RIAN DAN PENYU

Ditulis oleh DrReno

Sepanjang akhir pekan ini, Rian diajak ayahnya untuk menghabiskan waktu di pantai. Ke rumah kakek dan neneknya yang selama enam bulan belum dia temui. Sejak sudah dekat, Rian tak mampu memalingkan matanya dari pemandangan air laut yang memantulkan matahari hangat berkelap-kelip. Kedua tangan menempel di kaca mobil dengan wajah tak mampu menahan rasa sabar.

Begitu saat mobil ayahnya sampai di ujung aspal, Rian cepat-cepat turun dan berlari di atas pasir menuju rumah kakeknya yang di bagian teras hanya ditopang oleh tiang-tiang kayu.

Baru saja Rian ingin menaiki tangga, kakeknya bersamaan keluar, sembari memakaikan kepalanya sebuah topi nelayan berwarna hijau yang biasa dipakainya jika ingin ke laut agar terlindung dari panas.

"Kakek!" Rian langsung melesat dan memeluk kakeknya.

"Eh! Cucu Kakek yang ganteng udah datang!" Rian disambut dengan ramah, pipinya dicubit pelan, dan rambutnya dielus lembut. Kebiasaan kakeknya.

Setelah Rian diturunkan barulah terlihat ayah dan ibunya menyusul, naik ke teras membawa barang-barang bawaan. Membuat kakek Rian berkacak pinggang menatap Rian.

"Lah, kenapa enggak bantu bawa barang, Rian?"

"Hehe, udah kangen banget pengin ketemu Kakek. Jadi, lupa, deh." Rian menyeringai menahan malu.

"Enggak papa, Pa. barangnya dikit, kok," balas ayahnya Rian. Kemudian lanjut menyalami tangan Bapak sekaligus kakek dari cucu anak tunggalnya itu.

"Kirain kalian mau datang hari Minggu. Kan, rumah belum diberesin, makanan juga enggak disiapin. Hari ini juga mau pergi saya."

"Enggak papa, kok, Pa. Nanti Neneng bantu Ibu masak." Wanita yang ada di sana, Ibunya Rian menyahut.

"Kakek mau ke mana? Mau naik kapal, yah?" sambung Rian bertanya.

"Iya. Udah janji ke Pak Munthu, mau ke penangkaran sore ini."

"Rian boleh ikut?!" ucap Rian langsung. Menaruh kedua tangan tanda harapnya.

"Memang Rian enggak capek habis jalan? Lagian nenekmu ada di dalam, loh, enggak mau ketemu?"

"Enggak papa, kok, Pa. Lagian pulangnya enggak malam, kan?" tanya balik ayahnya Rian.

"Enggak. Sebelum magrib pulang, kok. Pak Munthu cuman sebentar."

"Udah. Rian boleh ikut. Tapi jangan nakal, ya? Dengar kata Kakek sama Paman Munthu."

"Beneran? Yey! Makasih, Yah!" Saking senangnya Rian sampai melompat-melompat dan membuat papan-papan kayu yang menjadi teras rumah kakeknya ikut berderak-derak.

"Udah, Rian. Ayo, kita pergi! Kapalnya Pak Munthu juga udah siap dari tadi."

"Pamit dulu, Bu, Yah." Rian cepat-cepat turun setelah itu, menyusul kakeknya yang sudah turun lebih dahulu.

Pak Munthu adalah tetangga dari kakeknya Rian. Dia punya tanggung jawab untuk mengurus penangkaran penyu yang berada di pulau kecil yang jaraknya kurang lebih 20 menit dari pantai. Di atas kapal sudah ada beliau yang sejak tadi sudah menunggu.

"Pak Munthu!"

"Pak Alif, eh, ada Rian! Kapan datang?" sahut Pak Munthu.

"Barusan, Paman," jawab Rian sopan. "Paman, Rian boleh ikut ke penangkaran bareng Kakek?"

"Eh, boleh. Nanti Rian juga bisa bantu Paman kalau mau."

"Asyik! Terima kasih, Paman," ulang Rian lagi kegirangan. Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal yang mesinnya sudah berisik sebelum berjalan.

Setelah akhirnya tali yang menahan kapal dari tiang dermaga dilepas, Kakek Rian duduk di kursi kemudi untuk menjalankan kapal. Sementara Rian duduk di belakang bersama Pak Munthu. Hingga kapal akhirnya bergerak, angin laut yang selama ini Rian rindukan kembali menerpanya.

Dia juga tak akan mampu memalingkan pemandangan di bawah air dangkal yang jernih itu. terlihat banyak batu-batu karang cantik dengan warna-warni seperti pelangi bawah laut. Ikan-ikan yang berenang bersama dengan kapal juga memberikan keindahannya. Sesekali Rian akan menurunkan tangannya dan melambaikan tangan ke makhluk-makhluk laut itu.

