karena belum tidur. Ibu hanya bertanya, apa yang sedang Sara lakukan? Kenapa berlatih mantra di larut malam?"
Sara bergeming. Dia seperti setengah enggan mengatakan alasannya.
"Sara, sayangku, kalau ada sesuatu yang ingin Sara ceritakan, ceritakan saja. Cerita apa pun akan Ibu dengarkan."
Sara mengambil napas dalam-dalam sebelum bercerita. "Apa Ibu pernah merasa gagal?"
"Kenapa Sara bertanya begitu?" tanya Ibu kebingungan.
"Karena Sara satu-satunya orang yang tidak bisa menggunakan sihir," jawab Sara. "Sejak umur tujuh tahun hingga sekarang, sebelas tahun, Sara satu-satunya orang di kelas yang tidak bisa menggunakan sihir. Semua orang, bahkan guru-guru, selalu mengatakan, kalau Sara masih belum bisa menggunakan sihir sampai berumur enam belas, Sara harus pergi ke dunia luar dan tidak boleh kembali lagi. Sara gagal."
Air mata sudah tidak bisa lagi terbendung di pelupuk mata Sara, kemudian membanjiri pipinya dalam sekian detik. Isak tangis merebak di antara kesunyian malam itu. Mendengar anak gadisnya menangis, Ibu mendekapnya penuh kasih sayang. "Tidak, Sara. Itulah yang Ibu suka darimu. Kau selalu berusaha semampumu meskipun kau tahu itu sulit. Ibu yakin, suatu saat nanti kau bisa menggunakan sihir. Hanya mungkin, kau butuh waktu lebih lama daripada yang lain. Sara harus tahu. Apa pun yang terjadi nanti, Ibu akan selalu mendukungmu. Jangan sedih lagi, ya?"
Mendengar Ibu mengatakan itu, Sara lantas membalas dekapan ibunya. "Terima kasih, Ibu. Sekarang Sara sudah merasa lebih baik."
"Ibu senang mendengarnya. Sekarang, Sara harus tidur karena besok Sara harus sekolah," ucap Ibu sembari merapikan tempat tidur buah hati tercintanya.
"Apa Ibu pernah tidak bisa menggunakan sihir?" tanya Sara penasaran.
"Tentu saja, Sayang. Semua orang pernah tidak bisa menggunakan sihir," jawab Ibu.
"Menurut Ibu, apa yang membuat seseorang tidak bisa menggunakan sihir?" Sara bertanya lagi.
Dengan senyuman melengkung indah di wajahnya, Ibu menjawab, "Sara, untuk bisa menggunakan sihir, seseorang harus bisa melepaskan ketakutannya. Jangan biarkan ketakutan menguasaimu atau kau akan kehilangan kendali."
"Tapi Sara sudah cukup berani. Kenapa Sara tetap tidak bisa menggunakan sihir?"
"Selain berani, seorang penyihir yang tangguh harus terus berusaha dan berlatih. Seperti yang sedang Sara lakukan sekarang karena tanpa itu, Sara tidak akan bisa menjadi penyihir tangguh."
"Seperti Ayah?" Mata Sara berbinar.
Ibu mengangguk mantap. "Seperti Ayah."
Sara tersenyum lebar. "Kalau begitu, Sara akan terus berlatih supaya bisa seperti Ayah. Jadi, Sara bisa membuat Ayah bangga setelah pulang dari tugas di perbatasan nanti."
Mendengar anaknya kembali ceria, Ibu mengelus puncak kepala Sara dengan lembut tanpa melepaskan senyuman paling tulusnya. "Sara memang anak kebanggaan Ayah dan Ibu. Selalu."
"Ibu," panggil Sara tiba-tiba.
"Hm?"
"Sara mau ditemani Ibu sampai Sara tidur."
"Tentu saja, Sayang."
***
Sekolah Sara benar-benar ramai. Tentu saja karena ini sudah memasuki jam istirahat. Hampir semua orang tidak berada di kelas. Beberapa murid berkejaran dengan sapu terbang di lapangan. Ada yang sedang berlatih sihir dengan guru mereka di pinggir lapangan. Ada juga yang memilih untuk menikmati suasana sambil memakan bekal, seperti yang tengah Sara lakukan sekarang. Sara lebih senang mengamati daripada ikut bermain bersama teman-temannya. Itu karena memang tidak ada yang mau bermain dengannya. Pikiran mereka persis seperti yang dipikirkan sebagian besar penduduk kota Magi, yang menganggap sihir adalah segalanya.