"Paman, nanti di penangkaran mau ngapain?" tanya lagi Rian.

"Buat mendata. Jadi telur-telur penyu baru menetas. Nanti kita mau hitung ada berapa mereka."

"Bayi penyu, ya. Wah! Rian enggak sabar mau lihat. Pasti mereka lucu-lucu," riang kembali Rian. "Kalau Rian pelihara satu boleh?" sambungnya.

"Haha! Enggak boleh, Nak. Rian tau enggak, kenapa ada penyu yang ditaruh di penangkaran?"

Ekspresi Rian kini berubah, menggelengkan kepalanya kebingungan, dan itu membuat Pak Munthu berusaha menahan tawa pelannya, melihat sifat anak-anak yang masih dimiliki cucu sahabatnya.

"Jadi, penyu sekarang udah terancam punah. Banyak yang mati dan semuanya juga karena ulah manusia. Penyu enggak cuman diburu, tapi lingkungannya juga dirusak. Itu makanya penyu ditaruh di penangkaran, biar mereka terjaga," jelas Pak Munthu. Rian yang paham membalas dengan anggukan, tetapi kini memasang wajah murung.

"Kasihan banget penyunya. Emang kenapa penyu diburu, Paman?"
"Ya, buat dipelihara, kayak Rian tadi," jawab Pak Munthu. "Enggak cuman itu, ada juga yang memburu penyu karena mau dimakan."

"Hah?! Memangnya ada yang makan penyu. Hih! Emang rasanya enak apa?"

"Yah, Paman enggak tau, sih," balas Pak Munthu, "tapi Rian coba bayangin. Nanti kalau Rian udah besar, terus anak-anak kayak Rian nanti enggak bisa lihat penyu."

Rian mulai terdiam dan semakin murung. Dirinya sendiri juga belum pernah melihat penyu secara langsung dan akan sangat sedih jika beberapa tahun lagi manusia sudah tidak bisa melihat penyu seperti dirinya.

Tanpa dia rasa, kapal memelan hingga berhenti. Mereka sudah sampai di pulau tempat penangkaran. Semangat Rian kembali saat dia diturunkan dari kapal dan berjalan bersama kakeknya masuk ke dalam gedung penangkaran yang berada di tengah-tengah daratan.

Kembali Rian menemukan keindahan-keindahan makhluk laut di dalam sana. Bukan hanya penyu, di dalam akuarium kaca berukuran besar terdapat ikan-ikan mungil dan kuda laut yang juga belum pernah Rian lihat, dan semua itu tak henti-hentinya membuat Rian terkagum. Tangannya menempel erat di akuarium kaca memperhatikan gerakan lucu dari hewan-hewan kecil itu.

"Rian, sini," panggil kakeknya. Rian ke sana dan menemukan ada orang lain. "Ini namanya Kak Toni, dia yang bantu Pak Munthu di sini."

"Hai, Kak Toni!" sapa Rian.

"Halo, Rian. Kamu mau kenalan sama penyu-penyu di sini, enggak?"

"Mau! Mau!" balas Rian semangat.

Rian dibawa pergi sedikit lebih ke dalam gedung penangkaran dan menemukan ada tiga penyu besar dalam sebuah kotak yang dialiri air laut.

"Kak Toni, yang ini siapa?" tanya Rian menunjuk salah satunya.

"Yang itu Retno. Dia itu termasuk penyu sisik," jawab Toni. Kemudian lanjut memperkenalkan sisanya, "Ini Liana, penyu hijau. Kalau yang itu Dian, dia penyu belimbing. Kemarin telur-telur mereka baru aja menetas. Rian mau lihat?"

Rian mengangguk semangat dan kembali di bawa ke akuarium lainnya untuk melihat bayi-bayi penyu yang sudah diceritakan Pak Munthu saat masih dalam perjalanan menuju pulau.

"Wah, banyak! Kak Toni, penyu-penyu ini bakalan disimpan terus di penangkaran, ya?"

"Eh, enggak. Nanti semuanya dilepas, kok," jawab Toni. "Di penangkaran mereka cuman sementara aja dirawat. Kalau udah siap, nanti penyu-penyu ini bakalan dikembalikan ke laut, kok."

"Oh, Rian kira bakalan disimpan terus. Soalnya mau lihat lagi kalau ada waktu, hehe."

Tangan Rian dimasukkan ke dalam sana. Jarinya berusaha mengusap-usap lembut cangkang dari bayi penyu dan sesekali berpindah ke siripnya. Memperhatikan bagaimana saat mereka berjalan pelan di bagian berpasir dan kecepatan berenangnya begitu memasuki air.

***

Hari-hari menyenangkan dirasakan Rian. Bertemu dengan kakeknya, pergi ke penangkaran, dan melihat banyak sekali bayi-bayi penyu yang lucu. Ingin Rian kembali lagi untuk melihat saat bayi penyu itu dilepaskan ke laut, tetapi Pak Munthu bilang kalau masih ada sekitar beberapa hari lagi sebelum mereka dikembalikan.

"Gimana, Rian. Senang?" tanya Pak Munthu.

"Senang, Paman, tapi sekarang Rian lapar. Mau cepat-cepat balik buat makan," jawabnya menyeringai malu.

"Oh, hahaha! Enggak lama lagi, kok, tapi kalau memang lapar banget, ini ada roti, buat mengganjal."

Tanpa mengatakan apa pun Rian mengambil roti dengan selai coklat itu. Membuka kemasan plastiknya dan mulai mengunyah. Tangannya bergerak ke samping dan kemudian membuang kemasan plastik itu ke laut.

"Eh, jangan!" Seketika Pak Munthu berteriak, mengagetkan Rian yang baru saja menelan makanannya.

"Rian, plastiknya jangan dibuang ke laut. Laut, kan, bukan tempat sampah," lanjut Pak Munthu.

Rian sontak membalikkan kepalanya, tetapi melihat plastik itu sudah jauh darinya, perlahan-lahan mulai tak mampu lagi Rian lihat.

"M—minta maaf, Paman. Rian enggak tau mau taruh di mana," balas Rian, "t—tapi, kan, cuman satu bungkus. Enggak papa, kan?"

"Eits! Mau satu pun enggak boleh. Coba bayangin, kalau kamu buang satu sampah ke laut, terus Paman buang satu, terus kakekmu buang satu juga. Jadi, semua orang buang satu sampah ke laut, jadi semuanya menumpuk jadi sepuluh ribu sampah."

Rian kembali terdiam mendengar kalimat Pak Munthu itu.

"T—tapi, Paman. Memangnya kenapa kalau buang sampah plastik ke laut?"

"Yah, pasti lautnya tercemar. Terus bisa bahaya buat ikan-ikan dan makhluk lain yang tinggal di laut. Bisa bayangin, kalau laut udah tercemar, terus nelayan menangkap ikan di laut. Ikannya, kan, udah enggak bersih." Pak Munthu menjeda sebentar penjelasannya.

"Terus, kamu tau enggak kalau penyu bisa aja makan plastik kamu tadi?"

"Hah?! Emang penyu bisa makan plastik?" kaget Rian.

"Iya. Jadi, sebenarnya penyu makan ubur-ubur, tapi penyu enggak bisa bedain makanannya dengan plastik. Nah, sekarang gimana? Rian udah buang satu, nanti kalau penyu makan terus mati?! Hayooo!"

Rian terdiam, bergidik ketakutan. Dia benar-benar tak menyangka kalau satu sampah plastik saja bisa berdampak seperti itu pada laut dan yang tinggal di dalamnya. Pikiran Rian terus dipenuhi dengan kemasan roti yang baru saja dia buang itu, membayangkan ada penyu yang sudah memakannya dan kemudian mati karena ulah Rian.

Di sisa perjalanan Rian sudah tidak seperti sebelumnya, bahkan saat sudah sampai di pantai Rian tak lagi mengeluarkan suara yang sama, dia hanya terdiam. Begitu berpamitan dengan Pak Munthu juga hanya melambaikan tangan.

Di dalam rumah pun masih sama. Rian bahkan ragu-ragu menyantap ikan yang sudah dimasak ibu dan neneknya tadi. Mendengar cerita Pak Munthu sebelumnya membuat Rian takut dan berpikir kalau ikan itu sudah tercemar sampah plastik di laut. Pada akhirnya, Rian lebih memilih memakan sayur yang sebenarnya tidak terlalu dia sukai.

Saat waktu tidur pun Rian masih kepikiran dengan apa yang sudah dilakukannya. Kepalanya dipenuhi dengan bayang-bayang dari penyu-penyu yang ditemuinya hari ini, mati karena memakan sampah plastik. Bayi-bayi penyu itu tidak pernah tumbuh besar karena tidak mengonsumsi makanan yang sebenarnya. Pada akhirnya, malam Rian menjadi panjang, dari kesulitan tidur dan kemudian berujung jadi mimpi buruk.

Rian bermimpi sedang berjalan di pantai yang penuh dengan sampah-sampah berbau busuk di sana-sini. Air laut tak lagi berwarna biru, tetapi hitam pekat dan tidak lagi mampu memantulkan sinar matahari. Ikan-ikan mati terdampar di sekitar langkah kaki Rian, pemandangan yang hanya membuatnya jijik.

Lalu tak lama dia berhenti saat menemukan ada banyak penyu yang terdampar di tepi pantai, dalam keadaan sudah mati berada di hadapannya. Di salah satu mulut penyu-penyu itu masih tercapit sebuah plastik kemasan roti, kemasan sama seperti yang pernah Rian buang ke laut.