"Masih berharap bisa menggunakan sihir, Sara?" tanya seseorang dengan nada mengejek.
Sara menengok ke asal suara dan mendapati tiga orang gadis seusianya berdiri menantang. Sara tahu siapa yang melemparkan pertanyaan tadi. Siapa lagi kalau bukan Nirbita, anak perempuan paling angkuh yang pernah Sara kenal di kota Magi. Setiap hari Nirbita selalu mengejek Sara karena tidak bisa menggunakan sihir. Bahkan terkadang dia menggunakan sihirnya untuk mengganggu Sara. Keluarga Nirbita terkenal dengan sihir agni. Seluruh anggota keluarga Nirbita sangat menguasai sihir agni. Di kota Magi, sihir agni hanya bisa dikendalikan orang-orang tertentu. Hal itu membuat sihir agni termasuk sihir istimewa.
"Tidak punya kegiatan lain, Nirbita?" tanya Sara tidak berminat. Menurut Sara, meladeni Nirbita adalah salah satu hal yang paling sia-sia.
"Oh, tentu saja aku punya kegiatan lain," balas Nirbita dengan nada angkuhnya. "Aku dan teman-temanku akan berlatih sihir di lapangan. Bagaimana dengan latihanmu, Sara? Sudah bisa menggunakan satu mantra atau justru masih gagal seperti biasanya?"
"Latihanku sangat baik dan terima kasih sudah mengingatkan. Aku harus latihan juga setelah ini," jawab Sara penuh percaya diri.
"Selamat mempersiapkan kepergianmu ke dunia luar, Sara. Aku dan teman-temanku sangat tidak sabar menantikan saat itu." Nirbita menarik langkah ke arah lapangan diikuti dua temannya.
Ketika Nirbita dan dua temannya sudah berada di lapangan, Sara membuka buku yang sedari tadi dipangkunya. Itu buku tentang sihir, buku yang selalu Sara baca di waktu luang. Sara ingat dulu Ibu pernah berkata bahwa Sara harus tahu dasar-dasar pengendalian sihir, selain berlatih memperagakannya. Jadi, Sara pikir tidak ada salahnya kalau dia membaca dulu sebelum bisa menggunakan sihir. Kalau Sara nantinya bisa menggunakan sihir—semoga saja—setidaknya dia sudah bisa mengendalikannya.
Jemari Sara membolak-balikkan lembar demi lembar di buku itu. Tidak terasa bahwa selama ini dia sudah membaca hampir sebagian buku setebal kamus itu. Sampailah Sara pada halaman berjudul "Efek Sihir Tanpa Pengendalian". Mata Sara mengikuti kata demi kata di setiap lembar buku itu, menandaskan rasa penasaran yang tidak terbendung dalam otaknya. Di situ tertulis bahwa siapa pun yang menggunakan sihir tanpa pengendalian, maka dia akan membangkitkan Sattva. Dahi Sara tertekuk. Apa dan siapa itu Sattva? begitu pikir Sara bertanya-tanya. Sara membuka lembar baru. Pupilnya membulat sempurna ketika Sara membaca setiap kata dalam lembar itu.
"Kekacauan?" tanya Sara. "Apa hubungannya dengan pengendalian?"
Sara membaca lagi lembar itu.
Dalam sihir, kita mengenal beragam mantra, yang juga memiliki beragam fungsi. Namun, sejatinya, terdapat dua sihir di dunia ini: Shanti dan Sattva. Shanti adalah sihir yang membawa kedamaian, sedangkan Sattva membawa kekacauan. Meskipun begitu, kita tidak dapat menghilangkan salah satu dari kedua sihir itu. Di dunia ini, sihir tidak hanya membutuhkan shanti, tetapi juga Sattva. Mereka saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Mereka adalah sihir dari setiap mantra yang diucapkan dan untuk mengucapkan mantra, maka dibutuhkan pengendalian. Siapa pun yang menggunakan sihir tanpa pengendalian dan menghancurkan Tula, maka dia akan membangkitkan Sattva. Sattva akan membawa petaka, mengacaukan keseimbangan dunia sihir, lalu merenggut shanti dari dunia ini. Hanya penyihir yang memiliki pengendalian yang bisa mengembalikan semua.