"Tidaaaaaaaak!"

Rian tanpa sadar akhirnya berteriak dalam tidurnya, mengagetkan seisi rumah. Semuanya cepat-cepat masuk ke kamarnya dan berusaha membangunkan Rian.

"Rian, Nak. Udah, bangun. Enggak papa."

Rian terbangun dan langsung memeluk erat ibunya, menangis dengan keringat yang mulai membasahi tubuhnya karena sangat ketakutan.

"Ibu, penyu itu mati, Bu. Penyu itu mati karena Rian!" Pada akhirnya, Rian menceritakan mimpi itu dan rasa khawatir ibunya sedikit menghilang.

"Udah, Rian. Mana mungkin Penyu bisa mati karena Rian?"

"Iya, soalnya kemarin Rian udah buang sampah ke laut, terus penyu makan sampah itu." Seisi rumah hanya bernapas lega mendengar cerita Rian. Kemudian meninggalkan dia dengan ibunya agar bisa ditenangkan.

"Udah, enggak papa. Yang penting nanti Rian enggak buang sampah lagi ke laut, ya," ucap Ibunya Rian, berusaha menenangkan anaknya. Namun, Rian masih terdengar sendu, walau tidak terlalu kencang.

"Nah, Rian. Nanti Pak Munthu, Kakek, sama warga-warga di sini bakalan bersih-bersih pantai. Jadi, nanti udah enggak ada sampah terus lautnya bersih dan penyu-penyu bisa hidup tanpa sampah plastik."

Rian menyeka matanya saat pelukan dia dilepas. Memberikan anggukan pelan sebagai tanda setujunya. Berpikir kalau dengan membersihkan pantai setidaknya akan mampu mempertahankan penyu-penyu lain agar tetap hidup.

Sejak saat itu, setiap kali dia melihat sampah maka tangan Rian akan langsung mengambil dan membuangnya ke tempat sampah. Di rumah, tidak pernah ada sampah plastik yang lolos dari matanya. Rian bahkan meminta ke ayah dan ibunya untuk dibelikan buku tentang laut agar dia bisa semakin memahami tentang lingkungan yang harus dia jaga.

Di sekolah, Rian akan selalu memarahi teman-temannya yang membuang sampah sembarangan. Kemudian mengatakan kalau sampah plastik akan berbahaya untuk lingkungan.

"Eits! Jangan di buang ke laut!"

Terlebih saat di pantai, Rian akan sigap. Seperti hari ini, saat ada anak sebayanya yang membuang sampah di tepi laut. Rian langsung mengambilnya, dan membuangnya sebelum dihanyutkan oleh ombak.

"Kamu tau enggak, kalau kamu buang sampah ke laut nanti penyu bisa makan."

"Ups, maaf. Aku enggak tau. Aku minta maaf," ucap anak itu malu-malu. Namun, tidak lama Rian memberikannya sebuah senyuman ramah dan dibalas dengan cara yang sama oleh anak itu.

Rian sudah berjanji akan menjaga laut, dia ingin agar saat sudah besar nanti keindahan laut yang dia lihat sekarang masih bisa Rian nikmati dan rasakan lagi.

Catatan Penulis:

Hai, teman-teman!

Kalian tahu enggak, kalau semua sampah yang ada di laut itu asalnya dari daratan?Jadi jangan mengira kalau membuang sampah di daratan berarti laut enggak apa-apa.Indonesia sendiri adalah negara penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia dengan total sampah menjapai 3,2 juta ton sampah yang masuk ke laut setiap tahunnya. 

Sampah plastik juga butuh waktu hingga 500 tahun untuk terurai. Jadi bisa bayangkan apa yang terjadi dengan semua sampah-sampah ini di laut. Yah, pastinya mencemari.Sudah banyak hewan-hewan laut yang menjadi korban kekejaman sampah plastik ini. 

Enggak hanya hewan bisa memakan, tapi terkadang plastik-plastik akan menjerat makhluk-makhluk malang ini dan pada akhirnya menyebabkan gerak mereka terbatas, bahkan dalam beberapa kasus sampai menyakiti dan merubah bentuk tubuh mereka. 

Yuk, sayangi laut kita dengan mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Mulai gunakan botol minum isi ulang atau tas kantong kain dan rotan saat berbelanja ke pasar. Daur ulang plastik-plastik ini jadi wadah yang bisa digunakan kembali.Karena sejatinya ikan enggak butuh sendok untuk makan, ataupun sedotan untuk minum.

Jangan sampai karena ulah kita generasi selanjutnya enggak lagi bisa melihat makhluk-makhluk indah ini. Jangan pernah biarkan mereka punah hanya karena sampah plastik, yah! ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top