"Wow," ucap Sara setelah membaca halaman itu, "ternyata sihir itu tidak sesederhana yang aku tahu. Kupikir sihir hanya sebatas mengucapkan mantra dan tada! Keajaiban muncul, tapi rupanya sihir juga butuh pengendalian."
Sara menatap ke arah menara di seberang sekolah. Itulah Tula. Sebuah menara biasa yang di puncaknya terdapat sepasang layangan berwarna hitam dan putih yang terus berputar bak roda. Ibu pernah mendongengkan Sara tentang Sattva dan Shanti sebelum tidur. Penduduk Magi mengibaratkan kedua layangan itu sebagai Sattva dan Shanti—sihir yang sesungguhnya.
Pandangan Sara kembali mengarah ke lapangan. Semua temannya masih melakukan hal yang sama seperti sebelum dia membaca buku. Namun, hanya satu orang yang menarik perhatian Sara. Nirbita. Mulut gadis itu berkomat-kamit mengucapkan mantra sebelum telunjuk Nirbita mengarah ke cakrawala dan menyambarkan petir.
"Mantra braja," kata Sara lirih.
"Kenapa Sara?" tanya Nirbita yang ternyata mengetahui Sara memperhatikannya. "Kau terkejut melihatku bisa menggunakan mantra braja?"
"Bagaimana kau bisa menggunakan sihir tingkat tinggi?" tanya Sara penasaran.
Nirbita tertawa meledek. "Aku tidak sepertimu, Sara. Tidak hanya membaca buku kuno, tapi aku juga mempraktikkannya. Omong-omong, aku bisa membantumu belajar menggunakan sihir. Braja!"
Petir menyambar dengan ganas setelah Nirbita mengucapkan mantra braja, tetapi untungnya Sara bisa menghindari petir itu. Baru saja Sara bisa mengembuskan napas lega, petir yang kedua datang lagi. Kali ini lebih ganas daripada serangan sebelumnya.
"Nirbita, hentikan!" teriak Sara sebelum dia menghindar lagi dari serangan petir Nirbita.
"Kenapa Sara? Latihan kita baru saja dimulai. Braja!" seru Nirbita lantang dan terus menyerang Sara dengan sihir petirnya.
Akan tetapi, ketika Nirbita mengucapkan mantra braja yang terakhir, sihir petirnya menyambar menara Tula dan mengenai layangan putih di puncak menara. Langit mendadak berubah gelap. Mendung dan gemuruh guntur menghantui kota Magi. Shanti telah hancur, menandakan pertanda buruk akan segera datang—Sattva.
"Oh, tidak," ucap Nirbita.
Sattva muncul dari bawah tanah seperti monster yang siap memorakporandakan dunia. Jeritannya menakutkan dan tampangnya persis seperti yang ada di menara Tula. Sattva memelesat ke jantung kota dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Sihir-sihir para penjaga berkilat di cakrawala, berusaha mengenai Sattva. Akan tetapi, mantra itu tidak cukup kuat untuk menghentikannya. Alih-alih melemahkan Sattva, justru mantra itu membuatnya makin kuat. Sattva melancarkan serangan balik dengan lebih agresif, menghancurkan gedung-gedung, dan melukai orang-orang di sekitar.
Kehadiran Sattva mencuri perhatian kepala sekolah Sara, Profesor Adhigana, yang terkenal akan kehebatannya dalam sihir. Guru-guru berdiskusi, membicarakan langkah yang tepat untuk mengatasi situasi ini.
"Bawa semua murid ke tempat yang aman. Jangan ada satu pun yang tertinggal," titah Profesor Adhigana. "Profesor Bhadrika dan Profesor Harsa, bantu saya untuk melindungi sekolah dan mengadang Sattva."
Guru-guru mulai menggiring semua murid untuk masuk ke gedung sekolah. Tubuh Sara berkali-kali terdorong, tetapi tidak membuat pandangan Sara teralih. Yang dikatakan buku itu sudah terjadi. Siapa pun yang menggunakan sihir tanpa pengendalian dan menghancurkan Tula, maka dia akan membangkitkan Sattva. Sattva sudah di sini dan Shanti sudah direnggutnya. Hanya ada kegelapan di sekeliling kota Magi. Sara berpikir lagi, mengingat-ingat apa yang ditulis dalam buku itu. Hanya penyihir yang memiliki pengendalian yang bisa mengembalikan semua. Profesor Adhigana adalah penyihir terkuat di kota Magi. Dia terkenal sebagai penyihir tangguh dan memiliki pengendalian yang kuat. Bahkan dia salah satu orang yang bisa menggunakan sihir agni. Mungkin saja, Profesor Adhigana yang dimaksud buku itu, begitu pikir Sara.
Dari jendela gedung sekolah, Sara melihat Profesor Adhigana, Profesor Bhadrika, dan Profesor Harsa sedang mengucapkan mantra pelindung. Sihir-sihir menyatu dan mulai membentuk kubah pelindung yang membentengi sekolah. Jauh di luar sana, jeritan Sattva terdengar melengking menakutkan. Benar saja, Sattva muncul dari balik gedung tingkat dan meluncur ke arah sekolah. Tubuhnya bersinar seolah menandakan bahwa serangan berikutnya akan segera datang. Namun, sebelum itu terjadi, Profesor Adhigana sudah melontarkan mantra sihirnya. "Parusa!"
Serangan itu berhasil mengenai Sattva. Alih-alih mengalahkannya, justru Sattva masih bisa bangkit dan mengempaskan ketiga profesor itu sekaligus sebelum mereka membalas kembali serangan Sattva. Para murid menjerit melihat pertarungan itu, tetapi itu tidak membuat Sara tinggal diam. Dia harus mencari cara untuk mengalahkan Sattva. Sara kembali membuka buku itu dengan tergesa-gesa, berharap dia bisa segera menemukan jawabannya.
Perhatian Sara terpaku pada salah satu halaman di buku itu, sebuah tulisan yang bisa menyelamatkan kota Magi.
Hanya penyihir yang memiliki pengendalian yang bisa mengembalikan semua dengan mantra brahma.
"Mantra itu terlalu tinggi tingkatannya. Tidak ada seorang pun yang bisa melakukannya, termasuk para profesor. Hanya orang yang memiliki pengendalian sangat kuat yang bisa," kata Sara panik. Dia mencoba untuk tenang dan tetap berpikir meskipun situasi tidak memungkinkan. Namun, dia teringat perkataan ibunya.
"Sara, untuk bisa menggunakan sihir, seseorang harus bisa melepaskan ketakutannya. Jangan biarkan ketakutan menguasaimu atau kau akan kehilangan kendali."
Mungkinkah? batin Sara.
Tanpa perlu pikir panjang lagi, gadis kecil itu berlari keluar kelas menuju lorong hingga membawanya ke lapangan. Sara sudah berada di luar, menghirup udara yang lengang tanpa disesaki banyak orang, dan menyaksikan langsung Sattva yang kini berada di hadapannya. Sara mengedarkan pandang dan menemukan batu yang berada beberapa langkah di depannya. Dengan penuh keberanian, Sara mengambil batu itu, kemudian melemparkannya ke arah Sattva sebelum ia berhasil menyerang kembali para profesor. Sattva menjerit kesakitan ketika batu itu menghantam tubuhnya. Ia menemukan Sara yang sudah siap untuk melawannya detik ini juga.
"Sattva, kemari dan lawan aku!" seru Sara lantang.
Sattva meluncur ke arah Sara begitu gadis itu berseru melawannya. Orang-orang di sekitar menyuruhnya untuk lari, tetapi Sara tetap berada di sana. Gadis itu tetap berdiri dan membiarkan Sattva mendekatinya. Dia menghirup napas dalam-dalam, melepaskan semua ketakutannya. Ketika Sattva sudah siap melancarkan serangan, Sara mengacungkan jari ke arahnya. "Brahma!"
Kilat menyambar mengenai Sattva dengan cepat, membuat tubuhnya hancur berkeping-keping. Sattva telah kalah dan kegelapan yang menyelimuti kota Magi perlahan hilang digantikan cahaya mentari. Seluruh penduduk bersorak gembira. Semua orang keluar dari persembunyian mereka, mendatangi Sara, dan mengangkatnya layaknya pemenang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top